“Manusia Mati Menurut Cara Hidupnya”
-Maulana Rumi-
Makam Rumi di Konya |
Kemarin
sore aku pulang ke Asrama lebih awal dari biasanya. Ada yang aneh sore itu. Biasanya setiap
pulang menjelajah Ankara
aku punya energi besar untuk menulis. Tapi kali ini tidak. Ada perasaan tidak nyaman di hati yang entah
dari mana asalnya. Ada
rasa sedih tanpa sebab di kedalaman sana
yang membuatku tidak bisa menikmati apapun yang kulihat, kudengar dan
kulakukan. Aku berpikir mungkin karena hajat utamaku ke Turki sudah terpenuhi
dan sebagian besar Ankara
sudah dijelajahi sehingga kebosanan mulai menerpa. Kalau begitu mungkin ini
saatnya aku harus ke Istanbul
untuk mengalami hal-hal baru dan memenuhi hajat kedua, menemui Sufi, begitu
pikirku.
Belum
ada kabar apapun dari orang-orang yang sudah kuhubungi di Istanbul . Thomas, penyair Australia yang
kutemui di makam Maulana belum juga menghubungi aku atau membalas emailku.
Begitu pula Esin Celebi Bairu, wakil presiden International Mevlana Center, dan
Cemalnur, Sufi perempuan yang direkomendasikan Can Guldere, malaikat dalam bis
yang kutemui sepulang dari Konya. Walaupun belum ada kabar apapun dari mereka
aku bertekad akan ke Istanbul
segera. Apa yang bisa kuperbuat di Istanbul bisa kupikirkan
nanti setelah tiba di Istanbul ,
begitu pikirku.
Untuk
melupakan perasaan gelisah aku memilih tidur. Biarlah hari ini aku tak menulis
karena memang tak ada kejadian menarik untuk ditulis. Tidur adalah salah satu
terapiku yang cukup manjur untuk melupakan perasaan-perasaan tidak
menyenangkan. Setelah bangun biasanya persepsiku terhadap sesuatu yang membuat
tidak nyaman di hati akan berubah sehingga perasaanku ikut berubah. Malam pun
berlalu menelan kesedihan anehku.
Esok
pagi ketika mataku terbuka perasaan itu masih ada sehingga aku agak meragukan
kemanjuran terapi tidurku. Diatas toilet aku berusaha mencari disela-sela
pikiranku, pikiran yang mana yang menimbulkan rasa aneh ini. Tapi percuma aku
tak menemukannya. Aku tidak tahu apakah rasa sedih itu berasal dari dalam
diriku atau dari luar. Rasa itu benar-benar tidak menyenangkan sehingga aku
perlu mencari pengalih. Kuyalakan TV mencari channel yang menghibur walaupun
tak mengerti bahasanya. Percuma, perasaan itu masih ada.
Setelah
menyantap roti dan segelas susu aku iseng menelpon kerumah di Indonesia .
Seperti biasa tidak pernah tersambung. Lalu kukirim SMS mananyakan kabar semua
keluarga. Aku tak berharap terkirim karena biasanya tidak pernah terkirim. Tapi
kali ini terkirim. Lima
menit kemudian ada jawaban yang menjawab kegelisahanku tadi malam. Nenekku, yang merawatku hingga SD meninggal tadi malam jam sembilan atau jam lima sore waktu Turki. Tidak lama kemudian
adikku menelpon dan marah-marah karena sejak tadi malam aku tidak bisa
dihubungi. Katanya semua orang berpikir tentang aku yang harus segera
diberitahu tentang kepergian nenek. Karena
tak pernah bisa terhubung mereka mulai berpikir yang aneh-aneh.
Jangan-jangan terjadi sesuatu padaku. Barangkali inilah yang disebut firasat.
