“Musik
lebih jujur dibanding kata-kata”
Tanpa
disadari ternyata hari sudah sore. Istana Topkapi begitu luas sehingga menyita
banyak waktu untuk menjelajahi semuanya. Nanti malam adalah malam Juma’t, kami
berniat ikut acara dzikir rutin tarekat Rifai, itu artinya kami harus tiba di
apartment Yildiz lebih awal agar punya
waktu untuk menyegarkan badan setelah seharian berkeliling Hagia Sophia
dan Topkapi. Karena memang sudah tidak memungkinkan Ayla dan aku membatalkan
kunjungan ke Grand Bazaar. Aku masih punya waktu untuk ke Istanbul lagi sebelum
akhirnya pulang ke Indonesia sehingga masih ada kesempatan untuk mengunjungi
tempat-tempat yang belum dikunjungi hari ini, sementara Ayla besok siang sudah
harus kembali ke Jerman.
Kami
tiba di apartment lebih awal dibanding Yildiz sehingga ketika Yildiz datang
kami sudah dalam keadaan ready to go
alias siap berangkat. Kami bertiga berangkat menuju rumah kelahiran sang Master
dengan mobil sedan mungil Yildiz. Rumah yang berbeda dari yang kukunjungi pada
hari pertama datang. Dengan landscape
yang berbukit-bukit dan jalan naik turun yang curam maka butuh keterampilan
lebih untuk menyetir mobil di Turki. Yildiz termasuk yang sudah sangat mahir
untuk medan seperti ini. Ia dengan lincah menyetir dijalan-jalan sempit di
sela-sela bangunan bertingkat yang memenuhi Istanbul. Setelah berkendara
sekitar dua puluh menit Ia akhirnya berhenti di depan sebuah toko roti,
memarkir mobil dan masuk ke toko roti itu. Aku dan Ayla keluar. Setelah itu
kami bertiga berjalan naik. Di perjalanan tak jauh dari rumah yang kami tuju
kami berpapasan dengan laki-laki tinggi besar yang ternyata adalah kakak
Yildiz. Ia mengucapkan salam pada kami dengan tangan kanan ke dada kiri dan
sedikit menunduk yang dibalas dengan gerakan serupa oleh Yildiz. Aku suka
dengan gaya salam mereka, terasa lebih hangat dan dekat.
Lukisan
Sufi
Kami
memasuki rumah kayu bertingkat yang tak begitu besar. Setelah meletakkan sepatu
dan menggantung jaket kami lalu naik ke lantai dua. Aku sempat berpapasan
dengan Thomas –the Autralian poet- yang baru keluar dari kamar kecil. Rupanya ia
telah lebih dulu tiba. Kami kemudian memasuki ruangan yang juga tidak begitu
besar namun muat banyak orang karena di tata sedemikian efektif sehingga
walaupun tidak luas tetapi tidak terkesan sempit. Berbagai gambar bunga dan
pemandangan dalam bingkai kecil-kecil menghiasi keempat dinding bersama dengan
kaligrafi keramik, beberapa foto, dan tentu saja lukisan whirling dervish yang sudah menjadi ikon spiritualitas Turki. Aku
tidak tahu banyak tentang lukisan atau teknik menggambar tapi malam itu aku
bisa menilai kalau semua lukisan kembang dan pemandangan yang ada di ruangan
itu dibuat dengan sangat detil, cermat dan penuh dedikasi. Sederhana tapi hidup
sehingga begitu sedap dipandang. Kalau aku punya satu rasanya aku akan senang
setengah mati. Setidaknya untuk contoh tentang lukisan yang bernyawa.
Ketika
kami masuk sudah ada beberapa orang perempuan di dalam ruangan itu yang salah
satunya adalah Ibu sang Master. Aku memberi salam dan mencium pipi kanan dan
kiri mereka sebanyak tiga kali, kiri-kanan-kiri, lalu duduk diantara mereka.
