Semazen

Sunday, March 31, 2013

29. Tak Ada Lagi Agama!!


“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu!?” 
-Sufi Master-

           
     
Beyond duality there is only LOVE
Malam itu Selasa malam atau malam Rabu. Seperti di Jawa, di Turki pun mengistimewakan malam rabu  dan malam Jum’at, sehingga tarekat Rifa'i pun menempatkan pertemuan rutin mereka di kedua hari itu. Seperti malam rabu minggu lalu aku berharap akan ada permainan musik setelah acara dzikir tapi ternyata tidak karena malam ini awal bulan Muharram yang di Jawa disebut Suro. Tanggal satu sampai sepuluh Muharram adalah hari berkabung bagi umat Islam Syi'ah. Karena pada hari itu tepatnya di hari kesepuluh Muharram terjadi peristiwa memilukan yang menyayat hati umat Islam khususnya yang bermashab Syi'ah, yaitu pembantaian dengan kejam cucu Nabi Muhammad, Husain oleh Mu’awiyah. Di kebanyakan tradisi Sunni peristiwa ini tidak diperingati secara khusus sehingga banyak yang tidak tahu dan tidak menganggap penting. Tapi di tradisi Syi’ah khususnya di Iran peristiwa ini merupakan salah satu yang terpenting yang diperingati dengan tangis dan rasa sakit, bahkan sampai ada yang mencambuk diri sendiri hingga berdarah-darah demi merasakan penderitaan Imam Husain ketika dibantai oleh Mu’awiyah.
            Di Indonesia khususnya di Bengkulu, masyarakat setempat mengenal tradisi tabot untuk memperingati peristiwa pilu ini. Tapi karena penghayatnya berbeda, bukan Syi'ah, maka ritual ini menjadi ajang untuk bersuka cita dibanding berduka cita. Keluargaku termasuk salah satu yang berbahagia ketika perayaan tabot tiba karena rumah makan kami menjadi laris manis dan cepat tutup.
            Untuk menghormati peristiwa itu, maka malam ini mereka tidak bermain musik, melainkan membaca sejarah Nabi dan melantunkan lagu puji-pujian untuk keluarga nabi. Semuanya dalam bahasa Turki sehingga aku tidak mengerti sedikitpun, kecuali kata Peygamber yang merujuk Nabi Muhammad. Sepanjang pembacaan kisah Nabi Muhammad, aku hanya diam berusaha betul-betul menyimak setiap kata yang diucapkan oleh Master. Akalku boleh saja tidak mengerti tapi ruhku pasti mengerti, pikirku. Ternyata efeknya cukup dahsyat. Selain tidak ngantuk aku merasa berenergi setelah pembacaan itu selesai.  Sama berenerginya ketika mendapat pengetahuan baru yang mencerahkan.
            Setelah nyanyian puji-pujian selesai Master lagi-lagi menanyakan tentang aku ke Yildiz sehingga akupun berpindah tempat duduk agar terlihat olehnya. Seperti dugaanku, setelah menanyakan kabarku Ia    pun bertanya lagi apakah aku masih punya pertanyaan. Aku bingung karena aku tidak tahu harus bertanya apalagi. Namun daripada tak ada yang bisa diperbincangkan akhirnya aku bertanya. Pertanyaan konyol yang membuatku terlihat bodoh tapi aku tak menyesal menanyakannya. Aku bertanya tentang tingkatan jiwa manusia atau nafs yang terakhir.
“Minggu lalu Master bercerita tentang tujuh tingkatan jiwa manusia atau tingkatan nafs yang harus dipahami oleh  setiap pengikut tarekat Rifa’i. Nah saya ingin tahu tentang nafs yang ketujuh itu,” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku Master spontan menertawaiku lalu menjelaskan sesuatu kepada yang hadir malam itu dalam bahasa Turki. Yildiz menerjemahkannya untukku sambil bertanya, “Masa kamu tidak tahu itu?”
Aku baru menyadari kalau pertanyaanku kurang tepat, karena bukan itu sebenarnya yang ingin kutanyakan. Sebenarnya aku ingin bertanya, apa godaan orang-orang yang tingkat spiritualnya sudah tinggi, katakanlah sudah mencapai puncak, termasuk master sendiri? Namun karena aku merasa tidak sopan bertanya seperti itu akhirnya keluarlah pertanyaan tentang tingkatan nafs itu.
“Aku tidak hafal,” bisikku pada Yildiz. 
“Begitulah orang-orang intelektual,” jawab Master dengan pandangan mengejek. “Seperti anak kecil, belum melalui yang awal sudah menanyakan yang terakhir. Lampaui dulu yang awal baru akan sampai pada yang terakhir,” jelasnya.
Master kemudian bertanya balik, “menurutmu apa nafs yang tertinggi?”
Aku tahu masih ada tingkatan nafs yang lain lagi setelah mutmainnah, tapi aku benar-benar tidak mampu mengingat namanya. Untuk mengurangi grogi dan perasaan tolol aku sedikit bercanda, “Master, anda menguji saya?”
“Ya, karena di sini saya Master sedangkan kamu bukan, saya berhak menguji kamu sedangkan kamu tidak,” katanya dengan sorot mata galaknya. Tapi aku tak terpengaruh, aku tetap menganggap Ia bercanda.
Daripada tidak menjawab, kujawab saja apa yang mampu kuingat, "nafs mutmainnah (jiwa yang tenang)" [1], kataku. 
Ia menertawaiku lagi dan menjelaskan sesuatu pada hadirin. “Kenapa kamu menganggap jiwa mutmainnah sebagai tingkatan jiwa yang tertinggi?”
Bagaimanapun aku harus memberikan argumentasiku, “Ya, karena itulah yang populer” kataku tanpa merasa bersalah. Dibuku-buku Sufi sering dibahas tentang tingkatan-tingkatan jiwa ini dan guruku sendiri pernah menjelaskannya. Tapi ketika aku memutuskan untuk fokus ke praktek daripada aspek teoritisnya, aku tidak lagi perduli pada nama-nama dan ciri-cirinya. Mendengar jawabanku lagi-lagi Master menemukan alasan untuk menertawaiku. Sebenarnya aku merasa konyol malam itu tapi aku tetap memasang muka cengengesan. Aku ikut tertawa. Menertawai diriku sendiri yang malam itu jadi bahan tertawaan mereka.
“Nafs kok ada yang populer, aneh-aneh saja kamu ini. Mengapa kamu bilang itu populer?” tanya Master lagi.
“Karena itulah yang disebut-sebut dalam Qur’an. Bukankah di Qur’an, Tuhan berkata, ‘Ya Nafs Mutmainnah, masuklah dalam surgaku…,’ jawabku mencoba membela diri.
“Ah, Aku jadi tahu Indonesia itu seperti apa. Dari kamu saja aku sudah bisa melihat, seperti apa negerimu itu.”
Ketika negeriku disebut sontak aku tidak terima. “Wah, anda tidak bisa menilai negeri saya hanya lewat saya, dong. Di Indonesia banyak orang-orang pintar. Yang ada dihadapan anda sekarang hanyalah orang Indonesia yang bodoh dan nakal,” belaku. “Cobalah datang sendiri ke Indonesia, dan rasakanlah sendiri Indonesia,” jawabku bangga.
“Ah! Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Toriq,” katanya mengingatkan pada mimpi yang kuceritakan padanya minggu lalu, “karena kamu tidak punya Syekh,” tegasnya.  Setelah diam beberapa saat, membiarkan aku dengan pikiran agak kacau, Ia kemudian menjelaskan, “Orang tidak pernah tahu level spiritualnya (nafs) sendiri, karena karena kalau Ia tahu Ia akan merasa sombong dan merendahkan orang lain, dan itu berbahaya karena bisa menurunkan levelnya. Hanya Syekh pembimbing yang bisa mengetahui tingkat nafs murid-muridnya dan membantunya agar mampu mencapai level berikutnya,” jelas Master.  
“Kalau kamu bilang gurumu banyak, bagaimana bisa? Karena setiap guru akan berbicara tentang kebenaran sesuai dengan level nafs-nya masing-masing. Apa kamu tidak akan bingung? Dan jika kamu berguru pada orang yang levelnya lebih rendah dari kamu, haram hukumnya.  Kamu mengerti itu?” tegasnya lagi dengan sorot mata tajamnya. Aku diam, menunggu apa lagi yang akan Ia katakan.
“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu?” Aku tak menjawab. Melihat tak ada respon Ia menekankan lagi pernyataannya, “TAK ADA LAGI AGAMA!!” katanya sambil menatapku tajam.
Spontan aku tertawa melihat wajahnya. “Iya, kalau tak ada lagi agama, lalu apa masalahnya?” jawabku enteng tak terpengaruh oleh kegalakannya.
Master terlihat agak kaget sebelum akhirnya berkomentar, “Hah! kamu tertawa karena kamu melihatku apa adanya,” katanya dengan wajah yang sudah tak terlalu menyeramkan. 
Sebenarnya aku tertawa karena pernyataan itu tak lagi mengusikku. Sehingga aku tak kaget dan bingung mendengarnya. Aku berpikir bahwa ketika dualitas dan lapisan-lapisan atau konstruksi-konstruksi yang menabiri pikiran manusia telah terlampaui maka semua sekat menjadi luntur termasuk sekat agama, sehingga yang terlihat kemudian hanyalah keesaan Tuhan yang termanifestasi dalam berbagai wajah. Inilah yang kupahami dari puisi Maulana Rumi:

Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim.
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut;
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar.
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api;
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan wujud dan bukan hal.
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan ari Bulgaria, bukan dari Saqsin;
Aku bukan dari kerajaan Irak, bukan dari Negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia ini, atau dari akhirat, bukan dari sorga atau neraka;
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus, bukan dari Rizwan.
Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejakku adalah tak berjejak;
Ini  bukan raga dan bukan jiwa, sebab aku milik jiwa kekasih.
Telah kubuang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa;
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang kupanggil.
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang batin;
Tak ada yang kuketahui kecuali “Ya Hu” dan “Ya man Hu.”
Aku mabuk oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu;
Aku tak berbuat apapun kecuali mabuk gila-gilaan.
kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
saat itu aku pasti menyesali hidupku.
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak denganmu,
Aku akan menyembah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi tabriz, aku begitu mabuk di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabuk dan gila-gilaan.

