The pole of love, Kutub Cinta
Ia tak bicara pada pikiran
orang-orang itu yang dipenuhi
oleh konsep Tuhan menurut agamanya masing-masing.
Ia berbicara
pada hati semua orang yang hanya
merindukan satu kata, CINTA.
Hari
ketiga bayram atau Idul Adha akhirnya aku berangkat ke Konya. Bahagianya tidak
ketulungan karena momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga. Mas Media,
mahasiswa S3 dari Jakarta
adalah malaikat ke delapan. Dialah yang menjadi partner perjalanan ke Konya , mengunjungi
Maulana Rumi. Mas Nasir, pagi-pagi sekali sudah menelpon mengatakan ia tidak
bisa ikut karena badannya sakit. Walaupun kemarin ia bilang mau ikut tapi aku
merasa masih ada keragua-raguan. “Ia pasti belum begitu kenal Maulana,”
batinku. Ketika pagi itu ia memberi tahu tidak jadi ikut aku sudah bisa
menduganya. Maka kami hanya bertiga, Mas Media, Yan, dan aku.
Kami
janjian untuk bertemu di Asti
–terminal terakhir metro- jam 9 pagi. Aku keluar dari kamar setengah sembilan
dan menunggu digerbang kampus. Tidak sampai satu menit Yan sudah nongol sehingga aku tidak perlu menunggu
lama dan kedinginan, karena sejak Bayram udara menjadi lebih dingin, dibawah 5
derajat celcius. Lalu kami berdua menuju stasiun Kurtulus, naik metro menuju Asti . Di stasiun Besevler
kami melihat Mas Media masuk metro lalu kita duduk bersama. Kami bertiga sudah
berkumpul sebelum tiba di Asti
sehingga tidak perlu cari-carian lagi. Dari Asti kami naik tangga menuju
terminal bis Ankara
yang terletak di atas Asti .
Kami mencari bis jurusan Konya .
Jam 9.30 bis berangkat menuju Konya .
Maulana, we are coming….
Ketika
bis mulai melaju, aku siapkan the eyes of
my flesh untuk melihat Turki selain Ankara
dan the eyes of my flash kamera
digitalku untuk mengabadikannya.
Untungnya aku dan Mas Media duduk di balakang meja tempat kondektur
menyiapkan segala kebutuhan makan dan minum penumpang, sehingga walaupun
ditengah-tengah badan bis namun pandanganku lebih luas sehingga bisa memotret
dengan lebih leluasa karena tidak terhalang kursi depan.
Setengah
jam setelah melaju pemandangan berubah drastis dari tanah-tanah yang padat
bangunan bertingkat ke tanah-tanah perbukitan gundul yang luas. Permukaan tanah
dan ujung-ujung pohon mulai ditutupi salju tipis. Lebih jauh meninggalkan Ankara salju semakin
tebal dan pohon-pohon makin ranum oleh salju. Semakin jauh semakin jarang pohon
terlihat. Pohon-pohon di pinggir jalan yang tak punya banyak teman ditengah
hamparan salju menghadirkan perasaan sunyi yang dingin.
“Gila! Coba bayangkan dulu
bagaimana Rumi dan keluarganya mengembara dari Afganistan sampai ke Konya hanya untuk mencari
ilmu. Kita disuruh belajar saja males,” kata Mas Media. Komentarnya membuatku
berpikir lalu nyeletuk, “Makanya,
ilmunya lebih dahsyat dan pengaruhnya lebih hebat dibanding ilmuwan modern
karena prosesnya lebih berat.” Ia setuju.
Maulana
lahir di kota Balkh pada tahun 1207, tepatnya 30 September. Kota ini dulunya adalah
bagian dari Iran tapi sekarang menjadi bagian dari Afganistan. Maka tidak heran
jika orang Iran merasa lebih memiliki Maulana disamping karena karya-karya
Mualana hampir semuanya dalam bahasa Persia. Karena situasi politik yang kurang
aman ditambah invasi tentara Mongol, maka ayah Maulana, Sultan Bahauddin Walad,
beserta seluruh keluarga dan sahabat dekatnya meninggalkan kota ini.