Yildiz menjelaskan aku dan Ayla pada orang-orang yang baru pertama melihat kami
malam itu. Mereka umumnya berbaju atau berkerudung hitam sehingga semakin
menonjolkan wajah putih mereka. Hanya aku dan Ayla yang berbeda. Aku berbaju
lengan panjang hijau tua dan berkerudung batik sementara Ayla berkaos panjang
berbalut rompi. Setelah suasana mulai mencair aku meminta ijin untuk memotret
semua yang kuanggap menarik di ruangan itu, termasuk berfoto bersama mereka
terutama Ibu Sufi yang adalah Ibu sang Master.
Tidak
berapa lama kemudian dua orang perempuan datang yang salah satunya adalah
pelukis kembang dan pemandangan yang tertempel di dinding itu. Menanggapi
pujian dan pertanyaanku atas lukisan-lukisannya, Ia lalu bercerita kalau
sebenarnya Ia sudah mulai menggambar sejak usia tiga tahun namun mulai melukis
setelah mempelajari tasawuf atau Sufisme. Aku tertawa karena sudah menemukan
relasi antara keindahan lukisan itu dengan tasawuf. “Pantas,” kataku. Ia
tersenyum mengerti.
Tujuan
utama Sufisme adalah untuk mengenali diri sendiri. Karena doktrin utama ajarannya adalah, siapa yang mengenali dirinya maka ia akan mengenali Tuhannya. Para Sufi meyakini bahwa
ketika kita mengenal jati diri kita yang sesungguhnya kita pun akan mengenal
Tuhan, karena manusia dibuat menurut citra Tuhan. Metodenya, selain sholat, puasa dan kehati-hatian dalam mengkonsumsi makanan, adalah dengan dzikir
atau mengingat Tuhan terus menerus sehigga tak ada yang lain di hati selain
Tuhan. Lewat dzikir inilah rasa terdalam akan diolah agar semakin peka sehingga akhirnya mampu merasakan kebersamaan
dengan Tuhan setiap saat. Melalui dzikir terus-terusan ini berbagai konstruksi yang melapisi kesadaran kita perlahan-lahan coba dikuak agar mampu melihat segala sesuatu dengan jernih dan bebas dari segala prasangka sehingga dapat melihat segala sesuatu apa adanya. Sehingga pada saatnya akan mampu merasakan bahwa dimanapun bumi dipijak disitu kita temukan kasih
sayang-Nya dan kemanapun wajah dipalingkan disitu kita temukan kelembutan-Nya.
Ketika seseorang sudah mencapai tingkat ini maka karya yang lahir darinya
adalah karya yang bersifat Ilahiyah
atau karya yang merefleksikan keindahan Tuhan. Artinya sebuah karya yang lahir
dari kedalaman rasa, dari sebuah integritas pribadi yang sangat tinggi. Karya
ini dilahirkan bukan untuk mengesankan orang agar mendapat pujian atau kekaguman. Atau
dibuat tergesa-gesa karena mengejar setoran. Tapi semata-mata adalah ungkapkan
keindahan Sang Maha Indah yang mencintai keindahan.
Jamuan
Sufi

Meja
bundar berkaki pendek yang tadinya dibiarkan bersandar di depan lemari kecil
kemudian dibentangkan di tengah-tengah kami setelah bagian bawahnya di beri
alas taplak besar. Potongan roti kemudian disusun melingkar di tengah meja,
begitu pula piring gelas dan sendok. Di dalam lingkaran roti ada bubuk sambal
cabe merah dan garam dalam wadah kecil. Aku memperhatikan semuanya dengan
seksama. Satu per satu makanan pun datang. Ada asinan sayuran dan sejenis
martabak diatas meja. Semua lalu turun dari kursi dan duduk lesehan melingkari
meja bundar, mengambil sedikit garam dan menelannya. Menurut salah seorang Sufi yang
kuwawancarai, makan sedikit garam sebelum makan merupakan kebiasaan Nabi
Muhammad yang berfungsi untuk menyiapkan lambung sebelum di isi makanan. Maka
akupun berpikir mereka melakukannya untuk alasan yang sama. Secara bergiliran piring-piring di isi dengan
corba atau sup yang kemudian dimakan
bersama roti. Aku sempat kuatir tidak bisa memakannya mengingat banyak makanan
Turki yang sempat kucoba tidak aku suka. Ternyata tidak. Aku suka sekali,
termasuk asinan sayur yang super asem itu, karena aku memang sangat lapar.
