Hari
kedua tahun baru aku keluar apartemen Yildiz agak sore, sekitar jam tigaan
karena harus mengopi beberapa file untuk Yildiz. Hari itu aku berencana ke
Basilica Cistern dan Grand Bazaar yang seminggu lalu urung dilakukan bersama
Ayla. Aku janjian bertemu di dekat mesjid Sultan Ahmed dengan dua orang
malaikat Indonesiaku di Istanbul Mereka berdua akan menemaniku berbelanja di
Grand Bazaar.
Blue Mosque di musim dingin |
Memotret
sambil memegangi payung agar tak terbang cukup merepotkan. Berkali-kali aku
gagal melakukannya karena ketika kamera siap memotret angin tiba-tiba kencang
sehingga aku harus memegangi semua barang-barangku. Ini rupanya menarik
perhatian seseorang. Seorang laki-laki yang sulit kutebak umurnya mendekatiku
sambil membawa beberapa buku dagangan, “butuh bantuan?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.”
Ia lalu menyodorkan buku dan peta Istanbul , “Sudah punya
buku Istanbul ?”
“Aku sudah membelinya kemarin,” kataku
bohong.
“Petanya?”
“Ya, itu juga sudah punya” kali ini
aku jujur.
“Sudah masuk ke Ayasofya?”
“Sudah minggu lalu. Ke Blue Mosque
juga,” jelasku. “Tapi aku belum punya gambar Blue Mosque dari arah sini,”
cerocosku sambil terus memotret.
“Ayolah beli bukuku,” katanya mulai
agak merayu.
“No, aku sudah punya semuanya,” kataku
sambil berjalan ke tengah-tengah taman menuju Hippodrome. Aku butuh seseorang
untuk diajak ngobrol agar lupa pada cuaca dingin yang mulai membuat gigiku
gemerutuk sehingga kulayani saja pria pedagang buku ini. Lumayan untuk olah
raga mulut. Ia berjalan di sampingku mengikutiku ke tengah taman.
“Aku Jengis. Kamu dari mana?”
Tanyanya. Kalau di Turki nama itu akan tertulis Cengiz.
“Naj, Indonesia .
Kamu tahu dimana itu kan ?”
Ia mengangguk. “Dekat Philiphina.”
“Kamu orang Turki?
“No, aku orang Kurdi. Kamu tahu
Kurdi?”
Aku tertawa, “Tentu saja, kalian itu
sering masuk berita tv dan koran, kok.” Jengis tersenyum. Turki dan Kurdi punya
hubungan yang kurang baik. Beberapa waktu lalu pemerintah Turki menghukum
aktivis perempuan Kurdi sepuluh tahun penjara gara-gara pidatonya di depan
publik. Suku Kurdi sedang menuntut kemerdekaan dari Turki yang membuat pemerintah
Turki berang.
“Kamu sudah punya pacar?” tanyanya.
Aku tertawa sambil berpikir jawaban
apa yang tepat untuk diberikan karena aku tahu akan kemana arah pembicaraannya
dan aku tak ingin mengakhiri pembicaraan terlalu awal.
“Kadang ya kadang tidak,” jawabku.
“Ya, aku punya seorang teman laki-laki
tapi kami tidak berkomitmen untuk pacaran.”
Aku ingin bermain-main sedikit dengan
pria ini dan tampaknya berhasil.
“Ayo kita mampir ke café dan kita bisa
ngobrol disana,” ajaknya setelah jeda beberapa saat.
“No, terima kasih,” tolakku. “Aku sudah punya janji
dengan temanku sore ini dan aku juga harus ke Basilika Cistern,” kataku sambil terus berjalan.
Ketika sampai di depan Hippodrome
Ia menawari untuk memotretku.
“No,
thank you.
Aku sudah punya foto-fotoku dengan benda-benda di sini,” jawabku agak panjang agar dia tak bicara lagi soal ini.