Ini
kematian kedua dalam lingkaran orang-orang yang dekat denganku sehingga aku
sudah sedikit terlatih untuk menghadapi hantaman dukanya. Kematian sepupu
sekaligus adik angkatku sudah memberiku pengalaman kehilangan. Walaupun aku
sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian sebagai kewajaran tapi tetap
saja aku merasa berduka. Setidaknya butuh waktu seminggu untuk benar-benar bisa
menerima kepergiannya. Dan untuk sadar bahwa kematian itu ada dan dekat. Sepanjang kematian tak terjadi pada orang-orang terdekat kita mungkin kita akan selalu menganggap kematian sesuatu yang jauh yang terjadi pada orang lain.
Sejak
kecil aku terlalu sadar pada kematian sehingga sepanjang hidup selalu dihantui
oleh rasa takut pada kematian. Aku selalu menghindar jika ada iring-iringan
mayat. Aku bersembunyi agar jangan sampai melihat kerandanya karena itu akan
menghantuiku semalaman dan tidak bisa tidur. Karena takut melihat mayat akupun tak pernah mau diajak
melayat. Takut dihantui. Ketika seorang sahabatku meninggal akupun tak berani datang. Aku takut
melihat wajahnya. Karena bagiku wajah
tanpa kehidupan benar-benar menakutkan.
Pokonya kematian
benar-benar menakutkan. Sehingga kemanapun aku pergi terutama ketika berada di
atas kendaraan bayang-bayang kematian selalu mengikuti. Takut kecelakaan. Pemandangan pekuburan
disepanjang jalan membuatku selalu ketakutan. Aku tak siap berada diantara
orang-orang yang ditanam itu. Senja pun menjadi musuhku. Karena ia
mengingatkanku pada ketakutan pada kematian. Ketakutan pada keterpisahan. Aku
berusaha menghadapinya, tapi tak selalu bisa.
Akhirnya
daripada aku terus menerus dihantui oleh kematian aku memberanikan diri
mempelajarinya. Syukurlah, karena tidak sulit, mestakung, semesta mendukung. Setelah
mempelajari teori-teorinya aku bertemu dengan pelaku dan petualang kematian.
Seorang pelancong akhirat yang tak keberatan menceritakan persiapan dan proses
kematiannya sendiri. Maka ketika seorang pelancong akhirat yang lain
mengatakan bahwa kematian bukan misteri,
aku dengan segera menyetujuinya. Kematian bukan misteri, manusialah yang
misteri.
Pelajaran
Pertama
Pelajaran
pertama tentang kematian kudapat dari Morrie Schwartz, seorang professor
Yahudi yang menjalani proses kematiannya
dengan sadar dan penuh suka cita. Ia begitu menginspirasi dan mengurangi
ketakutanku pada kematian. Keingintahuanku pada kematian seolah mendapat
pembenaran. Ia bilang, “begitu kita ingin tahu tentang mati sama artinya kita
ingin tahu tentang hidup.” Kupikir
Ia sangat benar karena kematian
dan kehidupan ibarat dua sisi mata uang atau siang dan malam. Aku merasa
pencarianku mendapat dukungan. Ketertarikanku pada kematianpun makin bertambah.
Namun aku tak tertarik pada penjelasan para penghafal kitab suci. Aku lebih
suka mendengarkankan orang-orang yang mengalami kitab suci.
Pelajaran
kedua: Respon orang ketika akan mati
Rupanya
aku tak sendirian. Banyak juga orang yang tertarik pada kematian sehingga tidak sulit mendapatkan literatur
tentang kematian. Bahkan ada studi khusus yang mempelajari tentang kematian.
Studi ini disebut thanatologi. Salah seorang pakar kematian atau thanatologist yang diakui secara akademik bernama Elisabeth Kubler
Ross yang melihat kematian dari perspektif psikososial. Si Ibu Ross ini
meneliti tentang respon orang-orang yang menjelang kematian. Dari situ kemudian
Ia menyimpulkan bahwa ada lima
tahap reaksi orang terutama pasien ketika diberi tahu kalau hidupnya tidak lama lagi. Pertama,
mereka akan melakukan penyangkalan dengan tidak mempercayai diagnosa dokter.
Pasti dokternya salah diagnosa. Namun lama-kelamaan setelah tak ada lagi alasan untuk tidak
percaya pada diagnosa dokter mereka kemudian mulai mengasingkan diri dan enggan
bertemu dengan orang-orang. Mereka butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit
ini.
Respon
kedua, marah, gusar, cemburu dan benci. Marah karena kenapa mereka yang harus
mengalami penyakit yang akan merenggut nyawa mereka bukan orang lain saja.
Sehingga mereka pun mulai cemburu pada orang-orang yang sehat. Ketiga,
melakukan penawaran pada yang kuasa. Setelah tak mungkin dapat mengelak dari
kenyataan bahwa penyakit itu benar-benar terjadi dan menggerogoti waktu hidup
yang mereka miliki, mereka kemudian melakukan penawaran pada Tuhan atau apapun
yang dianggap Maha Kuasa. Mereka menawarkan seandainya diberi penundaan
kematian mereka akan melakukan kebaikan atau sesuatu yang berguna. Keempat,
rasa kehilangan. Setelah kematian terasa cukup dekat dan tubuh kian lemah,
sikap marah, tabah, atau apatis akan segera tergantikan oleh rasa kehilangan
dalam berbagai bentuk seperti keterkejutan, kecemasan, dan depresi mendalam.
Kelima, menerima. Ketika si sakit mempunyai cukup waktu dan dibantu untuk
melewati tahap-tahap sebelumnya maka Ia akan sampai pada tahap dimana Ia tak
lagi depresi, takut atau marah pada nasibnya. Si pasien akan merasa lebih siap
untuk menghadapi kematiannya sendiri. Inilah kelima tahap yang umumnya dihadapi
oleh orang yang divonis mati oleh dokter. Thanatologi
membantu mempersiapkan orang yang akan mati dan juga keluarganya untuk
menghadapi kematian dengan wajar. Hasil penelitian ini kemudian mengilhami
kegiatan pendampingan kematian.
Pelajaran
ketiga: Tahap-tahap kematian
Seorang
mistikus Hindu, Sri Eknath Easwaran, membuka penjelasannya tentang kematian
dengan sebuah teka-teki menarik yang diajukan pada lima bersaudara Kurawa. Teka-teki itu
berbunyi, “Apakah yang paling mengherankan dalam hidup ini?” Keempat saudara
Kurawa mati tanpa tahu jawabannya. Hanya pangeran tertua yang mampu
menjawabnya. Ia bilang, “meskipun setiap hari melihat orang lain mati, ada
banyak orang yang tak pernah berpikir bahwa dirinya sendiri akan mati.” Ini
benar sekali, tapi aku merasa tak termasuk di dalamnya.
Selanjutnya
Easwaran menjelaskan, pada saat kematian jiwa tidak meninggalkan tubuh dengan
mendadak akan tetapi berangsur-angsur melewati selubung-selubung yang melapisi
diri sejati manusia. Setahap demi setahap kesadaran akan menarik diri dari
panca indra dan masuk ke dalam pikiran. Dari pikiran lalu masuk ke dalam diri
sejati. Baru setelah itu diri sejati melepaskan diri. Detailnya begini,
mula-mula pintu-pintu panca indra akan tertutup sehingga kesadaran eksternal
terhadap tubuh sudah tidak ada lagi. Namun walaupun kesadaran tentang dunia
luar sudah tidak ada tapi kesadaran dalam pikiran masih tertinggal seperti:
keinginan-keinginan, penyesalan-penyesalan, konflik, harapan dan ketakutan-ketakutan.
Ketika kesadaran tubuh dan pikiran acak ini sudah tak ada lagi maka
satu-satunya isi kesadaran orang yang sekarat adalah apa yang paling sering
dipikirkannya, paling kuat diperjuangkannya dan apa saja yang paling
diinginkannya. Ketika diri sejati mulai meninggalkan tubuh, inti kesadaran
itulah yang menemaninya ke kehidupan berikutnya. Inilah alasan mengapa dalam
beberapa tradisi dibacakan ayat-ayat suci atau mantra-mantra pada orang yang
sekarat. Agar pesan-pesan ayat-ayat suci itu terbawa hingga saat terakhir dan
juga agar si sekarat merasa lebih tenang ketika menyongsong ajal.
Pelajaran
keempat: Mengapa takut mati?
Inilah
pertanyaan terbesarku. Mengapa aku takut pada kematian? Ibnu Sina, sang ahli
kedokteran yang juga filsuf dan mistikus Muslim pernah juga membahas tentang kematian.
Menurutnya ada beberapa hal yang membuat manusia takut pada kematian
dintaranya: pertama, karena ketidaktahuan tentang kematian. Ini terjadi karena
kita tidak banyak membahas tentang kematian sehingga kita punya
pandangan-pandangan yang keliru tentang kematian. Aku sepakat sekali. Kedua,
karena ketidakpastian setelah kematian. Ini pun karena minimnya info tentang
alam dibalik kematian. Ketiga, karena asumsi bahwa hidup berakhir setelah
kematian. Ini umumnya diidap oleh orang-orang rasional yang tak percaya alam
akhirat. Keempat karena ketakutan pada hukuman di neraka. O la la, tampaknya
disinilah ketakutanku berada. Gambaran neraka yang ada dibuku-buku komik yang
kubaca ketika kecil dulu begitu dahsyatnya hingga terbawa-bawa sampai sekarang.
Beribadahkupun akhirnya lebih banyak dilandasi oleh ketakutan pada neraka itu
sendiri dibanding semata-mata untuk mengenal yang diibadahi. Tapi kemudian aku
memutuskan untuk tak berada pada level ini. Tidak asik.
Pelajaran
kelima: Kematian bukan misteri
Dari
teori kemudian aku melanjutkan ke lapangan. Seorang Sufi perempuan yang
sekaligus seorang healer mengajakku
menjenguk salah seorang pasiennya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Menurutnya hidup pasiennya tinggal hitungan jam. “Kalau kamu beruntung kamu
akan melihat bagaimana proses ketika nyawa meninggalkan tubuh,” katanya. Tentu
saja aku berharap beruntung hari itu walaupun terbersit ketidaknyamanan karena
berharap pasiennya benar-benar mati agar bisa kuamati. Aku merasa agak kejam,
tapi apa boleh buat aku butuh pengetahuan itu. Ia lalu berbagi ilmunya, “Siapa
bilang kematian adalah misteri, manusialah sebenarnya yang misteri.” Dengan
cepat aku setuju dengannya. Manusialah yang misteri, bukan kematian, yup!
Di
ruang VIP rumah sakit seorang
laki-laki usia enampuluhan tahun terbaring dengan alat bantu nafas di mulutnya.
Setiap kali benafas Ia mengeluarkan bunyi dengkuran yang sangat keras. Tampak
sekali Ia sangat kesulitan bernafas. Sesekali air mata keluar dari kedua
matanya yang kemudian segera diseka oleh salah seorang anaknya. Aku berdiri
terpaku didekatnya. Mencoba merasakan apa yang dirasakannya. Aku merasakan
nafasnya tinggal sejengkal dan penyesalan yang dalam yang tak bisa Ia
ungkapkan. “Kamu merasakannya?” tanya Ibu Sufi. “Iya, nafasnya sudah dileher.
Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk melepaskan nafas,” jawabku.
“Jiwanya menjerit-jerit minta tolong,” katanya, “Ia menunggu maaf dari
ibunya.” Aku hanya bergumam, “Ooooh,”
dan pikiranku melayang pada orang tuaku. Dosaku setinggi gunung pada mereka
sehingga kalau aku mati sebelum mendapat pengampunan maka aku tahu bagaimana
akhir hidupku.
Rupanya
hari itu aku belum beruntung. Laki-laki itu meninggal tengah malam beberapa jam
setelah aku pulang. Gagal sudah
memperhatikan momen penting yang menjadi batas antara dua dunia, empiris dan
non-empiris, yang nyata dan yang ghaib. Tuhan belum mengijinkan aku untuk
menyaksikan.
Pelajaran
keenam: Rasakan sendiri
. Satu
bulan kemudian aku diberi pengalaman yang lebih dekat. Pengalaman rasa. Laki-laki
di rumah sakit itu bukan siapa-siapaku sehingga aku tak terpengaruh oleh
kematiannya. Tapi bagaimana jika Ia adalah orang yang dekat denganku? Tuhan
rupanya mengajariku perlahan-lahan. Ini pasti karena Dia tahu kalau aku sangat
rapuh sehingga kalau diberi pengalaman yang dahsyat pasti kongslet dan tak
mampu mengambil hikmahnya. Dia menjadikan adik angkatku sebagai si sekarat.
Anehnya, seperti yang dikatakan Ibu Kubler-Ross, walaupun dokter bilang sudah
tak ada harapan untuk sembuh karena tumor paru-paru sudah sedemikian
menggerogotinya, aku memilih tak mempercayai dokter. Ini juga karena aku tak
sepenuhnya percaya pada ilmu pengetahuan modern. Aku bersikukuh bahwa adikku
bisa sembuh asal dimotivasi untuk hidup. Ternyata ketika akhirnya Ia
benar-benar meninggal aku shock bukan main. Pengetahuanku tentang kematian
seolah tak berguna karena aku tetap berduka dan menangis berhari-hari.
Kematian
nenekku ini adalah kematian kedua dalam lingkaran keluargaku. Karena sudah
punya pengalaman duka sebelumnya maka aku tak begitu berduka. Aku menganggap
nenekku pindah alam, itu saja. Atau mungkin juga karena aku berada jauh dari
rumah sehingga tak terekspos oleh suasana duka. Namun ketika sendirian rasa kehilangan itu terasa kembali.
Enam
bulan setelah dari Turki aku diberi pengalaman yang lebih dekat lagi, kematian sahabat berbagi misteri kehidupan, seperti Rumi dan Syams. Dia kupanggil Umi, seorang Sufi Perempuan yang dikirim kehidupan sebagai jawaban atas doaku ketika meminta ingin bertemu Sufi Perempuan yang tidak selibat, seperti Rabi'ah Al-Adawiyah. Aku butuh Sufi yang berkecimpung di kehidupan bukan yang memisahkan diri dari hiruk pikuk dunia. Dan Umi-lah jawabannya. Dialah Syams Tabris-ku,
guru yang telah membeberkan rahasia Sang Maha Hidup. Walaupun
Ia sering bercerita tentang
umurnya yang tidak panjang dan sering menghitung-hitung jarak hari
kepergiannya, tetapi aku selalu menyangkalnya dan menanggapinya dengan tidak
serius. Umi pernah bilang bahwa permintaanya untuk mati pernah ditolak oleh
Tuhan karena menurut Tuhan, hidupnya lebih berarti dibanding kematiannya.
“Kalau kamu mati, hanya kamu yang senang, sedangkan kalau kamu hidup, lebih
banyak orang yang senang,” kata Tuhan. Kata-kata inilah yang selalu aku pegang.
Sehingga setiap kali Ia sakit, separah apapun, aku yakin Ia pasti sembuh.
Karena sakit adalah bagian dari prosesnya untuk mendapat pengetahuan tentang misteri Tuhan.
Aku akan dengan senang hati mendengarkan apa yang telah dipelajarinya tanpa merasakan
penderitaan prosesnya. Benar-benar curang. Maka ketika Ia
benar-benar pergi aku tak siap menerimanya. Aku masih ditimpa duka kehilangan
walaupun akalku berkata bahwa itulah yang
terbaik untuknya. Ia lebih bahagia disana bersama kekasih sejatinya.
Kematian
Umi membuatku sedikit mengerti apa yang dirasakan Maulana ketika kehilangan
Syams. Pedih karena didera duka perpisahan dengan oran g yang menyimpan rahasia Sang Kekasih.
Hari-hari menjadi hampa karena tak ada lagi yang memberi kabar tentang Dia Sang Misteri.
No comments:
Post a Comment