            Master lalu berbicara dengan murid-muridnya dan tak berapa lama beralih lagi ke aku. “Semua orang di sini ingin tahu, apa tujuanmu ke Turki?”
Aku tersenyum, “Saya datang ke Turki, pertama untuk mengunjungi Maulana, kedua untuk melihat manifestasi Tuhan di negeri Turki,” jawabku. Tujuan keduaku tampaknya tidak cukup jelas sehingga mereka masih melihatku dengan tanda tanya besar diwajahnya. “Maksudmu, bagaimana Tuhan di mata orang-orang Turki?” tanya seorang perempuan muda dari Belanda yang sudah cukup lama bergabung dengan tarekat Rifa’i.
“Orang bilang Turki negara sekuler, saya ingin tahu bagaimana Islam di negeri yang sekuler ini,” kataku. Perempuan Belanda itu mengartikan kata sekuler dengan not-religious atau tak taat beragama sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang. Aku berusaha menjelaskan bahwa sekuler yang kumaksud tidak berarti tidak relijius. Tapi tampaknya aku tidak berhasil sehingga Master merespon dengan defensif. Baginya justru Indonesialah yang tidak relijius. Dalam pemahamannya mungkin tidak relijius sama artinya dengan tak paham inti ajaran Islam yang mengutamakan perdamaian dan kasih sayang, sehingga Ia mengaitkannya dengan tindakan kekerasan. 
"Ini terbukti dari Islam di Indonesia yang cenderung keras," katanya. Aku tidak terima Islam di Indonesia dibilang keras. Aku jelaskan bahwa Islam di Indonesia justru lebih moderat dan toleran terhadap perbedaan dibanding negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain karena muslim Indonesia sudah terbiasa hidup dalam beragam keyakinan. Lalu kuceritakan tentang kesan Imam-imam Inggris yang datang ke Indonesia beberapa waktu lalu, yang kemudian berkomentar bahwa filosofi fungsi rahmatan lilalamin-nya Islam dalam bentuk tindakan di temukan di Indonesia.
“Ah, imam-imam Inggris itu jangan dipercaya,” katanya.
Aku masih ngotot, “Anda buktikan sendiri saja, bagaimana kehidupan kami di Indonesia.”
“Islam di Indonesia sangat keras. Kami melihatnya di TV,” katanya ikutan ngotot. Waduh, ini pasti gara-gara bom-bom itu, pikirku.
“TV jangan dipercaya. Anda datang sendiri saja dan rasakanlah sendiri Indonesia,” kataku dengan kepercayaan diri yang memuncak. Aku siap menjelaskan panjang lebar tentang ketinggian budaya Indonesia sehingga komentar imam-imam Inggris itu tak berlebihan, tapi waktunya sudah tak memungkinkan. Walaupun tak punya data empiris yang memadai selain candi-candi, gamelan dan tembang-tembang agung namun aku begitu yakinnya bahwa leluhur Indonesia telah sampai pada tingkat pemahaman ketuhanan yang sangat tinggi. Fakta-fakta ini siap kubeberkan kepada Master dan semua hadirin yang hadir. Tetapi ternyata aku malah malu telak ketika Ia bertanya berapa lama Indonesia dijajah Belanda. Bibirku berat mengakuinya. “Tiga ratus lima puluh tahun,” kataku ciut. 
“Kamu tahu siapa yang mengusir penjajah itu dari negerimu?” tanyanya dengan wajah yang menyimpan jawaban yang segera akan dilontarkan dengan bangga dihadapanku. 
“Kami berjuang sendiri,” kataku. Dikepalaku terbayang kegigihan Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pattimura dan Bung Tomo.
“Tidak, kamilah yang mengusir penjajah itu dari negerimu, kamu tahu itu?” Aku diam dan tak kuasa untuk tak mengakuinya karena aku pernah membaca kesultanan Aceh meminta bantuan pasukan perang dari Sultan Istanbul untuk mengusir Portugis dan Belanda dari Aceh. Aku pilu. Bagaimanapun Indonesia dan Turki mempunyai perbedaan sejarah yang menyolok, seperti bumi dan langit. Indonesia pernah dijajah Eropa ratusan tahun, sebaliknya kesultanan Turki Usmani atau Ottoman pernah menjajah Eropa ratusan tahun pula. Fakta bahwa bangsaku yang katanya besar dijajah ratusan tahun sungguh memilukan. Hatiku pilu sepilu-pilunya.


Tanah Karbala

           
Tanah Karbala
Malam sudah semakin larut dan tambah dingin. Sebelum mengakhiri acara malam itu Ia mengatakan bahwa Ia senang bertemu denganku. Tentu saja hatiku berbunga-bunga mendengarnya. “Ya, saya juga senang bertemu dengan Master,” kataku. “Aku mengatakan ini benar-benar dari dalam hatiku,” katanya sambil meletakkan tangan kanannya di dadanya. Aku tersenyum, “Saya juga mengatakan ini dari dalam hati saya”. Ia tersenyum.
            Acara malam itupun akhirnya selesai. Master beranjak dari tempat duduknya sementara aku tetap duduk di kursiku. Ia melewati meja di depanku dan menjangkau sesuatu, “kamu tahu apa ini?” aku mencoba memegang benda yang ia pegang dan berusaha mengidentifikasinya dengan penciumanku, “Ini tak ada baunya,” katanya.
“Ini tanah,” kataku. “Kamu tahu tanah apa ini?” aku menggeleng. “Ini tanah Karbala[2]. Biasanya orang menaruhnya ditempat sujud sehingga ketika sujud dahinya akan menyentuhnya. Kalau kamu dekatkan ke dadamu maka kamu akan merasakan sesuatu,” Ia mencontohkan dengan memasukkan ke saku kemejanya. “Kamu bisa merasakannya?”
“Mungkin bisa.”
“Bagaimana rasanya?”
“Saya tidak tahu, lagi pula bagaimana rasa bisa digambarkan.
”Kalau ada orang sakit dan tidak sembuh-sembuh, orang akan mengambil sedikit tanah ini, dimasukkan dalam gelas lalu diminum, maka Ia akan sembuh,” jelasnya. Aku mendengarkan penjelasannya sambil menatapi benda coklat berbentuk lingkaran yang ada ditangannya itu. Rasanya aku belum pernah melihatnya.
“Ini hadiah buat kamu” katanya, “jagalah baik-baik.”
“Terima kasih.”
“Kamu tahu apa ini?” tanyanya lagi.
“Ya, ini hadiah.”
Master dan beberapa muridnya tersenyum. Aku berpikir pastilah aku terlihat konyol lagi.

            Didalam mobil dalam perjalanan pulang Yildiz bertanya, “how to say lucky in Indonesia?” Aku bilang, “Untung. Lucky dalam bahasa Indonesia artinya beruntung?”
Kalau begitu kamu malam ini ‘untung girl’.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Master tidak gampang memberikan sesuatu. Jika Ia memberikannya itu karena Ia memang benar-benar berniat memberikannya.”
Aku tertawa, “Really? Kalau begitu aku memang ‘untung girl’. aku akan jaga baik-baik hadiah itu,” kataku.
“Sudah seharusnya,” komentar Yildiz. 
Aku tersenyum menatap keluar jendela mobil Yildiz sambil memperhatikan selat pemisah Asia dan Eropa. Setidaknya ada penyeimbang perasaan konyol, bodoh, dan piluku malam ini, untung girl!



[1] Di dalam psikologi Sufi, tingkatan jiwa manusia atau nafs dibagi menjadi tujuh. Yang pertama disebut jiwa tirani (nafs ammarah), yaitu jiwa yang condong pada kejahatan. Orang pada tingkat ini hidupnya dikendalikan oleh nafsu duniawi. Nafs kedua disebut jiwa yang penuh sesal (lawwamah). Karena pada tahap ini jiwa sudah mengenal iman namun masih sering tergoda pada keburukan sehingga ia merasa menyesal. Nafs ketiga disebut jiwa yang terilhami (malhamah) yaitu jiwa yang mulai merasakan kesenangan sejati didalam berdoa, meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Kita mulai bisa mengalami sendiri kebenaran spiritual yang selama ini hanya kita dengar atau baca. Tingkatan nafs ini dianggap paling kritis karena masih beresiko jatuh oleh godaan pujian. Nafs keempat disebut jiwa yang tentram (mutmainnah), yaitu tahapan jiwa yang dicirikan oleh kerendahan hati, kelembutan, dan ketundukan. Nafs kelima disebut jiwa yang rida yaitu yang telah ikhlas menerima segala sesuatu dalam dirinya, termasuk takdir dan segala kepahitan hidupnya sehingga jiwa ini merasakan kebebsan yang sesungguhnya. Miracle sangat mungkin bagi jiwa ini karena Tuhan menjawab doa yang tulus dari orang-orang pada tingkat ini. Nafs keenam disebut nafs yang diridai Tuhan. Pada tahap ini Tuhan pun meridainya. Disini telah terjadi penyatuan antara kehendak diri dan kehendak Tuhan. Nafs ketujuh disebut jiwa yang suci yaitu jiwa yang telah melampaui dirinya secara utuh. Tak ada diri karena yang ada hanya Tuhan. Kondisi ini umum disebut  “mati sebelum mati.”
[2] Tanah Karbala oleh tradisi Shi’ah dianggap tanah suci karena disitulah peristiwa pembantaian cucu Nabi, Imam Husein, yang merupakan imam ketiga kaum Shi’ah, berlangsung. Sebagai bentuk penghormatan mereka menjadikannya tempat sujud ketika sholat.  

Tuesday, March 12, 2013

# 28. Turis Monokotil


            Hari kedua tahun baru aku keluar apartemen Yildiz agak sore, sekitar jam tigaan karena harus mengopi beberapa file untuk Yildiz. Hari itu aku berencana ke Basilica Cistern dan Grand Bazaar yang seminggu lalu urung dilakukan bersama Ayla. Aku janjian bertemu di dekat mesjid Sultan Ahmed dengan dua orang malaikat Indonesiaku di Istanbul Mereka berdua akan menemaniku berbelanja di Grand Bazaar.