Kota
pertama yang disinggahi adalah Nishabur, kota yang ketika bicara tentang para
Sufi sering disebut-sebut. Karena banyak Sufi klasik berasal dari sana. Disinilah
ayah Maulana bertemu dengan Sufi terkenal, Fariduddin Attar, seorang Sufi juga
yang bukunya, “Musyawarah burung-burung” sangat terkenal dalam literatur Sufi.
Ia tampaknya sudah sangat terkesan dengan kecemerlangan spiritual Maulana muda.
Dari Nishabur mereka kemudian berpindah ke Baghdat dan kemudian mengembara ke
Mekkah untuk naik Haji. Mereka kemudian hijrah lagi ke Damascus, tempat Sufi
besar, Ibn Arabi, yang juga begitu terkenal dengan konsep kesatuan wujudnya. Dari
dialah sebab-sebab segala perbedaan di dunia ini, termasuk perbedaan agama dan
keyakinan bisa dinalar. Di kota inilah Maulana sempat bertemu dengan sang Guru
Besar Ibn Arabi, dan juga Sadruddin al Qunowi yang kelak menjadi sahabat
kentalnya di Konya. Ketika Mualana mangkat, al Qunowi ditunjuk untuk menjadi
imam yang mensholati jenazah Mualana. Namun duka yang dalam karena kehilangan
sahabat yang sangat dicintainya, membuat al Qunowi pingsan dan tak jadi menjadi
imam sholat jenazah Maulana.
Dari
Damascus mereka lalu hijrah ke Karaman setelah melalui berbagai kota-kota
kecil. Dikota inilah mereka tinggal selama tujuh tahun disebuah madrasah yang
dibangun oleh Subasi Emir Musa. Dikota ini pulalah Maulana menikah dan
berketurunan. Pada masa itu daerah
Anatolia berada dibawah kekuasaan kerajaan Seljuk dengan Konya sebagai
ibukotanya. Alauddin Keykubad yang menjadi penguasa Seljuk kemudian meminta
ayah Maulana untuk tinggal di Konya. Ayah Maulana adalah ulama terkenal dan
karismatis jadi wajar jika seorang penguasa seperti Aluddin Keykubad sangat
terkesan.
Singkat
cerita Ayah maulana menerima permintaan itu dan sejak saat itu, tahun 1228,
Maulana Rumi dan keluarganya menjadi bagian dari keluarga kelas atas kota
Konya. Setelah ayahnya wafat Maulana
menjadi penggantinya. Ia pun menjadi ulama besar yang sangat dihormati dan
dicintai oleh penduduk kota Konya. Sampai suatu hari Ia bertemu dengan orang aneh bernama Syams Tabriz, yang mengubah segalanya, dari seorang guru
besar di Konya menjadi murid kecil di hadapan Syams Tabriz.
Pertemuan
dua orang yang kemudian tak terpisahkan ini bermula ketika Maulana melewati
sebuah jalan menuju suatu pertemuan. Tiba-tiba seseorang tak dikenal
mencegatnya dan bertanya, “Wahai ulama besar Islam, katakan padaku siapa yang
lebih hebat, Nabi Muhammad atau Bayazid Albustami?”[1]
“Pertanyaan macam apa ini? Tentu
saja Nabi Muhammad,” jawab Maulana heran.
Syams melanjutkan lagi, “Muhammad
mengatakan, “Oh Tuhan, aku gagal memahamimu sebagaimana Engkau memahami-Mu,
sedangkan Bayazid mengatakan, “Oh, betapa hebatnya Aku. Akulah raja diraja. Aku
bebas dari segala kecacatan. Tak ada yang tertinggal di jubahku kecuali Tuhan”.
Bagaimana menurutmu?”
