Semazen

Tuesday, November 11, 2025

Spiritualitas Perempuan

“Woman is a ray of God. She is not just the earthly beloved; she is creative, not created.”
Perempuan adalah cahaya Tuhan, dia  tidak hanya kekasih di dunia: dia pencipta bukan diciptakan

-Jalaluddin Rumi- 
         
Hidup ditubuh perempuan bukanlah takdir yang menyenangkan, setidaknya itu yang sempat kurasakan dan sempat kutanyakan pada Tuhan, "Mengapa Kau tempatkan aku ditubuh perempuan, ya Rab?"
         Pagi kesekian selama di Turki Keesokan paginya aku menyiapkan diri untuk menonton TV yang sudah kuniati jauh-jauh hari sejak masih di Ankara. Beberapa hari yang lalu Aylin, sekretaris Cemalnur –Sufi yang gagal kutemui minggu lalu- memberitahu bahwa tanggal tiga Januari Cemalnur akan berada di Ankara untuk shooting di salah satu stasiun tv disana di acara Günbegün. Seperti biasa Ia akan berbicara tentang Tasawuf atau Sufism. Menurut Aylin jadwal Cemalnur telalu padat untuk bisa kuwawancarai, sehingga  Ia tidak menyarankan untuk datang ke studio TRT tv, karena akan sia-sia. Ternyata benar aku tidak perlu ke studio TRT tv karena  pada hari itu aku justru berada di Istanbul sehingga tidak bisa menemuinya untuk sekedar memperkenalkan diri.
            Jam sepuluh aku nyalakan tv di apartment  Yildiz dan kusiapkan mp3 untuk merekam acara Günbegün dan diskusi tentang tasawuf bersama Cemalnur. Nanti aku bisa minta tolong seseorang menerjemahkannya untukku, begitu rencanaku. Aku hanya nonton sebentar karena aku tidak mengerti apa yang mereka diskusikan. Maka aku wakilkan kupingku pada mp3 recorder untuk mendengarkan acara diskusi itu sementara aku melakukan hal lain di kamar. Aku menelpon Esin Çelebi Bayru, wakil presiden International Mevlana Foundation yang adalah generasi ke-22 Maulana Rumi.  Saat itu Ia sedang ada rapat di kantornya dan memintaku untuk datang ke apartmentnnya nanti agak siangan setelah selesai rapat.
            Setelah acara Günbegün itu rampung aku keluar menuju Taksim Square untuk membeli peta Istanbul di jalan Istiklal, jalan yang sudah amat kukenal. Aku menempuh jalan yang berbeda yang belum pernah kulalui sebelumnya. Untuk sampai ke Taksim Square aku harus menuruni banyak anak tangga dari apartment Yildiz lalu berjalan menanjak dan berliku-liku. Sangat melelahkan. Gang yang kulalui ternyata berakhir di jalan dekat gereja tidak jauh dari jalan Istiklal sehingga aku hanya perlu menambah sedikit lagi jalan kaki. Seperti biasa jalan ini selalu ramai oleh pejalan kaki. Berbagai macam toko dan café berderet disepanjang jalan ini. Semua orang berjalan dengan langkah cepat untuk mengurangi rasa dingin. Aku segera menuju toko buku yang kukunjungi seminggu lalu bersama Ayla. Ternyata toko itu masih tutup padahal hari sudah siang. Aku kemudian berjalan mencari toko buku lain. Namun sayang toko ini tidak menjual peta, hanya buku. Aku kemudian berbalik ke toko yang belum buka itu, berdiri didepannya. Rolling door-nya terbuka sedikit dan aku mengintip dari bawah. Terlihat beberapa kaki berbalut jeans di dalam. Aku berdiri didepannya agar mereka sadar kalau ada calon pembeli yang menuggu di luar. “Ayo bukalah, aku butuh peta Istanbul nih,” kataku dalam hati. Tapi mereka tidak peduli sehingga aku memutuskan untuk hengkang dari tempat itu dan mencari toko buku lain. Aku menemukan toko buku yang sekaligus toko music. Di sini lebih baik, sorakku. Disini aku bisa membeli peta sekaligus musik instrument Anatolia, hadiah buat diri sendiri untuk teman ngopi dan nulis.
            Keluar dari toko music aku keluar menuju Taksim Square untuk mencari minibus yang akan membawaku ke apartment grand grand cicit Maulana. Setelah bertanya sana-sini akhirnya aku menemukan tempat mangkal bis mini itu.
            Setelah berjalan beberapa meter dari tempat aku bertanya pada seorang laki-laki akhirnya apartment Bu Bayru ini ketemu juga. Aku memencet bel dan tidak berapa lama kemudian seorang perempuan pirang paruh baya dan bermata biru membuka pintu dan menyambutku. Setelah duduk aku ceritakan maksud kedatanganku ke Turki yang terutamanya hanya untuk ziarah ke makam Maulana Rumi. Ia tampak terharu dan segera kami pun menjadi sangat akrab.
            Setelah bercerita tentang keluarganya, kami lalu ngobrol tentang perempuan dan Sufisme khususnya pandangan Maulana tentang perempuan dan perempuan dalam tarekat Maulawi sendiri –tarekat yang berdasarkan ajaran-ajaran Maulana Rumi. Ia lalu mengutip salah satu puisi Maulana di kitab Mathnawi yang berbicara tentang perempuan.
“Woman is a ray of God. She is not just the earthly beloved; she is creative, not created.
(Perempuan adalah cahaya Tuhan. Ia tidak hanya kekasih di dunia; ia adalah pencipta, bukan diciptakan).

