Semazen

Sunday, December 9, 2012

#5. Jilbab Turki


Indonesia adalah lautan yang menampung 
segala jenis perbedaan dengan  penuh penerimaan
Indonesia adalah tanah, yang menumbuhkan buah
kebijaksanaan dari berbagai benih pengetahuan.
Indonesia adalah kita: yang berbeda, bersama, dan bijaksana.
Itulah sejatinya Indonesia kita!
-njm-

Mahasiswa Fakultas Ketuhanan
Setelah bertemu Mr. Kocak (dibaca Kojak), yang mengurusi akomodasiku di universitas Ankara aku bergegas ke Fakultas Teologi atau Ilahiyet Fakültesi. Pak Lucu ini sudah memberi tahu bagaimana caranya kesana. Naik metro dari Kurtulus lalu turun di Besevler, stasiun ke enam dari Kurtulus. Lalu berjalan sedikit dan bertanyalah pada orang maka akan sampai di fakultas Ilahiyet. “Iya kalau aku menemukan orang yang bisa bahasa Inggris, kalau tidak?” batinku. Aku membayangkan diriku kesana-kemari menanyai banyak orang Turki dengan bahasa isyarat untuk menemukan fakultas Ilahiyet. Tapi pertolongan kembali datang. Furqan, salah satu malaikat yang menjemputku di terminal bis Ankara kembali hadir untuk mejalankan tugas dari tangan tak terlihat tanpa Ia sadari. Sebuah kebetulan yang indah karena Ia juga berencana ke kampusnya yang juga terletak di Besevler tak jauh dari Fakultas Ilahiyet. Bayangan tentang keruwetanku mencari fakultas Ilahiyet pun pecah berkeping-keping dan menghilang. 
                Di pintu masuk fakultas Ilahiyet, kami berpapasan dengan Ibnu, ketua PPI dan Mas Media, mahasiswa S3 dari Jakarta yang sedang melakukan riset tentang  Sufisme terutama pandangan Rumi, Ibn Arabi dan Al Jilli tentang kesatuan agama-agama. Riset disertasinya ini telah dibukukan dengan judul, “Satu Tuhan Banyak Agama” oleh Mizan. Jadi, yang masih gelisah mencari kebenaran agama-agama, buku ini bisa menjadi referensi untuk memeditasi keragaman agama yang ada di dunia. Dan semoga berujung pada Cinta pada semua.

Malaikat Jakarta (Media Zainul Bahri ) dan senyum
bersahabat bapak-bapak Turki di sebuah restoran.
Karena topik penelitian Mas Media ini sama-sama tentang Sufisme maka aku mempunyai teman diskusi dan teman mencari literatur diperpustakaan fakultas Ilahiyet. Mas Media rupanya juga berniat ke Konya, ke makam Maulana Rumi. Aku tertawa mendengar rencananya. “Inilah malaikatku berikutnya yang akan menemaniku ke Konya,” kataku dalam hati. Rupanya Tuhan benar-benar ingin aku datang pada kekasihnya, Maulana. Thanks God, Kau mengatur segalanya dengan indah.
                Untuk dapat mengakses perpustakaan fakultas Ilahiyet kami harus mendapat ijin lebih dulu dari sekretaris fakultas sehingga kami pun mendatangi kantor sekretaris untuk mendapatkan tanda tangannya.  Ketika diberi tahu bahwa kami dari Indonesia dan sedang penelitian tentang tasawwuf atau Sufisme, Bapak sekretaris berbadan besar itu terlihat sangat senang, matanya berkaca-kaca. Seakan kami adalah makhluk langka yang berharga. Ia menjabat tangan kami dengan erat dan hangat sambil berkata sesuatu dalam bahasa Turki yang walaupun kami tidak mengerti tapi kami merasakan rasa senangnya. Hangat didada lalu naik kekepala dan tercipta senyum.
                Di perpustakaan fakultas Ilahiyet banyak sekali buku-buku tasawuf namun sayang hampir semuanya berbahasa Turki, Arab dan Persia. Kalaupun ada yang berbahasa Inggris itu pun bisa ditemukan di Indonesia sehingga aku dan Mas Media sama-sama merasa tidak begitu butuh perpustakaan fakultas ini.
                Ketika sudah waktunya sholat duhur, kami pun mencari musholla. Setelah agak berputar-putar sebentar akhirnya kami temukan juga mushollanya, berada dibawah tangga. Berbeda dengan Indonesia yang umumnya laki-laki dan perempuan sholat dalam satu ruangan, di Turki ruang sholat antara laki-laki dan perempuan benar-benar terpisah. Beda ruangan. Tempat sholat perempuan terkesan mengenaskan karena berada di bawah tangga yang sangat sempit dan pengab. Bedanya lagi dengan Indonesia yang sholat memakai rukuh, di Turki tak ada yang memakai rukuh, cukup baju panjang, jilbab dan kaus kaki sehingga di mesjid atau tempat-tempat sholat hanya disediakan jilbab taplak tak ada mukena.             
                Ketika akan berwudhu aku harus mengantri lama sekali di luar toilet yang sekaligus tempat wudhu. Aku sempat penasaran apa saja yang mereka lakukan didalam sehingga butuh waktu sangat lama untuk berwudu. Ternyata memang agak ribet karena harus melepas banyak atribut, dari mulai melepas jaket tebal lalu menggantungnya di cantelan, kemudian mencopot jilbab dan dalamannya, menyingsingkan lengan baju, lalu melepas sepatu dan kaos kaki. Karena tak ada kran khusus untuk wudu maka mereka harus mengangkat kakinya ke wastafel untuk membasuhnya. Setelah selesai kemudian atribut-atribut itu dipasang kembali lalu melangkah ke luar menuju tempat sholat yang berjarak agak jauh dari toilet itu.  Rupanya bangunan fakultasnya tidak Muslim friendly sehingga tak disediakan ruang khusus untuk sholat dan wudu walaupun ini fakultas ketuhanan alias teologi yang khusus membahas masalah agama, yang tentunya akan lebih sensitif terhadap kebutuhan ibadah orang-orangnya. Aku membayangkannya seperti UIN atau IAIN di Indonesia.

