Semazen

Sunday, January 27, 2013

# 24. Istana Topkapı dan Rambut Nabi


“Apa yang disampaikan hati akan diterima oleh hati,”

  
Istana Topkapi
            Keluar dari Hagia Sophia, Ayla dan aku tidak langsung ke Istana Topkapı  melainkan singgah dulu ke sebuah café untuk mengisi perut yang sejak pagi belum terisi. Kami berjalan melewati café-café yang berderet di sepanjang jalan dekat Hagia Sophia dan berkali-kali membalas tawaran mampir dari para pelayan café dengan sebuah senyuman dan jawaban singkat, “no, thank you”.
They know we are tourist. So, they will cheat us,” kata Ayla.
Yes, of course,” kataku. Kami terus berjalan mencari café atau resto yang banyak orang lokal karena pasti lebih murah, tapi tidak menemukannya sehingga aku mengusulkan untuk mempercayai para cheaters itu. 
“Aku tahu mereka pasti mencurangi kita, tapi bagaimana kalau kita percayai saja mereka. Kalau tidak kita akan terus kelaparan.”
“Ya, kamu benar. Mari kita percayai saja mereka,” kata Ayla setuju.
            Lalu kami berhenti di sebuah café tepat di depan Hagia Sophia. Pelayannya sangat ramah, terlalu ramah bahkan. Sikap mereka sangat akrab seperti kenalan lama. Namun untuk dua omelet jamur, segelas  coklat dan kopi panas kami harus membayar tiga puluh Lira. Terasa mahal, tapi kami sudah memutuskan untuk mempercayai para cheater sehingga tidak perlu merasa dicurangi.
            Di café ini kami duduk lama sekali sambil ngobrol dan berjemur untuk menghangatkan badan. Ditempat ini kami ngobrol banyak hal: tentang hidup, tentang Master, Maulana, Ibn Arabi dan para Sufi, sambil terkadang memberi makan kucing besar dan cantik tapi sombong dan galak.  Ia melukai jari kelingkingku ketika mencoba mengelusnya.
“Kupikir Ia jarang menerima kasih sayang,” komentar Ayla.
“Kupikir juga begitu, makanya galak. Manusia juga begitu, kan?” tanyaku. Ayla mengiyakan.
“Naj, kenapa kamu belum menikah?” tanya Ayla tiba-tiba, melenceng dari yang sebelumnya kita obrolkan.
Aku perlu berpikir sejenak sebelum memberi jawaban dari pertanyaan yang tak pernah kupikirkan akan ditanyakan oleh orang asing. Pertanyaan seperti ini di tanah air teramat biasa dan sampai jenuh mendengarnya. Tapi Ayla pun menanyakannya yang sebenarnya mungkin dia bisa menebak jawabannya.
            Pengalamanku selama di Turki telah membuka banyak hal yang membuatku mengerti apa yang telah kualami hingga saat ini. Ketakutan-ketakutan telah menemukan kata-katanya sehingga bisa diartikulasikan. Kunjunganku ke Konya telah membuka banyak tabir pengalaman pahit hingga bisa diungkapkan.
“Pada awalnya karena aku takut didominasi, apalagi membawa-bawa agama sebagai pembenaran” jawabku. Ayla tertawa, “Aku bisa memahamimu?” Ia lalu menceritakan kisah hidupnya sendiri, “Kamu tahu? didalam keluargaku suamiku sangat dominan. Pada awalnya aku merasa begitu sulit karena aku harus berjuang melawan dominasi itu, tapi kemudian aku merasa percuma karena Ia tetap tak bisa berubah. Kupikir mungkin itu sudah wataknya, watak laki-laki pada umumnya. Mereka sepertinya tak bisa hidup tanpa kekuasaan. Akhirnya aku mengalah demi keutuhan keluarga. Aku berada dibelakang dia. Walaupun begitu bukan berarti aku tidak berdaya karena keputusan itu kuambil dengan kesadaran penuh dan bukan tanpa pengetahuan. Aku tetap menjadi diriku sendiri.”
“Ya, kupikir karena budaya yang berkembang selama bertahun-tahun memang mengkondisikan laki-laki untuk seperti itu. Jadi bukan sepenuhnya salah mereka. Mereka diajarkan untuk memandang kekuasaan sebagai dominasi terhadap orang lain bukan bagaimana bekerja sama dengan orang lain dan tumbuh bersama-sama. Pada kasusmu, aku tidak melihat kau tidak berdaya, Ayla.”
“Ya, aku juga tidak berasa begitu. Kamu tahu, walaupun suamiku suka mendominasi tapi aku mengakui dia suami yang baik. Dia sangat bertanggung jawab,” puji Ayla. Sejenak kami berhenti berbicara karena menikmati minuman masing-masing. Coklat panas dan kopi panas.
“Naj, lebih baik kamu menikah dengan dervish saja,” usul Ayla tiba-tiba.
Aku spontan ngakak karena tidak berpikir kearah sana, “Kenapa begitu?” tanyaku.
“Setidaknya cara berpikir mereka sudah lebih maju dibanding laki-laki kebanyakan.”
“So, menurutmu mereka lebih bisa menghargai perempuan?”
“Ya, itu yang kupikirkan.”
“Well, walaupun tak semua dervish atau Sufi terbebas  dari kecenderungan untuk memandang rendah perempuan tapi setidaknya mereka terus berjuang untuk menundukkan egonya. So, oke, usulmu, kupertimbangkan,” jawabku. Kami berdua lalu tertawa.  Seorang laki-laki dan  perempuan dimeja sebelah yang tampaknya sejak tadi ikut mendengarkan pembicaraan kami yang begitu serius akhirnya menoleh. Namun kami tetap saja tertawa.
“Kurasa orang disebelah kita mendengarkan apa yang kita bicarakan,” bisikku pada Ayla.
“Ya, aku juga merasakan itu.”
“Apakah mereka mendapat pencerahan dari obrolan kita?” candaku.
“Semoga saja.” Kami berdua lalu tertawa lagi.