Mereka
makan tanpa tersisa alias piring bersih sampai licin sekali. Beginilah
penghargaan mereka terhadap makanan, pikirku. Aku pun melakukan hal yang sama. Padahal
sebelumnya sering meninggalkan sisa makanan yang banyak. Tapi itu bukan
salahku. Salah porsi makan orang Turki yang terlalu besar dibanding kapasitas
perutku. Ketika mereka meminta piringku untuk di isi makanan berikutnya yaitu
sup kacang-kacangan aku hanya minta sedikit. Satu sendok saja karena takut
kekenyangan. Aku takut mengantuk karena sehabis ini akan ada dzikir. Tapi rupanya
para lelaki yang berada di ruangan lain telah memulai ritualnya. Ketika kami
sedang makan kami mendengar mereka mengumandangkan doa yang membuat kami
menghentikan makan dan mengangkat tangan, ikut berdoa. Setelah itu kami melanjutkan makan hingga
selesai dan dilanjutkan dengan minum teh sambil ngobrol. Suasana malam itu
begitu hangat dan akrab. Aku tidak merasa sebagai orang asing diantara mereka
walaupun aku tidak mengerti bahasa Turki. Akhirnya keinginanku tercapai juga
untuk berada di tengah-tengah keluarga Turki.
Master
galak
Yildiz
kemudian mengajak aku dan Ayla keruangan lain menemui sang Master. Kami masuk
dan duduk di dekat jendela di sisi kiri Master. Yildiz duduk didepannya menjadi
penerjemah kami. Dinding dibelakang Master dipenuhi bingkai kaca berisi foto Syekh-Syekh
tarekat Rifai, termasuk Master sendiri dan sebuah kaligrafi besar ditengahnya.
Setelah mengamati kami berdua, Master kemudian bertanya apakah kami punya
pertanyaan. Aku diam karena merasa tidak ada yang perlu aku tanyakan. Aku
datang untuk mengamati dan merasakan, pikirku. Aku masih berpegang pada buku Reshad yang jadi guiding book-ku, untuk berhati-hati agar tidak menanyakan pertayaan yang berasal dari pikiran.
Aku merasa semua pertanyaan yang ditanyakan oleh pikiranku telah selesai di
jawab oleh guru-guruku di Indonesia dan buku-buku Sufi. Sehingga kalau aku
masih menanyakannya, apakah aku tidak akan dianggap mengetes? Aku ingin
bertanya dengan jujur. Yaitu bertanya hal-hal yang belum aku tahu. Tapi
celakanya untuk saat ini aku tidak tahu apa yang belum aku tahu, tapi aku sadar
bahwa masih ada yang belum aku tahu sehingga aku berharap ia akan memberi tahu.
Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara memformulasikan pertanyaannya sehingga
yang tidak aku tahu itu bisa kuketahui.
Karena
aku diam saja Ayla kemudian mengajukan pertanyaan tentang shalat istikharah (sholat yang dilakukan untuk meminta petunjuk Tuhan dikala dalam keragu-raguan dalam mengambil keputusan).
Ayla bercerita bahwa setiap kali ia punya pertanyaan Ia selalu shalat
Istikharah, setelahnya ia akan dapat jawaban dari dalam. Master menjawab dengan
cara yang cukup mengejutkan. Ia terkesan galak, tidak seperti yang kukenal di
hari pertama, yang ramah dan suka tersenyum sehingga aku tidak kikuk. Baginya
shalat istikharah saja tidak cukup. “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa
jawaban itu benar-benar dari Allah bukan dari nafs kita sendiri? Kita jangan hanya mengandalkan shalat istikharah
tapi betanyalah pada ahlinya yang sudah menguasai nafs,”
jawab Master. Kami diam. Master lalu
beralih ke aku.