Blue Mosque di musim dingin
            Turun dari trem aku segera menuju ke taman diantara Hagia Sophia dan Blue Mosque. Hari itu cuaca sangat mendung disertai hujan rintik-rintik dan angin yang sangat kencang. Aku harus memegangi payungku kuat-kuat dan menapakkan kaki ke tanah dengan kuat pula agar tak terbawa angin. Ketika melewati taman yang agak tinggi aku memilih untuk menaikinya dan berdiri di atasnya. Dari situ view kearah Blue Mosque cukup bagus.  Aku belum memiliki foto Blue Mosque dari sudut yang bagus. Walaupun cuaca hari itu kurang mendukung tetapi setidaknya aku punya gambar Blue Mosque dari arah yang lebih tinggi yang tak terhalang mobil ataupun tiang listrik dan lampu taman.
            Memotret sambil memegangi payung agar tak terbang cukup merepotkan. Berkali-kali aku gagal melakukannya karena ketika kamera siap memotret angin tiba-tiba kencang sehingga aku harus memegangi semua barang-barangku. Ini rupanya menarik perhatian seseorang. Seorang laki-laki yang sulit kutebak umurnya mendekatiku sambil membawa beberapa buku dagangan, “butuh bantuan?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.”
Ia lalu menyodorkan buku dan peta Istanbul, “Sudah punya buku Istanbul?”
“Aku sudah membelinya kemarin,” kataku bohong.
“Petanya?”
“Ya, itu juga sudah punya” kali ini aku jujur.
“Sudah masuk ke Ayasofya?”
“Sudah minggu lalu. Ke Blue Mosque juga,” jelasku. “Tapi aku belum punya gambar Blue Mosque dari arah sini,” cerocosku sambil terus memotret.
“Ayolah beli bukuku,” katanya mulai agak merayu.
“No, aku sudah punya semuanya,” kataku sambil berjalan ke tengah-tengah taman menuju Hippodrome. Aku butuh seseorang untuk diajak ngobrol agar lupa pada cuaca dingin yang mulai membuat gigiku gemerutuk sehingga kulayani saja pria pedagang buku ini. Lumayan untuk olah raga mulut. Ia berjalan di sampingku mengikutiku ke tengah taman.
“Aku Jengis. Kamu dari mana?” Tanyanya. Kalau di Turki nama itu akan tertulis Cengiz.
“Naj, Indonesia. Kamu tahu dimana itu kan?” Ia mengangguk. “Dekat Philiphina.”
“Kamu orang Turki?
“No, aku orang Kurdi. Kamu tahu Kurdi?”
Aku tertawa, “Tentu saja, kalian itu sering masuk berita tv dan koran, kok.” Jengis tersenyum. Turki dan Kurdi punya hubungan yang kurang baik. Beberapa waktu lalu pemerintah Turki menghukum aktivis perempuan Kurdi sepuluh tahun penjara gara-gara pidatonya di depan publik. Suku Kurdi sedang menuntut kemerdekaan dari Turki yang membuat pemerintah Turki berang.
“Kamu sudah punya pacar?” tanyanya.
Aku tertawa sambil berpikir jawaban apa yang tepat untuk diberikan karena aku tahu akan kemana arah pembicaraannya dan aku tak ingin mengakhiri pembicaraan terlalu awal.
“Kadang ya kadang tidak,” jawabku.
Mendegar jawaban anehku si Jengis tertawa penasaran, “Apa maksudmu kadang ya kadang tidak?”
“Ya, aku punya seorang teman laki-laki tapi kami tidak berkomitmen untuk pacaran.”
Aku ingin bermain-main sedikit dengan pria ini dan tampaknya berhasil.
“Ayo kita mampir ke café dan kita bisa ngobrol disana,” ajaknya setelah jeda beberapa saat.
“No, terima kasih,” tolakku. “Aku sudah punya janji dengan temanku sore ini dan aku juga harus ke Basilika Cistern,” kataku sambil terus berjalan. 
Ketika sampai di depan Hippodrome Ia menawari untuk memotretku.
“No, thank you. Aku sudah punya foto-fotoku dengan benda-benda di sini,” jawabku agak panjang agar dia tak bicara lagi soal ini. 
“Aku dulu pernah punya pacar dari Philiphina. Dan kami hidup bersama selama tiga tahun,” katanya tanpa kutanya setelah jeda beberapa saat.  
“Oh, ya?” kataku pura-pura acuh sambil terus memotret Hippodrome.
“Dia mirip kamu,” lanjutnya.
"Hah! Rayuan cap badak," batinku. Aku tertawa sambil terus saja pura-pura sibuk memotret padahal menunggu jurus apa lagi yang akan Ia keluarkan untuk membujukku.
“Sekarang dia kemana?”
“Dia kembali ke negaranya. Ayolah, kita ke café, kita bisa minum-minum di sana sambil ngobrol santai.” Aku tersenyum dan memperhatikan wajahnya. Sebenarnya Jengis punya tampang lumayan tapi sayang aku tak bisa mempercayainya. Sensor dikepalaku memeprlihatkan wajah Cengiz yang bertanduk, bersiung dan licin seperti lele. Ia punya banyak trik untuk membuat perempuan masuk perangkapnya. Hehe, tapi yang kamu hadapi sekarang bukan perempuan bodoh, Jengis, kataku dalam hati.
“Kamu cantik. Aku suka padamu,” katanya kemudian.
Gubrak! Spontan aku ngakak. “Hwahaha! Dasar laki-laki!” kataku. Tidak butuh waktu lama untuk membuktikan prasangkaku. Dugaanku benar, Ia mengeluarkan jurus rayuan mautnya, rayuan cap kuda ngiler.
“Benar, kamu cantik,” katanya mencoba meyakinkan.
“Banyak laki-laki yang bilang begitu padaku, Jengis,” kataku super PD padahal bapakku pasti tidak setuju. “Jadi kamu bukan yang pertama,” lanjutku sambil mengibaskan tangan dan buru-buru berjalan menuju Ayasofya sebelum Ia mengeluarkan jurus lain yang mungkin membuat situasiku makin sulit. Tapi ia mengejarku.
“Ayolah, kita ke café, aku menyukaimu. Jadilah pacarku,” katanya agak keras sampai-sampai seorang bapak-bapak pejalan kaki menoleh. Aku terus saja berjalan menjauh untuk melepaskan diri dari Jengis. Ternyata dimana-mana sama saja. Laki-laki sejenis Jengis ini bertebaran dibelahan bumi manapun. 
Adegan itu bagiku begitu lucu. Di tengah-tengah taman penuh pepohonan kering dua orang anak manusia berjaket tebal sedang kejar-kejaran di bawah guyuran gerimis lebat dan angin kencang. Seorang perempuan sambil memegang payung erat-erat berjalan cepat menghindari seorang laki-laki yang mengejar dibelakangnya sambil berteriak memohon agar mau menjadi pacarnya. Ah, Serasa di drama Korea, Winter Sonata.
Setelah agak jauh aku tertawa penuh kemenangan, “Maaf, Jengis. Temanku sudah menunggu. Bye bye!” kataku sambil mempercepat langkahku tanpa menoleh lagi padanya. “Huh, dasar geblek!” Tapi lumayan hari ini jadi lebih berwarna. Thanks God atas hiburannya. Makhluk-Mu memang lucu-lucu.

Trio Kwak Kwek Kwok

Bagian dalam Basilica Cistern
            Setelah kesana-kemari mencari petunjuk, akhirnya aku temukan juga Basilica Cistern. Bangunan pintu masuknya tak begitu besar dan tidak mencolok sehingga agak sulit ditemukan. Setelah membayar sepuluh Lira aku kemudian masuk ke sebuah pintu kecil di sebelah loket. Basilica Cistern adalah bangunan taman air yang berada di bawah tanah. Ia hanya berupa puluhan pilar yang berdiri diatas air. Atap yang disangganya berbentuk kubah-kubah kecil. Pengunjung dapat berjalan di jembatan yang dibuat diantara pilar-pilar itu. Cahaya lampu dari bawah tiap pilar memberi efek warna merah yang indah. Basilica Cistern kalau dibuat setting film horror kayaknya seru, pikirku. Aku memotret bagian-bagian yang kuanggap serem, siapa tahu ada yang agak aneh. Seperti biasa yang tampak hanya orbs atau bulat-bulat berbentuk sel.  
            Berwisata sendirian benar-benar tidak menarik. Aku jadi seperti orang bisu yang sibuk sendirian. Aku cukup kerepotan untuk memotret dengan membawa payung basah yang tidak bisa dimasukkan ke tas kecilku. Tiap kali akan memotret aku harus meletakkan payung itu di pinggir jembatan dan menjaganya agar tak jatuh ke air. Iiih, repotnya. Wisata monokotil kali ini agak tidak asik. Aku celingak-celinguk mencari barangkali ada turis monokotil lain yang bisa diajak barengan. Umumnya mereka berdikotil alias berpasangan atau berombongan. Sebenarnya aku bisa saja tadi mengajak si Jengis, tapi laki-laki itu terlalu beresiko. Ya sudahlah, nikmati saja berwisata monokotil tanpa banyak ngomong. Tiba-tiba trio kwak kwek kwok menyodorkan mukanya di depanku.
“Hi, bisa tolong foto kami bertiga?” pintanya sambil menyodorkan camera digital.  
Sure,” kataku antusias.
Tiga orang laki-laki bermuka indah dan body padat kemudian bergaya dedepanku bersandar  pada pagar jembatan siap kupotret. Akal bulusku segera bekerja agar pemandangan indah itu tak cepat pindah dari hadapanku.
“Kalian tidak terlihat. Terlalu gelap,” kataku karena aku tidak menemukan bayangan mereka di screen kamera. “Tapi kucoba dulu ya.” kemudian “klik” flash menyala dan terlihatlah tiga wajah Italia mereka dengan senyum mengembang. Sepertinya mereka bersahabat.
“Oke, kucoba sekali lagi ya. Kalian agak merapat lagi biar hasilnya lebih bagus,” kataku bak pengarah gaya profesional. Mereka dengan senang hati menuruti perintahku. Senangnya bisa mengatur-ngatur tiga orang ganteng yang tinggi-tinggi ini, pikirku.
Oke, ready, one..two.. klik,” aku jarang memotret sampai hitungan ke tiga agar hasilnya lebih natural. Lalu hasilnya kutunjukkan ke mereka.
“Bagus, lihat,” kataku.
“Iya, bagus. Thank you,” kata tiga trio cute itu sambil tersenyum.
“No problem,” kataku.  Aku terlalu grogi untuk mengajak mereka bergabung. Tepatnya menawarkan diri untuk bergabung dengan mereka. Berada diantara mereka pastilah aku seperti jari klingking. Ogah!
But, Thanks God, atas rejeki indah hari ini.

Medusa

            Kuteruskan wisata monokotilku dengan memotret keterangan-keterangan yang ada. Umumnya tentang Medusa, sebuah landasan pilar yang berbentuk kepala perempuan cantik berambut ular yang terletak disalah satu sudut Basilica Cistern ini. Disitu ada dua kepala Medusa, yang satu nyungsep alias kebalik sedangkan satunya lagi posisi tidur dengan separuh pipinya. Ada dua penjelasan tentang Medusa ini: saintifik dan mitologis Seperti biasa yang mitologislah yang lebih menarik dan lebih kuingat.