Istana Topkapı


            Dari Café kemudian kami melanjutkan penjelajahan ke Istana Topkapı  yang terletak tepat dibelakang Hagia Sophia. Setelah membayar 20 Lira lagi kami langsung menuju ke sisi museum yang berisi kereta kencana, lalu ke museum keramik koleksi Sultan Ottoman. Karena kami menjelajah Topkapı  tanpa guide maka aku memotret semua keterangan-keterangan yang ada agar bisa dibaca lagi nanti dengan lebih cermat. Sekarang lihat saja semua baru nanti dibaca sejarahnya. Begitu pikirku. Bangunan, taman dan view di Topkapı  sangat indah. Istana ini tidak hanya menyajikan keindahan arsitekur Islam tetapi juga sejarah kejayaan dinasti Ustmani atau Ottoman dalam lidah Eropa. Di Istana ini pula tersimpan benda-benda bersejarah berkaitan dengan nabi-nabi terutama Nabi Muhammad yang di Turki di sebut Peygamber. Ada pedang Nabi Muhammad yang bertahta berlian, pedang Ali dan pedang sahabat Nabi. Ada baju Siti Fatimah putri bungsu Nabi dan baju Husein cucu Nabi.  Ada pula turban Nabi Yusuf. Ketika berada di bagian tengah istana Topkapı  dan melihat peninggalan-peninggalan kesultanan Ottoman kami tidak sabar ingin cepat-cepat menyelesaikannya karena ingin segera melihat benda-benda yang berkaitan dengan Nabi, terutama helai rambut Nabi. Bagi kami berdua jantung Istana Topkapi adalah benda-benda ini, yang lain-lain tidak begitu penting. Maka ketika akhirnya tiba, Ayla berkomentar, “Kita terasa lebih dekat pada Nabi sekarang,” katanya penuh kelegaan sambil benar-benar memperhatikan benda-benda bersejarah itu, yang sebenarnya tidak kelihatan karena terlampau kecil. Aku mengiyakan, sayang tak boleh di foto.
            Di semua ruangan tempat menyimpan benda-benda bersejarah ini diperdengarkan suara bacaan Qur’an. Namun ada yang tidak biasa pada bacaan itu. Bacaan itu terasa lebih hidup. Aku sudah sering mendengar qiro’ah atau baca'an Qur’an, di toko-toko Islam, di mesjid atau musholla sebelum waktu solat tiba. Seringkali hambar dan bahkan kadang mengganggu karena terlalu keras sehingga bacaan itu lewat begitu saja dikuping tanpa kesan. Tapi kali ini tidak. Apakah karena hatiku sedang sensitif sehingga mudah tergetar oleh kalam Ilahi?, pikirku ge’er.
“Ayla, kamu merasakan sesuatu dari bacaan itu, tidak?” tanyaku.
“Iya, terasa berenergi.”
“Menurutku terasa lebih hidup.”
Setidaknya aku tidak sendirian merasakannya. Kami lalu melanjutkan keruang berikutnya yang menyimpan berbagai benda bersejarah lainnya.
Ketika melewati sebuah ruangan sebelum ke ruangan penyimpanan baju Siti Fatimah aku menemukan seorang bapak berjubah hitam dan berturban hitam duduk dipodium sedang membaca Qur’an. Walaupun orang berlalu-lalang dihadapannya untuk menuju ke ruang berikutnya namun Ia tak peduli. Ia terus saja asik membaca Qur’an. Aku berdiri dekat pintu seolah-olah sedang menunggu seseorang padahal sengaja memperhatikannya. Kadang matanya terpejam dan kepalanya bergoyang mengikuti irama bacaanya sendiri. Ia terlihat terbuai dan menikmati apa yang dilakukannya. Ho ho, sekarang aku mengerti kenapa bacaan Qur’an yang kudengar disemua ruangan terasa lebih hidup. Karena memang bukan berasal dari rekaman melainkan suara langsung dari bapak itu. Aku jadi ingat kata-kata seorang teman, “Apa yang disampaikan oleh hati akan diterima oleh hati,” begitu katanya. Absolutely agree!




Si Kucing sombong dan galak


Sunday, January 20, 2013

# 23. Hagia Sophia, Perawan Maria dan Muhammad


Tubuh adalah Maria; masing-masing kita mempunyai Jesus didalamnya.
Jika kepedihan muncul dalam diri kita maka Jesus Kristus akan terlahir. Jika tidak Jesus akan kembali ke asalnya, membawa serta jalan rahasia sebagaimana rahasia kedatangannya.
Kita, oleh karenanya, akan kehilangan hikmah-hikmahnya. 
-Rumi, Fihi Ma Fihi-


            Sajak ini menjelaskan pandangan Maulana tentang penderitaan. Bagi Maulana berbagai peristiwa hidup yang menyedihkan pada dasarnya adalah jalan menuju Cinta atau jalan bagi kelahiran keakuan kita yang sejati. Penderitaan adalah bagian dari proses pematangan spiritual seseorang. Menurut Rumi, cobaanlah yang memandu kita dalam setiap keberanian. Sebelum rasa nyeri muncul dari dalam maka kesejatian kita masih berada diluar jangkauan dan takkan pernah terlahir, sebagaimana Jesus yang takkan pernah lahir jika Maria tidak mengalami nyerinya melahirkan.
o0o

Sejak kemarin Ayla dan aku sudah meniatkan untuk berangkat lebih pagi agar bisa mengunjungi Hagia Sophia, Istana Topkapi dan Grand Bazaar. Yildiz sudah berangkat kerja ketika kami bangun. Setelah minum teh panas dan beberapa biskuit kami bergegas keluar apartemen. “Aku harus memastikan kalau pintu ini benar-benar terkunci karena ini rumah malaikatku. You know, Ayla, Yildiz adalah malaikatku,” kataku sambil berusaha mengunci rumah Yildiz rapat-rapat. “Ya, Yildiz malaikatku juga. Ia malaikat kita berdua,” jawab Ayla.
“Hey, kamu juga malaikatku, Ayla, kalau tidak ada kamu aku tidak punya teman mengekplorasi Istanbul.”
“Ya, kamu juga malaikatku,” jawab Ayla. Lalu kami saling berpelukan. 
            Kami keluar apartemen dan mengambil jalan yang berbeda dari yang kemarin. Menuruni puluhan anak tangga untuk sampai ke stasiun Kabattas dan naik trem yang akan membawa kami ke Hagia Sophia. Di anak tangga tidak jauh dari apartment Yildiz, Ayla berhenti dan memungut sesuatu. “Lihat, ada bulu,”  katanya sambil menunjukkan sebuah bulu merpati. “Aku selalu bilang pada anak-anakku, kalau kita menemukan bulu, itu artinya malaikat bersama kita. Sejak saat itu setiap kali mereka menemukan bulu mereka akan berkata seperti itu.” Kami lalu tertawa. “Itu artinya, hari ini malaikat bersama kita juga ha ha ha,” kataku.
“Ya, kupikir malaikat bersama kita hari ini,” balas Ayla.
            Trem membawa kami menyusuri jalan-jalan dan pertokoan yang sudah kami lalui dengan jalan kaki kemarin. Aku masih hafal letak-letaknya begitu pula restoran tempat kami makan kemarin dan mendapatkan dua gelas teh gratis, pertama teh biasa yang kedua teh apel. Ketika kami keluar untuk melanjutkan perjalanan ke Hagia Sophia, salah seorang pelayan mengantar kami sampai perempatan dan menujuki arah selanjutnya. Sejak hari pertama aku merasa tidak asing dengan Istanbul. Kota ini seperti sudah kukenal lama sehingga aku tidak takut kesasar ataupun dikibuli orang. Walau dibelahan dunia manapun akan selalu ada orang tidak baik sebagai penyeimbang kehidupan namun aku telah memutuskan untuk mempercayai siapapun. Karena aku yakin segala sesutau terjadi karena Tuhan mengijinkannya terjadi. Dan pasti ada hikmah atau pelajaran penting di balik setiap kejadian. Sepuluh menit kemudian trem tiba di stasiun Sultan Ahmet. Kami turun dan langsung  berjalan ke taman yang memisahkan Hagiasophia dan Blue Mosque. Tujuan pertama kami adalah Hagia Sophia yang disebut Ayasofia oleh orang Turki, lalu Istana Topkapi dan terakhir Grand Bazaar.          
      Hari itu begitu cerah. Tidak banyak awan sehingga langit tampak biru menawan dan matahari bersinar tanpa hambatan. Aku dan Ayla merasa bahwa Tuhan merestui petualangan kami, karena cuaca hari itu benar-benar berbeda dengan kemarin yang hujan dan bersalju, sehingga kami merasakan suasana Istanbul yang benar-benar berbeda. “Sekarang kan hari Natal. Barangkali kecerahan hari ini adalah hadiah Natal buat umat Kristen,” candaku. “Bisa jadi,” jawab Ayla.  Lalu kami berjalan menyusuri jalan kecil di Taman dan berfoto dengan latar belakang Hagia Sophia maupun Blue Mosque. Dari taman itu kami bisa memotret Hagia Sophia dan Blue Mosque hanya dengan membalikkan badan, karena keduanya berhadapan. Aku bisa memotret Hagia Sophia dengan jelas tapi tidak Blue Mosque, karena matahari ada di arahnya, sehingga hanya tampak siluetnya.