            Aku tertawa, “itulah kenapa saya suka Maulana, karena Ia mengatakan itu. Bahkan Ibn Arabi berkesimpulan yang sama,” kataku, “Ibn Arabi mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena diciptakan dengan gambaran-Nya sendiri. Tapi jika bertanya mana ciptaan Tuhan yang paling sempurna antara laki-laki dan perempuan maka jawabannya adalah yang terakhir.”
Kami berdua tertawa. Bu Bayru kemudian berkelakar, “Tahu kenapa perempuan lebih sempurna dibanding laki-laki?” Aku menggeleng dan menunggu jawabannya. “Karena setelah menciptakan Adam Tuhan menyadari bahwa ada kekurangan, sehingga Ia kemudian menciptakan Hawa dengan tanpa kekurangan.” Ha ha ha kami berdua cekikikan. “I love this joke very much,” kataku.
“Di tarekat Maulawi, perempuan diperlakukan sama, mereka juga boleh melakukan sema tapi tidak didepan umum untuk pertunjukan,” jelasnya.
            Ia kemudian masuk ke gang apartmennya dan keluar membawa beberapa buku. “Ini beberapa buku yang sudah kusiapkan untukmu,” ujarnya sambil meletakkan buku-bku itu dihadapanku. Aku berteriak, “Wow, ini buku-buku yang tidak saya temukan di perpustakaan Universitas Ankara dan Bilken”. Ada buku berjudul Women called to the path of Rumi. “Ini mengingatkan saya pada seorang professor perempuan Perancis pencinta Maulana yang berwasiat agar dimakamkan di Konya dekat dengan Maulana,” kataku.
“Ya, saat itu aku berada di Konya menghadiri pemakamannya, kamu juga ada disana?”
“Tentu saja tidak, saya hanya tahu dari internet,” kataku.
            Seorang professor pencinta Rumi itu bernama Eva de Vitray-Meyerovitch. Ia seorang bangsawan Perancis yang ahli dibidang sastra dan filsafat yang kemudian mendalami Tasawuf atau Sufisme. Ia banyak menerjemahkan karya-karya Maulana Rumi dan Muhammad Iqbal ke dalam bahasa Perancis sehingga Islam dikenal dan bisa diterima oleh publik Perancis. Ia pun menganggap Maulana sebagai guru spiritualnya sehingga Ia kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Hawwa de Vitray-Meyerovitch. Tahun 1998, setahun sebelum kematiannya Ia berpesan agar dimakamkan di Konya dekat Maulana agar pada hari kebangkitan nanti bisa berada dibawah bayang-bayang spiritual Maulana. Namun baru tahun 2008 lalu permintaan ini bisa dipenuhi setelah keluarganya di Perancis mengijinkan makamnya di pindahkan dari Perancis ke Konya, tak jauh dari makam Maulana. Kejadian ini begitu mengharukan sehingga banyak yang hadir dan ikut menyolatkan professor ini di Konya di acara malam pengantin Maulana.
“Anda pasti kenal Annemarie Schimmel juga,” kataku.
“Iya, dia sahabat baikku. Sudah pernah bertemu dengannya?”
“Belum. Anda tahu, dari dialah saya pertama kali mengenal Maulana. Dan dari dia pulalah saya mengenal Sufisme. Dulu saya begitu ingin bertemu dengannya. Tapi sayang ketika Ia datang ke Indonesia saya tidak bisa menemuinya dan Ia sudah keburu meninggal sebelum saya sempat bertemu.”