“Apakah kamu punya pertanyaan?”
“Tidak,” kataku, “Saya meninggalkan
pikiran saya di Indonesia sehingga saya tak punya pertanyaan. Saya datang ke
Turki untuk mengalami.”
Lagi-lagi jawaban Master
mengejutkanku. “Pikiran itu penting. Bagaimana kamu akan menilai mana yang
benar dan mana yang salah jika kamu tidak membawa pikiranmu?”
Aku menganggap
Ia salah mengerti. Yang aku anggap pikiran adalah semua konsep-konsep
dipikiran, karena aku benar-benar ingin mengandalkan hati, tapi aku tidak tahu
bagaimana itu harus dijelaskan. Aku diam tak berniat menjelaskannya.
“Ya, anda benar,” kataku. Ia lalu
beralih lagi pada Ayla.
“Apakah masih ada yang ingin
ditanyakan?”
Ayla lalu bertanya lagi tentang jalan kepasrahan. Ia bertanya apakah surrender atau
pasrah bisa menjadi jalan kepada Tuhan. Cara Master menjawab mengejutkanku
lagi. Menurut Master, tidak bisa. Seseorang tetap membutuhkan pembimbing agar
bisa sampai kepada Tuhan. Ia menjelaskan dengan panjang lebar namun sayang aku
tak lagi bisa mendengarkan karena aku mulai sibuk dengan pikiran dan badanku.
Pikiranku mulai terganggu, bagaimana Master bisa menjawab tidak bisa. Bukankah
banyak jalan menuju Tuhan, dan pasrah adalah salah satunya. Bukankah itu makna
Islam yang sesungguhnya? Sedangkan badanku sibuk menahan diri agar tidak
menggigil dan gigiku gemerutuk karena malam itu terasa sangat dingin hingga ke
dalam tulang. Kulitku begitu tipis karena tak punya cukup lapisan lemak
dibawahnya. Sehingga suhu dingin dengan mudahnya menjangkau tulang
belulangku. “Oh, God, jangan biarkan aku menggigil,” doaku dalam hati, karena aku akan malu kalau kelihatan menggigil.
“Kenapa kamu diam?” tanya Master
melihat tajam kearahku. Aku merasa mendapat serangan mendadak tapi aku berusaha
agar tak terpengaruh. Aku tersenyum, “Saya sedang memanggil pikiran saya dari
Indonesia,” jawabku sambil sekuat tenaga menahan dingin. Kurasa batok kepalaku
ikut beku sehingga otakku susah diajak mikir untuk memberikan jawaban yang
lebih elegan.
Suasana kemudian menjadi hening karena
semua diam. Aku menyadari bahwa banyak hal yang belum aku tahu tentang hidup
sehingga aku berharap pertemuanku dengan Master Sufi akan memberiku cara
pandang baru terhadap hidup. Namun aku tidak tahu bagaimana menanyakannya.
Akhirnya dari pada diam aku memilih untuk menanyakan tentang makna mimpiku. Ini
jelas bukan pertanyaan pikiran, pikirku. Benar, dari pertanyaan inilah diskusi
menjadi panjang yang mengungkap beberapa hal penting tentang keadaan
spiritualku.
Aku bilang bahwa sebelum berangkat ke
Turki aku bermimpi tentang Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq. Ia tampak bingung.
Aku maklum karena aku tidak menjelaskan detail dan konteksnya.
“Kamu tahu jabal itu apa?” tanyanya.
“Yang saya tahu jabal artinya gunung,
tapi di mimpi yang saya lihat sumur bukan gunung.” Lalu kujelaskan sedikit
bahwa didalam mimpi aku bersama seseorang melihat sebuah sumur bernama Ibrahim,
tapi sebuah suara menyebutkan Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq.
“Kamu tahu Jabal Ibrahim dan Jabal
Tariq?”
“Jabal Ibrahim saya tidak tahu, tapi
Jabal Tariq yang saya tahu adalah Gibraltar.”