Medusa, si cantik berkepala ular dan penangkal hal-hal buruk
            Konon, Medusa adalah satu dari tiga raksasa Gorgona bawah tanah. Dibanding dua saudaranya yang lain hanya Medusa yang mortal alias tidak abadi  dan satu-satunya yang punya kekuatan untuk mengubah orang yang melihatnya menjadi batu. Orang-orang jaman dulu katanya memasang patung dan gambar Medusa ini ditempat-tempat penting dan sangat pribadi untuk melindunginya dari hal-hal buruk.
Versi lain mengatakan bahwa Medusa adalah gadis yang teramat bangga pada mata hitam, rambut panjang, dan tubuh aduhainya. Sudah sejak lama Ia jatuh cinta pada Perseus, putra raja Zeus. Celakanya Dewi Athena juga jatuh cinta pada pangeran Perseus ini sehingga karena terbakar api cemburu Ia mengubah rambut indah Medua menjadi ular yang menakutkan. Siapapun yang melihat Medusa akan berubah jadi batu walaupun sekilas. Mengetahui hal ini Perseus lalu menebas kepala Medusa dan menjadikannya Najat perang. Ia pun sering memenangkan peperangan karena menunjukkan kepala Medusa ini pada musuh-musuhnya. Sejak saat itu gagang pedang di Bizantium dibuat dengan bentuk Kepala Medusa.
            Diujung rute terdapat café yang orang bisa menikmati makanan dan minuman hangat dan berfoto dengan latar belakang pilar-pilar gelap Basilica Cistern. Kalau saja aku berdikotil mungkin aku akan memilih duduk-duduk disitu dan berfoto. Berhubung monokotil jadi kuteruskan saja keluar dan mampir di toko souvenir pintu keluar membeli satu seri kartu post bertema “old Istanbul”.

Monday, February 25, 2013

27. Malaikat Pengangkat Koper




Apartment Yildis
            Hari pertama tahun baru aku berangkat ke Istanbul untuk yang kedua kalinya. Kali ini tak akan pulang lagi ke Ankara karena tiga hari lagi harus terbang pulang ke Indonesia. Dua malaikat Indonesiaku –Mas Nasir dan Yan- mengantar hingga ke terminal bis. Sama seperti aku, kedua malaikatku ini juga kurang tidur karena semalaman dihabiskan untuk menongkrongi pergantian tahun di rumah salah satu staff KBRI di Ankara bersama staff KBRI yang lain. Pak Hidayat, second secretary kedutaan-lah yang mengajak kami bertiga dan beberapa orang mahasiwa S3 untuk bergabung merayakan tahun baru. Malam itu kerinduanku pada tomyam  ikan Indonesia yang panas dan pedas akhirnya terpenuhi. Bahagianya tidak ketulungan. Aroma daun salam, sere, lengkuas, dan cabe segar benar-benar mengobati rinduku pada kuliner Indonesia.
            Ada rasa berat meninggalkan Ankara karena aku sudah terlanjur mengenal banyak orang dan banyak tempat asik di Ankara. Aku menikmati menjadi orang asing di Ankara karena dengan modal wajah asing Asiaku banyak orang Turki yang penasaran, terutama bapak-bapak, yang setelah kujawab dari Indonsia selalu bertanya, tepatnya memastikan bahwa aku seorang Muslim. Bahkan ada yang begitu yakinnya kalau aku pasti Muslim sehingga langsung mengucap salam. Pernah suatu kali aku ingin iseng menjawab Buddha, Nasrani atau Hindu hanya untuk mengetahui respon mereka tapi tak pernah sampai hati kulakukan.
            Sampai di Otogar aku langusng menuju salah satu loket Bis. Ketika salah seorang petugas loket menanyakan namaku aku menyebutkannya dalam pronunciation Turki, “Naciye”. Seorang petugas loket lain yang duduk disebelahnya langsung cekikikan. Aku ikut tertawa karena aku tahu kenapa ia tertawa. Melihat wajah non-Turkiku Ia pasti tak berharap mendengar nama itu, yang Turki banget dan mungkin ndeso. Sama alasannya ketika aku menertawai Abdullah, brondong Turki yang kami temui di lokanta tempat biasa aku makan siang. Ketika itu semua meja penuh pengunjung sehingga aku dan Mas Nasir bingung harus duduk dimana. Seorang pemuda Turki berwajah ganteng menawari kursi sebelahnya. Walaupun Ia tidak bisa bahasa Inggris sama sekali tetapi Ia terlihat ingin sekali berbicara dengan kami, tapi sayang kami pun tak bisa bahasa Turki. Kami pun tetap bisa berbincang akrab dengan bahasa Tarzan. Ketika kutanya namanya Ia bilang Abdullah. Melihat wajahnya yang cenderung bule aku tidak berharap Ia bernama Abdullah karena gambaran yang muncul di kepalaku adalah si tukang siomay keliling langgananku yang pecicilan, sehingga aku cekikikan setelah Ia pergi. “Ganteng-ganteng gitu kok namanya Abdullah sih, Pak, bukannya Thomas atau Richard, atau siapalah,” kataku pada Mas Nasir.  Ia setuju. “Tuh, kamu rugi kan, Naj, enggak bisa bahasa Turki. Ada cowok ganteng gitu, lewat deh,” kata Mas Nasir. Kami berdua cekikikan. Iya ya, keindahan Tuhan yang nemplok diwajahnya jadi tidak bisa dinikmati lebih lama. Tapi sebenarnya nama itu cocok untuknya karena dengan wajah indah yang terpasang di mukanya ia masih sangat baik hati dan tidak sombong. Mungkin dia tidak sadar kalau dirinya ganteng, dan itulah sebenarnya yang membuatnya lebih ganteng :). 

Taksim Square di waktu malam
            Aku tiba di Istanbul hampir jam tujuh malam. Kali ini tak banyak kemudahan yang kudapat seperti pertamakali ke Istanbul sehingga hampir semuanya kulakukan sendirian. Aku tak terlalu berharap akan ada lagi malaikat penolong karena aku sudah tahu bagaimana menjelajahi Istanbul. Pengetahuanku membuatku tak lagi berdoa memohon pertolongan. Minggu lalu aku tak punya bayangan apapun tentang Istanbul sehingga benar-benar memasrahkan nasib pada kuasa tangan tak terlihat. Pertolongan itupun datang dan menjadi momen ajaib yang membuatku tertawa, bersyukur dan bertambah yakin pada kuasa tangan tak terlihat. Kali ini pengetahuanku membuatku merasa mampu mengendalikan nasibku sendiri. Aku tahu akan turun dimana dan situasinya seperti apa, lalu harus kemana. Aku malu untuk meminta pertolongan lagi pada tangan tak terlihat.
            Bis yang kutumpangi ternyata tak menyediakan shuttle bus dari terminal ke tempat tujuan sehingga aku harus menyeret koperku yang cukup berat dan menggendong ranselku yang juga berat menuju halte bis kota yang akan menuju ke Taksim Suare. Lumayan membuatku ngos-ngosan karena separuh isinya adalah buku. Begitu pula ketika naik ataupun turun dari bis, aku harus melakukannya sendiri, tak ada yang menolong. Dari taksim square aku harus kembali menyeret koper sambil menggendong ransel menuju apartement Yildiz. Untuk sampai ke sana aku harus menuruni anak tangga kecil-kecil dan tak rata yang cukup banyak. Roda koporku sampai patah karena terbanting sehingga aku semakin kesulitan menyeretnya. Seorang laki-laki yang melintasi jalan diujung undakan rupanya tahu kesulitanku. Ia naik dan mengambil alih koperku, “sini aku bantu.” katanya. 
“Terima kasih. Salah satu rodanya tadi patah sehingga sulit digeret,” kataku. Aku tertawa dalam hati, rupanya Tuhan tak tega juga melihatku sehingga perlu mengirim malaikat pengangkat koper, hehe...
Setelah sampai di jalan aspal yang gelap lalu kami berdua pun mengobrol.
“Kamu dari mana?”
“Indonesia.”
“Aku pernah ke Indonesia, terutama ke Sumatera,” katanya. Tentu saja aku senang mendengarnya, setidaknya Ia pernah melihat kecantikan negeriku. Kukatakan padanya kalau keluargaku tinggal di Sumatera, di Bengkulu. Tapi sayang Ia tak kenal kota itu.
“Aku suka Indonesia,” katanya, “walaupun penduduknya miskin-miskin tapi mereka baik-baik.” Kalimat ini agak tidak menyenangkan dikupingku, tapi karena Ia telah menjadi malaikat pengangkat koper aku tertawa saja mendengarnya. Ia kemudian memberiku informasi tentang sinagog, komunitas Yahudi dan Nasrani di Istanbul ketika kuberi tahu kalau aku mempelajari agama dan budaya. Obrolan itu terhenti ketika Yildiz menelponku untuk kesekian kalinya karena tak juga menemukan bayanganku disekitar apartemennya. “Naj, kamu harus berhati-hati dengan orang asing,” katanya ketika kuberi tahu aku sedang ngobrol dengan seseorang. Ah, bagaimana bisa aku tidak mempercayai malaikat pengangkat koperku, Yildis.


Area Sultan Ahmet 
...

Saturday, February 16, 2013

# 26. Haci Bayram, Mayat Kedinginan dan Trio Asker


Haci Bayram  

Makam Haci Bayram
Aku berada di Istanbul hanya tiga hari. Ayla sudah terbang ke Jerman kemarin siang tanpa sempat singgah di Grand Bazaar seperti rencana semula karena waktunya tak cukup. Aku pulang ke Ankara keesokan harinya.
            Tiba di Ankara aku tak keluar asrama seharian karena sibuk menulis semua yang kualami di Istanbul. Tapi aku bukan tipe yang betah duduk lama didepan laptop sehingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar mejelajah Ankara lagi. Satu-satunya orang yang akan selalu available adalah Mas Nasir. Maka kuhubungi orang ini untuk kuajak menjelajahi bagian kumuh Ankara dan ke makam Haci Bayram. Aku tidak tahu apa atau siapa Haci Bayram. Tapi malaikat-malaikat Turkiku selalu menyebut nama itu dan menganggap penting untuk dikunjungi. Itulah alasan utama penjelajahan mencari Haci Bayram. Untuk apa? Entah!
            Hari minggu Salju turun lumayan tebal. Ketika aku bertemu Mas Nasir kami lalu bersama-sama mencari tahu bagaimana caranya agar sampai ke Haci Bayram.  Kami menanyai beberapa orang di stasiun Metro Kızılay tapi semuanya tidak tahu bahkan sepertinya mendengar namanyapun tidak.  Aneh, kupikir Haci Bayram sangat populer, ternyata tidak.
            Namun kemudian muncul dugaan. Aku menduga Haci Bayram adalah seorang tokoh spiritual. Jika betul begitu maka tentu hanya orang-orang yang dekat dengan kehidupan relijius atau spiritual yang kemungkinan mengetahui Haci Bayram, apalagi di negeri yang tensi antara kubu sekuler dan kubu islamis masih tinggi seperti Turki ini. Maka jalan lebih mudah untuk menemukan informasi ke Haci Bayram adalah bertanya pada orang yang berpenampilan relijius, siapa lagi kalau bukan perempuan berjilbab, yang jumlahnya tidak banyak di stasiun itu.  Metodeku ternyata benar. Ketika kami berdua mendatangi seorang gadis berjilbab yang sedang menunggu di pintu masuk stasiun Ia tahu Haci Bayram dan menunjuki tempat dimana kami bisa mendatanginya, Ulus. Kami pun bergegas ke stasiun metro yang akan membawa kami ke Ulus. Keluar dari stasiun Ulus pun kami masih harus menanyai beberapa orang sebelum akhirnya sampai ke makam yang kami tuju.
            Setelah melewati jalan-jalan yang becek karena salju, kami tiba disebuah bangunan tua yang tak lagi utuh, dilokasi yang agak tinggi, seperti bukit. Bangunan itu hanya berupa dinding dan pilar-pilar. Di dinding pagar yang mengurungnya tertulis, “The Augustus temple of Ankara,” beserta keterangan tentang temple itu dan kaitannya dengan Haci Bayram. Menurut inskripsi itu, temple ini didirikan sekitar tahun 25-20 sebelum masehi untuk menghormati Augustus. Setelah pasukan Seljuk menaklukkan Ankara pada abad ke sebelas, maka dibangunlah mesjid didekatnya yang kemudian yang kemudian disebut mesjid Haci Bayram yang dibelakangnya terdapat makam Haci Bayram.