“Aku dulu pernah punya pacar dari
Philiphina. Dan kami hidup bersama selama tiga tahun,” katanya tanpa kutanya setelah jeda beberapa saat.
“Oh, ya?” kataku pura-pura acuh sambil
terus memotret Hippodrome.
“Dia mirip kamu,” lanjutnya.
"Hah! Rayuan cap badak," batinku. Aku tertawa sambil terus saja
pura-pura sibuk memotret padahal menunggu jurus apa lagi yang akan Ia keluarkan
untuk membujukku.
“Sekarang dia kemana?”
“Dia kembali ke negaranya. Ayolah,
kita ke café, kita bisa minum-minum di sana
sambil ngobrol santai.” Aku tersenyum dan memperhatikan wajahnya. Sebenarnya
Jengis punya tampang lumayan tapi sayang aku tak bisa mempercayainya. Sensor
dikepalaku memeprlihatkan wajah Cengiz yang bertanduk, bersiung dan licin
seperti lele. Ia punya banyak trik untuk membuat perempuan masuk perangkapnya.
Hehe, tapi yang kamu hadapi sekarang bukan perempuan bodoh, Jengis, kataku
dalam hati.
“Kamu cantik. Aku suka padamu,”
katanya kemudian.
Gubrak! Spontan aku ngakak. “Hwahaha!
Dasar laki-laki!” kataku. Tidak butuh waktu lama untuk membuktikan prasangkaku.
Dugaanku benar, Ia mengeluarkan jurus rayuan mautnya, rayuan cap kuda ngiler.
“Benar, kamu cantik,” katanya mencoba
meyakinkan.
“Banyak laki-laki yang bilang begitu
padaku, Jengis,” kataku super PD padahal bapakku pasti tidak setuju. “Jadi kamu
bukan yang pertama,” lanjutku sambil mengibaskan tangan dan buru-buru berjalan
menuju Ayasofya sebelum Ia mengeluarkan jurus lain yang mungkin membuat
situasiku makin sulit. Tapi ia mengejarku.
“Ayolah, kita ke café, aku menyukaimu.
Jadilah pacarku,” katanya agak keras sampai-sampai seorang bapak-bapak pejalan
kaki menoleh. Aku terus saja berjalan menjauh untuk melepaskan diri dari Jengis. Ternyata dimana-mana sama saja. Laki-laki sejenis Jengis ini
bertebaran dibelahan bumi manapun.
Adegan itu bagiku begitu lucu. Di
tengah-tengah taman penuh pepohonan kering dua orang anak manusia berjaket
tebal sedang kejar-kejaran di bawah guyuran gerimis lebat dan angin kencang.
Seorang perempuan sambil memegang payung erat-erat berjalan cepat menghindari
seorang laki-laki yang mengejar dibelakangnya sambil berteriak memohon agar mau
menjadi pacarnya. Ah, Serasa di drama Korea, Winter
Sonata.
Setelah agak jauh aku tertawa penuh
kemenangan, “Maaf, Jengis. Temanku sudah menunggu. Bye bye!” kataku sambil
mempercepat langkahku tanpa menoleh lagi padanya. “Huh, dasar geblek!” Tapi
lumayan hari ini jadi lebih berwarna. Thanks
God atas hiburannya. Makhluk-Mu memang lucu-lucu.
Trio
Kwak Kwek Kwok
Bagian dalam Basilica Cistern |
Berwisata
sendirian benar-benar tidak menarik. Aku jadi seperti orang bisu yang sibuk
sendirian. Aku cukup kerepotan untuk memotret dengan membawa payung basah yang
tidak bisa dimasukkan ke tas kecilku. Tiap kali akan memotret aku harus
meletakkan payung itu di pinggir jembatan dan menjaganya agar tak jatuh ke air.
Iiih, repotnya. Wisata monokotil kali ini agak tidak asik. Aku celingak-celinguk
mencari barangkali ada turis monokotil lain yang bisa diajak barengan.
Umumnya mereka berdikotil alias berpasangan atau berombongan. Sebenarnya aku
bisa saja tadi mengajak si Jengis, tapi laki-laki itu terlalu beresiko. Ya
sudahlah, nikmati saja berwisata monokotil tanpa banyak ngomong. Tiba-tiba trio
kwak kwek kwok menyodorkan mukanya di depanku.
“Hi, bisa tolong foto kami bertiga?”
pintanya sambil menyodorkan camera digital.
“Sure,”
kataku antusias.
Tiga orang laki-laki bermuka indah dan
body padat kemudian bergaya dedepanku bersandar
pada pagar jembatan siap kupotret. Akal bulusku segera bekerja agar
pemandangan indah itu tak cepat pindah dari hadapanku.
“Kalian tidak terlihat. Terlalu
gelap,” kataku karena aku tidak menemukan bayangan mereka di screen kamera. “Tapi kucoba dulu ya.”
kemudian “klik” flash menyala dan terlihatlah tiga wajah Italia mereka dengan
senyum mengembang. Sepertinya mereka bersahabat.
“Oke, kucoba sekali lagi ya. Kalian
agak merapat lagi biar hasilnya lebih bagus,” kataku bak pengarah gaya profesional. Mereka
dengan senang hati menuruti perintahku. Senangnya bisa mengatur-ngatur tiga
orang ganteng yang tinggi-tinggi ini, pikirku.
“Oke,
ready, one..two.. klik,” aku jarang memotret sampai hitungan ke tiga agar
hasilnya lebih natural. Lalu hasilnya kutunjukkan ke mereka.
“Bagus, lihat,” kataku.
“Iya, bagus. Thank you,” kata tiga trio cute
itu sambil tersenyum.
“No problem,” kataku. Aku
terlalu grogi untuk mengajak mereka bergabung. Tepatnya menawarkan diri untuk
bergabung dengan mereka. Berada diantara mereka pastilah aku seperti jari
klingking. Ogah!
But,
Thanks God,
atas rejeki indah hari ini.
Medusa
Kuteruskan
wisata monokotilku dengan memotret keterangan-keterangan yang ada. Umumnya
tentang Medusa, sebuah landasan pilar yang berbentuk kepala perempuan cantik
berambut ular yang terletak disalah satu sudut Basilica Cistern ini. Disitu ada
dua kepala Medusa, yang satu nyungsep alias kebalik sedangkan satunya lagi
posisi tidur dengan separuh pipinya. Ada
dua penjelasan tentang Medusa ini: saintifik dan mitologis Seperti biasa yang
mitologislah yang lebih menarik dan lebih kuingat.
Medusa, si cantik berkepala ular dan penangkal hal-hal buruk |
Versi lain mengatakan bahwa Medusa
adalah gadis yang teramat bangga pada mata hitam, rambut panjang, dan tubuh
aduhainya. Sudah sejak lama Ia jatuh cinta pada Perseus, putra raja Zeus.
Celakanya Dewi Athena juga jatuh cinta pada pangeran Perseus ini sehingga
karena terbakar api cemburu Ia mengubah rambut indah Medua menjadi ular yang
menakutkan. Siapapun yang melihat Medusa akan berubah jadi batu walaupun
sekilas. Mengetahui hal ini Perseus lalu menebas kepala Medusa dan
menjadikannya Najat perang. Ia pun sering memenangkan peperangan karena
menunjukkan kepala Medusa ini pada musuh-musuhnya. Sejak saat itu gagang pedang
di Bizantium dibuat dengan bentuk Kepala Medusa.
Diujung
rute terdapat café yang orang bisa menikmati makanan dan minuman hangat dan
berfoto dengan latar belakang pilar-pilar gelap Basilica Cistern. Kalau saja
aku berdikotil mungkin aku akan memilih duduk-duduk disitu dan berfoto.
Berhubung monokotil jadi kuteruskan saja keluar dan mampir di toko souvenir
pintu keluar membeli satu seri kartu post bertema “old Istanbul ”.
No comments:
Post a Comment