Indonesia adalah lautan yang menampung
segala jenis perbedaan dengan penuh penerimaan
Indonesia adalah tanah, yang menumbuhkan buah
kebijaksanaan dari berbagai benih pengetahuan.
Indonesia adalah kita: yang berbeda, bersama, dan bijaksana.
Itulah sejatinya Indonesia kita!
segala jenis perbedaan dengan penuh penerimaan
Indonesia adalah tanah, yang menumbuhkan buah
kebijaksanaan dari berbagai benih pengetahuan.
Indonesia adalah kita: yang berbeda, bersama, dan bijaksana.
Itulah sejatinya Indonesia kita!
-njm-
Mahasiswa Fakultas Ketuhanan |
Setelah
bertemu Mr. Kocak (dibaca Kojak), yang mengurusi akomodasiku di universitas Ankara aku bergegas ke
Fakultas Teologi atau Ilahiyet Fakültesi.
Pak Lucu ini sudah memberi tahu bagaimana caranya kesana. Naik metro dari Kurtulus lalu turun di Besevler, stasiun ke enam dari Kurtulus. Lalu berjalan sedikit dan
bertanyalah pada orang maka akan sampai di fakultas Ilahiyet. “Iya kalau aku menemukan orang yang bisa bahasa Inggris,
kalau tidak?” batinku. Aku membayangkan diriku kesana-kemari menanyai banyak
orang Turki dengan bahasa isyarat untuk menemukan fakultas Ilahiyet. Tapi pertolongan kembali datang. Furqan, salah satu
malaikat yang menjemputku di terminal bis Ankara
kembali hadir untuk mejalankan tugas dari tangan tak terlihat tanpa Ia sadari.
Sebuah kebetulan yang indah karena Ia juga berencana ke kampusnya yang juga
terletak di Besevler tak jauh dari Fakultas Ilahiyet. Bayangan tentang
keruwetanku mencari fakultas Ilahiyet
pun pecah berkeping-keping dan menghilang.
Di
pintu masuk fakultas Ilahiyet, kami
berpapasan dengan Ibnu, ketua PPI dan Mas Media, mahasiswa S3 dari Jakarta yang
sedang melakukan riset tentang Sufisme
terutama pandangan Rumi, Ibn Arabi dan Al Jilli tentang kesatuan agama-agama. Riset
disertasinya ini telah dibukukan dengan judul, “Satu Tuhan Banyak Agama” oleh Mizan. Jadi,
yang masih gelisah mencari kebenaran agama-agama, buku ini bisa menjadi
referensi untuk memeditasi keragaman agama yang ada di dunia. Dan semoga berujung
pada Cinta pada semua.
Malaikat Jakarta (Media Zainul Bahri ) dan senyum bersahabat bapak-bapak Turki di sebuah restoran. |
Karena
topik penelitian Mas Media ini sama-sama tentang Sufisme maka aku mempunyai
teman diskusi dan teman mencari literatur diperpustakaan fakultas Ilahiyet. Mas Media rupanya juga berniat
ke Konya , ke
makam Maulana Rumi. Aku tertawa mendengar rencananya. “Inilah malaikatku
berikutnya yang akan menemaniku ke Konya,” kataku dalam hati. Rupanya Tuhan benar-benar
ingin aku datang pada kekasihnya, Maulana. Thanks
God, Kau mengatur segalanya dengan indah.
Untuk
dapat mengakses perpustakaan fakultas Ilahiyet
kami harus mendapat ijin lebih dulu dari sekretaris fakultas sehingga kami pun
mendatangi kantor sekretaris untuk mendapatkan tanda tangannya. Ketika diberi tahu bahwa kami dari Indonesia
dan sedang penelitian tentang tasawwuf atau Sufisme, Bapak sekretaris berbadan
besar itu terlihat sangat senang, matanya berkaca-kaca. Seakan kami adalah
makhluk langka yang berharga. Ia menjabat tangan kami dengan erat dan hangat
sambil berkata sesuatu dalam bahasa Turki yang walaupun kami tidak mengerti
tapi kami merasakan rasa senangnya. Hangat didada lalu naik kekepala dan
tercipta senyum.
Di
perpustakaan fakultas Ilahiyet banyak
sekali buku-buku tasawuf namun sayang
hampir semuanya berbahasa Turki, Arab dan Persia . Kalaupun ada yang berbahasa
Inggris itu pun bisa ditemukan di Indonesia sehingga aku dan Mas Media
sama-sama merasa tidak begitu butuh perpustakaan fakultas ini.
Ketika
sudah waktunya sholat duhur, kami pun mencari musholla. Setelah agak
berputar-putar sebentar akhirnya kami temukan juga mushollanya, berada dibawah
tangga. Berbeda dengan Indonesia
yang umumnya laki-laki dan perempuan sholat dalam satu ruangan, di Turki ruang
sholat antara laki-laki dan perempuan benar-benar terpisah. Beda ruangan.
