“Lain
kali kalau bis mau berangkat, ke internet lagi saja, biar ketinggalan lagi.”
-Laki-laki terminal-
Tanggal
23 Desember aku memutuskan untuk ke Istanbul sendirian dan tidak tahu akan
menginap dimana, pokoknya berangkat dulu, urusan menginap dipikirkan belakangan.
Nekad.
Sehari sebelumnya aku sudah browsing motel murah di Istanbul yang
tidak jauh dari Hagia Sophia dan Blue Mosque. Tapi semurah-murahnya motel di
Istanbul tetap saja mahal untuk ukuranku, sehingga aku perlu berdo’a semoga ada
keajaiban yang membuatku tak perlu membayar mahal. Aku telah mengontak Arifan,
malaikat kedua yang kutemui di Bandara Istanbul untuk menjemputku di terminal
bis dan kemudian kami akan bersama-sama mencari penginapan murah. Namun
semuanya berubah karena campur tangan Malaikat Sufi Istanbul.
Kualat
Hari
itu aku merasa kualat pada dua bis yang akan kutumpangi. Sesampainya di
terminal aku langsung menuju loket bis Konzet untuk membeli tiket ke Istanbul
tanpa memberi kesempatan pada calo-calo terminal yang coba mendekati. Sayang
bis berjudul Konzet yang sering kutumpangi baru akan berangkat jam 12.30 padahal saat itu baru jam 10.30. Aku
bertanya apakah ada bis lain yang berangkat lebih awal. Mereka bilang tidak
ada. Aku tidak percaya lalu pergi ke loket informasi. Lumayan petugasnya
sedikit berbahasa Inggris, tapi tetap saja Ia tidak mengerti kalo aku mencari
bis yang berangkat lebih awal sehingga urusanku mencari rumit dengan
orang-orang di terminal bis dan menjadi pusat perhatian. Seorang laki-laki
mendekatiku. Dengan bahasa isyarat Ia memintaku mengikutinya. Aku pikir Ia
mengerti apa yang kumaksud. ternyata tidak. Ia membawaku ke loket bis lain
tidak jauh dari Konzet. Bis Lider. Di loket bis kedua ini ada petugasnya yang
fasih berbahasa Inggris, wajahnya mirip Christoper Reeve, salah satu pemeran superman tahun 80-an. Ia menawariku tempat duduk paling depan. Tapi setelah
kutanya kapan bisnya berangkat ia bilang 12.30. What?! Sama aja. Dengan alasan
tidak ada wireless akhirnya aku memilih kembali ke Konzet, padahal sebenarnya
aku tidak butuh wireless. Entah karena mereka sudah jengah liat aku yang bawel
mereka bilang sudah tidak ada lagi tempat duduk. Huh! Karena sudah malas
berbicara dengan orang-orang terminal akhirnya dengan sedikit malu aku kembali
ke Lider. Tempat duduk nomor satu yang tadi ditawarkan sudah tidak ada lagi.
Mereka memberiku tiket ke Istanbul dan menyuruhku menunggu di peron 26.
Karena
masih ada waktu sekitar satu jam aku memilih untuk ke warnet di terminal yang
cuma beberapa meter dari peron untuk mengecek email dan membalas pesan di facebook. Sepuluh menit sebelum jam
keberangkatan aku keluar warnet dan langsung menuju bis Lider yang saat itu
sudah parkir didepan peron 26. Aku bertanya pada orang-orang dipintu bis apakah
bis ini yang akan ke Istanbul. Ia bilang bis ini ke Adana, yang ke Istanbul
sudah berangkat sepuluh menit yang lalu.
WHAAAAAT!!!!!!!!!!. Untuk beberapa saat
mukaku pastilah tidak karuan. Bapak itu menunjukkan jam di Hp-nya 12.35. Aku
juga menunjukkan jam di HPku 12.25. Melihat wajahku yang tidak jelas bentuknya
karena ketinggalan bis seorang bapak-bapak tua bertanya dengan bahasa Turki dan
bahasa Isyarat, “kamu kemana saja sehingga bisa ketinggalan bis?” Aku bilang,
“Internet.” Ia tertawa lalu berkata yang menurutku ia bilang, “Lain kali kalau
bis mau berangkat, ke internet lagi saja biar ketinggalan lagi,” katanya sambil tertawa
sehingga aku ikut tertawa. “Hahaha…ya ya, saya tahu.” Ia lalu membawaku ke
loket Lider dan menjelaskan semuanya. Singkat cerita akhirnya aku naik bis
Lider berikutnya yang berangkat jam 15.30. Maka aku menunggu tiga jam lagi
tanpa berbuat apa-apa dan kedinginan walau sudah berjaket tebal. Aku sudah
malas berurusan dengan orang terminal dan mencari orang Turki yang berbahasa
Inggris. Hasrat hati ingin berangkat dengan bis paling awal malah dapat paling
akhir.
Penumpang
Istimewa
Tapi
kesialan itu kemudian tergantikan dengan hal lain yang cukup menghibur. Didalam
bis aku merasa seperti penumpang istimewa karena menjadi satu-satunya penumpang
asing. Kondektur bis tampaknya penasaran oleh tampang non-Turkiku. Ia terlalu sering
bolak-balik ke kursiku untuk memberi snack, menawari minuman, mengecek minumanku,
sudah habis atau belum, atau barangkali mau tambah, dan menawari koran untuk
dibaca. Aku sering menolak ketika ia datang menyodorkan minuman. Namun karena
merasa tak enak akhirnya aku meminta su alias air putih ketika Ia datang
lagi. Tidak berapa lama kemudian Ia datang lagi membawa segelas plastic coke padahal aku tidak minta dan
langsung kuminum sedikit untuk menghargainya. Selang lima belas menit ia datang
lagi menyodorkan koran yang setelah kuamati ternyata berbahasa Turki. “Turkce” kataku. Ia mengangguk. Aku
tertawa dan memberi isyarat kalau aku tidak bisa Turkce alias bahasa Turki jadi tidak mungkin bisa membacanya, tapi
terima kasih atas kebaikannya. Ia tersenyum dan bertanya sesuatu dalam bahasa
Turki, tapi aku tidak mengerti. Komunikasi pun tidak lancar sehingga Ia pun
pergi. Setelah coke yang ia berikan
habis tidak lama kemudian aku mulai merasa ingin pipis padahal bis baru akan
berhenti di restoran sekitar tiga jam lagi. Ketika ia lewat kusodorkan gelas
kosong itu padanya. Tidak berapa lama kemudian Ia datang dengan segelas coke lagi. Dengan wajah terperangah aku
menerima gelas plastik berisi minuman bersoda itu lalu tertawa. “Lu nyuruh gue
kembung ya,” kataku dalam hati. Ia ikut tertawa. Sejam sebelum tiba ia sempat
bertanya aku sudah menikah atau belum dengan menunjukkan cincin logam di jari
manisnya. Aku tertawa dan menggeleng. Entah apa yang Ia pikirkan kemudian aku tak peduli yang penting dia sudah menetralkan perasaan agak sial hari ini. Thanks, God!
No comments:
Post a Comment