“Tuhanlah
yang membuat kita mencintai Tuhan”
-Sufi Master-
Dua
jam setelah bis berangkat seorang perempuan bernama Ridade menelpon, bertanya
aku sudah sampai dimana dan turun di terminal mana? Rupanya Thomas, penyair
Australia yang kutemui di makam Maulana Rumi tanggal 17 Desember lalu
benar-benar menyampaikan keinginanku bertemu seorang Sufi. Melalui Thomas-lah
aku bertemu malaikat-malaikat Istanbul dan Sufi Master. Kusebut Thomas dan
Ridade malaikat ke lima belas dan enam belas. Mereka berdua adalah calon dervish dari tarekat Rifa’i.
Tiba
di Gaziosmanpasa dua orang perempuan
muda Turki sudah menungguku. Mereka melabaikan tangan diseberang jalan yang
salah satunya adalah Ridade mahasiswa S3, sedangkan satunya lagi adalah Selin.
Mereka berdua adalah calon anggota tarekat Rifa'i yang masih menjalani tahap test sebelum di bai'at (disumpah) menjadi anggota tarekat. Mereka kemudian membawaku ke sebuah gedung yang
awalnya aku kira tempat tinggal mereka tapi ternyata rumah sang Sufi Master, guru pembimbing ruhani mereka.
Kami
menaiki beberapa lantai hingga paling atas, lalu melepas sepatu, menggantung
jaket dan syal. Ridade bertanya apakah aku membawa kerudung. “Aku sudah
mempersiapkannya,” kataku sambil mengeluarkan kerudung batik yang sudah
kusiapkan. Lalu kami naik ke sebuah ruangan beratap rendah, ruang paling atas bangunan. Disitu sudah
berkumpul banyak orang. Di dapur yang sangat sempit dua orang laki-laki setengah baya sibuk menyiapkan
piring dan makanan. Aku dibawa ke ruangan sebelah kanan dekat dapur, ke tempat sang Sufi
Master dan Ibunya berada. Mereka menyambutku dengan hangat. Aku mencium tangan
dan kedua pipi Ibu sang Master dan duduk disebelahnya. Aku tidak tahu bagaimana
harus menyalami sang Master sehingga aku memilih mengangguk dan tersenyum kepadanya.
Ridade lalu memperkenalkan aku sekaligus menjadi penerjemah. Malam itu tidak
hanya aku yang menjadi tamu asing di dalam ruangan itu. Ada seorang perempuan dari Jerman bernama
Ayla yang lebih dulu tiba.
Setelah
bertanya kabar dan bagaimana perjalanan dari Ankara sang Master bertanya
tentang tarekat di Indonesia. Berdasarkan bacaan aku jelaskan bahwa di Indonesia banyak sekali
tarekat atau Sufi Order, mulai dari Naqsabandiyah, Qadiriyah, Chistiyah,
Tijaniyyah, dan Rifaiyyah bahkan Maulawi juga ada. Tapi tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiyah paling besar di Indonesia. Ia mengangguk-angguk. Lalu
menjelaskan sesuatu pada murid-muridnya. Tak lama kemudian Ia menyuruhku ke
ruangan sebelah untuk bergabung dengan yang lainnya.
Diruangan
sebelah yang tak begitu besar dan juga beratap rendah ini telah berkumpul sekitar
dua puluh orang laki-laki dan perempuan dengan wajah yang berbeda-beda. Aku
satu-satunya yang berwajah Asia Melayu. Selebihnya adalah wajah-wajah berhidung
tinggi. Selain anggota tarekat Rifa’i sendiri yang berasal dari Turki, ada juga
tamu dari Jerman, London, dan Australia.