Kubah makam Haci Bayram. Salah satu  alasan mengapa makam
menarik dikunjungi adalah, ada karya seni disitu selain spiritualitasnya. 
Haci Bayram sendiri adalah seorang tokoh spiritual dari Ankara yang hidup antara 1352 dan 1430. Nama aslinya adalah Numan, namun Ia mengubahnya menjadi Bayram setelah pertemuannya dengan guru spiritual yang bernama Somuncu Baba yang terjadi pada saat lebaran kurban atau Kurban Bayrami. Haci Bayram-lah yang pernah meramalkan penaklukan kota Constantinople oleh Sultan Mehmed II yang kemudian mengubah namanya menjadi Istanbul dan juga mengubah gereja Hagia Sophia menjadi Mesjid serta membangun Blue Mosque di depannya.
            Setelah mengamati bangunan temple dan memotret inskripsinya, aku memperhatikan seorang laki-laki yang berdiri rapat menghadap dinding bangunan disebelah temple. Tadinya kupikir mereka sedang kencing karena begitu mepet dengan dinding, ternyata bedoa. Dibagian dinding yang lain beberapa orang melakukan hal yang sama. Aku mengernyit penasaran. Setelah tahu apa yang ada di balik dinding itu barulah aku mengerti.  Dibalik dinding itulah makam Haci Bayram berada. Karena bangunan makam tidak cukub besar dan untuk masuk harus melepas sepatu maka orang-orang itu memilih berdoa di luar bangunan makam. 
       Aku masuk dan menjadi turis, lalu menjadi peziarah dan menjadi turis lagi. Pertama celingak-celinguk memperhatikan keindahan interior makam dan potret sana-potret sini.  Ada lima makam di dalam bangunan makam itu. Makam Haci Bayram berukuran paling besar dengan kain penutup berwarna merah dan nisan berbentuk turban. Seperti makam Sultan Ahmet di Istanbul dan Makam Maulana di Konya, makam Haci Bayram pun berinterior indah, terutama lukisan kubahnya. Sebuah lampu hias yang juga indah tergantung di tengahnya dan sebuah pemanas berdiri di sudut ruangan. Makam-makam itu terkurung didalam pagar kayu dan orang-orang berdoa di dipinggirnya sambil berdiri diatas karpet merah yang menutupi lantainya.
            Setelah puas memotret aku menjadi peziarah. Ada perasaan berbeda di makam ini, feeling excitement inside yang membuatku merasa perlu membaca buku yasin yang sudah disiapkan dimeja kecil dekat makam. “Saya tidak kenal anda, tapi saya yakin anda orang bijaksana sehingga orang-orang ini menziarahi anda,” kataku dalam hati, pada Haci Bayram. Selesai berdo’a aku kembali menjadi turis, memperhatikan orang-orang yang datang.
            Sebuah keluarga dengan anak perempuan kecil dan bayi digendongan masuk dan berdoa. Anak kecil berwajah malaikat dan berjaket bulu pink itu tak henti-henti melihatku. Wajah asingku mungkin menarik perhatiannya. Kukeluarkan kamera dan kupotret malaikat cilik itu. Seorang laki-laki muda mengambil buku yasin yang telah disediakan dan membacanya tanpa suara. Tak lama kemudian ia keluar dan kembali dengan sekantung plastic permen aneka rasa yang lalu ia sodorkan pada semua pengujung, termasuk aku. Aku mengambil dua, satunya kumakan saat itu satunya lagi kusimpan dalam saku jacket. “Tesekkurler,” kataku. Ia tersenyum.

Mayat Kedinginan

            Sebuah ambulans berhenti disamping mesjid Haci Bayram. Kemudian sebuah peti mati di keluarkan dan diletakkan diatas meja beton disamping Mesjid. Beberapa orang bermata sembab menerima ucapan dan pelukan bela sungkawa dari orang-orang. Mereka pasti keluarga orang yang di dalam peti mati itu, pikirku.  Peti matinya tipis seukuran tubuh manusia dewasa dan sederhana. Peti mati berwarna hijau dengan selempang merah muda dibagian kepala  diletakkan begitu lama diatas meja batu di luar mesjid tanpa penutup  atau payung sehingga kejatuhan salju. Aku berpikir, tidak asik mati di musim dingin. Aku menduga selempang pink itu sebagai penanda kalau sang mayat berjenis kelamin perempuan. Ia diletakkan di meja beton bertuliskan “bayan cenaze” yang berarti jenasah perempuan. Sedangkan meja disebelahnya tertulis “bay cenaze” atau jenazah laki-laki. Di Indonesia pemandangan seperti ini tidak akan ditemui. Mayat masih sangat memungkinkan untuk di sholatkan di rumah sehingga tidak perlu di bawa ke mesjid. Kalau pun di bawa ke mesjid biasanya disholatkan di dalam masjid. Selain karena perbedaan mashab fiqih (Turki Hanafi, Indonesia Syafii), aku berpikir mungkin kultur bersandal orang Indonesia memudahkan orang untuk mencopot alas kaki untuk masuk mesjid sehingga gampang saja jenazah disholatkan dimesjid. Tapi di Turki apalagi dalam kondisi musim dingin, mencopot alas kaki sangat tidak menyenangkan. 
            Mayat itu menunggu cukup lama untuk di sholatkan. Aku sempat berputar-putar mengitari mesjid menunggu Mas Nasir selesai sholat dhuhur.      “Gila, yang sholat banyak banget. Hampir penuh lho di dalam, padahal ini bukan hari Jum’at,” kata Mas Nasir setelah keluar dari mesjid menunaikan sholat dhuhurnya. “Mungkin sebagian karena para pelayat itu,” kataku. Tidak lama kemudian orang-orang lalu berkumpul disekitar mayat. Ketika sang Imam keluar barulah sholat jenazah itu di mulai. Aku berada di belakangnya. Mencari jarak memotret yang tak mengganggu sholat mereka.

Trio Asker

            Setelah kerumunan bubar kami berdua menuju kedai kecil sarat pengunjung disalah satu sudut bangunan temple. Kami masuk dan mencari tempat duduk yang masih kosong untuk mengisi perut dan menghangatkan badan. Tapi ternyata mereka tidak menjual makanan, hanya minuman, teh dan kopi. Pengunjung umumnya laki-laki berumur yang hampir semuanya merokok sehingga kedai itu penuh dengan asap. Hanya ada dua orang wanita yang juga ikut merokok bersama para lelaki itu, selebihnya aku. Kami memesan dua gelas teh. Sambil menunggu teh datang aku memperhatikan seisi ruangan kedai itu. Tidak berapa lama kemudian tiga orang laki-laki muda datang dan duduk bersama kami. Mereka mengaku sebagai asker atau tentara, tepatnya mereka adalah penduduk sipil yang sedang menjalani wajib militer. Mereka bernama Ramazan, Adem, dan Selim. Diantara ketiga orang ini hanya Adem yang sudah menikah. Dialah yang terlihat paling ceria dan lucu sementara dua lainnya masih agak jaim. Adem pulalah yang bahasa Inggrisnya lebih baik. 

Trio Asker: Ramazan, Adam, Selim, dan malaikat Indonesia
            Kami pun cepat akrab. Ketika membahas tentang huruf dalam nama-nama kami sampailah kami pada huruf yang tak dimiliki Turki yaitu w, x dan q. “Kalian tidak punya huruf q kan?” kataku sambil ketawa. Ramazan yang paling tidak bisa bahasa Inggris tampak bingung. Ketika aku bilang qaf ( ) barulah ia mengerti. Selim keliru menuliskan huruf  qaf, ia menulis ghinﻍ)   ) sehingga Adem tertawa. “Selim Muslim yang buruk,” komentarnya mengejek. Sementara Ramazan Ia sebut Imam yang buruk karena sering mangkir dari pendidikan Imam. Di Turki imam mesjid ditunjuk dan digaji oleh pemerintah, tidak seperti di Indonesia yang ditunjuk oleh masyarakat dan digaji oleh, entahlah! Di Turki imam adalah profesi, tidak sekedar pengabdian. Ramazan adalah salah seorang yang menempuh pendidikan untuk menjadi Imam mesjid. Adem sering mengejeknya dengan menyebutnya masyaallah dengan nada Arab yang difasih-fasihkan. Sementara Ia menyebut dirinya sendiri Muslim yang baik tanpa menyebut alasannya walaupun untuk lelucon. 
            Tiga orang sahabat karib ini rupanya sering berkunjung ke makam Haci Bayram untuk berdoa. Tiap akhir pekan mereka selalu datang dan bertemu di kedai teh ini. Untuk menghilangkan jenuh di camp tentara, kata mereka. Aku tertawa, “wah, laki-laki Indonesia lebih beruntung dong, karena tidak harus menjalani wajib militer,” kataku. Mereka mengiyakan dan bercerita betapa tidak enaknya hidup di barak tentara. 
            Tiba-tiba orang-orang dalam kedai bertepuk tangan riuh dan suasana menjadi agak gaduh. “Ada apa?” tanyaku pada Adem. “Erdoğan sedang pidato,” jawabnya. Erdogan adalah perdana menteri Turki dari partai Islam yang dua kali terpilih. Orang Turki yang sudah agak muak dengan pemerintahan sekuler Turki berharap banyak dari perdana menteri ini. Rupanya orang-orang dalam kedai itu sedang menyimak pernyataan sikap Turki yang disampaikan oleh sang Perdana menteri terhadap serangan Israel ke Palestina yang banyak menewaskan anak-anak. Mereka memberi applaus meriah pada ketegasan sikap Turki terhadap Israel. 