Maulana menjawab, “Dahaganya
Bayazid terobati oleh satu tetes air, dan kendinya penuh oleh satu tetes itu;
dan cahaya yang Ia terima adalah sesuai dengan capasitas jendela cahaya
Tuhan yang dimilikinya, sedangkan
dahaganya Nabi Muhammad begitu besarnya sehingga disetiap tahap Ia selalu
menginginkan cinta dan pengetahuan Tuhan
lebih dan lebih lagi, sebagaimana kata Qur’an “Bukankah kami telah
melapangkan dadamu?” (QS 94:1) dan “Tidakkah bumi Allah itu cukup luas untuk
hijrah?” (QS 4:97)
Mendengar jawaban ini Syams
berteriak yang membuat Maulana hampir jatuh dari kuda tunggangannya. Sejak saat
itu mereka berdua tak terpisahkan hingga membuat cemburu banyak orang yang
mencintai Mualana. Syams-lah yang
mengubah Maulana dari level spiritual (maqam) pecinta Tuhan ke level “yang
dicintai Tuhan”.
***
Bis
terus melaju melewati belahan bukit dengan pohon-pohon yang semakin berat
diganduli salju. Mula-mula aku dan Mas Media senang saja melihat pemandangan
salju ini karena inilah pengalaman pertama kami melihat salju, tapi lama-lama
bosan juga, karena dikanan-kiri yang ada hanya warna putih. Aku dan Mas Media
mulai membandingkannya dengan Indonesia
yang menurut kami lebih menarik karena menawarkan pemandangan yang lebih
variatif. “Kalau jalan ke Sumatera, dikanan-kiri banyak orang jual duren , Pak,” kataku.
“Atau kalau lagi musim rambutan, dikanan kiri penuh buah rambutan
bergelantungan sampai dahannya mau patah.”
“Iya, kalau jalan ke Puncak
dikanan-kiri kebun teh dan tukang jagung bakar,” kata Mas Media.
Pemandangan
diluar yang monoton membuat kami beralih pembicaraan pada Sufisme atau tasawuf.
Kami mendiskusikan pandangan Ibn Arabi, Rumi dan al Jilli tentang kesatuan
agama-agama. Menurutnya diantara ketiga sufi itu hanya Ibn Arabi-lah yang
berbicara panjang lebar tentang kesatuan agama-agama dibanding Rumi dan Al
Jilli.
Para
Sufi adalah orang-orang yang mampu menembus sekat-sekat yang dibuat oleh agama.
Mereka tidak disibukkan oleh agama karena mereka lebih sibuk mencari sumber
agama. Mereka adalah para penjelajah ruhani yang tak disibukkan oleh
konsep-konsep tentang Tuhan karena mereka sibuk mengenali Tuhan. Lewat karya-karya hasil penemuan mereka kita
diberi lebih banyak alasan untuk saling mencintai daripada saling membenci. Karena
menurut mereka semua agama berasal dari sumber yang sama maka tidak ada alasan
untuk saling menyalahkan. Semua agama didudukkan sejajar sehingga mereka mampu
melihat hikmah keberadaanya masing-masing. Inilah yang aku pelajari dari Maulana
Rumi dan Ibn Arabi.
Keduanya
merupakan tokoh Sufi besar namun berbeda kutub. Pendekatan mereka terhadap
kebenaran berbeda namun hasilnya sama. Rumi disebut sebagai kutub cinta
sedangkan Ibn Arabi disebut kutub pengetahuan. Rumi disebut kutub cinta karena
cinta adalah jalan yang ditempuhnya untuk menuju Tuhan. Sedangkan Ibn Arabi
disebut kutub pengetahuan karena kemampuannya menuntun akal untuk memahami
realitas-realitas ketuhanan yang sulit dinalar akal. Aku suka keduanya.
Sepanjang
perjalanan tak ada penumpang lain yang mengobrol kecuali aku dan Mas Media dan
kadang Yan yang ikut menyambung. Orang Turki semuanya diam sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Sementara kami bertiga sering tertawa yang membuat kondektur menoleh. Kami
menertawai hal-hal lucu yang kami temui selama di Turki.
“Gila, kondektur bis di Turki
sibuk amat ya. Dari tadi hilir mudik melulu kerjanya,” kata Mas Media
mengomentari kondektur bis yang seperti tidak pernah diam melayani penumpang.
Mulai dari memberi makanan ringan, beberapa kali menawarkan minuman, dan
terakhir menuangkan cologne ke tangan
penumpang ketika sudah hampir tiba di terminal.
