“Woman is a ray of God. She is not
just the earthly beloved; she is creative, not created.”
Perempuan adalah cahaya Tuhan, dia tidak hanya kekasih di dunia: dia pencipta bukan diciptakan
-Jalaluddin
Rumi-
Hidup ditubuh perempuan bukanlah takdir yang menyenangkan, setidaknya itu yang sempat kurasakan dan sempat kutanyakan pada Tuhan, "Mengapa Kau tempatkan aku ditubuh perempuan, ya Rab?"
Pagi kesekian selama di Turki Keesokan paginya aku menyiapkan diri untuk menonton TV yang sudah kuniati jauh-jauh hari sejak masih di Ankara. Beberapa hari yang lalu Aylin, sekretaris Cemalnur –Sufi yang gagal kutemui minggu lalu- memberitahu bahwa tanggal tiga Januari Cemalnur akan berada di Ankara untuk shooting di salah satu stasiun tv disana di acara Günbegün. Seperti biasa Ia akan berbicara tentang Tasawuf atau Sufism. Menurut Aylin jadwal Cemalnur telalu padat untuk bisa kuwawancarai, sehingga Ia tidak menyarankan untuk datang ke studio
Jam
sepuluh aku nyalakan tv di apartment Yildiz
dan kusiapkan mp3 untuk merekam acara Günbegün
dan diskusi tentang tasawuf bersama Cemalnur. Nanti aku bisa minta tolong
seseorang menerjemahkannya untukku, begitu rencanaku. Aku hanya nonton sebentar
karena aku tidak mengerti apa yang mereka diskusikan. Maka aku wakilkan
kupingku pada mp3 recorder untuk mendengarkan acara diskusi itu sementara aku
melakukan hal lain di kamar. Aku menelpon Esin Çelebi Bayru, wakil presiden International Mevlana Foundation yang
adalah generasi ke-22 Maulana Rumi. Saat
itu Ia sedang ada rapat di kantornya dan memintaku untuk datang ke
apartmentnnya nanti agak siangan setelah selesai rapat.
Setelah
acara Günbegün itu rampung aku keluar
menuju Taksim Square untuk membeli peta Istanbul di jalan Istiklal,
jalan yang sudah amat kukenal. Aku menempuh jalan yang berbeda yang belum
pernah kulalui sebelumnya. Untuk sampai ke Taksim Square
aku harus menuruni banyak anak tangga dari apartment Yildiz lalu berjalan
menanjak dan berliku-liku. Sangat melelahkan. Gang yang kulalui ternyata
berakhir di jalan dekat gereja tidak jauh dari jalan Istiklal sehingga aku
hanya perlu menambah sedikit lagi jalan kaki. Seperti biasa jalan ini selalu
ramai oleh pejalan kaki. Berbagai macam toko dan café berderet disepanjang
jalan ini. Semua orang berjalan dengan langkah cepat untuk mengurangi rasa
dingin. Aku segera menuju toko buku yang kukunjungi seminggu lalu bersama Ayla.
Ternyata toko itu masih tutup padahal hari sudah siang. Aku kemudian berjalan
mencari toko buku lain. Namun sayang toko ini tidak menjual peta, hanya buku.
Aku kemudian berbalik ke toko yang belum buka itu, berdiri didepannya. Rolling door-nya terbuka sedikit dan aku
mengintip dari bawah. Terlihat beberapa kaki berbalut jeans di dalam. Aku
berdiri didepannya agar mereka sadar kalau ada calon pembeli yang menuggu di
luar. “Ayo bukalah, aku butuh peta Istanbul nih,” kataku dalam hati. Tapi
mereka tidak peduli sehingga aku memutuskan untuk hengkang dari tempat itu dan
mencari toko buku lain. Aku menemukan toko buku yang sekaligus toko music. Di
sini lebih baik, sorakku. Disini aku bisa membeli peta sekaligus musik
instrument Anatolia, hadiah buat diri sendiri untuk teman ngopi dan nulis.