            Ketika tiba di depan pintu masuk Hagia Sophia terlihat antrian pengunjung begitu panjang. Aku dan Ayla memilih untuk melihat-lihat yang lain sambil menunggu antrian itu memendek. Hari itu banyak orang Yunani yang datang. Ayla mengenali dari bahasanya. Yunani dan Turki tidak jauh sehingga mereka mudah berlibur ke tempat ini selain memang mereka punya ikatan kuat dengan Hagia Sophia yang kini dimiliki Turki.
            Setelah membayar 20 Lira yang ternyata hanya untuk Hagia Sophia tidak termasuk Topkapi, kami lalu masuk mengikuti arus turis yang lain. Kami sempat bergabung dengan salah satu rombongan turis untuk ikut mendengarkan penjelasan guidenya tapi ternyata bahasanya tidak kami mengerti sehingga kami memilih untuk menjelajah tanpa perlu guide. Hagia Sophia begitu besar dan megah, berwarna tanah dan batu serta kesan tuanya sangat terlihat. Berbeda dengan Blue Mosque yang terlihat indah dan terawat, Hagia Sophia terkesan kusam dengan arabesque yang tak utuh disana-sini, namun sisa-sisa keindahannya masih terlihat. Seperti nenek tua yang cantik dimasa mudanya. Walaupun banyak kerut-kerut diwajahnya tetapi garis-garis kecantikan dimasa lalunya masih terlihat. Kaligarafi tulisan Allah, Muhammad, nama-nama sahabat Nabi dalam lingkaran besar, serta kaligrafi lain masih terlihat utuh di atas mihrab dan sekeliling ruang utama mesjid.
            Di dalam banyak sekali pengunjung. Aku memotret semua bagian agar bisa mengingat detailnya jika pulang nanti. Ketika kami sampai di mihrab ada sebuah spot yang menarik perhatian pengunjung. Seekor kucing besar sedang tidur pulas tepat didepan lampu sorot yang menyinari mihrab. Ia tidak peduli dengan keramaian dan flash camera para turis yang bergantian memotretnya. Ia tetap tidur bermandi kehangatan matahari listrik dengan wajah imut penuh kedamaian yang membuat iri banyak orang yang kedinginan.


Maria

            
        Di depan mihrab aku mendongakkan kepala. Tepat diatas mihrab terpampang lukisan Bunda Maria dan bayi Jesus di pangkuannya. Bagiku inilah bagian paling menyentuh dan mengharukan dari Hagia Sophia.  Sedangkan bagi umat Kristen yang masih mentah bagian ini bisa jadi paling menyakitkan. Karena bagian ini mengingatkan mereka pada sejarah menyedihkan Hagia Sophia yang selama seribu tahun menjadi tempat suci mereka, sebelum akhirnya berubah menjadi mesjid setelah Sultan Mehmet II menaklukkan Constantinople yang kemudian bernama Istanbul.
        Keberadaan kaligrafi Allah, Muhammad dan gambar Maria secara bersama-sama bagiku mempunyai makna tersendiri. Aku mempunyai ikatan emosional dengan ketiganya. Maria seolah mewakili keberadaan kaumku yang seringkali ternafikan. Lukisan Maria berada ditengah-tengah antara kaligrafi Allah dan Muhammad yang dibawahnya adalah tempat imam memimpin sholat. Berarti selama lima ratus tahun umat Islam melakukan sholat dengan Bunda Maria dan Jesus dihadapannya walaupun lukisan itu ditutup dengan plester dan ditindih oleh ornament Islam. Bagiku keberadaan ketiga ikon ini secara bersama-sama bukan sebuah kebetulan melainkan sebuah pernyataan vulgar tentang spiritualitas perempuan  yang banyak dijelaskan oleh Maulana Rumi dan Ibn Arabi. 


         Rumi berkata, "Perempuan adalah cahaya Tuhan. Dia tidak hanya kekasih di dunia; dialah pencipta, bukan diciptakan." Bagi pemahaman parsial pernyataan ini bisa dianggap kontroversial dan menggelincirkan tetapi Rumi melihatnya dari sudut keseluruhan, sudut pandang esensi. 
     Ibn Arabi yang lahir sebelum Rumi, sudah menjelaskan tentang hakikat perempuan dan ketinggian spiritualitasnya. Melalui bab tentang Muhammad di buku Materpiece-nya, Fusul al-Hikam, yang menjelaskan tentang hikmah-hikmah para Nabi sejak Adam hingga Muhammad,  Ibn Arabi menjelaskan bahwa, manusia adalah makhluk paling sempurna dimana citra Ilahi bisa disaksikan lebih sempurna dibanding ciptaan-ciptaan lainnya. Namun diantara manusia laki-laki dan perempuan, citra Ilahi paling lengkap dan  sempurna dapat disaksikan pada perempuan. Ini karena pada perempuan citra Ilahi dapat disaksikan dengan cara aktif dan pasif sekaligus. 
     Penjelasan Ibn Arabi seringkali menimbulkan protes dari para lelaki yang tak mampu melihat dimana kelebihan spiritualitas perempuan, "kalau perempuan memang lebih sempurna mengapa tidak ada nabi perempuan?" begitu seringkali pertanyaannya. Sebagimana kebanyakan Muslim, mereka lupa pada spiritualitas Maryam, ibunda Nabi Isa (Jesus). Walaupun tak disebut sebagai seorang nabi (karena tak masuk dalam definisi yang dibuat) derajat Maryam setara Nabi. Jibril, sebagaimana kepada nabi Muhammad, juga datang langsung kepada Maryam untuk menyampaikan wahyu, dan wahyu itu diserahkan bulat-bulat kepada Maryam dalam bentuk Isa Alaihis Salam. Jika masih kurang yakin, lihatlah dari kacamata keseluruhan turunnya wahyu dari Adam hingga Muhammad. Dibutuhkan banyak laki-laki dan satu orang perempuan saja untuk dititipi wahyu oleh Tuhan. Tidakkah ini cukup menantang? Tidakkah ini karena perbedaan kapasitas wahyu yang bisa diembannya? Ya, Bunda Maryam, salam alaik...


Hagia Sophia (Aya Sofia)

            Hagia Sophia atau Kebijaksanaan Suci (Holy Wisdom) dulunya adalah sebuah gereja besar yang menjadi induk gereja-gereja Kristen bagian timur Bizantium baik Ortodok maupun Katolik Yunani. Pada awalnya Ia adalah tempat pemujaan kaum pagan namun pada tahun 360 Masehi, Raja Constantius mengubahnya menjadi gereja. Tadinya ia hanya dikenal sebagai gereja besar karena waktu itu memang paling besar sebelum para teolog abad ke empat memberinya nama Hagia Sophia atau holy wisdom yang mengacu pada Yesus Kristus. Ketika Sultan Ahmet dari Kesultanan Ottoman Turki menaklukkan Constantinople Hagia Sophia diubah menjadi mesjid, dan semua ikon-ikon Kristen ditutup dengan plester dan diganti dengan motif-motif Islam. Sejak saat itu dan lima ratus tahun berikutnya Hagia Sophia melayani umat Islam. Ketika Ataturk memerintah Turki, Ia mengubahnya menjadi museum dan membukanya untuk umum. Hagia Sophia pun melayani semuanya tanpa pandang bulu. Plester-plester yang menutup ikon-ikon Kristen pun di buka sehingga terlihatlah sejarah kelamnya. Karena baik umat Islam maupun Kristen sama-sama merasa memiliki Hagia Sophia maka butuh kedewasaan dalam beragama agar kedua umat tak terprovokasi oleh sejarah Hagia Sophia.

Bagiku, yang sedang berkelana melalui tubuh perempuan, ketiga ikon ( Allah, Maria & Yesus,
dan Muhammad) itu seolah berkata: “ketika Ruh suci menempati seorang perempuan Ia melahirkan
firman Tuhan dalam bentuk Jesus. Namun ketika Ruh Suci itu menempati seorang laki-laki Ia
melahirkan firman Tuhan dalam bentuk Al-Qur’an. Maria dan Muhammad adalah wadah
sempurna bagi manifestasi ruh Tuhan di dunia.” 