Rumi dan Ibn Arabi
![]() |
Kutub Cinta, Jalaluddin Rumi |
Maulana
Rumi berkata, “hukum cinta yang suci ini adalah sebuah tempat penyiraman,
sebuah sumber kehidupan. Ini seperti pengadilan seorang raja dimana banyak
orang mempelajari hukum-hukum raja, perintah-perintah, larangan-larangannya,
dan pemerintahannya. Keadilan yang sama kepada bangsawan dan kaum awam, dan
sebagainya. Maklumat-maklumat raja tidak pernah berakhir, dan pada maklumat itu
kestabilan negeri berada. Tetapi status para Darvish dan Sufi adalah salah satu
bentuk cinta kepada sang raja, untuk mengenal pikiran dan hatinya. Apa artinya
pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhan, dibanding pengetahuan tentang raja
(Tuhan) itu sendiri, pikiran dan hatinya? Ada perbedaan yang besar.” –Fihi Ma
Fihi-.
![]() |
Kutup pengetahuan, Ibn Arabi |
Mbah Maridjan
![]() |
Mbah Maridjan dan sahabatnya, Merapi. |
“Roso”nya
Mbah Maridjan mengingatkanku pada ucapan seorang Sufi di buku panduaku, “The last barrier”. Ia berbicara tentang
keseimbangan tiga dunia yaitu dunia pikiran, dunia rasa dan dunia fisik. Kita
diberi tiga fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan yaitu akal, hati, dan tubuh
atau indra. Semuanya harus di olah agar kita mampu berkembang menjadi manusia
seutuhnya. Namun sayang umumnya kita terjebak untuk mengasah salah satunya dan
mengabaikan yang lainnya. Dari TK sampai perguruan tinggi kita hanya diajarkan
untuk mengolah akal. Jarang sekali diajarkan bagaimana mengolah rasa sehingga
kita lebih menghargai kecerdasan intelektual dibanding kecerdasan batin atau
rasa. Maka jika kemudian kecerdasan emosional atau kecerdasan rasa dikatakan
lebih menentukan kesuksesan seseorang dibanding kecerdasan intelektual itu bisa
dimaklumi karena kecerdasan rasa-lah yang membuat kita mudah berhubungan dengan
orang lain dan makhluk lain. Kecerdasan rasalah yang membuat kita mampu
menghargai manusia dan alam.

Tanda
dengan angka-angka yang menunjukkan berapa kilometer lagi jarak ke Konya mulai
sering terlihat. Semakin kecil angka-angka itu semakin banyak gambar whirling dervish muncul. Semakin dekat
ke Konya hatiku
pun semakin berdebar-debar seperti sedang menuju rumah sang pacar. Tapi anehnya
setiap kali ingat Maulana selalu saja muncul perasaan pedih yang sering
memancing air mata untuk tumpah. Ini terjadi sejak dari Indonesia ,
sejak membulatkan tekad bahwa Maulanalah tujuan utamaku ke Turki. Inilah salah
satu yang ingin kuungkap dari kunjunganku ke Konya . Mengapa Maulana bedampingan dengan
kepedihan? Apa yang membuatmu pedih Mualana?
Bis
yang kami tumpangi tiba di Otogar Konya
sekitar jam satu. Ankara-Konya ditempuh dalam waktu tiga setengah jam oleh bis
ini. Salju yang beterbangan membuat aku merasa perlu memakai jaket yang
kubuntel dalam tas, sarung tangan, dan kupluk wol yang kubeli di Kızılay.
Selama dalam bis aku merasa kepanasan karena duduk dekat pemanas. Turun dari
bis kami bingung harus kearah mana lagi. Sebelum akhirnya lari ke ruang tunggu
kaca untuk menghangatkan badan. Mas Media masih sempat-sempatnya mengajak
berfoto dan membuat rekaman ala news
reporter dengan handicam mungilnya.
“Ya, akhirnya kita tiba di Konya , tempat makam
Maulana Jalaluddin Rumi berada. Saat ini sedang hujan salju …. seperti yang
anda lihat….. Ayo, Naj, saljunya di shooting,”
kata Mas Media. Aku berjalan untuk mengabil gambar salju yang beterbangan dan
gambar Masjid depan terminal yang masih belum rampung. Setelah itu aku berlari
menyusul Mas Media dan Yan keruang tunggu kaca untuk menghangatkan badan yang
ujung jarinya mulai beku. Ahhh, akhirnya sampai juga di Konya , kotanya Maulana.
Delapan
abad yang lalu, dikota inilah keluarga Maulana memutuskan untuk tinggal seterusnya
setelah meninggalkan tanah kelahiran mereka di Balkh . Sejarah panjang Konya yang menarik telah memberi nutrisi yang
cukup bagi pertumbuhan pengetahuan dan spiritualitas Maulana. Kala itu Konya merupakan salah satu pusat perkembangan
ilmu pengetahuan, seni dan filsafat di Anatolia
yang membuatnya bersinggungan dengan berbagai tradisi dan agama. Sehingga
menjadi wajar jika ajaran-ajarannya melampaui sekat-sekat agama.
Perbedaan-perbedaan cara pandang itulah yang membuatnya melampui perbedaan.
Maka tidak heran jika Maulana kemudian menjadi guru semua pemeluk agama bahkan
yang tak beragama sekalipun. Ia tak bicara pada pikiran orang-orang itu yang
dipenuhi oleh konsep Tuhan menurut agamanya masing-masing. Ia berbicara pada hati semua orang
yang hanya merindukan satu kata, CINTA.
Cinta
bagi Maulana adalah esensi hidup yang menjadi sebab sekaligus akibat. Ia tak
terjangkau oleh kata-kata maupun pendengaran. Tak ditemukan dalam buku-buku
maupun tulisan-tulisan. Tak ditemukan dalam pendidikan maupun ilmu pengetahuan
manapun. Apapun yang dikatakan orang tentang cinta bukanlah cinta. Karena Ia
adalah lautan yang tak terukur kedalamannya.
Cinta
mengubah pahit menjadi manis, debu menjadi emas, keruh menjadi bening, sakit
menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita beralih nikmat dan kemarahan
menjadi rahmat. Kata Maulana, cintalah yang mampu melunakkan besi,
menghancurleburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan
padanya, serta membuat budak menjadi pemimpin.
Inilah Cinta: membubung ke langit,
Setiap saat mengoyak seratus cadar,
Mula-mula mengingkari hidup;
Akhirnya melangkah tanpa kaki,
Menganggap dunia ini tak tampak,
Menganggap sepi semua yang ada di benak.
“O jiwa,” kataku, “semoga kau berbahagia
memasuki negeri orang-orang bercinta,
memandang daerah yang tak tercapai mata,
menyusup ke dalam lekuk-liku dada!
Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa,
Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?
Burung, bicaralah dengan bahasa burung:
kutahu artinya yang terselubung.”
Jiwaku pun menyahut: “Aku berada dalam pabrik
yang sedang mengolah air dan tanah liat.
Akupun melepaskan diri dari sana
ketika sedang diciptakan.
waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereka menyeretku
dan menuangku sehigga bagaikan bola bentukku.
Perjalanan yang diberkahi
Setelah
dirasa cukup menghangatkan badan kami kemudian berjalan menuju trem setelah
terlebih dulu mampir ke toilet belakang ruang tunggu. Salju turun semakin lebat disertai angin cukup kencang yang
membuat tiga manusia tropis yang baru keluar dari toilet dan tak pernah melihat
salju itu makin menggigil.
Akhirnya
kami naik ke dalam trem. Karena masih Bayram atau lebaran jadi semua angkutan
gratis selama empat hari. Kami bertiga memberi pemandangan yang berbeda pada
orang-orang dalam trem. Wajah tropis kami membuat orang-orang dalam trem
melihat dengan tanda tanya, tapi tak ada yang tersenyum. Wajah-wajah mereka pun
bagi kami juga berbeda dari wajah-wajah yang seringkali kami lihat di Ankara atau Istanbul walaupun dandanan
mereka tidak beda, European.