Dinding
ruangan dipenuhi oleh kaligrafi dan foto-foto berbingkai. Kaligrafi-kaligrafi
itu mungkin karya sang Master sendiri yang memang jago membuat kaligrafi selain
bermain musik dan mencipta lagu. Sebagian besar laki-laki dalam ruangan ini
memegang alat musik. Seorang laki-laki agak tua memegang sejenis kecapi; satu
orang memegang ney; dua orang memegang rebana dan beberapa yang lain memegang
alat yang tidak aku tahu namanya. Ia dibunyikan dengan cara dihentakkan
kelantai. Alat ini mengeluarkan bunyi berisik yang menggugah semangat tempur. Mereka lalu memainkan lagu yang bernada mars.
Sang Master juga bernyayi. Aku hanya menangkap kata Allahu akbar yang diucapkan
Allahu ekber, selebihnya bahasa Turki. Tiba-tiba seseorang menyapaku, “Hi Naj,” yang
setelah kutoleh ternyata Thomas sang penyair Australia yang duduk berjarak satu
orang laki-laki disebelahku. Ia memegang alat musik berisik itu sementara
laki-laki disebelahku memegang kamus Turki-Jerman.
Aku
bertanya apakah aku boleh memotret. Selin lalu keluar untuk bertanya pada
Master. Tak lama kemudian Ia kembali lagi dengan, “yes, you can make photo.” Agar tak mengganggu konsentrasi aku tak
menggunakan flash. Ketika Ney dan kecapi dimainkan aku memilih untuk
berkonsentrasi dan betul-betul mendengarkannya. Mereka memainkan musik dan
menyanyikan lagu puji-pujian dengan khusuk. Ketika seorang laki-laki agak tua
bernyanyi dengan vocal penuh Selin menjelaskan bahwa Ia seorang penyanyi yang
cukup terkenal di Turki dan Ibunya seorang artis terkenal pula. Laki-laki itu
terlihat benar-benar terserap oleh lagu yang dinyanyikannya. Matanya merem
melek.
Setelah
sesi musik dan nyanyi usai, aku diminta untuk masuk kembali ke ruangan Master.
Ia duduk di Kursinya sementara aku duduk lesehan didepannya. Seorang laki-laki
setengah baya memberiku segelas teh dan dua potong kue yang manisnya minta ampun dalam piring kecil.
Master lalu bertanya tentang namaku. Setelah kujawab ia lalu menjelaskan
tentang arti namaku pada orang-orang yang ada di situ dalam bahasa Turki. Kali
ini penerjemahku bernama Yildiz. Setelah itu Ia bertanya tentang nama gunung di
Jawa yang beberapa waktu lalu meletus. Rupanya gunung Merapi membuat Jawa dan
Yogyakarta cukup dikenal di Turki apalagi setelah disusul Gempa Jogja.
Master
berkulit putih, hidung lancip, bermata biru dan berbibir tipis dengan kumis
agak-agak pirang. Ia terbilang tampan. Wajahnya setipe wajah Ataturk, tipikal
wajah Istanbul yang mungkin dominan gen Eropanya. Ketika kutanya umurnya Ia
menjawab dengan jawaban yang tidak biasa. Ia bilang secara lahir dan spiritual ia berumur 43
tahun. Aku bertanya lagi apa yang ia maksud umur secara lahir dan spiritual. Ia
menjelaskan bahwa umur jasmani dan ruhaninya sama, yaitu 43 tahun. Karena
wajahku masih mengernyit penuh tanda tanya sang Ibu memberi isyarat keperutnya.
“Oh, itu berarti proses spiritual anda sudah dimulai sejak dalam kandungan?”
tanyaku. Master membenarkan. Ia bilang ibunya selalu berzikir “lailahailallah lailahailallah” ketika
hamil dirinya.
“Oh, pantas kalau anda mempunyai
kualitas seperti itu,” komentarku sok tahu.
Aku bertanya lagi, “Apakah anda memang
keturunan Sufi?” Ia bilang Ayahnya seorang Dervish
begitu pula ibunya. Lalu ia balik bertanya, “Apakah kamu seorang Sufi?” Aku
tertawa, “Saya tidak tahu.”