“Selama ini aku tidak tahu kalau
Gibraltar itu Jabal Tariq,” bisik Ayla. Sebenarnya tadinya aku juga tidak tahu, tapi setelah tanya google baru tahu.
Master melihatku lekat-lekat. Aku juga
menatapnya sambil cengengesan menunggu jawaban selanjutnya.
“Jabal Ibrahim artinya spiritual,
sementara Jabal Tariq artinya material,” jawabnya.
“Iya, lalu apa artinya itu buat saya,”
tanyaku enteng.
“MANA
SAYA TAHU!” katanya sambil melotot,
“kamu harus cari tahu itu,” lanjutnya. Aku hampir saja tertawa karena
merasa lucu dengan wajah sewotnya yang seolah mau menyergapku. Lagi pula aku tidak begitu peduli pada
mimpiku karena aku yakin suatu saat aku akan mengerti sendiri makna mimpi itu.
Kami diam sejenak. Lalu Master
bertanya tentang siapa Masterku.
“Banyak,” jawabku. Responnya lagi-lagi
mengejutkan, kali ini lebih menyeramkan. Waduh, jawabanku salah lagi, pikirku.
“Bagaimana kamu bisa punya Master
banyak, Master itu hanya satu?” katanya galak.
Aku kaget. Bagaimana mungkin Master
ini tidak paham itu?
“Saya belajar pada siapapun dan
apapun,” jawabku, “Semua orang yang memberi ilmu saya anggap guru.”
Ia masih melihatku dengan wajah
galaknya. Sepertinya Ia terganggu dengan kata guru yang kugunakan sehingga
akupun mengatakan agar jangan terjebak pada kata guru yang berasal dari Hindu
itu. Selanjutnya aku menggantinya dengan kata Syekh atau Master.
“Dari tarekat
apa guru-gurumu itu?” tanyanya lagi.
“Mereka tidak termasuk dalam tarekat
apapun.”
Jawabanku membuatnya tambah meledak.
“BAGAIMANA BISA !?”
Akupun tambah kaget, tak menyangka
responnya akan seperti itu.
“Well, di Indonesia kita mengenal dua
macam Sufi, Sufi tarekat dan Sufi independent atau non-tarekat,” jawabku enteng
mencoba tidak terpengaruh oleh wajah makin galaknya. “Orang yang kuanggap
Master tidak berasal dari tarekat manapun.”
Ia lalu mengambil secarik kertas dan
menggambar titik besar lalu beberapa anak panah mengarah ke titik itu. “Ini
seumpama Nabi Muhammad,” katanya menunjuk ke titik. “Anak-anak panah ini adalah
tarekat-tarekat. Ada Rifai, Maulawi, Naqsabandi, Qadiriyah, Tijaniyyah dan
sebagainya. Semuanya bersambung ke Nabi Muhammad. Kalau kamu bilang gurumu itu
tidak termasuk dalam tarekat manapun bagaimana kamu memastikan bahwa jalan
mereka terhubung ke Rasulullah?”
“Pada awalnya mungkin mereka berguru
pada guru tarekat, tapi mereka tidak membentuk tarekat baru atau meneruskan
tarekat gurunya,” jawabku memberi berbagai kemungkinan.
“Kalau di tarekat sudah jelas
hubungannya ke Rasulullah, karena bisa dilacak silsilahnya. Syekhku siapa, Syekhnya
Syekhku siapa, dan seterusnya, jelas,” katanya sambil menunjuk foto-foto yang
terpampang di dinding belakangnya. “Ada ijazah untuk itu.”
Tentu saja aku sudah membaca
tradisi-tradisi yang dibangun dalam tarekat beserta kritik-kritiknya. Pikiran dan pengetahuanku yang baru saja
datang dari Indonesia mulai protes. Di satu sisi tarekat bertujuan untuk
membantu membebaskan manusia dari konstruksi-konstruksi sosial, pengalaman,
pikiran, dll. yang menjadi penghalang untuk menemukan kebenaran. Tapi disisi
lain ia justru membuat konstruksi baru yang akhirnya juga menjadi penghalang, pikirku
tidak terima. Ketika jalan spiritual disistematisasikan begitu rigid bukankah
itu membuat tabir atau penghalang baru, karena terjebak pada sistem padahal ia
hanya alat menapak. Tidak terikat pada tarekat tertentu secara formal tidak
berarti tidak bisa menemui Tuhan, kan? Pikirku, semakin bawel, tapi tidak
berhasrat mewakilkannya pada lidah.
“Bagaimana kamu bisa memastikan bahwa
mereka terhubung ke Nabi Muhammad?” tanyanya lagi.
“Bisa aja,” jawabku dalam hati. Aku
diam karena memang tidak tahu bagaimana harus kujelaskan semua argumentasiku
dalam bahasa Inggris. Mengapa Tuhan terasa menjadi jauh dan ribet untuk
ditemui, pikirku.
“Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan
Jabal Tariq,” katanya. Sepertinya Ia sekarang sudah menemukan makna mimpiku.
“Spiritual dan material. Kamu diantara kedua-duanya. Satu kakimu di Jabal
Ibrahim tapi kaki yang lainnya di Jabal Tariq. Itu karena kamu TIDAK PUNYA SYEKH!”
Tegasnya.
Aku
seperti menjadi pesakitan malam itu. Tapi untung tak berlangsung lama. I was saved by the bell, aku diselamatkan oleh bel. Acara dzikir
bersama sudah dimulai. Master menyuruh kami keluar untuk bergabung. Ia
mengatakan setelah dzikir giliran Ia yang akan bertanya pada kami.
Dzikr
Aku
dan Ayla masuk ke dalam ruangan kecil di atas loteng yang hanya muat lima
orang. Ruangan ini khusus untuk kaum perempuan. Sementara para laki-laki berada
di bawahnya sehingga aku bisa memperhatikan mereka dari atas. Sebelumnya Yildiz
telah membawa kami melihat ruangan dzikir ini. Sebelum masuk Ia menciumi kusen
pintu dan alas duduk yang terbuat dari bulu domba. Aku sempat memotret semua
bagian ruangan tanpa minta ijin lebih dulu sehingga aku merasa bersalah
karenanya. Tapi belakangan Yildiz malah menyuruhku untuk memotret semuanya
sehingga rasa bersalahku sedikit berkurang.
Ketika
aku dan Ayla masuk, acara itu sudah agak lama dimulai sehingga aku tak tahu
awalnnya. Mereka, para lelaki sudah berdiri melingkar dan berpegangan tangan.
Mereka terlihat khusuk melantunkan puji-pijian sambil menggoyangkan tubuhnya
kedepan mengikuti tabuhan rebana. Aku lihat Thomas juga khusuk begitu pula
orang Jerman yang disebelahnya. Perempuan pelukis handal yang susah sekali
kuingat namanya duduk disebelahku. Ia terlihat sangat tenggelam dalam dzikirnya
sehingga sampai melompat tinggi dari tempat duduknya ketika beat pujian-pujian itu makin cepat dan
meninggi. Aku setengah mati disebelahnya berusaha khusuk dalam dzikir itu tapi
sia-sia. Walaupun aku datang tidak sebagai observer
tapi benar-benar ingin terlibat sehingga aku paham apa yang dirasakan mereka
tapi nyatanya aku tak bisa melakukan dua-duanya. Karena pikiranku terganggu
oleh diskusi dengan Master barusan.
Setelah
sekitar satu jam dzikir itupun selesai. Para lelaki itu keluar ruangan dan
masuk ke dalam ruangan Master tempat kami diskusi sebelumnya. Kami para
perempuan berada di luar ruangan itu. Duduk diatas kursi plastik tanpa sandaran sambil menikmati
sepiring kecil kue, teh panas Turki, dan obrolan hangat. Bukan pemisahan yang
disengaja, tapi karena ruangannya memang tidak cukup.
Beberapa
menit kemudian terdengar suara Ney mengalun dari ruangan Master diikuti nyayian
dan suara rebana. Aku memasang kupingku untuk mendengarkan. Melihat itu Yildiz
lalu menjelaskan bahwa lagu yang sedang mereka nyayikan di komposisi oleh
Master sendiri. Lagu-lagu itu sangat enak di dengar sehingga tanpa kusadari
kepalaku ikut beryoyang-goyang. Begitu pula ibu-ibu yang duduk didekatku,
bedanya mereka ikut bernyanyi karena mereka hafal syairnya.
Setelah
beberapa lagu selesai dinyanyikan, berikutnya giliran ney yang bernyanyi
sendirian menyuarakan kepedihannya pada sang buluh induknya. Tak ada suara
manusia. Hanya Ney dan rebana. Aku begitu menikmatinya sehingga lupa pada
pikiranku yang terganggu oleh diskusi dengan Master. Pikiranku tertidur.
Pikiran yang semula begitu rewel tiba-tiba berhenti oleh musik. Seperti bayi
yang berlari kesana-kemari tapi kemudian diam ketika dikorek kupingnya. Matanya
merem-melek menikmati buaian cotton bud.
Begitu pula aku yang terbuai oleh lantunan suara ney dan rebana. Akupun mampu
memasuki alam rasaku sendiri yang tadi tak bisa dilakukan selama dzikir. Lagu-lagu itu begitu menyentuh hingga aku
hampir menangis haru.
Disela-sela
nyanyian itu Ayla bertanya apakah aku puas dengan jawaban Master tadi. Aku
mengatakan bahwa mungkin master tidak memahami situasiku di Indonesia. Ayla
membenarkan. “Mungkin butuh waktu untuk bisa memahami kata-katanya”. Aku
mengiyakan tapi pikiranku masih sulit menerimanya. Lalu kami mendiskusikan lagi
jalan-jalan spiritual yang sudah kami diskusikan di café Sebil tadi siang.
Rupanya tidak hanya aku yang tidak bisa connect
dengan dzikir barusan, Ayla juga. Rupanya aku dan Ayla mengalami hal yang sama
malam itu, tidak bisa connect dengan
dzikir tapi dengan musik yang mereka mainkan malah bisa bahkan lebih cepat.
“Aku merasa Master masih sangat
maskulin,” kataku. Ayla sekali lagi mengiyakan karena Ia pun merasakan hal yang
sama.
“Mungkin Master, menganggap kita
pemula,” jawab Ayla. Ia lalu menceritakan apa yang dipikirkannya. “Aku berpikir
mungkin karena aku punya masalah dengan maskulinitasku. Ketika kita tadi
bersama dengan Master tubuhku bereaksi dan aku tidak mudah connect dengannya. Kupikir karena itu mengingatkanku pada budaya
Arab dimana aku dibesarkan. Kamu tahu sendiri kan betapa maskulinnya budaya
Arab? Mungkin karena itulah aku menjadi tidak mudah mempercayai laki-laki. Tapi
kupikir itu masalahku saja. Mungkin kita perlu belajar memahami maskulinitas
kita,” jelas Ayla.
Aku
masih sibuk dengan pikiranku, yang belum bisa menerima pernyataan-peryataan
Master tentang guru yang harus berasal dari Tarekat tertentu. Pikiranku
melayang pada Maulana dan Syams. Apakah mereka berasal dari tarekat tertentu? Tapi
memang pada awal-awal proses berada dalam tarekat jauh lebih aman.
Acara bermusik malam itu ditutup
dengan sholawat pada Nabi dan diakhiri oleh kata, “Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu..”.
Mari
Berfoto
Yildiz
yang tadi sempat masuk ke dalam ruangan Master lalu keluar dan bertanya pada
aku dan Ayla apakah masih ada yang ingin ditanyakan. Ayla mengatakan sudah
cukup. Aku mengatakan aku masih punya pertanyaan. Musik dan lagu yang mereka
mainkan telah membantuku untuk mendapatkan kekuatanku kembali setelah sempat
agak goyah gara-gara diskusi tadi, sehingga aku punya keberanian untuk bermain-main
dengan Master lagi.
Aku
dan Ayla duduk dihadapannya. Didalamnya ada beberapa orang laki-laki termasuk
Thomas. Master bertanya, “Apa pertanyaanmu?”
Dengan kekuatan penuh aku bertanya,
“Tadi sebelum dzikir Master bilang akan bertanya pada kami. Pertanyaan saya,
apa pertanyaan Master untuk kami?” Master tertawa dan berkata sesuatu dalam
bahasa Turki pada para lelaki yang berada dalam ruangan itu yang membuat mereka
senyam-senyum melihatku. Lalu Master menatapku. “Kamu pasti sudah mempunyai
dugaan pertanyaan apa yang akan aku tanyakan padamu. Apa menurutmu yang akan
aku tanyakan padamu?”
Aku tertawa. Master ini pintar, ia
mengembalikan pertanyaan itu ke aku.
“Saya menduga bahwa anda akan bertanya
apa yang saya rasakan ketika ikut dzikir?” kataku.
“Ya sudah, apa yang kamu rasakan?”
tanyanya.
“Saya tidak merasakan apa-apa. Saya
kesulitan untuk bisa connect dengan
dzikirnya tapi dengan musik yang barusan dimainkan saya bisa dengan cepat connect. Ini membawa saya pada
pertanyaan berikutnya, saya kemudian berpikir bahwa musik lebih jujur dibanding
kata-kata, bagaimana menurut Master?” Ia tersenyum dan berkata sesuatu lagi
pada orang-orang didalam ruangan itu sebelum akhirnya menjawab, “Itu
tergantung. Ada musik yang diharamkan karena ia bisa membuat orang lupa pada
Tuhan. Tetapi ada musik yang juga bisa membawa pada Tuhan.”
“Kalau begitu, membawa kepada Tuhan
atau tidak tergantung siapa yang memainkannya?”
“Ya,” jawabnya sambil menjelaskan
sesuatu dalam bahasa Turki pada orang-orang di dalam ruangan.
Master lalu bertanya apakah aku sudah
memotret Istanbul. Aku mengiyakan.
“Untuk apa kamu lakukan semua itu?”
tanyanya dengan pandangan galaknya.
“Untuk mengingatkan saya pada Turki,”
jawabku cepat. Aku berpikir, apapun jawabanku akan selalu di kritisi olehnya.
Ternyata kali ini tidak, padahal aku sudah menunggunya dan siap menangkisnya.
“Kalau begitu mari kita berfoto,”
katanya. Aku ingin tertawa tapi kutahan. Ia lalu membuka lemari di sebelahnya,
mengambil peci dan memasangnya di kepala lalu duduk di bangku. Aku duduk
disebelahnya sambil menahan tawa. Ayla ada sebelahku. Sementara Yildiz dan
Thomas duduk lesehan didepan kami.
“Kamu sudah punya VCD Rifai?”
“Belum,” kataku. Sementara Ayla bilang
sudah, diberi oleh Yildiz.
Master lalu membuka lemarinya lagi dan
mengeluarkan dua buah CD.
“Ini untukmu. Datanglah lagi ke sini
membawa orang-orang Indonesia yang lain.”
Aku tertawa, “ya, tentu”.
Dalam
perjalanan pulang, Ayla sempat bertanya apakah aku merasa Master akan menjadi
guru spiritualku. “Aku tidak tahu, tapi jujur aku suka berdiskusi dengannya.”
“Ia juga menyukaimu,” komentar Ayla.
“Ah, tidak mungkin, aku merasa telah berlaku tidak sopan padanya,” kataku.
“Tapi aku melihatnya, dia menyukaimu,” jawab Ayla lagi. Aku tertawa, “Oh ya,
mungkin karena baru kali ini ia menemukan orang yang berani konyol, haha....”. Ayla ikut tertawa.
Malam itu aku bahagia, karena
setidaknya aku merasa punya keluarga di Turki. Aku tahu siapa yang akan aku
kunjungi jika aku kembali lagi ke Turki. Thanks
God!