Kami lalu turun di stasiun Aladdin, stasiun terakhir, didepan sebuah Masjid besar. Hujan salju semakin lebat. Semua orang berlari menyeberang jalan menghindari hujan salju. Seringkali salju-salju itu masuk ke mataku sehingga aku perlu mengeluarkan kaca mata. Tapi ternyata tidak banyak membantu karena kemudian kacanya mengembun kena nafasku sendiri yang kututupi dengan syal untuk mengurangi dingin. Dari pertigaan tempat pemberhentian trem kami masih harus berjalan sekitar tiga ratus meter untuk sampai ke museum Maulana. Kami menyusuri pertokoan sambil mencari bank atau money changer dan restoran yang buka. Kami mulai merasa lapar karena tadi pagi belum sempat sarapan. Tapi sayang kebanyakan bank, toko, dan restoran tutup karena libur Bayram. Setelah berputar-putar dan bertanya sana-sini akhirnya kami menemukan tempat menukar dolar ke lira di sebuah toko mas yang menjual berbagai desain kaligrafi mas berkaitan dengan dervish. Maulana dan dervish menjadi salah satu aset besar
![]() |
Turkish Pizza |
Hujan
salju telah berhenti sejak kami selesai makan. Yan merasa perjalanan ini
diberkahi karena kami mengalami banyak hal yang ingin alami serta kemudahan-kemudahan
dalam perjalanan. Mulai dari menemukan syal, money changer, restoran buka, dan
hujan salju dari tipis hingga tebal. Kami tidak perlu menunggu akhir tahun
untuk mengalami salju karena di Konya
salju sudah datang duluan dibanding Ankara .
Museum Maulana
Hari
itu pengujung begitu banyak terutama dari Jepang. Sepintas aku sempat
menghubungkannya dengan meningkatnya minat orang Jepang pada spiritualitas dan
agama baru. Jadi sangat wajar kalau mereka kenal Maulana Rumi. Tapi aku tidak
yakin apakah mereka datang sebagai peziarah atau wisatawan. Melihat gelagatnya
mereka lebih sebagai wisatawan. Peziarah
akan lebih lama berada dekat makam, berdoa dan menautkan hati dengan Maulana.
Sedangkan wisatawan hanya akan celingak-celinguk mengagumi keindahan interior
makam dan mengamati peziarahnya. Ini membuatku mengerti mengapa orang Turki
selalu mengira aku orang Jepang. Karena banyak orang Jepang berseliweran di
Turki khususnya Konya
dan mataku menjadi lebih sipit karena kelopaknya digulung cuaca dingin.
Karena
hari itu banyak peziarah yang berdoa di dekat
makam Maulana, maka aku perlu menunggu beberapa saat untuk mendapat
tempat yang dekat dengan Maulana. Dadaku sudah mulai terasa sesak sejak masuk
museum. Terasa ada yang ingin tumpah tapi aku menahannya sekuat tenaga. Banyak
orang berdoa sambil berdiri namun banyak juga yang duduk. Beberapa perempuan
duduk menunduk di lantai dekat dinding sambil menutupi mukanya dengan kerudung.
Kurasa aku tahu mengapa mereka menutup mukanya. Suara ney mengalun tak
henti-henti membuat suasana makam begitu menghanyutkan.
Setelah
sedikit menunggu akhirnya aku mendapatkan tempat tepat disamping kepala makam
Maulana. Tak ada yang menghalangi aku dan pembaringan Maulana kecuali pagar
kayu pendek yang mengelilingi makam. Aku berdiri dan tak mampu membendung air
mata yang sudah sejak tadi ingin tumpah. Tak ada yang terucap kecuali surat al-Fatihah.
Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Yang aku rasakan waktu itu hanya kepedihan
yang begitu dalam. Perih di kedalaman sana
setiap kali ingat Maulana sehingga selalu saja air mata tertumpah dan susah
dihentikan. Aku sudah tidak peduli pada penjaga yang berdiri membelakangi pagar
tepat dihadapanku, aku terus saja menangis. Selama ini pantang bagiku
memperlihatkan air mata pada siapapun, kecuali air mata kantuk. Tapi kali ini
aku menyerah. Aku tidak peduli jika penjaga itu melihat air mataku. Kubiarkan
saja air mataku mengalir sambil kedua telapak tanganku menutupinya. Entah
berapa lama aku berdiri menangis di dekat makam Maulana, aku tidak tahu hingga
samar-samar kudengar suara Yan dan Mas Media diantara jeritan pedih suara ney (seruling
buluh) dan suara para pengunjung.
