Apartment Yildis |
Sampai
di Otogar aku langusng menuju salah satu loket Bis. Ketika salah seorang
petugas loket menanyakan namaku aku menyebutkannya dalam pronunciation Turki, “Naciye”. Seorang petugas loket lain yang
duduk disebelahnya langsung cekikikan. Aku ikut tertawa karena aku tahu kenapa
ia tertawa. Melihat wajah non-Turkiku Ia pasti tak berharap mendengar nama itu,
yang Turki banget dan mungkin ndeso.
Sama alasannya ketika aku menertawai Abdullah, brondong Turki yang kami temui di lokanta tempat biasa aku makan siang.
Ketika itu semua meja penuh pengunjung sehingga aku dan Mas Nasir bingung harus
duduk dimana. Seorang pemuda Turki berwajah ganteng menawari kursi sebelahnya.
Walaupun Ia tidak bisa bahasa Inggris sama sekali tetapi Ia terlihat ingin
sekali berbicara dengan kami, tapi sayang kami pun tak bisa bahasa Turki. Kami
pun tetap bisa berbincang akrab dengan bahasa Tarzan. Ketika kutanya namanya Ia
bilang Abdullah. Melihat wajahnya yang cenderung bule aku tidak berharap Ia
bernama Abdullah karena gambaran yang muncul di kepalaku adalah si tukang
siomay keliling langgananku yang pecicilan, sehingga aku cekikikan setelah Ia
pergi. “Ganteng-ganteng gitu kok namanya Abdullah sih, Pak, bukannya Thomas
atau Richard, atau siapalah,” kataku pada Mas Nasir. Ia setuju. “Tuh, kamu rugi kan, Naj, enggak
bisa bahasa Turki. Ada cowok ganteng gitu, lewat deh,” kata Mas Nasir. Kami
berdua cekikikan. Iya ya, keindahan Tuhan yang nemplok diwajahnya jadi tidak
bisa dinikmati lebih lama. Tapi sebenarnya nama itu cocok untuknya karena
dengan wajah indah yang terpasang di mukanya ia masih sangat baik hati dan
tidak sombong. Mungkin dia tidak sadar kalau dirinya ganteng, dan itulah sebenarnya yang membuatnya lebih ganteng :).
Taksim Square di waktu malam |
Bis
yang kutumpangi ternyata tak menyediakan shuttle
bus dari terminal ke tempat tujuan sehingga aku harus menyeret koperku
yang cukup berat dan menggendong ranselku yang juga berat menuju halte bis kota
yang akan menuju ke Taksim Suare. Lumayan membuatku ngos-ngosan karena separuh
isinya adalah buku. Begitu pula ketika naik ataupun turun dari bis, aku harus
melakukannya sendiri, tak ada yang menolong. Dari taksim square aku harus
kembali menyeret koper sambil menggendong ransel menuju apartement Yildiz.
Untuk sampai ke sana aku harus menuruni anak tangga kecil-kecil dan tak rata
yang cukup banyak. Roda koporku sampai patah karena terbanting sehingga aku
semakin kesulitan menyeretnya. Seorang laki-laki yang melintasi jalan diujung
undakan rupanya tahu kesulitanku. Ia naik dan mengambil alih koperku, “sini aku
bantu.” katanya.
“Terima kasih. Salah satu rodanya tadi
patah sehingga sulit digeret,” kataku. Aku tertawa dalam hati, rupanya Tuhan
tak tega juga melihatku sehingga perlu mengirim malaikat pengangkat koper, hehe...
Setelah sampai di jalan aspal yang
gelap lalu kami berdua pun mengobrol.
“Kamu dari mana?”
“Indonesia.”
“Aku pernah ke Indonesia ,
terutama ke Sumatera,” katanya. Tentu saja aku senang mendengarnya, setidaknya
Ia pernah melihat kecantikan negeriku. Kukatakan padanya kalau keluargaku
tinggal di Sumatera, di Bengkulu. Tapi sayang Ia tak kenal kota itu.
“Aku
suka Indonesia,” katanya, “walaupun penduduknya miskin-miskin tapi mereka
baik-baik.” Kalimat ini agak tidak menyenangkan dikupingku, tapi karena Ia telah
menjadi malaikat pengangkat koper aku tertawa saja mendengarnya. Ia kemudian
memberiku informasi tentang sinagog, komunitas Yahudi dan Nasrani di Istanbul
ketika kuberi tahu kalau aku mempelajari agama dan budaya. Obrolan itu terhenti
ketika Yildiz menelponku untuk kesekian kalinya karena tak juga menemukan
bayanganku disekitar apartemennya. “Naj, kamu harus berhati-hati dengan orang
asing,” katanya ketika kuberi tahu aku sedang ngobrol dengan seseorang. Ah,
bagaimana bisa aku tidak mempercayai malaikat pengangkat koperku, Yildis.Area Sultan Ahmet |
...
No comments:
Post a Comment