Saturday, January 12, 2013

# 22. Ayla, Guru Spiritual, dan Blue Mosque

"Hanya orang yang tidak punya keinginan untuk menjadi guru spiritual-lah 
yang layak dijadikan guru spiritual."
-Idries Shah-

            Rabu, tanggal 24 Desember, pagi-pagi sekali Yildiz sudah berangkat kerja di apotik milik orang tuanya sehingga aku dan Ayla tidak sempat bertemu dengannya. Apartement Yildiz berada di lantai 4 di daerah Taksim Square, tidak jauh dari jembatan Galata. Karena hanya berdua di rumah aku dan Ayla mempunyai kesempatan ngobrol lebih banyak. Ternyata aku dan Ayla mempunyai banyak kesamaan pengalaman dan pandangan terutama tentang spiritualitas sehingga kami menjadi sangat dekat. Ia kemudian menjadi teman yang asik menjelajahi Istanbul, maka Ia pun menjadi malaikatku yang ke sembilan belas, karena tanpa Ayla aku tidak punya teman yang asik menyusuri kota Istanbul maupun berdiskusi tentang Sufi.
            Ayla seorang Ibu empat anak berusia 47 tahun yang dua tahun lalu memilih bercerai dari suaminya karena sang suami dinilainya tidak bisa menerima jalan hidup yang Ia tempuh. Ia tidak terlihat seperti wanita usia 47 tahun atau ibu beranak empat karena Ia terlihat begitu bugar, energik dan muda. Menurutnya itu karena Yoga. Ia dibesarkan di Libya dari orang tua yang berasal dari Malta. Tapi kemudian Ia pindah ke Jerman dan menikah dengan laki-laki Jerman. Ia dinikahkan oleh Imam Mesjid Turki di Jerman.
            Ayla selalu kebingungan setiap kali orang Turki yang kami jumpai menanyakan asalnya. “Jika aku jawab Jerman orang-orang itu tidak akan percaya, jika aku jawab Malta atau Libya mereka juga tidak tahu dimana itu dan aku juga tidak begitu kenal kota itu karena hidupku lebih banyak di Jerman,” katanya. Ayla berkulit gelap sehingga orang Turki mungkin meragukan ke-Jermanannya.
            Di Jerman Ia mempunyai seorang guru spiritual, yaitu pembimbing yoganya. Seorang laki-laki yang menurutnya sangat tampan sehingga banyak murid-murid Yoga yang kebanyakan perempuan menyukainya. Tapi sang guru sadar posisinya sehingga Ia tidak tergoda. Ayla yakin Ia benar-benar tulus dan mampu mengendalikan dirinya. Namun suatu saat Ayla merasa bahwa sang guru spiritual mulai menikmati perannya sebagai guru. Ia menikmati kebutuhan dan kekaguman murid-muridnya terhadap dirinya. Sehingga Ia pun memilih meninggalkannya.
“Aku jadi Ingat Idries Shah,” kataku.
“Ya, aku juga membaca buku-bukunya,” jawab Ayla. Idrish Shah adalah seorang penulis Sufi cukup terkenal di Barat yang pernah bercerita mengenai guru-guru spiritual jenis ini. Menurutnya banyak guru spiritual yang sebenarnya membutuhkan pengikutnya bukan sebaliknya. Guru spiritual jenis ini masih menginginkan pemujaan dan pelayanan dari para pengikutnya. Menurut Idries Shah hanya orang yang tidak punya keinginan untuk menjadi guru spirituallah yang layak dijadikan guru spiritual.
            Ayla mulai mempelajari Sufism karena merasa tidak cukup di Yoga. Selain itu karena Ia ingin mempelajari jalan spiritual yang berakar dari tradisi agamanya sendiri yaitu Islam. Ia lalu membaca buku-buku Sufi dan merasa cocok sehingga tidak perlu berkoflik batin lagi karena Sufisme berakar Islam. Pengalamanku hampir mirip. Sebelum belajar tentang Sufism aku mampir dulu di Zen Buddhism, yang menurutku memudahkan aku untuk memahami Sufism.
            Ayla membaca semua buku Reshad Feild, yang salah satunya menjadi guiding book-ku ke Turki, dan buku-buku Idries Shah disamping buku-buku Sufi yang lain. Ayla datang ke Turki karena ingin bertemu langsung dengan Sufi yang selama ini hanya ia pelajari lewat buku. Ketika browsing tentang tarekat Alawi di Internet tanpa sengaja Ia menemukan website tarekat Rifa’i. Dari situlah Ia berkenalan dengan Yildiz.

***
            Istanbul pagi itu hujan. Sambil menikmati teh buatan Ayla, aku bilang, “lihat, di luar hujan, apakah kita akan di rumah saja?”
“No, aku datang ke Istanbul tidak untuk diam di rumah saja. Aku ingin ke luar melihat Istanbul.”
“Kalau begitu ayo kita keluar, karena aku juga tidak mau begitu.”
Let’s go,” katanya. Kami segera mengambil jaket, syal, tas, memasang sepatu, dan keluar pintu. Kami berdua berjalan menyusuri jalan yang ditunjuki Yildiz tadi malam. Udara terasa sangat dingin. Hujan bercampur salju disertai angin kencang sehingga aku kadang bertahan agar tak terbawa angin. Tiba di jalan raya istiklal dekat gereja besar yang ramai orang berlalu lalang kami berhenti untuk membeli payung dan sarung tangan. Di jalan itu pula kami menemukan tulisan Mevlana Kultur Merkezi atau pusat kebudayaan Maulana.
“Aku harus ke sana,” kata Ayla. “Karena saat ini aku tidak bisa ke Konya untuk mengunjungi Maulana, setidaknya aku bisa melihat museumnya yang di sini,” lanjutnya.
            Tidak jauh dari situ kami menemukan toko buku. Kami pun masuk dan menemukan banyak buku berbahasa Inggris yang menarik di lantai tiga. Dari toko buku kami melanjutkan pencarian Mevlana Museum dengan menanyai banyak orang. Kami berjalan cukup jauh tapi tidak menemukannya hingga seorang laki-laki menunjuki jalannya. Kami kebablasan lumayan jauh. Sampai dipintu gerbang museum kami membaca tulisan, “Museum Mevlana sedang dalam perbaikan, tutup hingga beberapa bulan.”
Aku spontan tertawa membawa tulisan itu, “it closes for few months, Ayla, not days. Artinya tak bisa ditunggu besok atau lusa, hahaha...". Ayla tampak sangat kecewa. Kami berdiri lama dipintu gerbang sambil mengamati bangunan di dalamnya. Tampak sebuah green dome ukuran besar yang benar-benar menyerupai green dome yang di Konya. Lingkungannya terlihat tak terawat. Banyak duan-daun berserakan. Ayla mencoba mendorong pintu gerbang namun terkunci rapat. Dari dalam pagar seekor kucing besar memelototi kami. Dengan kecewa kami melanjutkan perjalanan. “Aku harus membeli souvenir Maulana,” gumam Ayla.
            Kami bertanya bagaimana caranya ke Ayasofya pada seorang laki-laki yang kami temui ketika sedang berjalan menuruni jalan pertokoan. Seorang Turis dari Iran. Karena baru tiga hari di Istanbul ia tidak tahu banyak tentang informasi yang kami butuhkan. Sebagai gantinya Ia mengajak kami ke hotelnya agar kami bisa bertanya pada bagian informasi hotel. Dari petugas informasi itu kami tahu bagaimana caranya ke Hagia Sophia dan Blue Mosque atau Istana Topkapi. Ada trem yang bisa membawa kami kesana tapi kami memilih untuk jalan kaki.  Lumayan jauh tapi kami jadi kenal Istanbul lebih dalam. Curiosity memberi energi cukup tinggi yang membuat kami berjalan tanpa merasa lelah. 
 