Setelah
agak bisa menenangkan diri akhirnya kukatakan pada Maulana bahwa aku datang
untuk merasakan apa yang Maulana rasakan. Terbakar. “Kata-kata sudah tak lagi
menarik. Aku tak butuh kata-kata lagi, Maulana, aku butuh pengalaman, ajari aku
caranya. Buku-buku sudah banyak yang kubaca.
Cerita-cerita pencarian sudah sering aku dengar. Tapi semua mulai terasa
hambar. Aku ingin mengalami, Maulana. Bawalah aku mengembara diluar dunia warna
dan rasa.”
Aku
berusaha mengerem air mataku agar tak lagi keluar, karena pasti akan membuat
mataku merah dan bengkak sehingga ketahuan kalau aku menangis. Aku berdiri
mematung untuk mengembalikan kondisi mata sebelum akhirnya mundur dan memberi
giliran pada peziarah lain untuk berdoa.
Setelah
merasa agak normal aku bertanya dimana Syamsi Tabriz dan Shadruddin al Qunowi pada penjaga
yang tadi ada di depanku. Penjaga berjaz hitam itu mengatakan Syams di luar,
tidak jauh dari Museum sedangkan Qunowi agak jauh. Tak
lama kemudian Mas Media dan Yan datang dan berbincang dengan penjaga itu juga.
Aku bertanya tentang sema atau tarian darwis dan kapan tepatnya perayaan
kematian Maulana. Penjaga itu bilang nanti jam delapan malam akan ada
pertunjukan sema di pusat kebudayaan Mualana. Ia lalu berbalik meninggalkan
kami setelah memberi isyarat tunggu. Tak lama kemudian Ia kembali membawa booklet tipis berwarna hijau berisi
penjelasan tentang Maulana. Penjaga ini meminta
kami menunggu hingga jam delapan agar bisa melihat whirling dervish. Aku tentu saja tidak keberatan karena ini salah
satu rangkaian tujuanku ke Turki. Pada awalnya kedua malaikatku juga ingin
melihatnya sehingga kita sepakat menunggu. Namun karena cuaca semakin dingin
dan tidak ada persiapan untuk menginap akhirnya kami memutuskan untuk kembali
ke Ankara . Aku
kecewa, karena dua orang yang ingin kutemui belum kudatangi, begitu pula sema,
aku belum melihatnya.
Akhirnya
kami melangkah menuju trem untuk kembali ke otogar. Sebelumnya kami mampir di
toko-toko suvenir yang bertebaran di sekitar museum. Evil eyes dan boneka dan gambar whirling
dervish mendominasi suvenir-suvenir di sini. Aku membelinya beberapa dan
sempat memotret seorang bocah anak penjual souvenir yang kuminta berpose dengan
memegang evil eyes sebesar kepalanya.
Dari situ kami kemudian keluar menuju pemberhentian trem. Hatiku terasa berat
meninggalkan Maulana. “Maulana, hatiku tak ingin pulang, tapi badanku tak
berdaya”. Maka tanggal 17 Desember saat peringatan hari kematiannya aku
bertekad akan kembali lagi. Karena kedua malaikatku sudah merasa cukup dengan
kunjungan itu maka aku harus mencari orang lain lagi untuk menjadi teman ke Konya .
[1] Salah seorang
Sufi besar Persia
kelahiran Bastam , Iran .
[2] Menurut filsuf
Jawa yang kutemui, yang diucapkan oleh Mbah Maridjan adalah “Rosa ”
bukan “Roso”. Rosa mengacu pada kekuatan fisik
sedangkan “roso” mengacu pada kekuatan batin. Tapi pada konteks Mbah Maridjan
jelas Ia tak punya rosa seperti Chris John,
tapi roso.
![]() |
Halaman depan Museum Rumi |
![]() |
Halaman dalam museum |
![]() |
Makam keluarga Rumi |
![]() |
Makam Maulana Jalaluddin Rumi |
![]() |
The green dome, the tomb of the lovers. |
1 comment:
interesting!
Post a Comment