Aku tak tahan merasakan duka kematian nenekku sehingga aku memilih mencari hiburan. Walaupun akalku sudah menerima kematian sebagai kewajaran tapi rasa duka itu tetap saja ada. Begitu tidak nyaman dihati sehingga aku memilih untuk mencari pengalih.
Aku
keluar asrama menuju Kızılay, ke lokanta tempat biasa aku makan siang, berniat
mencari hiburan. Siapa tahu ada hal-hal lucu lain di Turki yang bisa kutertawai
sehingga aku lupa pada dukaku. Mas Nasir sudah menungguku disana.
Sejak
pagi ada suara gemuruh di luar kampus. Tapi dukaku membuatku tak peduli pada
suara itu. Akhirnya aku keluar kamar dengan jaket merah andalan, syal dan
kupluk penghalau dingin dikepala. Seperti biasa aku hanya bisa menyapa, “günaydın” selamat pagi, pada penjaga asrama Milli Pyanggo, padahal sudah
tak pantas lagi disebut pagi. Mereka membalas dengan senyuman. Didepan pintu
kupasang kedua sarung tanganku lalu melangkah sambil memainkan embun dari
nafasku. Dingin sekali hari itu.
Hampir semua
permukaan taman tertutup oleh salju. Begitu pula pohon-pohon cemara. Daunnya
berubah menjadi putih diganduli salju. Tinggal diberi lampu hias maka cemara
itu akan menjadi pohon natal yang cantik, pikirku. Aku berjalan menuruni kampus
dengan kaki mencengkram tanah agar tak jatuh oleh jalan licin karena salju.
Dipintu gerbang
kampus, puluhan tentara berseragam hitam berjaga-jaga dengan senjata lengkap.
Setiap hari selalu ada tentara disitu tapi kali ini lebih banyak. Wajah lain
dan penampilan mencolok membuat mereka menolehku. “Yes, I am Indonesian”
jawabku dalam hati, menjawab pertanyaan tak terlontar yang diwakili tatapan
mereka sambil berjalan dengan cueknya.
Tiba dijalan
raya depan kampus Universitas Ankara, ratusan bahkan ribuan orang berjalan
dengan tertib sambil meneriakkan sesuatu. Aku diam sejenak dan
celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Mencoba memahami apa yang terjadi.
Hampir di semua sisi jalan puluhan tentara berbaris dengan waspada. Ada
demonstrasi besar-besaran rupanya.
Dibawah gerimis
rapat ribuan orang Turki tumpah ruah dari berbagai arah jalan menuju pertemuan
jalan-jalan besar. Dengan sepatu boot, rompi putih bertuliskan sesuatu yang tak
kumengerti, jas hujan transparan aneka warna sesuai asal mereka, dan sebuah
papan demo, mereka bergerak ke satu titik di ujung jalan sambil meneriakkan
sesuatu yang juga tak kumengerti. Aku menjadi manusia buta huruf kala itu. Aku
berniat menuju stasiun metro agar bisa secepatnya sampai lokanta. Mas Nasir
pasti sudah menungguku disana. Namun sisi jalan dijaga oleh tentara sehingga
mau tak mau aku harus berjalan ditengah jalan bersama para demonstran. Dengan
jaket merah ala Santa Clause, tanpa jas hujan berwarna, tanpa atribut demo, dan
tubuh mungil berwajah Asia, aku menjadi agak mencolok. Dengan mudah mereka bisa
mengindentifikasi bahwa aku bukan bagian dari mereka. Sesekali para demonstran
yang berjalan disebelahku menatapku dengan tanda tanya yang dengan cepat kuberi
isyarat bahwa aku bukan makhluk berbahaya. Hanya pelancong bergembira yang
sedang menikmati demonstrasi ala Turki. Aku berjalan bersama mereka sambil
berpikir proses pengorganisasian demo ini sehingga bisa berjalan
dengan tertib dan rapi. Feelingku mengatakan bahwa tidak akan terjadi sesuatu
yang membahayakan sehingga dengan santai aku berjalan bersama mereka sambil
sibuk memotret. Kalaupun terjadi sesuatu padaku pasti akan jadi berita besar di
Indonesia, pikirku. Headline news mungkin akan berbunyi, “Seorang demonstran
Indonesia cidera di Turki.” Aku tak berani membayangkan hal lain selain cidera
ringan saja.
Stasium metro
ternyata ditutup dan dijaga tentara. Sehingga aku harus kembali ke jalan dan
bergabung kembali dengan para demonstran. Sambil jalan kumanfaatkan hari itu
untuk memotret aneka wajah orang-orang Turki. Setidaknya aku tidak perlu
mendatangi seluruh daratan Turki untuk melihat karakter wajah-wajah mereka.
Hari ini mereka tumpah ruah dihadapanku. Siap kupotret.
Letaknya yang
dipersimpangan antara benua Asia dan Eropa membuat wajah-wajah di Turki sangat
variatif. Banyak pencampuran gen disitu sehingga menghasilkan fenotip yang
beragam. Maka menjadi agak sulit untuk
menentukan karakter yang menonjol dari wajah orang Turki. Sebagian ada yang
cenderung ke timur tengah sebagian lain cenderung ke Eropa dan sebagian lain
diantara keduanya dengan warna mata dan rambut yang berwarna warni. Aku
menemukan banyak wajah telenovela diantara para demonstran.
Dua orang
laki-laki demonstran berwajah mirip dengan sangat antusias menerima
permintaanku untuk kupotret. Mereka pun lalu sibuk mengatur gaya. Dengan salah
satu tangan memegang papan demo dan satu tangan yang lain mengacungkan dua
jarinya ke kamera, serta topi sedikit miring, mereka pun siap beraksi. Jadinya
gaya rapper tanggung yang ceria.
Dipertemuan
lima jalan sebuah monitor sangat besar sudah menanti. Beberapa jalinan ratusan balon berwarna merah, biru
dan putih mebentang didepannya dengan sebuah balon sangat besar ditengahnya.
Beberapa sound system ukuran besar sudah teronggok disitu. Monitor besar itu
memperlihatkan para demonstran. Aku mencari gambarku dimonitor siapa tahu ikut
disuting. Tapi sia-sia. Suara musik yang mengalun keras membuat para demonstran
bergoyang sambil meneriakkan protesnya yang tidak aku mengerti. Demo ini lebih
mirip hajatan. Aku pun ikut larut bersama mereka dengan tujuan yang berbeda,
melupakan duka kehilangan.
Tiba-tiba tepuk
tangan sangat meriah diantara dentuman musik yang membahana. Rupanya beberapa
orang telah berhasil menaiki sebuah gedung tinggi dan membentangkan spanduk
protes diatas balkon. Semua mata tertuju keatas balkon sambil bersorak-sorai
penuh kemenangan. Aku sibuk mengabadikan momen-momen itu dalam kameraku sambil
ikut bersorak-sorai.
Para demonstran
itu adalah para apoteker, mahasiswa farmasi, teknisi farmasi, pasien, dan orang
biasa yang turun ke jalan untuk memerotes kebijakan pemerintah Turki tentang
farmasi yang dinilai merugikan para apoteker dan pasien. Begitu keterangan
beberapa demonstran yang berhasil kuwawancarai.
1 comment:
Orang Turki itu emang ada darah Spanyolnya, karena setelah jatuhnya Granada, negeri Islam terakhir di Iberia, banyak Muslim dan Yahudi Spanyol yang melarikan diri ke Turki Usmani, menyusul penindasan terhadap mereka di sana.
Post a Comment