...

Friday, February 1, 2013

#25. Sufi Galak


 “Musik lebih jujur dibanding kata-kata”
  
            Tanpa disadari ternyata hari sudah sore. Istana Topkapi begitu luas sehingga menyita banyak waktu untuk menjelajahi semuanya. Nanti malam adalah malam Juma’t, kami berniat ikut acara dzikir rutin tarekat Rifai, itu artinya kami harus tiba di apartment Yildiz lebih awal agar punya  waktu untuk menyegarkan badan setelah seharian berkeliling Hagia Sophia dan Topkapi. Karena memang sudah tidak memungkinkan Ayla dan aku membatalkan kunjungan ke Grand Bazaar. Aku masih punya waktu untuk ke Istanbul lagi sebelum akhirnya pulang ke Indonesia sehingga masih ada kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat yang belum dikunjungi hari ini, sementara Ayla besok siang sudah harus kembali ke Jerman.
            Kami tiba di apartment lebih awal dibanding Yildiz sehingga ketika Yildiz datang kami sudah dalam keadaan ready to go alias siap berangkat. Kami bertiga berangkat menuju rumah kelahiran sang Master dengan mobil sedan mungil Yildiz. Rumah yang berbeda dari yang kukunjungi pada hari pertama datang.  Dengan landscape yang berbukit-bukit dan jalan naik turun yang curam maka butuh keterampilan lebih untuk menyetir mobil di Turki. Yildiz termasuk yang sudah sangat mahir untuk medan seperti ini. Ia dengan lincah menyetir dijalan-jalan sempit di sela-sela bangunan bertingkat yang memenuhi Istanbul. Setelah berkendara sekitar dua puluh menit Ia akhirnya berhenti di depan sebuah toko roti, memarkir mobil dan masuk ke toko roti itu. Aku dan Ayla keluar. Setelah itu kami bertiga berjalan naik. Di perjalanan tak jauh dari rumah yang kami tuju kami berpapasan dengan laki-laki tinggi besar yang ternyata adalah kakak Yildiz. Ia mengucapkan salam pada kami dengan tangan kanan ke dada kiri dan sedikit menunduk yang dibalas dengan gerakan serupa oleh Yildiz. Aku suka dengan gaya salam mereka, terasa lebih hangat dan dekat.

Lukisan Sufi

            Kami memasuki rumah kayu bertingkat yang tak begitu besar. Setelah meletakkan sepatu dan menggantung jaket kami lalu naik ke lantai dua. Aku sempat berpapasan dengan Thomas –the Autralian poet-  yang baru keluar dari kamar kecil. Rupanya ia telah lebih dulu tiba. Kami kemudian memasuki ruangan yang juga tidak begitu besar namun muat banyak orang karena di tata sedemikian efektif sehingga walaupun tidak luas tetapi tidak terkesan sempit. Berbagai gambar bunga dan pemandangan dalam bingkai kecil-kecil menghiasi keempat dinding bersama dengan kaligrafi keramik, beberapa foto, dan tentu saja lukisan whirling dervish yang sudah menjadi ikon spiritualitas Turki. Aku tidak tahu banyak tentang lukisan atau teknik menggambar tapi malam itu aku bisa menilai kalau semua lukisan kembang dan pemandangan yang ada di ruangan itu dibuat dengan sangat detil, cermat dan penuh dedikasi. Sederhana tapi hidup sehingga begitu sedap dipandang. Kalau aku punya satu rasanya aku akan senang setengah mati. Setidaknya untuk contoh  tentang lukisan yang bernyawa. 
            Ketika kami masuk sudah ada beberapa orang perempuan di dalam ruangan itu yang salah satunya adalah Ibu sang Master. Aku memberi salam dan mencium pipi kanan dan kiri mereka sebanyak tiga kali, kiri-kanan-kiri, lalu duduk diantara mereka. Yildiz menjelaskan aku dan Ayla pada orang-orang yang baru pertama melihat kami malam itu. Mereka umumnya berbaju atau berkerudung hitam sehingga semakin menonjolkan wajah putih mereka. Hanya aku dan Ayla yang berbeda. Aku berbaju lengan panjang hijau tua dan berkerudung batik sementara Ayla berkaos panjang berbalut rompi. Setelah suasana mulai mencair aku meminta ijin untuk memotret semua yang kuanggap menarik di ruangan itu, termasuk berfoto bersama mereka terutama Ibu Sufi yang adalah Ibu sang Master.
            Tidak berapa lama kemudian dua orang perempuan datang yang salah satunya adalah pelukis kembang dan pemandangan yang tertempel di dinding itu. Menanggapi pujian dan pertanyaanku atas lukisan-lukisannya, Ia lalu bercerita kalau sebenarnya Ia sudah mulai menggambar sejak usia tiga tahun namun mulai melukis setelah mempelajari tasawuf atau Sufisme. Aku tertawa karena sudah menemukan relasi antara keindahan lukisan itu dengan tasawuf. “Pantas,” kataku. Ia tersenyum mengerti.
            Tujuan utama Sufisme adalah untuk mengenali diri sendiri. Karena doktrin utama ajarannya adalah, siapa yang mengenali dirinya maka ia akan mengenali Tuhannya. Para Sufi meyakini bahwa ketika kita mengenal jati diri kita yang sesungguhnya kita pun akan mengenal Tuhan, karena manusia dibuat menurut citra Tuhan. Metodenya, selain sholat, puasa dan kehati-hatian dalam mengkonsumsi makanan, adalah dengan dzikir atau mengingat Tuhan terus menerus  sehigga tak ada yang lain di hati selain Tuhan. Lewat dzikir inilah rasa  terdalam akan diolah agar semakin peka sehingga akhirnya mampu merasakan kebersamaan dengan Tuhan setiap saat. Melalui dzikir terus-terusan ini berbagai konstruksi yang melapisi kesadaran kita perlahan-lahan coba dikuak agar mampu melihat segala sesuatu dengan jernih dan bebas dari segala prasangka sehingga dapat melihat segala sesuatu apa adanya. Sehingga pada saatnya akan mampu merasakan bahwa dimanapun bumi dipijak disitu kita temukan kasih sayang-Nya dan kemanapun wajah dipalingkan disitu kita temukan kelembutan-Nya. Ketika seseorang sudah mencapai tingkat ini maka karya yang lahir darinya adalah karya yang bersifat Ilahiyah atau karya yang merefleksikan keindahan Tuhan. Artinya sebuah karya yang lahir dari kedalaman rasa, dari sebuah integritas pribadi yang sangat tinggi. Karya ini dilahirkan bukan untuk mengesankan orang agar  mendapat pujian atau kekaguman. Atau dibuat tergesa-gesa karena mengejar setoran. Tapi semata-mata adalah ungkapkan keindahan Sang Maha Indah yang mencintai keindahan.  

Jamuan Sufi

    Meja bundar berkaki pendek yang tadinya dibiarkan bersandar di depan lemari kecil kemudian dibentangkan di tengah-tengah kami setelah bagian bawahnya di beri alas taplak besar. Potongan roti kemudian disusun melingkar di tengah meja, begitu pula piring gelas dan sendok. Di dalam lingkaran roti ada bubuk sambal cabe merah dan garam dalam wadah kecil. Aku memperhatikan semuanya dengan seksama. Satu per satu makanan pun datang. Ada asinan sayuran dan sejenis martabak diatas meja. Semua lalu turun dari kursi dan duduk lesehan melingkari meja bundar, mengambil sedikit garam dan menelannya. Menurut salah seorang Sufi yang kuwawancarai, makan sedikit garam sebelum makan merupakan kebiasaan Nabi Muhammad yang berfungsi untuk menyiapkan lambung sebelum di isi makanan. Maka akupun berpikir mereka melakukannya untuk alasan yang sama.  Secara bergiliran piring-piring di isi dengan corba atau sup yang kemudian dimakan bersama roti. Aku sempat kuatir tidak bisa memakannya mengingat banyak makanan Turki yang sempat kucoba tidak aku suka. Ternyata tidak. Aku suka sekali, termasuk asinan sayur yang super asem itu, karena aku memang sangat lapar.
            Mereka makan tanpa tersisa alias piring bersih sampai licin sekali. Beginilah penghargaan mereka terhadap makanan, pikirku. Aku pun melakukan hal yang sama. Padahal sebelumnya sering meninggalkan sisa makanan yang banyak. Tapi itu bukan salahku. Salah porsi makan orang Turki yang terlalu besar dibanding kapasitas perutku. Ketika mereka meminta piringku untuk di isi makanan berikutnya yaitu sup kacang-kacangan aku hanya minta sedikit. Satu sendok saja karena takut kekenyangan. Aku takut mengantuk karena sehabis ini akan ada dzikir. Tapi rupanya para lelaki yang berada di ruangan lain telah memulai ritualnya. Ketika kami sedang makan kami mendengar mereka mengumandangkan doa yang membuat kami menghentikan makan dan mengangkat tangan, ikut berdoa. Setelah itu kami melanjutkan makan hingga selesai dan dilanjutkan dengan minum teh sambil ngobrol. Suasana malam itu begitu hangat dan akrab. Aku tidak merasa sebagai orang asing diantara mereka walaupun aku tidak mengerti bahasa Turki. Akhirnya keinginanku tercapai juga untuk berada di tengah-tengah keluarga Turki.

Master galak

            Yildiz kemudian mengajak aku dan Ayla keruangan lain menemui sang Master. Kami masuk dan duduk di dekat jendela di sisi kiri Master. Yildiz duduk didepannya menjadi penerjemah kami. Dinding dibelakang Master dipenuhi bingkai kaca berisi foto Syekh-Syekh tarekat Rifai, termasuk Master sendiri dan sebuah kaligrafi besar ditengahnya. Setelah mengamati kami berdua, Master kemudian bertanya apakah kami punya pertanyaan. Aku diam karena merasa tidak ada yang perlu aku tanyakan. Aku datang untuk mengamati dan merasakan, pikirku. Aku masih berpegang pada buku Reshad yang jadi guiding book-ku, untuk berhati-hati agar tidak menanyakan pertayaan yang berasal dari pikiran. Aku merasa semua pertanyaan yang ditanyakan oleh pikiranku telah selesai di jawab oleh guru-guruku di Indonesia dan buku-buku Sufi. Sehingga kalau aku masih menanyakannya, apakah aku tidak akan dianggap mengetes? Aku ingin bertanya dengan jujur. Yaitu bertanya hal-hal yang belum aku tahu. Tapi celakanya untuk saat ini aku tidak tahu apa yang belum aku tahu, tapi aku sadar bahwa masih ada yang belum aku tahu sehingga aku berharap ia akan memberi tahu. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara memformulasikan pertanyaannya sehingga yang tidak aku tahu itu bisa kuketahui. 
            Karena aku diam saja Ayla kemudian mengajukan pertanyaan tentang shalat istikharah (sholat yang dilakukan untuk meminta petunjuk Tuhan dikala dalam keragu-raguan dalam mengambil keputusan). Ayla bercerita bahwa setiap kali ia punya pertanyaan Ia selalu shalat Istikharah, setelahnya ia akan dapat jawaban dari dalam. Master menjawab dengan cara yang cukup mengejutkan. Ia terkesan galak, tidak seperti yang kukenal di hari pertama, yang ramah dan suka tersenyum sehingga aku tidak kikuk. Baginya shalat istikharah saja tidak cukup. “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa jawaban itu benar-benar dari Allah bukan dari nafs kita sendiri? Kita jangan hanya mengandalkan shalat istikharah tapi betanyalah pada ahlinya yang sudah menguasai nafs[1],” jawab Master.  Kami diam. Master lalu beralih ke aku.
“Apakah kamu punya pertanyaan?”
“Tidak,” kataku, “Saya meninggalkan pikiran saya di Indonesia sehingga saya tak punya pertanyaan. Saya datang ke Turki untuk mengalami.”
Lagi-lagi jawaban Master mengejutkanku. “Pikiran itu penting. Bagaimana kamu akan menilai mana yang benar dan mana yang salah jika kamu tidak membawa pikiranmu?”
Aku menganggap Ia salah mengerti. Yang aku anggap pikiran adalah semua konsep-konsep dipikiran, karena aku benar-benar ingin mengandalkan hati, tapi aku tidak tahu bagaimana itu harus dijelaskan. Aku diam tak berniat menjelaskannya.
“Ya, anda benar,” kataku. Ia lalu beralih lagi pada Ayla.
“Apakah masih ada yang ingin ditanyakan?”
Ayla lalu bertanya lagi tentang jalan kepasrahan. Ia bertanya apakah surrender atau pasrah bisa menjadi jalan kepada Tuhan. Cara Master menjawab mengejutkanku lagi. Menurut Master, tidak bisa. Seseorang tetap membutuhkan pembimbing agar bisa sampai kepada Tuhan. Ia menjelaskan dengan panjang lebar namun sayang aku tak lagi bisa mendengarkan karena aku mulai sibuk dengan pikiran dan badanku. Pikiranku mulai terganggu, bagaimana Master bisa menjawab tidak bisa. Bukankah banyak jalan menuju Tuhan, dan pasrah adalah salah satunya. Bukankah itu makna Islam yang sesungguhnya? Sedangkan badanku sibuk menahan diri agar tidak menggigil dan gigiku gemerutuk karena malam itu terasa sangat dingin hingga ke dalam tulang. Kulitku begitu tipis karena tak punya cukup lapisan lemak dibawahnya. Sehingga suhu dingin dengan mudahnya menjangkau tulang belulangku. “Oh, God, jangan biarkan aku menggigil,” doaku dalam hati, karena aku akan malu kalau kelihatan menggigil.
“Kenapa kamu diam?” tanya Master melihat tajam kearahku. Aku merasa mendapat serangan mendadak tapi aku berusaha agar tak terpengaruh. Aku tersenyum, “Saya sedang memanggil pikiran saya dari Indonesia,” jawabku sambil sekuat tenaga menahan dingin. Kurasa batok kepalaku ikut beku sehingga otakku susah diajak mikir untuk memberikan jawaban yang lebih elegan.
Suasana kemudian menjadi hening karena semua diam. Aku menyadari bahwa banyak hal yang belum aku tahu tentang hidup sehingga aku berharap pertemuanku dengan Master Sufi akan memberiku cara pandang baru terhadap hidup. Namun aku tidak tahu bagaimana menanyakannya. Akhirnya dari pada diam aku memilih untuk menanyakan tentang makna mimpiku. Ini jelas bukan pertanyaan pikiran, pikirku. Benar, dari pertanyaan inilah diskusi menjadi panjang yang mengungkap beberapa hal penting tentang keadaan spiritualku.
Aku bilang bahwa sebelum berangkat ke Turki aku bermimpi tentang Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq. Ia tampak bingung. Aku maklum karena aku tidak menjelaskan detail dan konteksnya.
“Kamu tahu jabal itu apa?” tanyanya.
“Yang saya tahu jabal artinya gunung, tapi di mimpi yang saya lihat sumur bukan gunung.” Lalu kujelaskan sedikit bahwa didalam mimpi aku bersama seseorang melihat sebuah sumur bernama Ibrahim, tapi sebuah suara menyebutkan Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq.
“Kamu tahu Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq?”
“Jabal Ibrahim saya tidak tahu, tapi Jabal Tariq yang saya tahu adalah Gibraltar.”
“Selama ini aku tidak tahu kalau Gibraltar itu Jabal Tariq,” bisik Ayla. Sebenarnya tadinya aku juga tidak tahu, tapi setelah tanya google baru tahu. 
Master melihatku lekat-lekat. Aku juga menatapnya sambil cengengesan menunggu jawaban selanjutnya.
“Jabal Ibrahim artinya spiritual, sementara Jabal Tariq artinya material,” jawabnya.
“Iya, lalu apa artinya itu buat saya,” tanyaku enteng.
MANA SAYA TAHU!” katanya sambil melotot,  “kamu harus cari tahu itu,” lanjutnya. Aku hampir saja tertawa karena merasa lucu dengan wajah sewotnya yang seolah mau menyergapku. Lagi pula aku tidak begitu peduli pada mimpiku karena aku yakin suatu saat aku akan mengerti sendiri makna mimpi itu.
Kami diam sejenak. Lalu Master bertanya tentang siapa Masterku.
“Banyak,” jawabku. Responnya lagi-lagi mengejutkan, kali ini lebih menyeramkan. Waduh, jawabanku salah lagi, pikirku.
“Bagaimana kamu bisa punya Master banyak, Master itu hanya satu?” katanya galak.
Aku kaget. Bagaimana mungkin Master ini tidak paham itu?
“Saya belajar pada siapapun dan apapun,” jawabku, “Semua orang yang memberi ilmu saya anggap guru.”
Ia masih melihatku dengan wajah galaknya. Sepertinya Ia terganggu dengan kata guru yang kugunakan sehingga akupun mengatakan agar jangan terjebak pada kata guru yang berasal dari Hindu itu. Selanjutnya aku menggantinya dengan kata Syekh atau Master.
“Dari tarekat[2] apa guru-gurumu itu?” tanyanya lagi.
“Mereka tidak termasuk dalam tarekat apapun.”
Jawabanku membuatnya tambah meledak. “BAGAIMANA BISA !?”
Akupun tambah kaget, tak menyangka responnya akan seperti itu.
“Well, di Indonesia kita mengenal dua macam Sufi, Sufi tarekat dan Sufi independent atau non-tarekat,” jawabku enteng mencoba tidak terpengaruh oleh wajah makin galaknya. “Orang yang kuanggap Master tidak berasal dari tarekat manapun.”
Ia lalu mengambil secarik kertas dan menggambar titik besar lalu beberapa anak panah mengarah ke titik itu. “Ini seumpama Nabi Muhammad,” katanya menunjuk ke titik. “Anak-anak panah ini adalah tarekat-tarekat. Ada Rifai, Maulawi, Naqsabandi, Qadiriyah, Tijaniyyah dan sebagainya. Semuanya bersambung ke Nabi Muhammad. Kalau kamu bilang gurumu itu tidak termasuk dalam tarekat manapun bagaimana kamu memastikan bahwa jalan mereka terhubung ke Rasulullah?”
“Pada awalnya mungkin mereka berguru pada guru tarekat, tapi mereka tidak membentuk tarekat baru atau meneruskan tarekat gurunya,” jawabku memberi berbagai kemungkinan.
“Kalau di tarekat sudah jelas hubungannya ke Rasulullah, karena bisa dilacak silsilahnya. Syekhku siapa, Syekhnya Syekhku siapa, dan seterusnya, jelas,” katanya sambil menunjuk foto-foto yang terpampang di dinding belakangnya. “Ada ijazah untuk itu.”

Tentu saja aku sudah membaca tradisi-tradisi yang dibangun dalam tarekat beserta kritik-kritiknya.  Pikiran dan pengetahuanku yang baru saja datang dari Indonesia mulai protes. Di satu sisi tarekat bertujuan untuk membantu membebaskan manusia dari konstruksi-konstruksi sosial, pengalaman, pikiran, dll. yang menjadi penghalang untuk menemukan kebenaran. Tapi disisi lain ia justru membuat konstruksi baru yang akhirnya juga menjadi penghalang, pikirku tidak terima. Ketika jalan spiritual disistematisasikan begitu rigid bukankah itu membuat tabir atau penghalang baru, karena terjebak pada sistem padahal ia hanya alat menapak. Tidak terikat pada tarekat tertentu secara formal tidak berarti tidak bisa menemui Tuhan, kan? Pikirku, semakin bawel, tapi tidak berhasrat mewakilkannya pada lidah.
“Bagaimana kamu bisa memastikan bahwa mereka terhubung ke Nabi Muhammad?” tanyanya lagi.
“Bisa aja,” jawabku dalam hati. Aku diam karena memang tidak tahu bagaimana harus kujelaskan semua argumentasiku dalam bahasa Inggris. Mengapa Tuhan terasa menjadi jauh dan ribet untuk ditemui, pikirku.
“Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq,” katanya. Sepertinya Ia sekarang sudah menemukan makna mimpiku. “Spiritual dan material. Kamu diantara kedua-duanya. Satu kakimu di Jabal Ibrahim tapi kaki yang lainnya di Jabal Tariq. Itu karena kamu TIDAK PUNYA SYEKH!” Tegasnya. 
            Aku seperti menjadi pesakitan malam itu. Tapi untung tak berlangsung lama. I was saved by the bell, aku diselamatkan oleh bel. Acara dzikir bersama sudah dimulai. Master menyuruh kami keluar untuk bergabung. Ia mengatakan setelah dzikir giliran Ia yang akan bertanya pada kami.

Dzikr

            Aku dan Ayla masuk ke dalam ruangan kecil di atas loteng yang hanya muat lima orang. Ruangan ini khusus untuk kaum perempuan. Sementara para laki-laki berada di bawahnya sehingga aku bisa memperhatikan mereka dari atas. Sebelumnya Yildiz telah membawa kami melihat ruangan dzikir ini. Sebelum masuk Ia menciumi kusen pintu dan alas duduk yang terbuat dari bulu domba. Aku sempat memotret semua bagian ruangan tanpa minta ijin lebih dulu sehingga aku merasa bersalah karenanya. Tapi belakangan Yildiz malah menyuruhku untuk memotret semuanya sehingga rasa bersalahku sedikit berkurang.
            Ketika aku dan Ayla masuk, acara itu sudah agak lama dimulai sehingga aku tak tahu awalnnya. Mereka, para lelaki sudah berdiri melingkar dan berpegangan tangan. Mereka terlihat khusuk melantunkan puji-pijian sambil menggoyangkan tubuhnya kedepan mengikuti tabuhan rebana. Aku lihat Thomas juga khusuk begitu pula orang Jerman yang disebelahnya. Perempuan pelukis handal yang susah sekali kuingat namanya duduk disebelahku. Ia terlihat sangat tenggelam dalam dzikirnya sehingga sampai melompat tinggi dari tempat duduknya ketika beat pujian-pujian itu makin cepat dan meninggi. Aku setengah mati disebelahnya berusaha khusuk dalam dzikir itu tapi sia-sia. Walaupun aku datang tidak sebagai observer tapi benar-benar ingin terlibat sehingga aku paham apa yang dirasakan mereka tapi nyatanya aku tak bisa melakukan dua-duanya. Karena pikiranku terganggu oleh diskusi dengan Master barusan.
            Setelah sekitar satu jam dzikir itupun selesai. Para lelaki itu keluar ruangan dan masuk ke dalam ruangan Master tempat kami diskusi sebelumnya. Kami para perempuan berada di luar ruangan itu. Duduk diatas kursi  plastik tanpa sandaran sambil menikmati sepiring kecil kue, teh panas Turki, dan obrolan hangat. Bukan pemisahan yang disengaja, tapi karena ruangannya memang tidak cukup. 
            Beberapa menit kemudian terdengar suara Ney mengalun dari ruangan Master diikuti nyayian dan suara rebana. Aku memasang kupingku untuk mendengarkan. Melihat itu Yildiz lalu menjelaskan bahwa lagu yang sedang mereka nyayikan di komposisi oleh Master sendiri. Lagu-lagu itu sangat enak di dengar sehingga tanpa kusadari kepalaku ikut beryoyang-goyang. Begitu pula ibu-ibu yang duduk didekatku, bedanya mereka ikut bernyanyi karena mereka hafal syairnya.
            Setelah beberapa lagu selesai dinyanyikan, berikutnya giliran ney yang bernyanyi sendirian menyuarakan kepedihannya pada sang buluh induknya. Tak ada suara manusia. Hanya Ney dan rebana. Aku begitu menikmatinya sehingga lupa pada pikiranku yang terganggu oleh diskusi dengan Master. Pikiranku tertidur. Pikiran yang semula begitu rewel tiba-tiba berhenti oleh musik. Seperti bayi yang berlari kesana-kemari tapi kemudian diam ketika dikorek kupingnya. Matanya merem-melek menikmati buaian cotton bud. Begitu pula aku yang terbuai oleh lantunan suara ney dan rebana. Akupun mampu memasuki alam rasaku sendiri yang tadi tak bisa dilakukan selama dzikir.  Lagu-lagu itu begitu menyentuh hingga aku hampir menangis haru.
            Disela-sela nyanyian itu Ayla bertanya apakah aku puas dengan jawaban Master tadi. Aku mengatakan bahwa mungkin master tidak memahami situasiku di Indonesia. Ayla membenarkan. “Mungkin butuh waktu untuk bisa memahami kata-katanya”. Aku mengiyakan tapi pikiranku masih sulit menerimanya. Lalu kami mendiskusikan lagi jalan-jalan spiritual yang sudah kami diskusikan di café Sebil tadi siang. Rupanya tidak hanya aku yang tidak bisa connect dengan dzikir barusan, Ayla juga. Rupanya aku dan Ayla mengalami hal yang sama malam itu, tidak bisa connect dengan dzikir tapi dengan musik yang mereka mainkan malah bisa bahkan lebih cepat.
“Aku merasa Master masih sangat maskulin,” kataku. Ayla sekali lagi mengiyakan karena Ia pun merasakan hal yang sama.
“Mungkin Master, menganggap kita pemula,” jawab Ayla. Ia lalu menceritakan apa yang dipikirkannya. “Aku berpikir mungkin karena aku punya masalah dengan maskulinitasku. Ketika kita tadi bersama dengan Master tubuhku bereaksi dan aku tidak mudah connect dengannya. Kupikir karena itu mengingatkanku pada budaya Arab dimana aku dibesarkan. Kamu tahu sendiri kan betapa maskulinnya budaya Arab? Mungkin karena itulah aku menjadi tidak mudah mempercayai laki-laki. Tapi kupikir itu masalahku saja. Mungkin kita perlu belajar memahami maskulinitas kita,” jelas Ayla.
            Aku masih sibuk dengan pikiranku, yang belum bisa menerima pernyataan-peryataan Master tentang guru yang harus berasal dari Tarekat tertentu. Pikiranku melayang pada Maulana dan Syams. Apakah mereka berasal dari tarekat tertentu? Tapi memang pada awal-awal proses berada dalam tarekat jauh lebih aman.
Acara bermusik malam itu ditutup dengan sholawat pada Nabi dan diakhiri oleh kata, “Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu..”.

Mari Berfoto

            Yildiz yang tadi sempat masuk ke dalam ruangan Master lalu keluar dan bertanya pada aku dan Ayla apakah masih ada yang ingin ditanyakan. Ayla mengatakan sudah cukup. Aku mengatakan aku masih punya pertanyaan. Musik dan lagu yang mereka mainkan telah membantuku untuk mendapatkan kekuatanku kembali setelah sempat agak goyah gara-gara diskusi tadi, sehingga aku punya keberanian untuk bermain-main dengan Master lagi.
            Aku dan Ayla duduk dihadapannya. Didalamnya ada beberapa orang laki-laki termasuk Thomas. Master bertanya, “Apa pertanyaanmu?”
Dengan kekuatan penuh aku bertanya, “Tadi sebelum dzikir Master bilang akan bertanya pada kami. Pertanyaan saya, apa pertanyaan Master untuk kami?” Master tertawa dan berkata sesuatu dalam bahasa Turki pada para lelaki yang berada dalam ruangan itu yang membuat mereka senyam-senyum melihatku. Lalu Master menatapku. “Kamu pasti sudah mempunyai dugaan pertanyaan apa yang akan aku tanyakan padamu. Apa menurutmu yang akan aku tanyakan padamu?”
Aku tertawa. Master ini pintar, ia mengembalikan pertanyaan itu ke aku.
“Saya menduga bahwa anda akan bertanya apa yang saya rasakan ketika ikut dzikir?” kataku.
“Ya sudah, apa yang kamu rasakan?” tanyanya.
“Saya tidak merasakan apa-apa. Saya kesulitan untuk bisa connect dengan dzikirnya tapi dengan musik yang barusan dimainkan saya bisa dengan cepat connect. Ini membawa saya pada pertanyaan berikutnya, saya kemudian berpikir bahwa musik lebih jujur dibanding kata-kata, bagaimana menurut Master?” Ia tersenyum dan berkata sesuatu lagi pada orang-orang didalam ruangan itu sebelum akhirnya menjawab, “Itu tergantung. Ada musik yang diharamkan karena ia bisa membuat orang lupa pada Tuhan. Tetapi ada musik yang juga bisa membawa pada Tuhan.”
“Kalau begitu, membawa kepada Tuhan atau tidak tergantung siapa yang memainkannya?”
“Ya,” jawabnya sambil menjelaskan sesuatu dalam bahasa Turki pada orang-orang di dalam ruangan.
Master lalu bertanya apakah aku sudah memotret Istanbul. Aku mengiyakan.
“Untuk apa kamu lakukan semua itu?” tanyanya dengan pandangan galaknya.
“Untuk mengingatkan saya pada Turki,” jawabku cepat. Aku berpikir, apapun jawabanku akan selalu di kritisi olehnya. Ternyata kali ini tidak, padahal aku sudah menunggunya dan siap menangkisnya.
“Kalau begitu mari kita berfoto,” katanya. Aku ingin tertawa tapi kutahan. Ia lalu membuka lemari di sebelahnya, mengambil peci dan memasangnya di kepala lalu duduk di bangku. Aku duduk disebelahnya sambil menahan tawa. Ayla ada sebelahku. Sementara Yildiz dan Thomas duduk lesehan didepan kami.
“Kamu sudah punya VCD Rifai?”
“Belum,” kataku. Sementara Ayla bilang sudah, diberi oleh Yildiz.
Master lalu membuka lemarinya lagi dan mengeluarkan dua buah CD.
“Ini untukmu. Datanglah lagi ke sini membawa orang-orang Indonesia yang lain.”
Aku tertawa, “ya, tentu”.
            Dalam perjalanan pulang, Ayla sempat bertanya apakah aku merasa Master akan menjadi guru spiritualku. “Aku tidak tahu, tapi jujur aku suka berdiskusi dengannya.”
“Ia juga menyukaimu,” komentar Ayla. “Ah, tidak mungkin, aku merasa telah berlaku tidak sopan padanya,” kataku. “Tapi aku melihatnya, dia menyukaimu,” jawab Ayla lagi. Aku tertawa, “Oh ya, mungkin karena baru kali ini ia menemukan orang yang berani konyol, haha....”. Ayla ikut tertawa.    
Malam itu aku bahagia, karena setidaknya aku merasa punya keluarga di Turki. Aku tahu siapa yang akan aku kunjungi jika aku kembali lagi ke Turki. Thanks God!




[1] Nafs dalam psikologi Sufi sering diterjemahkan sebagai “jiwa,” “diri”  atau “ego.” Makna lain dari nafs adalah “intisari” dan “nafas.” Dalam literatur-literatur Sufi nafs sering mengacu pada sifat-sifat dan kecenderungan buruk manusia.
[2] Tariqat atau tarekat berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan. Dalam perkembangannya pengertian tarekat menyempit pada sebuah institusi Sufi yang mengajarkan metode-metode tertentu untuk mencapai Tuhan. Misalnya tarekat Maulawi adalah tarekat yang berdasarkan ajaran-ajaran jalaluddin Rumi. Sema atau whirling dervish menjadi ritual penting kelompok tarekat ini. Untuk menjaga agar tak terjadi penyimpangan dari ajaran Islam maka dibuatlah kesepakatan bahwa Syekh-Syekh pemimpin tarekat haruslah mempunyai garis keturunan ataupun garis keilmuan yang bermuara ke Nabi Muhammad.