            Setelah melewati jembatan Galata dan orang-orang yang memancing di pinggir jembatan kami tiba disebuah Mesjid yang di depannya banyak burung merpati. Kami sempat memotret dan berfoto dengan burung-burung itu. Sebagian merpati berderet di dinding mesjid yang menonjol. “Lihat, mereka juga kedinginan,” kata Ayla menertawai merpati-merpati itu. Kami mengira mesjid itu adalah Blue Mosque. Kami lalu masuk dan mengamati bagian dalamnya. Dinding dalam Mesjid berhiaskan ornament yang didominasi warna biru. Ayla membuka guide book Istanbul berbahasa Jermannya untuk mencari keterangan tentang mesjid itu. Motif-motif sulur dan geometri menghiasi atap tiap kubah dan dinding. Begitu pula kaligrafi. Kata Allah dan Muhammad berada di kubah utama diatas tempat Imam shalat, sedangkan nama-nama empat sahabat Nabi berada di empat penjuru ruangan mesjid. Tidak banyak orang dalam mesjid. Beberapa orang berfoto-foto di dalamnya. Aku sempat berpikir, mesjid ini tidak terlalu istimewa untuk menjadi sangat terkenal. Kami pun tidak menemukan tulisan Blue Mosque atau Sultan Ahmet Mosque. Ketika keluar aku menemukan tulisan, “Eminönü Yeni Camii 1597-1663, New Mosque.” Artinya Mesjid itu bernama Mesjid Eminonu Baru. Bukan Blue Mosque, Tapi Ayla masih percaya bahwa itulah Blue Mosque.
            Tidak jauh dari Mesjid ada bangunan lain mirip mesjid yang ternyata adalah makam Sultan Ahmet dan beberapa makam lain. Kami mengambil kerudung yang disediakan dipintu lalu masuk dan berdo’a di dalamnya sambil mengamati interior makam yang juga tak kalah indah dengan interior mesjid.
            Dari mesjid itu kami berniat ke Ayasofya atau Hagia Sophia, sebuah gereja yang kemudian jadi mesjid lalu sekarang jadi museum, yang menurut buku tidak jauh dari Blue Mosque dan menurut yang kubaca berhadapan dengan Blue Mosque tapi disitu aku tidak menemukan tanda-tandanya. Kami lalu bertanya pada orang-orang yang kemudian menunjukkan arahnya. Kami terus saja berjalan mengikuti petunjuk yang diberikan. Orang-orang di Istanbul tidak seramah di Ankara. Mereka bersikap lebih cuek tapi lebih banyak yang berbahasa Inggris. Ya maklumlah, Istanbul kota tujuan wisata sehingga banyak kontak dengan orang-orang asing.
            Makanan di Istanbul tentu saja lebih mahal, dua kali lipat dibanding Ankara, tapi rasanya lebih mudah diterima lidah sehingga di Istanbul aku suka makan. Apa saja yang aku beli semuanya terasa enak.  Sepanjang jalan menuju Ayasofya kami sering ditegur laki-laki yang dengan ramah menawarkan bantuan tapi ujung-ujungnya ingin kami melihat karpet di tokonya. “Anda tidak harus beli,” kata para lelaki itu. Kami menolak halus dan terus saja berjalan. Ayla sudah sangat berpengalaman menjadi turis sehingga tidak mempan trik seperti itu.
“Dengan keramahan mereka itu kadang kita dibuat tidak berkutik dan akhirnya membeli sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan,” jelas Ayla. “Mereka akan terus memaksa dengan cara yang sangat sopan dan halus,” tambahnya. “Bahkan kadang menceritakan hal-hal yang menyedihkan tentang keluarganya, yang ibunya sakitlah, anaknya butuh makanlah, bla bla…bla…karena mereka ramah itulah kadang kita merasa tidak enak,” jelasnya. Aku tertawa, “dimana-mana sama saja.”
            Kami akhirnya tiba di Ayasofya. Kami keliru jalan sehingga memutari Ayasofya yang begitu besar untuk sampai ke pintu masuk. Karena kami merasa sudah terlalu sore kami tidak jadi beli tiket. Rasanya rugi membayar 20 YTL kalau hanya punya waktu satu jam untuk melihat-lihat Ayasofya sebelum tutup. Kami lalu berjalan ke mesjid di depannya. Aku yakin itulah Blue Mosque tapi Ayla masih tidak percaya karena menganggap mesjid yang pertama kami temui itulah Blue Mosque. Kami kemudian masuk untuk meyakinkan diri. Benar saja, setelah kami tanya pada orang disekitar situ, itu memang Blue Mosque. “Lalu mesjid yang kita kunjungi tadi apa?” tanya Ayla. “Little Blue Mosque,” kataku tertawa menang. “Ok, let’s name it baby Blue Mosque,” usul Ayla. 
            Kami lalu masuk, tanpa perlu membayar. Di pintu masuk sudah disediakan kantung plastic untuk membungkus sepatu yang harus ditenteng. Mesjid ini berhadap-hadapan langsung dengan Ayasofya dengan taman sebagai pemisahnya. Menurut keterangan mesjid ini memang dibangun oleh Sultan Ahmet untuk menyaingi Ayasofya. Semangat kompetisinya memang terasa. Walaupun begitu Ayasofya tetap terlihat lebih besar.
            Mesjid ini dibangun pada tahun1609-1616, dan satu-satunya mesjid yang sejak awal dibangun dengan enam menara. Pada umumnya mesjid di Turki mempunyai empat, dua atau satu menara. Mesjid ini pun menjadi contoh arsitekstur Turki klasik.  Begitu keterangan singkat di minicards yang kuambil di Hotel orang Iran itu.
            Didalam mesjid terdapat banyak pengunjung. Aku dan Ayla sering mencuri dengar keterangan para guide Turki yang menjelaskan tentang mesjid ini dan tentang Islam di Turki. Ada guide yang membawa Turis dari Indonesia, keluarga Tionghoa yang sempat melihatku tapi ragu untuk menyapa..
            Blue Mosque sangat besar dan di dalam sangat luas, sehingga mafhum kalau menjadi sangat terkenal disamping karena interiornya memang Indah. Sebenarnya tidak begitu beda dengan mesjid-mesjid yang lain, karena mesjid di Turki arsitektur dan interiornya nyaris sama semua. Yang membuatnya beda adalah ukuran dan story-nya. Disebut Blue Mosque karena memang warna motif interiornya kebanyakan biru tetapi sebenarnya tidak terlalu dominan karena yang dominant adalah krem coklat, tapi biru terlihat lebih menyolok.
            Dari Blue Mosque kami berjalan untuk mencari stasiun trem. Kami sempat keliru jalan lagi sehingga sampai disebuah pasar kecil yang menjual aneka buah-buahan dan sayuran. Sore ini Yildiz berniat mengajak kami makan ikan di restoran dekat jembatan Bosporus, sehingga aku dan Ayla harus pulang lebih awal agar masih punya kesempatan menyegarkan badan dan merapikan penampilan. 










 


Tuesday, January 8, 2013

# 21. Sufi Master


“Tuhanlah yang membuat kita mencintai Tuhan”
-Sufi Master-

            Dua jam setelah bis berangkat seorang perempuan bernama Ridade menelpon, bertanya aku sudah sampai dimana dan turun di terminal mana? Rupanya Thomas, penyair Australia yang kutemui di makam Maulana Rumi tanggal 17 Desember lalu benar-benar menyampaikan keinginanku bertemu seorang Sufi. Melalui Thomas-lah aku bertemu malaikat-malaikat Istanbul dan Sufi Master. Kusebut Thomas dan Ridade malaikat ke lima belas dan enam belas. Mereka berdua adalah calon dervish dari tarekat Rifa’i.
            Tiba di Gaziosmanpasa dua orang perempuan muda Turki sudah menungguku. Mereka melabaikan tangan diseberang jalan yang salah satunya adalah Ridade mahasiswa S3, sedangkan satunya lagi adalah Selin. Mereka berdua adalah calon anggota tarekat Rifa'i yang masih menjalani tahap test sebelum di bai'at (disumpah) menjadi anggota tarekat. Mereka kemudian membawaku ke sebuah gedung yang awalnya aku kira tempat tinggal mereka tapi ternyata rumah sang Sufi Master, guru pembimbing ruhani mereka. 