Tempat sholat perempuan terkesan mengenaskan karena berada di bawah tangga yang
sangat sempit dan pengab. Bedanya lagi dengan Indonesia yang sholat memakai
rukuh, di Turki tak ada yang memakai rukuh, cukup baju panjang, jilbab dan kaus
kaki sehingga di mesjid atau tempat-tempat sholat hanya disediakan jilbab
taplak tak ada mukena.
Ketika
akan berwudhu aku harus mengantri lama sekali di luar toilet yang sekaligus
tempat wudhu. Aku sempat penasaran apa saja yang mereka lakukan didalam
sehingga butuh waktu sangat lama untuk berwudu. Ternyata memang agak ribet
karena harus melepas banyak atribut, dari mulai melepas jaket tebal lalu
menggantungnya di cantelan, kemudian mencopot jilbab dan dalamannya, menyingsingkan
lengan baju, lalu melepas sepatu dan kaos kaki. Karena tak ada kran khusus untuk
wudu maka mereka harus mengangkat kakinya ke wastafel untuk membasuhnya.
Setelah selesai kemudian atribut-atribut itu dipasang kembali lalu melangkah ke
luar menuju tempat sholat yang berjarak agak jauh dari toilet itu. Rupanya bangunan fakultasnya tidak Muslim friendly sehingga tak disediakan
ruang khusus untuk sholat dan wudu walaupun ini fakultas ketuhanan alias
teologi yang khusus membahas masalah agama, yang tentunya akan lebih sensitif
terhadap kebutuhan ibadah orang-orangnya. Aku membayangkannya seperti UIN atau
IAIN di Indonesia.
Selesai
sholat kami lalu ke kantin berniat makan siang yang membuatku bisa mengamati
mahasiswa dan mahasiswinya. Kebanyakan yang berada dikantin itu mahasiswi.
Mahasiswanya hanya segelintir kelereng dalam genggaman. Berbeda dengan
fakultas-fakultas lain yang melarang pemakaian jilbab maka di fakultas Ilahiyet hampir semuanya memakai jilbab.
Berbeda dengan Indonesia
yang model dan cara memakai jilbanya variatif maka sepanjang pengamatan kala itu, di Turki hanya ada satu
macam dan cara pemakaian jilbab, yaitu jilbab taplak warna warni yang kemudian dilipat
segitiga dan dipakai secara konvensional dengan gundukan rambut tinggi. Tidak
ada jilbab kakak tua yang bisa langsung dipakai atau jilbab dengan segala macam
pernak-perniknya. Bedanya lagi dengan Indonesia, di Turki baju muslim dan
jilbab belum menjadi fashion karena
isu agama masih sensitif. Ideologi sekuler Republik Turki tak mengijinkan
perempuan untuk memakai jilbab di semua institusi termasuk kampus. Sehingga
banyak perempuan berjilbab yang menyiasatinya dengan memakai wig ketika berada di kampus lalu
berjilbab kembali setelah diluar kampus. Inilah salah satu yang unik dari
Turki. Namun sekarang situasinya mungkin sudah berubah, apalagi dengan
kemenangan partai Islam.
Setelah
agak lama di Turki dan berbicara dengan beberapa orang, aku mulai merasakan
adanya ketegangan antara kubu sekuler dengan kubu Islamis yang membuatku menjadi
lebih berhati-hati untuk berbicara masalah agama dan politik di Turki, harus
memastikan dulu dengan siapa aku berbicara, dengan sekularis atau islamis. Aku
bisa memaklumi situasi yang terjadi di Turki saat itu karena Indonesia punya pengalaman
yang sama. Beberapa puluh tahun yang lalu ketika masih jaman orde baru, ada
ketidakleluasaan untuk mengekspresikan kereligiusan dan identitas keagamaan, karena bisa-bisa dicurigai
sebagai ekstrimis dan mendapat perlakuan diskriminatif, sehingga orang malu dan
tidak berani untuk tampil religius dengan segala simbol-simbolnya. Sekarang ada
kecenderungan sebaliknya. Orang berlomba-lomba tampil religius, bahkan ada pemaksaan
langsung maupun tak langsung untuk menunjukkan identitas keagamaan melalui
simbol-simbol formal agama. Diberbagai daerah muncul upaya-upaya untuk memformalisasikan hukum-hukum agama. Kecenderungan ini membuat perbedaan identitas agama yang tadinya tidak begitu kentara menjadi
begitu mencolok. Agama tidak lagi menjadi urusan personal melainkan sesuatu yang
dipaksakan dari luar individu. Akibatnya manusia Indonesia pun menjadi gampang
tersinggung dan gampang dimanipulasi oleh isu agama. Kita semakin tidak toleran terhadap perbedaan. Identitas ke-Indonesia-an
makin lama-makin luntur karena kalah dengan identitas agama. Sehingga keragaman
yang dimiliki Indonesia yang sejatinya adalah kekayaan menjadi potensi perpecahan.
Jika ini yang terus terjadi, entah apa yang akan terjadi dengan INDONESIA tercinta.
No comments:
Post a Comment