Voila! Je suis en Turquie
Bendera Turki |
Pesawat
yang membawaku dari Qatar ke Istanbul
mendarat di bandara Ataturk jam sebelas siang lewat sedikit waktu setempat.
Leganya, akhirnya sampai juga di daratan Turki setelah lebih dari dua puluh jam
perjalanan penuh transit, Jogja-Jakarta-Singapura-Doha-Istanbul. Sekarang sudah
ada yang langsung dari Jakarta ke Istanbul. Suasananya benar-benar berbeda dari
tanah air yang terasa gembur dan subur. Tanah Turki terasa lebih padat dan
keras, sehingga pohon-pohon tak tumbuh sebanyak di Nusantara.
Suhu udara di Istanbul tidak sedingin yang kukira sebelumnya sehingga aku tidak perlu mengambil jaket yang lebih tebal, cukup sweater yang aku pakai dari Jogja.
Profesorku mewanti-wanti agar aku mempersiapkan baju dan sepatu dingin karena
Turki sudah memasuki musim dingin dan salju sebentar lagi akan turun. Udara
memang terasa sangat dingin bagi kulitku yang baru datang dari negeri panas.
Tapi aku terlalu bahagia untuk peduli pada udara dingin ini. Maulana…, aku
sudah dekat, teriakku dalam hati karena sudah dekat dengan tujuan.
Aku segera memberi sinyal untuk
bareng pada Mas Nasir, malaikat Indonesia
pertama yang kutemui di ruang tunggu Qatar Airways, Doha . Ia kusebut malaikat pertama karena dialah orang pertama yang
membuat perjalalanku lebih mudah dan menyenangkan. Walaupun sama-sama baru
pertamakali ke Turki namun Ia berbekal informasi lebih banyak dibanding aku yang
hanya bermodal pasrah dan keyakinan bahwa ada tangan tak terlihat yang akan
selalu membimbingku menuju tujuanku. Rupanya Mas Nasir inilah malaikat pertama yang
dikirim untuk mewujudkan keyakinan itu. Profesorku di Universitas Ankara hanya
membekali informasi bahwa dari bandara
aku bisa naik taksi ke asrama mahasiswa tempat aku akan tinggal, yaitu di Milli Pyango Kiz Yurdu, Cebeci, belakang fakultas Ilmu
politik dan fakultas Komunikasi dan Jurnalistik. Profesor itu mungkin mengira
aku akan naik pesawat dari Istanbul
ke Ankara .
Padahal karena alasan ingin memanjakan mata dan berhemat maka sejak dari Indonesia aku
sudah meniatkan untuk naik bis ke Ankara .
Istanbul-Ankara cuma sekitar 6 jam naik bis, begitu informasi yang kubaca di
Internet.
Salah satu sudut kota Istanbul di musim dingin |
Perjalanan ke Otogar ditempuh dengan
Metro atau kereta bawah tanah sekitar lima
belas menit. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa perjalanan ini kalau
tidak ada penjemput dari PPI itu karena petugas-petugas yang kutemui di bandara
maupun di stasiun tidak ada yang berbahasa Inggris, bahkan petunjuk-petunjuknya
pun tidak banyak yang berbahasa Inggris sehingga pendatang baru yang baru pertama ke Turki akan
mengalami kesulitan. Tapi karena sekarang aku sudah punya tiga malaikat
disampingku maka everything is araroke,
kata orang Sunda.
Sampai di Otogar kami langsung
mencari bis menuju Ankara .
Seorang laki-laki setengah baya yang kurus kering dan berkumis mendekati kami
dan menawarkan bis ke Ankara .
Kami berempat sepakat untuk mengikutinya dan tibalah kita di loket bis bernama
Konset. Tawar menawar hargapun terjadi. Pertama dipasang harga 40 Lira.
Informasi yang kupunya dari kedutaan dan internet menyebut 30 Lira dari
Istanbul ke Ankara. Aku protes, “too
expensive” sembari mencari ungkapan dalam bahasa Turkinya di buku saku yang
kupunya, sementara dua orang teman dari PPI sibuk tawar menawar. Lalu kami pun
sepakat pada angka 30 Lira perorang.
Selat Bosphors, Istanbul |
Ternyata tidak hanya orang-orangnya
yang banyak bermuka indah, landscape
di Istanbul
juga indah-indah. Sepanjang jalan dari Istanbul
menuju Ankara
menyajikan pemandangan yang membahagiakan mata. Mulai dari taman, bangunan dan
jalan-jalan, semuanya tertata rapi dan hijau. Ini mungkin karena cuaca hari itu
benar-benar mendukung. Langitnya bersih, biru tanpa awan sedikitpun sehingga
aku merasa rugi kalau memejamkan mata untuk tidur. Maka kugunakan kesempatan
itu untuk memotret lukisan di kanvas alam Turki. Walaupun sudah banyak yang
bilang Turkey is beautiful tapi tidak
cukup membuatku antusias sebelum melihatnya sendiri. Dan, yes, Turkey is beautiful. Apalagi ketika sampai jembatan Bosphorus,
pemisah antara daratan Eropa dan Asia yang
selama ini hanya kulihat dari atas lewat google
earth. O la la, c’est trés beau, rancak bana, kata orang Perancis dan padang .