                Selesai sholat kami lalu ke kantin berniat makan siang yang membuatku bisa mengamati mahasiswa dan mahasiswinya. Kebanyakan yang berada dikantin itu mahasiswi. Mahasiswanya hanya segelintir kelereng dalam genggaman. Berbeda dengan fakultas-fakultas lain yang melarang pemakaian jilbab maka di fakultas Ilahiyet hampir semuanya memakai jilbab. Berbeda dengan Indonesia yang model dan cara memakai jilbanya variatif maka sepanjang pengamatan kala itu, di Turki hanya ada satu macam dan cara pemakaian jilbab, yaitu jilbab taplak warna warni yang kemudian dilipat segitiga dan dipakai secara konvensional dengan gundukan rambut tinggi. Tidak ada jilbab kakak tua yang bisa langsung dipakai atau jilbab dengan segala macam pernak-perniknya. Bedanya lagi dengan Indonesia, di Turki baju muslim dan jilbab belum menjadi fashion karena isu agama masih sensitif. Ideologi sekuler Republik Turki tak mengijinkan perempuan untuk memakai jilbab di semua institusi termasuk kampus. Sehingga banyak perempuan berjilbab yang menyiasatinya dengan memakai wig ketika berada di kampus lalu berjilbab kembali setelah diluar kampus. Inilah salah satu yang unik dari Turki. Namun sekarang situasinya mungkin sudah berubah, apalagi dengan kemenangan partai Islam.   
Setelah agak lama di Turki dan berbicara dengan beberapa orang, aku mulai merasakan adanya ketegangan antara kubu sekuler dengan kubu Islamis yang membuatku menjadi lebih berhati-hati untuk berbicara masalah agama dan politik di Turki, harus memastikan dulu dengan siapa aku berbicara, dengan sekularis atau islamis. Aku bisa memaklumi situasi yang terjadi di Turki saat itu karena Indonesia punya pengalaman yang sama. Beberapa puluh tahun yang lalu ketika masih jaman orde baru, ada ketidakleluasaan untuk mengekspresikan kereligiusan dan identitas keagamaan, karena bisa-bisa dicurigai sebagai ekstrimis dan mendapat perlakuan diskriminatif, sehingga orang malu dan tidak berani untuk tampil religius dengan segala simbol-simbolnya. Sekarang ada kecenderungan sebaliknya. Orang berlomba-lomba tampil religius, bahkan ada pemaksaan langsung maupun tak langsung untuk menunjukkan identitas keagamaan melalui simbol-simbol formal agama. Diberbagai daerah muncul upaya-upaya untuk memformalisasikan hukum-hukum agama. Kecenderungan ini membuat perbedaan identitas agama yang tadinya tidak begitu kentara menjadi begitu mencolok. Agama tidak lagi menjadi urusan personal melainkan sesuatu yang dipaksakan dari luar individu. Akibatnya manusia Indonesia pun menjadi gampang tersinggung dan gampang dimanipulasi oleh isu agama. Kita semakin tidak toleran terhadap perbedaan. Identitas ke-Indonesia-an makin lama-makin luntur karena kalah dengan identitas agama. Sehingga keragaman yang dimiliki Indonesia yang sejatinya adalah kekayaan menjadi potensi perpecahan. Jika ini yang terus terjadi, entah apa yang akan terjadi dengan INDONESIA tercinta.  

Indonesia adalah lautan yang menampung
segala jenis perbedaan dengan  penuh penerimaan
Indonesia adalah tanah, yang menumbuhkan buah
kebijaksanaan dari berbagai benih pengetahuan.
Indonesia adalah kita: yang berbeda, bersama, dan bijaksana.
Itulah sejatinya Indonesia kita!


No comments: