“Apa yang disampaikan hati akan diterima oleh hati,”
Istana Topkapi |
“They
know we are tourist. So, they will cheat us,” kata Ayla.
“Yes,
of course,” kataku. Kami terus berjalan mencari café atau resto yang banyak
orang lokal karena pasti lebih murah, tapi tidak menemukannya sehingga aku
mengusulkan untuk mempercayai para cheaters
itu.
“Ya, kamu benar. Mari kita percayai
saja mereka,” kata Ayla setuju.
Lalu
kami berhenti di sebuah café tepat di depan Hagia Sophia. Pelayannya sangat
ramah, terlalu ramah bahkan. Sikap mereka sangat akrab seperti kenalan lama.
Namun untuk dua omelet jamur, segelas
coklat dan kopi panas kami harus membayar tiga puluh Lira. Terasa mahal,
tapi kami sudah memutuskan untuk mempercayai para cheater sehingga tidak perlu merasa dicurangi.
“Kupikir Ia jarang menerima kasih
sayang,” komentar Ayla.
“Kupikir juga begitu, makanya galak.
Manusia juga begitu, kan?” tanyaku. Ayla mengiyakan.
“Naj, kenapa kamu belum menikah?”
tanya Ayla tiba-tiba, melenceng dari yang sebelumnya kita obrolkan.
Aku perlu berpikir sejenak sebelum
memberi jawaban dari pertanyaan yang tak pernah kupikirkan akan ditanyakan oleh
orang asing. Pertanyaan seperti ini di tanah air teramat biasa dan sampai jenuh
mendengarnya. Tapi Ayla pun menanyakannya yang sebenarnya mungkin dia bisa menebak
jawabannya.
Pengalamanku selama di Turki telah membuka banyak hal yang membuatku mengerti apa yang telah
kualami hingga saat ini. Ketakutan-ketakutan telah menemukan kata-katanya
sehingga bisa diartikulasikan. Kunjunganku ke Konya telah membuka banyak tabir
pengalaman pahit hingga bisa diungkapkan.
“Pada awalnya karena aku takut
didominasi, apalagi membawa-bawa agama sebagai pembenaran” jawabku. Ayla tertawa, “Aku bisa memahamimu?” Ia lalu menceritakan
kisah hidupnya sendiri, “Kamu tahu? didalam keluargaku suamiku sangat dominan.
Pada awalnya aku merasa begitu sulit karena aku harus berjuang melawan dominasi
itu, tapi kemudian aku merasa percuma karena Ia tetap tak bisa berubah. Kupikir
mungkin itu sudah wataknya, watak laki-laki pada umumnya. Mereka sepertinya tak
bisa hidup tanpa kekuasaan. Akhirnya aku mengalah demi keutuhan keluarga. Aku
berada dibelakang dia. Walaupun begitu bukan berarti aku tidak berdaya karena
keputusan itu kuambil dengan kesadaran penuh dan bukan tanpa pengetahuan. Aku
tetap menjadi diriku sendiri.”
“Ya, kupikir karena budaya yang
berkembang selama bertahun-tahun memang mengkondisikan laki-laki untuk seperti
itu. Jadi bukan sepenuhnya salah mereka. Mereka diajarkan untuk memandang kekuasaan
sebagai dominasi terhadap orang lain bukan bagaimana bekerja sama dengan orang
lain dan tumbuh bersama-sama. Pada kasusmu, aku tidak melihat kau tidak
berdaya, Ayla.”
“Ya, aku juga tidak berasa begitu.
Kamu tahu, walaupun suamiku suka mendominasi tapi aku mengakui dia suami yang
baik. Dia sangat bertanggung jawab,” puji Ayla. Sejenak kami berhenti berbicara
karena menikmati minuman masing-masing. Coklat panas dan kopi panas.
“Naj, lebih baik kamu menikah dengan dervish saja,” usul Ayla tiba-tiba.
Aku spontan ngakak karena tidak
berpikir kearah sana, “Kenapa begitu?” tanyaku.
“Setidaknya cara berpikir mereka sudah
lebih maju dibanding laki-laki kebanyakan.”
“So, menurutmu mereka lebih bisa
menghargai perempuan?”
“Ya, itu yang kupikirkan.”
“Well, walaupun tak semua dervish atau Sufi terbebas dari kecenderungan untuk memandang
rendah perempuan tapi setidaknya mereka terus berjuang untuk menundukkan
egonya. So, oke, usulmu, kupertimbangkan,” jawabku. Kami berdua lalu
tertawa. Seorang laki-laki dan perempuan dimeja sebelah yang tampaknya sejak
tadi ikut mendengarkan pembicaraan kami yang begitu serius akhirnya menoleh.
Namun kami tetap saja tertawa.
“Kurasa orang disebelah kita
mendengarkan apa yang kita bicarakan,” bisikku pada Ayla.
“Ya, aku juga merasakan itu.”
“Apakah mereka mendapat pencerahan
dari obrolan kita?” candaku.
“Semoga saja.” Kami berdua lalu tertawa lagi.
Dari
Café kemudian kami melanjutkan penjelajahan ke Istana Topkapı yang terletak tepat dibelakang Hagia Sophia.
Setelah membayar 20 Lira lagi kami langsung menuju ke sisi museum yang berisi
kereta kencana, lalu ke museum keramik koleksi Sultan Ottoman. Karena kami
menjelajah Topkapı tanpa guide maka aku memotret semua
keterangan-keterangan yang ada agar bisa dibaca lagi nanti dengan lebih cermat.
Sekarang lihat saja semua baru nanti dibaca sejarahnya. Begitu pikirku.
Bangunan, taman dan view di
Topkapı sangat indah. Istana ini tidak
hanya menyajikan keindahan arsitekur Islam tetapi juga sejarah kejayaan dinasti
Ustmani atau Ottoman dalam lidah Eropa. Di Istana ini pula tersimpan
benda-benda bersejarah berkaitan dengan nabi-nabi terutama Nabi Muhammad yang
di Turki di sebut Peygamber. Ada pedang Nabi Muhammad yang bertahta berlian,
pedang Ali dan pedang sahabat Nabi. Ada baju Siti Fatimah putri bungsu Nabi dan
baju Husein cucu Nabi. Ada pula turban
Nabi Yusuf. Ketika berada di bagian tengah istana Topkapı dan melihat peninggalan-peninggalan
kesultanan Ottoman kami tidak sabar ingin cepat-cepat menyelesaikannya karena
ingin segera melihat benda-benda yang berkaitan dengan Nabi, terutama helai
rambut Nabi. Bagi kami berdua jantung Istana Topkapi adalah benda-benda ini,
yang lain-lain tidak begitu penting. Maka ketika akhirnya tiba, Ayla
berkomentar, “Kita terasa lebih dekat pada Nabi sekarang,” katanya penuh
kelegaan sambil benar-benar memperhatikan benda-benda bersejarah itu, yang sebenarnya tidak kelihatan karena terlampau kecil. Aku
mengiyakan, sayang tak boleh di foto.
Di
semua ruangan tempat menyimpan benda-benda bersejarah ini diperdengarkan suara
bacaan Qur’an. Namun ada yang tidak biasa pada bacaan itu. Bacaan itu terasa lebih
hidup. Aku sudah sering mendengar qiro’ah atau baca'an Qur’an, di toko-toko
Islam, di mesjid atau musholla sebelum waktu solat tiba. Seringkali hambar dan
bahkan kadang mengganggu karena terlalu keras sehingga bacaan itu lewat begitu saja dikuping tanpa kesan.
Tapi kali ini tidak. Apakah karena hatiku sedang sensitif sehingga mudah
tergetar oleh kalam Ilahi?, pikirku ge’er.
“Ayla, kamu merasakan sesuatu dari
bacaan itu, tidak?” tanyaku.
“Iya, terasa berenergi.”
“Menurutku terasa lebih hidup.”
Setidaknya aku tidak sendirian
merasakannya. Kami lalu melanjutkan keruang berikutnya yang menyimpan berbagai
benda bersejarah lainnya.
Ketika melewati sebuah ruangan sebelum
ke ruangan penyimpanan baju Siti Fatimah aku menemukan seorang bapak berjubah
hitam dan berturban hitam duduk dipodium sedang membaca Qur’an. Walaupun orang
berlalu-lalang dihadapannya untuk menuju ke ruang berikutnya namun Ia tak
peduli. Ia terus saja asik membaca Qur’an. Aku berdiri dekat pintu seolah-olah
sedang menunggu seseorang padahal sengaja memperhatikannya. Kadang matanya
terpejam dan kepalanya bergoyang mengikuti irama bacaanya sendiri. Ia terlihat
terbuai dan menikmati apa yang dilakukannya. Ho ho, sekarang aku mengerti
kenapa bacaan Qur’an yang kudengar disemua ruangan terasa lebih hidup. Karena
memang bukan berasal dari rekaman melainkan suara langsung dari bapak itu. Aku
jadi ingat kata-kata seorang teman, “Apa yang disampaikan oleh hati akan diterima
oleh hati,” begitu katanya. Absolutely
agree!
Si Kucing sombong dan galak |
No comments:
Post a Comment