            Kami menaiki beberapa lantai hingga paling atas, lalu melepas sepatu, menggantung jaket dan syal. Ridade bertanya apakah aku membawa kerudung. “Aku sudah mempersiapkannya,” kataku sambil mengeluarkan kerudung batik yang sudah kusiapkan. Lalu kami naik ke sebuah ruangan beratap rendah, ruang paling atas bangunan. Disitu sudah berkumpul banyak orang. Di dapur yang sangat sempit dua orang laki-laki setengah baya sibuk menyiapkan piring dan makanan. Aku dibawa ke ruangan sebelah kanan dekat dapur, ke tempat sang Sufi Master dan Ibunya berada. Mereka menyambutku dengan hangat. Aku mencium tangan dan kedua pipi Ibu sang Master dan duduk disebelahnya. Aku tidak tahu bagaimana harus menyalami sang Master sehingga aku memilih mengangguk dan tersenyum kepadanya. Ridade lalu memperkenalkan aku sekaligus menjadi penerjemah. Malam itu tidak hanya aku yang menjadi tamu asing di dalam ruangan itu. Ada seorang perempuan dari Jerman bernama Ayla yang lebih dulu tiba.
            Setelah bertanya kabar dan bagaimana perjalanan dari Ankara sang Master bertanya tentang tarekat di Indonesia. Berdasarkan bacaan aku jelaskan bahwa di Indonesia banyak sekali tarekat atau Sufi Order, mulai dari Naqsabandiyah, Qadiriyah, Chistiyah, Tijaniyyah, dan Rifaiyyah bahkan Maulawi juga ada. Tapi tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah paling besar di Indonesia. Ia mengangguk-angguk. Lalu menjelaskan sesuatu pada murid-muridnya. Tak lama kemudian Ia menyuruhku ke ruangan sebelah untuk bergabung dengan yang lainnya.
            Diruangan sebelah yang tak begitu besar dan juga beratap rendah ini telah berkumpul sekitar dua puluh orang laki-laki dan perempuan dengan wajah yang berbeda-beda. Aku satu-satunya yang berwajah Asia Melayu. Selebihnya adalah wajah-wajah berhidung tinggi. Selain anggota tarekat Rifa’i sendiri yang berasal dari Turki, ada juga tamu dari Jerman, London, dan Australia.
            Dinding ruangan dipenuhi oleh kaligrafi dan foto-foto berbingkai. Kaligrafi-kaligrafi itu mungkin karya sang Master sendiri yang memang jago membuat kaligrafi selain bermain musik dan mencipta lagu. Sebagian besar laki-laki dalam ruangan ini memegang alat musik. Seorang laki-laki agak tua memegang sejenis kecapi; satu orang memegang ney; dua orang memegang rebana dan beberapa yang lain memegang alat yang tidak aku tahu namanya. Ia dibunyikan dengan cara dihentakkan kelantai. Alat ini mengeluarkan bunyi berisik yang menggugah semangat tempur.  Mereka lalu memainkan lagu yang bernada mars. Sang Master juga bernyayi. Aku hanya menangkap kata Allahu akbar yang diucapkan Allahu ekber, selebihnya bahasa Turki. Tiba-tiba seseorang menyapaku, “Hi Naj,” yang setelah kutoleh ternyata Thomas sang penyair Australia yang duduk berjarak satu orang laki-laki disebelahku. Ia memegang alat musik berisik itu sementara laki-laki disebelahku memegang kamus Turki-Jerman.
            Aku bertanya apakah aku boleh memotret. Selin lalu keluar untuk bertanya pada Master. Tak lama kemudian Ia kembali lagi dengan, “yes, you can make photo.” Agar tak mengganggu konsentrasi aku tak menggunakan flash. Ketika Ney dan kecapi dimainkan aku memilih untuk berkonsentrasi dan betul-betul mendengarkannya. Mereka memainkan musik dan menyanyikan lagu puji-pujian dengan khusuk. Ketika seorang laki-laki agak tua bernyanyi dengan vocal penuh Selin menjelaskan bahwa Ia seorang penyanyi yang cukup terkenal di Turki dan Ibunya seorang artis terkenal pula. Laki-laki itu terlihat benar-benar terserap oleh lagu yang dinyanyikannya. Matanya merem melek.
            Setelah sesi musik dan nyanyi usai, aku diminta untuk masuk kembali ke ruangan Master. Ia duduk di Kursinya sementara aku duduk lesehan didepannya. Seorang laki-laki setengah baya memberiku segelas teh dan dua potong kue yang manisnya minta ampun dalam piring kecil. Master lalu bertanya tentang namaku. Setelah kujawab ia lalu menjelaskan tentang arti namaku pada orang-orang yang ada di situ dalam bahasa Turki. Kali ini penerjemahku bernama Yildiz. Setelah itu Ia bertanya tentang nama gunung di Jawa yang beberapa waktu lalu meletus. Rupanya gunung Merapi membuat Jawa dan Yogyakarta cukup dikenal di Turki apalagi setelah disusul Gempa Jogja.
            Master berkulit putih, hidung lancip, bermata biru dan berbibir tipis dengan kumis agak-agak pirang. Ia terbilang tampan. Wajahnya setipe wajah Ataturk, tipikal wajah Istanbul yang mungkin dominan gen Eropanya. Ketika kutanya umurnya Ia menjawab dengan jawaban yang tidak biasa. Ia bilang  secara lahir dan spiritual ia berumur 43 tahun. Aku bertanya lagi apa yang ia maksud umur secara lahir dan spiritual. Ia menjelaskan bahwa umur jasmani dan ruhaninya sama, yaitu 43 tahun. Karena wajahku masih mengernyit penuh tanda tanya sang Ibu memberi isyarat keperutnya. “Oh, itu berarti proses spiritual anda sudah dimulai sejak dalam kandungan?” tanyaku. Master membenarkan. Ia bilang ibunya selalu berzikir “lailahailallah lailahailallah” ketika hamil dirinya.
“Oh, pantas kalau anda mempunyai kualitas seperti itu,” komentarku sok tahu. 
Aku bertanya lagi, “Apakah anda memang keturunan Sufi?” Ia bilang Ayahnya seorang Dervish begitu pula ibunya. Lalu ia balik bertanya, “Apakah kamu seorang Sufi?” Aku tertawa, “Saya tidak tahu.”
“Kamu Sufi,” katanya menuduh, entah main-main atau serius, aku tidak tahu.
“Iya, Sufi alias suka film,” jawabku dalam hati. 
“Di Turki Sufi disebut Dervish, bagaimana dengan di Indonesia?” tanyanya. Aku bingung, kuberikan saja jawaban yang kuberikan kepada Prof. Sebahattien, Profesor pertanian yang sempat juga berdiskusi tentang Sufi denganku di Fakultas Pertanian, Universitas Ankara. Aku bilang masyarakat lokal mungkin mengenalnya sebagai wali atau sunan karena kata Sufi hanya umum di buku-buku. Ia menjelaskan bahwa Sufi atau dervish berbeda dengan wali. Ia kemudian menunjuk pintu. Menurutnya dervish atau Sufi masih diambang pintu. Sedangkan wali sudah didalam pintu. Dervish dalam bahasa Turki memang berarti ambang pintu. 

Melihat makanan dan minumanku masih banyak, Master bertanya, "kenapa tidak dimakan kuenya?"
"Karena saya tidak ingin kehilangan sediktipun dari kata-kata anda," jawabku. 
"orang akan mendengar apa yang patut ia dengar," katanya. Aku mengiyakan saja.
            Lalu kujelaskan defenisiku tentang Sufi yang sangat sederhana yaitu pecinta Tuhan. Master kemudian mengatakan bahwa tidak hanya pecinta Tuhan, seorang Sufi adalah orang yang juga dicintai Tuhan. Karena Tuhanlah yang memilihnya dan menempatkan cinta itu dalam dirinya.