Keluar
dari toko music aku keluar menuju Taksim
Square untuk mencari minibus yang akan membawaku ke apartment grand grand cicit Maulana. Setelah
bertanya sana-sini akhirnya aku menemukan tempat mangkal bis mini itu.
Setelah
berjalan beberapa meter dari tempat aku bertanya pada seorang laki-laki
akhirnya apartment Bu Bayru ini ketemu juga. Aku memencet bel dan tidak berapa
lama kemudian seorang perempuan pirang paruh baya dan bermata biru membuka
pintu dan menyambutku. Setelah duduk aku ceritakan maksud kedatanganku ke Turki
yang terutamanya hanya untuk ziarah ke makam Maulana Rumi. Ia tampak terharu
dan segera kami pun menjadi sangat akrab.
Setelah
bercerita tentang keluarganya, kami lalu ngobrol tentang perempuan dan Sufisme
khususnya pandangan Maulana tentang perempuan dan perempuan dalam tarekat
Maulawi sendiri –tarekat yang berdasarkan ajaran-ajaran Maulana Rumi. Ia lalu
mengutip salah satu puisi Maulana di kitab Mathnawi
yang berbicara tentang perempuan.
“Woman
is a ray of God. She is not just the earthly beloved; she is creative, not
created.
(Perempuan adalah cahaya Tuhan. Ia
tidak hanya kekasih di dunia; ia adalah pencipta, bukan diciptakan).
Aku
tertawa, “itulah kenapa saya suka Maulana, karena Ia mengatakan itu. Bahkan Ibn
Arabi berkesimpulan yang sama,” kataku, “Ibn Arabi mengatakan bahwa manusia
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena diciptakan dengan
gambaran-Nya sendiri. Tapi jika bertanya mana ciptaan Tuhan yang paling
sempurna antara laki-laki dan perempuan maka jawabannya adalah yang terakhir.”
Kami berdua tertawa. Bu Bayru kemudian
berkelakar, “Tahu kenapa perempuan lebih sempurna dibanding laki-laki?” Aku
menggeleng dan menunggu jawabannya. “Karena setelah menciptakan Adam Tuhan
menyadari bahwa ada kekurangan, sehingga Ia kemudian menciptakan Hawa dengan
tanpa kekurangan.” Ha ha ha kami berdua cekikikan. “I love this joke very much,” kataku.
“Di tarekat Maulawi, perempuan
diperlakukan sama, mereka juga boleh melakukan sema tapi tidak didepan umum untuk pertunjukan,” jelasnya.
Ia
kemudian masuk ke gang apartmennya dan keluar membawa beberapa buku. “Ini
beberapa buku yang sudah kusiapkan untukmu,” ujarnya sambil meletakkan buku-bku
itu dihadapanku. Aku berteriak, “Wow, ini buku-buku yang tidak saya temukan di
perpustakaan Universitas Ankara dan Bilken”. Ada buku berjudul Women called to the path of Rumi. “Ini
mengingatkan saya pada seorang professor perempuan Perancis pencinta Maulana
yang berwasiat agar dimakamkan di Konya dekat dengan Maulana,” kataku.
“Ya, saat itu aku berada di Konya
menghadiri pemakamannya, kamu juga ada disana?”
“Tentu saja tidak, saya hanya tahu
dari internet,” kataku.
Seorang professor pencinta Rumi itu bernama Eva de Vitray-Meyerovitch.
