“Semua akan terjadi bila waktunya sudah tepat”
-The last
barrier-
Lambang Universitas Ankara (tanpa murka :)) |
Kedua,
aku tidak bisa membuka emailku. Ketika pertama melihat ada warung internet di
dekat kampus hatiku langsung melonjak gembira. Aku harus segera menghubungi
Selin, orang Turki yang kudapatkan emailnya dari seorang teman di Indonesia.
Banyak yang ingin kutanyakan pada Selin tentang Turki. Ia juga berjanji akan memperkenalkan
aku dengan salah satu temannya yang tahu banyak tentang Sufi. Namun sayang semua emailku tak bisa dibuka. Password-ku tidak dikenali oleh internet
Turki. Bukan hanya email semua situs jejaring sosialku tidak bisa dibuka.
Tambah ruwet karena semua komputer berbahasa Turki, sehingga aku semakin tak
berdaya karena tidak tahu apa yang tertulis dalam kotak dialog. Yang kulakukan
hanya menebak-nebak sesuai pola. Aku mulai berpikir apakah orang Turki terlalu
mencintai bahasanya sehingga tak suka ada bahasa lain. Gugurlah anggapan bahwa
banyak orang Turki yang bisa bahasa Inggris, khususnya di Ankara .
Kampus Universitas Ankara |
Keesokan
harinya ketika aku akhirnya menemukan toko yang menjual simcard lokal yang direkomendasikan oleh malaikat-malaikatku aku
senang bukan main. Dengan penuh semangat aku bilang ingin membeli simcard pada pemilik toko. Aku lupa kalau mereka juga tak bisa bahasa Inggris sehingga proses
mendapatkan simcard lokal pun menjadi
tidak mudah. Inilah prosesnya:
Teufik
Kaya adalah nama pemilik toko HP yang kudatangi. Ia pria setengah baya dengan
rambut hitam putih karena uban. Hidungnya mancung hampir bengkok dengan wajah
condong ke Timur Tengah. Ia cukup ramah. Karena
Ia tak bisa bahasa Inggris dan
aku tak bisa bahasa Turki ataupun Arab
akhirnya Ia menyuruh anak laki-lakinya untuk melayaniku padahal anaknya
juga tidak bisa bahasa Inggris. Tapi lumayanlah, anaknya cukup membuat mata bergembira. Terima kasih Pak
Kaya, semoga anda cepat kaya, kataku dalam hati.
Ketika
anak Pak Kaya menyodorkan simcard yang kuminta dengan semangat aku memasangnya
di HPku, siap mengkring malaikat-malaikat Indonesiaku. Ketika anak Pak Kaya
meminta passportku aku baru ingat kalau di Turki simcard dan HP harus
didaftarkan lebih dahulu. Sial, pasportku ketinggalan di kamar. Aku lupa kalau
aku menyimpannya di kotak VCD
oleh-oleh buat Profesorku. Terpaksa aku harus kembali ke kamar. Aku bilang
nanti aku kembali lagi. Anak Pak Kaya itu memberi sinyal mengerti dengan
kedipan matanya.
Landscape kota Ankara |
Ankara dilihat dari museum Etnografi |
Ternyata
masalah belum selesai. Setelah simcard terpasang aku siap menelpon. Anak Pak
Kaya tersenyum dan menggeleng. Aku pasang muka tanda tanya. Ia bilang kartuku
baru bisa aktif nanti malam. Aku pasang muka kecewa. “Ya Ampun, Turkiye, ribet
amat!” teriakku dalam hati. Aku lalu melangkah keluar counter. Baru dua langkah anak Pak Kaya itu memanggil. Oh, ternyata
aku belum bayar. Untuk menutup malu aku tertawa dan bilang, “sorry, seven lira,
kan ?” Ia
tersenyum. Aku memberinya sepuluh lira kertas dan Ia memberi kembaliannya tiga
lira koin yang mirip seribu koinnya Indonesia .
Dari
counter Pak Kaya Aku lalu berjalan
menuju warnet tak jauh dari situ. Ternyata emailku tetap tidak bisa dibuka di
warnet manapun. Ketika kuketik password-ku
dan kutekan enter selalu saja password-ku
menjadi tambah panjang tak terhingga sehingga tidak dikenali oleh internet.
Penjaga warnet juga tidak tahu sebabnya. Ketika mereka mencoba email mereka
sendiri tidak ada masalah. Hanya emailku yang bermasalah. Mereka semua angkat
tangan dan menggeleng. Aku berpikir, pasti ada masalah dengan keyboard Turki.
Kemarin di dalam bis menuju Ankara
aku masih bisa membuka emailku melalui laptop Mas Nasir, mengapa sekarang tidak
bisa? Aku tidak habis pikir. Turki agak aneh.
Asrama Milli Pyanggo. |
No comments:
Post a Comment