            Kata-katanya mengingatkan aku pada Umi, seorang Sufi perempuan yang pernah kuwawancarai yang diam-diam kemudian kuanggap guru. Ia mengatakan bahwa seorang hamba Allah tidak hanya klaim sepihak bahwa ia adalah hamba Allah hingga Allah sendiri mengakui bahwa ia adalah hamba-Nya. Ia menjelaskan bahwa pada saatnya nanti ketika kita sudah berproses dalam peleburan wujud dengan Tuhan, maka Allah sendiri yang akan mengatakan, “Pada saat ini Kuakui ke-Hambaan-mu, Kuakui ke-Akuanmu, Kuakui ke-Engkauanmu, Kuakui ke-Diaan-mu, dan Kuakui ke-Kamianmu.” Kata-kata Umi inilah yang membuatku mudah mencerna penjelasan Sufi Master tarekat Rifa'i ini. 
    Orang-orang satu persatu mulai berpamitan sehingga conversation itu terhenti. Laki-laki dan perempuan mencium tangan Master dengan bibirnya lalu meletakkan tangan itu di dahinya, lalu berjalan mundur hingga mencapai pintu sehingga tidak tampak berjalan membelakangi Master. Ketika aku juga harus pulang aku mencium tangannya dengan kikuk.  Ketika aku berpamitan pada sang Ibu, Ia mencium pipi kanan dan kiriku sambil membacakan Sholawat. Malam itu aku menginap di rumah Yildiz, tangan kanan sang Master yang menjadi malaikat ke delapan belasku. Yildiz seorang perempuan tinggi, cantik, bermata biru, dan berambut pirang, umur 34 tahun. Karena ia belum menikah maka aku dan tamu lain dari Jerman bernama Ayla, bisa leluasa di apartmennya. 

Monday, January 7, 2013

# 20. Road to Istanbul Mencari Sufi


“Lain kali kalau bis mau berangkat, ke internet lagi saja, biar ketinggalan lagi.”
-Laki-laki terminal-

            Tanggal 23 Desember aku memutuskan untuk ke Istanbul sendirian dan tidak tahu akan menginap dimana, pokoknya berangkat dulu, urusan menginap dipikirkan belakangan. Nekad.
Sehari sebelumnya aku sudah browsing motel murah di Istanbul yang tidak jauh dari Hagia Sophia dan Blue Mosque. Tapi semurah-murahnya motel di Istanbul tetap saja mahal untuk ukuranku, sehingga aku perlu berdo’a semoga ada keajaiban yang membuatku tak perlu membayar mahal. Aku telah mengontak Arifan, malaikat kedua yang kutemui di Bandara Istanbul untuk menjemputku di terminal bis dan kemudian kami akan bersama-sama mencari penginapan murah. Namun semuanya berubah karena campur tangan Malaikat  Sufi Istanbul.

Kualat

            Hari itu aku merasa kualat pada dua bis yang akan kutumpangi. Sesampainya di terminal aku langsung menuju loket bis Konzet untuk membeli tiket ke Istanbul tanpa memberi kesempatan pada calo-calo terminal yang coba mendekati. Sayang bis berjudul Konzet yang sering kutumpangi baru akan berangkat jam 12.30 padahal saat itu baru jam 10.30. Aku bertanya apakah ada bis lain yang berangkat lebih awal. Mereka bilang tidak ada. Aku tidak percaya lalu pergi ke loket informasi. Lumayan petugasnya sedikit berbahasa Inggris, tapi tetap saja Ia tidak mengerti kalo aku mencari bis yang berangkat lebih awal sehingga urusanku mencari rumit dengan orang-orang di terminal bis dan menjadi pusat perhatian. Seorang laki-laki mendekatiku. Dengan bahasa isyarat Ia memintaku mengikutinya. Aku pikir Ia mengerti apa yang kumaksud. ternyata tidak. Ia membawaku ke loket bis lain tidak jauh dari Konzet. Bis Lider. Di loket bis kedua ini ada petugasnya yang fasih berbahasa Inggris, wajahnya mirip Christoper Reeve, salah satu pemeran superman tahun 80-an. Ia menawariku tempat duduk paling depan. Tapi setelah kutanya kapan bisnya berangkat ia bilang 12.30. What?! Sama aja. Dengan alasan tidak ada wireless akhirnya aku memilih kembali ke Konzet, padahal sebenarnya aku tidak butuh wireless. Entah karena mereka sudah jengah liat aku yang bawel mereka bilang sudah tidak ada lagi tempat duduk. Huh! Karena sudah malas berbicara dengan orang-orang terminal akhirnya dengan sedikit malu aku kembali ke Lider. Tempat duduk nomor satu yang tadi ditawarkan sudah tidak ada lagi. Mereka memberiku tiket ke Istanbul dan menyuruhku menunggu di peron 26.
            Karena masih ada waktu sekitar satu jam aku memilih untuk ke warnet di terminal yang cuma beberapa meter dari peron untuk mengecek email dan membalas pesan di facebook. Sepuluh menit sebelum jam keberangkatan aku keluar warnet dan langsung menuju bis Lider yang saat itu sudah parkir didepan peron 26. Aku bertanya pada orang-orang dipintu bis apakah bis ini yang akan ke Istanbul. Ia bilang bis ini ke Adana, yang ke Istanbul sudah berangkat sepuluh menit yang lalu.

WHAAAAAT!!!!!!!!!!. Untuk beberapa saat mukaku pastilah tidak karuan. Bapak itu menunjukkan jam di Hp-nya 12.35. Aku juga menunjukkan jam di HPku 12.25. Melihat wajahku yang tidak jelas bentuknya karena ketinggalan bis seorang bapak-bapak tua bertanya dengan bahasa Turki dan bahasa Isyarat, “kamu kemana saja sehingga bisa ketinggalan bis?” Aku bilang, “Internet.” Ia tertawa lalu berkata yang menurutku ia bilang, “Lain kali kalau bis mau berangkat, ke internet lagi saja biar ketinggalan lagi,” katanya sambil tertawa sehingga aku ikut tertawa. “Hahaha…ya ya, saya tahu.” Ia lalu membawaku ke loket Lider dan menjelaskan semuanya. Singkat cerita akhirnya aku naik bis Lider berikutnya yang berangkat jam 15.30. Maka aku menunggu tiga jam lagi tanpa berbuat apa-apa dan kedinginan walau sudah berjaket tebal. Aku sudah malas berurusan dengan orang terminal dan mencari orang Turki yang berbahasa Inggris. Hasrat hati ingin berangkat dengan bis paling awal malah dapat paling akhir.

Penumpang Istimewa

            Tapi kesialan itu kemudian tergantikan dengan hal lain yang cukup menghibur. Didalam bis aku merasa seperti penumpang istimewa karena menjadi satu-satunya penumpang asing. Kondektur bis tampaknya penasaran oleh tampang non-Turkiku. Ia terlalu sering bolak-balik ke kursiku untuk memberi snack, menawari minuman, mengecek minumanku, sudah habis atau belum, atau barangkali mau tambah, dan menawari koran untuk dibaca. Aku sering menolak ketika ia datang menyodorkan minuman. Namun karena merasa tak enak akhirnya aku meminta  su alias air putih ketika Ia datang lagi. Tidak berapa lama kemudian Ia datang lagi membawa segelas plastic coke padahal aku tidak minta dan langsung kuminum sedikit untuk menghargainya. Selang lima belas menit ia datang lagi menyodorkan koran yang setelah kuamati ternyata berbahasa Turki. “Turkce” kataku. Ia mengangguk. Aku tertawa dan memberi isyarat kalau aku tidak bisa Turkce alias bahasa Turki jadi tidak mungkin bisa membacanya, tapi terima kasih atas kebaikannya. Ia tersenyum dan bertanya sesuatu dalam bahasa Turki, tapi aku tidak mengerti. Komunikasi pun tidak lancar sehingga Ia pun pergi. Setelah coke yang ia berikan habis tidak lama kemudian aku mulai merasa ingin pipis padahal bis baru akan berhenti di restoran sekitar tiga jam lagi. Ketika ia lewat kusodorkan gelas kosong itu padanya. Tidak berapa lama kemudian Ia datang dengan segelas coke lagi. Dengan wajah terperangah aku menerima gelas plastik berisi minuman bersoda itu lalu tertawa. “Lu nyuruh gue kembung ya,” kataku dalam hati. Ia ikut tertawa. Sejam sebelum tiba ia sempat bertanya aku sudah menikah atau belum dengan menunjukkan cincin logam di jari manisnya. Aku tertawa dan menggeleng. Entah apa yang Ia pikirkan kemudian aku tak  peduli yang penting dia sudah menetralkan perasaan agak sial hari ini. Thanks, God!