Selat Bosphorus dan jembatan penghubung benua Asia-Eropa |
Tak berapa lama berselang sejak bis
mulai berangkat kelucuan-kelucuan mulai bermunculan yang membuat aku dan Mas
Nasir tidak tahan untuk tidak cekikikan. Banyak istilah-istilah Turki yang
terasa lucu bagi kami orang Indonesia .
Misalnya ketika masuk ke pasar untuk membeli simcard lokal dekat Otogar, ada
warung internet bertuliskan “Berat
Internet Café”. “Pemiliknya pasti anggota gerombolan si Berat, Pak,”
komentarku pada Mas Nasir. Atau di sepanjang jalan menuju Ankara kami sering
menjumpai tulisan “Yemek” yang
setelah kami cari dikamus ternyata artinya makanan, atau ekmek (roti) dan masih banyak –mek-mek yang lain. Bahasa Turki rada
seronok juga ternyata. Atau ketika ada kemacetan tiba-tiba ada sebuah bis
menyelonong dari sisi kanan yang dibelakangnya tertulis “can batman baris.” Aku tak sanggup menahan tawaku tanpa suara
sehingga segera kebenamkan mulutku di
syal agar orang-orang Turki dalam bis tidak tersinggung. Batman tidak perlu
bisa berbaris karena dia bisa terbang ha ha ha.
Satu persatu lalu kami cari artinya
di kamus Turki-Indonesia. Can bisa berarti: ruh nyawa, orang, hati, tenaga;
sedangkan batman tidak ditemukan dalam kamus. Belakangan setelah tinggal
beberapa lama di Turki baru ketahuan kalau Batman adalah nama salah satu propinsi
di Turki. Tidak hanya itu, ketika berada di Ankara aku dan Mas Nasir menemukan
warung makan bernama “can balık”.
“Kalau di Sunda ‘Can Balik’ artinya
belum pulang, Naj” jelas Mas Nasir. “Oh, mungkin agar orang yang makan disitu
betah sehingga malas pulang,” tebakku. Ternyata “balık” artinya ikan.
Küfret dalam bahasa Turki memang berarti “memaki maki” sedangkan kutu berarti kotak. Jadi kata “kutu
kupret” kemungkinan besar memang berasal dari bahasa Turki yang didengar dan diucapkan
pertama kali oleh orang Sunda.
Kelucuan lain yang kutemukan
berkaitang dengan nama belakang orang-orang Turki. Umumnya nama-mana mereka
adalah gabungan nama Arab dan Turki. Misalnya, orang yang mengurus akomoadasiku
di Turki bernama Akin Kocak. Pemilik toko HP tempat aku membeli simcard bernama
Teufik Kaya. Penyiar tv yang kutonton tiap hari bernama Abdul Sandal. Penjual
koran langgananku bernama Nur Culuk. Tetangga sebelah kamarku bernama Ayca
Aydin (bukan Aica Aibon). Dan masih ada
satu nama lagi yang sangat populer di Turki dan berbau Sunda, yaitu Adi Soyadi. Dua kata ini akan selalu ada di formulir apapun yang perlu diisi. Jika ada dua kata ini artinya
kita diminta untuk menuliskan nama dan nama keluarga. So, Adi Soyadi bukan orang Sunda.
…
Sampai di Ankara hari sudah malam.
Dua orang malaikat penjemput berikutnya sudah menunggu kami di terminal bis,
siap mengatar kami ke Asrama. Mereka adalah anggota PPI di Ankara namanya
Furqon dan Yan. Mereka juga mendapat beasiswa dari pemerintah Turki untuk
melanjutkan S2 setelah bahasa Turki mereka sangat mumpuni. Mereka pun menjadi
malaikat keempat dan kelimaku. Malaikat-malaikat Indonesia di Turki.
Salah satu cafe di Istanbul |
Yan heran karena aku yang perempuan,
tidak bisa bahasa Turki sama sekali berani ke Turki sendirian tanpa bekal
informasi yang memadai. “Di sini, orang yang tidak bisa bahasa Turki, apalagi
perempuan, bisa hilang” katanya. “Hilang gimana maksudnya?” tanyaku heran. “Ya
hilang, hilang beneran, tidak balik…… dan itu bisa selama-lamanya”. “Wah! serem
amat,” komentarku enteng. Mas Nasir yang berdiri disebelahnya sambil memegangi tiang
metro menimpali, “Iya lho, tadi orang Turki yang aku ajak ngobrol di pesawat
juga bilang kalau orang Turki itu banyak jeleknya”. Aku tertawa saja mendengar
ocehan malaikat-malaikat ini. Rupanya mereka tidak sadar kalau sedang memainkan
skenario tangan tak terlihat untuk menjagaku agar tidak hilang di bawa orang
Turki, ha ha ha .... Thanks God!
Kapal penghubung dua benua, hanya 10 menit dari Eropa ke Asia |
Ciri khas Mesjid Turki, menara lancip |
Tipikal wajah anak-anak Turki |
No comments:
Post a Comment