“Kamu Sufi,” katanya menuduh, entah main-main atau serius, aku tidak tahu.
“Iya, Sufi alias suka film,” jawabku dalam
hati.
“Di Turki Sufi disebut Dervish, bagaimana dengan di Indonesia?”
tanyanya. Aku bingung, kuberikan saja jawaban yang kuberikan kepada Prof.
Sebahattien, Profesor pertanian yang sempat juga berdiskusi tentang Sufi denganku di Fakultas Pertanian, Universitas Ankara. Aku bilang masyarakat lokal mungkin mengenalnya sebagai wali atau
sunan karena kata Sufi hanya umum di buku-buku. Ia menjelaskan bahwa Sufi atau dervish berbeda dengan wali. Ia kemudian
menunjuk pintu. Menurutnya dervish
atau Sufi masih diambang pintu. Sedangkan wali sudah didalam pintu. Dervish dalam bahasa Turki memang
berarti ambang pintu.
Melihat makanan dan minumanku masih banyak, Master bertanya, "kenapa tidak dimakan kuenya?"
"Karena saya tidak ingin kehilangan sediktipun dari kata-kata anda," jawabku.
"orang akan mendengar apa yang patut ia dengar," katanya. Aku mengiyakan saja.
Melihat makanan dan minumanku masih banyak, Master bertanya, "kenapa tidak dimakan kuenya?"
"Karena saya tidak ingin kehilangan sediktipun dari kata-kata anda," jawabku.
"orang akan mendengar apa yang patut ia dengar," katanya. Aku mengiyakan saja.
Lalu kujelaskan defenisiku
tentang Sufi yang sangat sederhana yaitu pecinta Tuhan. Master kemudian mengatakan
bahwa tidak hanya pecinta Tuhan, seorang Sufi adalah orang yang juga dicintai
Tuhan. Karena Tuhanlah yang memilihnya dan menempatkan cinta itu dalam dirinya.
Kata-katanya
mengingatkan aku pada Umi, seorang Sufi perempuan yang pernah kuwawancarai yang diam-diam kemudian kuanggap guru. Ia mengatakan bahwa seorang hamba
Allah tidak hanya klaim sepihak bahwa ia adalah hamba Allah hingga Allah
sendiri mengakui bahwa ia adalah hamba-Nya. Ia menjelaskan bahwa pada saatnya
nanti ketika kita sudah berproses dalam peleburan wujud dengan Tuhan, maka Allah sendiri yang akan mengatakan, “Pada saat ini Kuakui ke-Hambaan-mu,
Kuakui ke-Akuanmu, Kuakui ke-Engkauanmu, Kuakui ke-Diaan-mu, dan Kuakui
ke-Kamianmu.” Kata-kata Umi inilah yang membuatku mudah mencerna penjelasan Sufi Master tarekat Rifa'i ini.
Orang-orang
satu persatu mulai berpamitan sehingga conversation
itu terhenti. Laki-laki dan perempuan mencium tangan Master dengan bibirnya
lalu meletakkan tangan itu di dahinya, lalu berjalan mundur hingga mencapai pintu sehingga tidak tampak berjalan membelakangi Master. Ketika aku juga harus pulang aku mencium
tangannya dengan kikuk. Ketika aku
berpamitan pada sang Ibu, Ia mencium pipi kanan dan kiriku sambil membacakan
Sholawat. Malam itu aku menginap di rumah Yildiz, tangan kanan sang Master yang
menjadi malaikat ke delapan belasku. Yildiz seorang perempuan tinggi, cantik,
bermata biru, dan berambut pirang, umur 34 tahun. Karena ia belum menikah maka
aku dan tamu lain dari Jerman bernama Ayla, bisa leluasa di apartmennya.
1 comment:
... bahwa seorang hamba Allah tidak hanya klaim sepihak bahwa ia adalah hamba Allah hingga Allah sendiri mengakui bahwa ia adalah hamba-Nya.
Post a Comment