Sunday, January 6, 2013

#19. Seribu Wajah Turkish



            Aku tak tahan merasakan duka kematian nenekku sehingga aku memilih mencari hiburan. Walaupun akalku sudah menerima kematian sebagai kewajaran tapi rasa duka itu tetap saja ada. Begitu tidak nyaman dihati sehingga aku memilih untuk mencari pengalih.
            Aku keluar asrama menuju Kızılay, ke lokanta tempat biasa aku makan siang, berniat mencari hiburan. Siapa tahu ada hal-hal lucu lain di Turki yang bisa kutertawai sehingga aku lupa pada dukaku. Mas Nasir sudah menungguku disana.
            Sejak pagi ada suara gemuruh di luar kampus. Tapi dukaku membuatku tak peduli pada suara itu. Akhirnya aku keluar kamar dengan jaket merah andalan, syal dan kupluk penghalau dingin dikepala. Seperti biasa aku hanya bisa menyapa, “günaydın” selamat pagi, pada penjaga asrama Milli Pyanggo, padahal sudah tak pantas lagi disebut pagi. Mereka membalas dengan senyuman. Didepan pintu kupasang kedua sarung tanganku lalu melangkah sambil memainkan embun dari nafasku. Dingin sekali hari itu.
            Hampir semua permukaan taman tertutup oleh salju. Begitu pula pohon-pohon cemara. Daunnya berubah menjadi putih diganduli salju. Tinggal diberi lampu hias maka cemara itu akan menjadi pohon natal yang cantik, pikirku. Aku berjalan menuruni kampus dengan kaki mencengkram tanah agar tak jatuh oleh jalan licin karena salju.
            Dipintu gerbang kampus, puluhan tentara berseragam hitam berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Setiap hari selalu ada tentara disitu tapi kali ini lebih banyak. Wajah lain dan penampilan mencolok membuat mereka menolehku. “Yes, I am Indonesian” jawabku dalam hati, menjawab pertanyaan tak terlontar yang diwakili tatapan mereka sambil berjalan dengan cueknya.
            Tiba dijalan raya depan kampus Universitas Ankara, ratusan bahkan ribuan orang berjalan dengan tertib sambil meneriakkan sesuatu. Aku diam sejenak dan celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Mencoba memahami apa yang terjadi. Hampir di semua sisi jalan puluhan tentara berbaris dengan waspada. Ada demonstrasi besar-besaran rupanya.
            Dibawah gerimis rapat ribuan orang Turki tumpah ruah dari berbagai arah jalan menuju pertemuan jalan-jalan besar. Dengan sepatu boot, rompi putih bertuliskan sesuatu yang tak kumengerti, jas hujan transparan aneka warna sesuai asal mereka, dan sebuah papan demo, mereka bergerak ke satu titik di ujung jalan sambil meneriakkan sesuatu yang juga tak kumengerti. Aku menjadi manusia buta huruf kala itu. Aku berniat menuju stasiun metro agar bisa secepatnya sampai lokanta. Mas Nasir pasti sudah menungguku disana. Namun sisi jalan dijaga oleh tentara sehingga mau tak mau aku harus berjalan ditengah jalan bersama para demonstran. Dengan jaket merah ala Santa Clause, tanpa jas hujan berwarna, tanpa atribut demo, dan tubuh mungil berwajah Asia, aku menjadi agak mencolok. Dengan mudah mereka bisa mengindentifikasi bahwa aku bukan bagian dari mereka. Sesekali para demonstran yang berjalan disebelahku menatapku dengan tanda tanya yang dengan cepat kuberi isyarat bahwa aku bukan makhluk berbahaya. Hanya pelancong bergembira yang sedang menikmati demonstrasi ala Turki. Aku berjalan bersama mereka sambil berpikir proses pengorganisasian demo ini sehingga bisa berjalan dengan tertib dan rapi. Feelingku mengatakan bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan sehingga dengan santai aku berjalan bersama mereka sambil sibuk memotret. Kalaupun terjadi sesuatu padaku pasti akan jadi berita besar di Indonesia, pikirku. Headline news mungkin akan berbunyi, “Seorang demonstran Indonesia cidera di Turki.” Aku tak berani membayangkan hal lain selain cidera ringan saja.
            Stasium metro ternyata ditutup dan dijaga tentara. Sehingga aku harus kembali ke jalan dan bergabung kembali dengan para demonstran. Sambil jalan kumanfaatkan hari itu untuk memotret aneka wajah orang-orang Turki. Setidaknya aku tidak perlu mendatangi seluruh daratan Turki untuk melihat karakter wajah-wajah mereka. Hari ini mereka tumpah ruah dihadapanku. Siap kupotret.
            Letaknya yang dipersimpangan antara benua Asia dan Eropa membuat wajah-wajah di Turki sangat variatif. Banyak pencampuran gen disitu sehingga menghasilkan fenotip yang beragam.  Maka menjadi agak sulit untuk menentukan karakter yang menonjol dari wajah orang Turki. Sebagian ada yang cenderung ke timur tengah sebagian lain cenderung ke Eropa dan sebagian lain diantara keduanya dengan warna mata dan rambut yang berwarna warni. Aku menemukan banyak wajah telenovela diantara para demonstran.
            Dua orang laki-laki demonstran berwajah mirip dengan sangat antusias menerima permintaanku untuk kupotret. Mereka pun lalu sibuk mengatur gaya. Dengan salah satu tangan memegang papan demo dan satu tangan yang lain mengacungkan dua jarinya ke kamera, serta topi sedikit miring, mereka pun siap beraksi. Jadinya gaya rapper tanggung yang ceria.
            Dipertemuan lima jalan sebuah monitor sangat besar sudah menanti. Beberapa  jalinan ratusan balon berwarna merah, biru dan putih mebentang didepannya dengan sebuah balon sangat besar ditengahnya. Beberapa sound system ukuran besar sudah teronggok disitu. Monitor besar itu memperlihatkan para demonstran. Aku mencari gambarku dimonitor siapa tahu ikut disuting. Tapi sia-sia. Suara musik yang mengalun keras membuat para demonstran bergoyang sambil meneriakkan protesnya yang tidak aku mengerti. Demo ini lebih mirip hajatan. Aku pun ikut larut bersama mereka dengan tujuan yang berbeda, melupakan duka kehilangan.
            Tiba-tiba tepuk tangan sangat meriah diantara dentuman musik yang membahana. Rupanya beberapa orang telah berhasil menaiki sebuah gedung tinggi dan membentangkan spanduk protes diatas balkon. Semua mata tertuju keatas balkon sambil bersorak-sorai penuh kemenangan. Aku sibuk mengabadikan momen-momen itu dalam kameraku sambil ikut bersorak-sorai.
            Para demonstran itu adalah para apoteker, mahasiswa farmasi, teknisi farmasi, pasien, dan orang biasa yang turun ke jalan untuk memerotes kebijakan pemerintah Turki tentang farmasi yang dinilai merugikan para apoteker dan pasien. Begitu keterangan beberapa demonstran yang berhasil kuwawancarai.