Ia seorang bangsawan Perancis yang ahli dibidang sastra dan filsafat yang
kemudian mendalami Tasawuf atau Sufisme. Ia banyak menerjemahkan karya-karya Maulana Rumi dan
Muhammad Iqbal ke dalam bahasa Perancis sehingga Islam dikenal dan bisa
diterima oleh publik Perancis. Ia pun menganggap Maulana sebagai guru
spiritualnya sehingga Ia kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi
Hawwa de Vitray-Meyerovitch. Tahun 1998, setahun sebelum kematiannya Ia
berpesan agar dimakamkan di Konya
dekat Maulana agar pada hari kebangkitan nanti bisa berada dibawah
bayang-bayang spiritual Maulana. Namun baru tahun 2008 lalu permintaan ini bisa
dipenuhi setelah keluarganya di Perancis mengijinkan makamnya di pindahkan dari
Perancis ke Konya, tak jauh dari makam Maulana. Kejadian ini begitu mengharukan
sehingga banyak yang hadir dan ikut menyolatkan professor ini di Konya di acara
malam pengantin Maulana.
“Anda pasti kenal Annemarie Schimmel
juga,” kataku.
“Iya, dia sahabat baikku. Sudah pernah
bertemu dengannya?”
“Belum. Anda tahu, dari dialah saya
pertama kali mengenal Maulana. Dan dari dia pulalah saya mengenal Sufisme. Dulu
saya begitu ingin bertemu dengannya. Tapi sayang ketika Ia datang ke Indonesia
saya tidak bisa menemuinya dan Ia sudah keburu meninggal sebelum saya sempat
bertemu.”
Annemarie
Schimmel seorang professor perempuan asal Jerman yang juga pencinta Maulana dan
Muhammad Iqbal –pemikir Muslim asal Pakistan . Sama seperti Eva de Vitray-Meyerovitch, Ia mempunyai ketertarikan yang dalam pada
dimensi spiritual Islam (Tasawuf/Sufisme). Dan dari tangannyalah lahir karya-karya tentang Islam
yang mampu menggeser pandangan negatif barat terhadap Islam.
“Kamu bisa menjadi Annimarie Schimmel-nya Indonesia,” kata Bu Bayru.
“Hahaha…,semoga saja,” kataku. Aku tertawa karena merasa agak berlebihan jika aku disamakan dengan Annemarie Schimmel.
“Hahaha…,semoga saja,” kataku. Aku tertawa karena merasa agak berlebihan jika aku disamakan dengan Annemarie Schimmel.
“Kamu harus belajar bahasa Persia agar bisa membaca Masnawi secara
langsung,” anjurnya.
“Aku yakin sekarang adalah waktunya
bagi perempuan untuk bertindak,” katanya. “Perempuan itu sangat pintar, mereka mampu melakukan
banyak hal sekaligus. Dan sekarang banyak perempuan yang sadar bahwa dunia
makin kotor sehingga mereka terpanggil untuk membersihkannya. Perempuan tidak
ingin dunia ini makin parah. Itulah yang aku katakan di kalimat terakhir
majalah ini,” katanya sambil memberikan majalah Turki berbahasa Inggris yang
didalamnya ada tulisannya.
“Ya, anda benar,” kataku. “Sekarang
saatnya perempuan berbicara dan ambil bagian dalam pengelolaan dunia. Bahkan
para cendekiawan dan filsuf pun akhirnya menyadari bahwa selama ini dunia telah
melupakan perempuan, melupakan cara berfikir feminin sehingga dunia menjadi
berantakan.” Kami berdua tertawa, “Let’s
clean the world”.
“Saya tertarik menulis perempuan dan
Sufisme karena saya berpikir Sufisme sangat memberdayakan perempuan. Perempuan
sangat mudah untuk mempelajarinya,” kataku. Setidaknya membebaskan perempuan
dari ketergantungan pada penafsiran agama ulama-ulama yang masih sexis.
“Ya, karena mereka adalah ibu.”
Aku tertawa, “Ya, anda benar.”
Menurutku dominasi karakter feminin
inilah yang membuat perempuan lebih mudah memahami ajaran-ajaran kesufian.
Sehingga Ibn Arabi melalui analisis kebahasaan dari tiga hal yang memikat[1]
Nabi Muhammad pun akhirnya berani berkomentar bahwa sebenarnya Tuhan adalah lebih
feminin. Jadi wajar kalau kemudian Ibn Arabi mengatakan, “kalau ingin menjadi
Sufi, jadilah perempuan lebih dulu” karena perjalanan menuju Tuhan tak bisa
dilakukan dengan akal, melainkan intuisi.
Perempuan, karena berbagai tekanan dan
penderitaan yang dialami sepanjang hidupnya baik karena peristiwa tubuh seperti
menstruasi dan melahirkan maupun tekanan sosial yang dihadapinya membuat
intuisinya berkembang hingga derajat tertentu yang mencengangkan, yang
membuatnya memahami realitas-realitas spiritual yang coba dijelaskan oleh
agama. Namun karena perempuan terlanjur dicap lemah akal dan lemah iman maka
mereka tak punya otoritas apapun untuk berbicara tentang kebenaran agama.
Baik
Ibn Arabi maupun Maulana Rumi mencoba membela perempuan dengan bahasa yang
berbeda. Dalam bahasa Maulana Rumi, Tuhan menempatkan cinta dan kasih sayang
dalam hati perempuan lebih banyak dibanding pada laki-laki, tujuannya agar
perempuan lebih tabah dalam menghadapi kesulitan melahirkan dan memelihara
anak-anaknya. Itulah mengapa perempuan kemudian bisa menjadi lebih sabar dan
tangguh dibanding laki-laki. Menurut Rumi, semua kualitas ini adalah hadiah
dari Tuhan buat perempuan. Ketika perempuan mampu mengelola perasaan dan
melampaui dorongan seksualnya maka Ia akan lebih cepat mencapai kebenaran
dibanding laki-laki. Aku seribu persen sepakat. Bravo, Maulana!
Tanpa
terasa hari hampir gelap, hampir tiga jam aku ngobrol dengan Ibu Bayru ini. Aku
sempat berfoto berdua dengannya dan memotret dinding ruang tamu yang dipenuhi
foto keluarganya, lukisan whirling dervish,
dan kaligafi bertuliskan “ya hadzroti
Maulana” seperti yang tertulis disamping makam Maulana dan di pintu masuk
museum Maulana.
Aku
kemudian berpamitan. Kami saling berpelukan dan cium pipi kanan dan kiri.
“Aku merasa kita akan bertemu lagi
dalam waktu dekat,” katanya.
“Saya juga merasa begitu. Saya yakin
bisa kembali lagi ke Turki segera, walaupun saya tidak tahu bagaimana caranya.”
“Pasti ada jalan.”
“Iya, pasti.”
[1] Tiga hal yang
dibuat memikat hati Nabi Muhammad adalah: perempuan, parfum dan sholat. Jenis
kelamin dari masing-masing kata ini adalah feminine, maskulin dan feminine.
Pada konsep agama-agama Ibrahim (Yahudi, Kristen, dan Islam) dikatakan bahwa
Adam berasal dari Tuhan sedangkan Hawa berasal dari Adam, sehingga urutan asal
kejadian itu mejadi: Tuhan-Adam-Hawa. Maka jika jenis kelamin gramatikal kata
diaplikasikan ke urutan ini maka menjadi feminie-maskulin-feminin. Melalui
logika inilah Ibn Arabi mengatakan bahwa Tuhan feminin. Argumentasi lainnya adalah, Nabi Muhammad
menyebut kata ganti ketiga hal yang disukainya itu dalam bentuk feminin.
Padahal mestinya dalam bentuk maskulin karena sebagaimana kultur Arab yang
selalu menjadikan yang maskulin mendominasi yang feminin. Menurut Ibn Arabi
Nabi sengaja melakukan ini untuk menunjukkan realitas tersembunyi dibalik tiga
hal yang dibuat memikatnya ini, yang tak
bisa diungkapkan secara eksplisit mengingat ancaman sosial yang melekat pada
cara pandang yang seperti ini pada saat itu.
No comments:
Post a Comment