            Annemarie Schimmel seorang professor perempuan asal Jerman yang juga pencinta Maulana dan Muhammad Iqbal –pemikir Muslim asal Pakistan. Sama seperti Eva de Vitray-Meyerovitch, Ia mempunyai ketertarikan yang dalam pada dimensi spiritual Islam (Tasawuf/Sufisme). Dan dari tangannyalah lahir karya-karya tentang Islam yang mampu menggeser pandangan negatif barat terhadap Islam.
“Kamu bisa menjadi Annimarie Schimmel-nya Indonesia,” kata Bu Bayru. 
“Hahaha…,semoga saja,” kataku. Aku tertawa karena merasa agak berlebihan jika aku disamakan dengan Annemarie Schimmel.
“Kamu harus belajar bahasa Persia agar bisa membaca Masnawi secara langsung,” anjurnya.
“Aku yakin sekarang adalah waktunya bagi perempuan untuk bertindak,” katanya. “Perempuan  itu sangat pintar, mereka mampu melakukan banyak hal sekaligus. Dan sekarang banyak perempuan yang sadar bahwa dunia makin kotor sehingga mereka terpanggil untuk membersihkannya. Perempuan tidak ingin dunia ini makin parah. Itulah yang aku katakan di kalimat terakhir majalah ini,” katanya sambil memberikan majalah Turki berbahasa Inggris yang didalamnya ada tulisannya.
“Ya, anda benar,” kataku. “Sekarang saatnya perempuan berbicara dan ambil bagian dalam pengelolaan dunia. Bahkan para cendekiawan dan filsuf pun akhirnya menyadari bahwa selama ini dunia telah melupakan perempuan, melupakan cara berfikir feminin sehingga dunia menjadi berantakan.” Kami berdua tertawa, “Let’s clean the world”.
“Saya tertarik menulis perempuan dan Sufisme karena saya berpikir Sufisme sangat memberdayakan perempuan. Perempuan sangat mudah untuk mempelajarinya,” kataku. Setidaknya membebaskan perempuan dari ketergantungan pada penafsiran agama ulama-ulama yang masih sexis.
“Ya, karena mereka adalah ibu.”
Aku tertawa, “Ya, anda benar.”
Menurutku dominasi karakter feminin inilah yang membuat perempuan lebih mudah memahami ajaran-ajaran kesufian. Sehingga Ibn Arabi melalui analisis kebahasaan dari tiga hal yang memikat[1] Nabi Muhammad pun akhirnya berani berkomentar bahwa sebenarnya Tuhan adalah lebih feminin. Jadi wajar kalau kemudian Ibn Arabi mengatakan, “kalau ingin menjadi Sufi, jadilah perempuan lebih dulu” karena perjalanan menuju Tuhan tak bisa dilakukan dengan akal, melainkan intuisi.
Perempuan, karena berbagai tekanan dan penderitaan yang dialami sepanjang hidupnya baik karena peristiwa tubuh seperti menstruasi dan melahirkan maupun tekanan sosial yang dihadapinya membuat intuisinya berkembang hingga derajat tertentu yang mencengangkan, yang membuatnya memahami realitas-realitas spiritual yang coba dijelaskan oleh agama. Namun karena perempuan terlanjur dicap lemah akal dan lemah iman maka mereka tak punya otoritas apapun untuk berbicara tentang kebenaran agama.
            Baik Ibn Arabi maupun Maulana Rumi mencoba membela perempuan dengan bahasa yang berbeda. Dalam bahasa Maulana Rumi, Tuhan menempatkan cinta dan kasih sayang dalam hati perempuan lebih banyak dibanding pada laki-laki, tujuannya agar perempuan lebih tabah dalam menghadapi kesulitan melahirkan dan memelihara anak-anaknya. Itulah mengapa perempuan kemudian bisa menjadi lebih sabar dan tangguh dibanding laki-laki. Menurut Rumi, semua kualitas ini adalah hadiah dari Tuhan buat perempuan. Ketika perempuan mampu mengelola perasaan dan melampaui dorongan seksualnya maka Ia akan lebih cepat mencapai kebenaran dibanding laki-laki. Aku seribu persen sepakat. Bravo, Maulana!

            Tanpa terasa hari hampir gelap, hampir tiga jam aku ngobrol dengan Ibu Bayru ini. Aku sempat berfoto berdua dengannya dan memotret dinding ruang tamu yang dipenuhi foto keluarganya, lukisan whirling dervish, dan kaligafi bertuliskan “ya hadzroti Maulana” seperti yang tertulis disamping makam Maulana dan di pintu masuk museum Maulana.
            Aku kemudian berpamitan. Kami saling berpelukan dan cium pipi kanan dan kiri.
“Aku merasa kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat,” katanya.
“Saya juga merasa begitu. Saya yakin bisa kembali lagi ke Turki segera, walaupun saya tidak tahu bagaimana caranya.”
“Pasti ada jalan.”
“Iya, pasti.”



[1] Tiga hal yang dibuat memikat hati Nabi Muhammad adalah: perempuan, parfum dan sholat. Jenis kelamin dari masing-masing kata ini adalah feminine, maskulin dan feminine. Pada konsep agama-agama Ibrahim (Yahudi, Kristen, dan Islam) dikatakan bahwa Adam berasal dari Tuhan sedangkan Hawa berasal dari Adam, sehingga urutan asal kejadian itu mejadi: Tuhan-Adam-Hawa. Maka jika jenis kelamin gramatikal kata diaplikasikan ke urutan ini maka menjadi feminie-maskulin-feminin. Melalui logika inilah Ibn Arabi mengatakan bahwa Tuhan feminin.  Argumentasi lainnya adalah, Nabi Muhammad menyebut kata ganti ketiga hal yang disukainya itu dalam bentuk feminin. Padahal mestinya dalam bentuk maskulin karena sebagaimana kultur Arab yang selalu menjadikan yang maskulin mendominasi yang feminin. Menurut Ibn Arabi Nabi sengaja melakukan ini untuk menunjukkan realitas tersembunyi dibalik tiga hal yang dibuat memikatnya ini,  yang tak bisa diungkapkan secara eksplisit mengingat ancaman sosial yang melekat pada cara pandang yang seperti ini pada saat itu.

No comments: