Seorang Kyai gundah gulana karena
anaknya tertarik pada agama lain. Bagaimana bisa anaknya, yang seorang anak
kyai bisa lebih tertarik pada agama orang lain dibanding agama yang telah
diajarkannya, bahkan ketika anak ini belum lahir? Apa kata umat nantinya? Apa
kata santri-santri dan rekan-rekan, dan kolega-koleganya, jika anak itu
benar-benar mendeklarasikan kemurtadannya? Ia yang selama ini berhasil membimbing
ruhani banyak orang tetapi gagal membimbing ruhani anaknya sendiri, apa kata
masyarakat nantinya? Apa kata Allah, yang diakhirat nanti akan memintai
pertanggungjawabannya sebagai ayah yang dituntut untuk mendidik agar mengenal
dan menaati Allah? Apa kata semesta?
Makin hari ia makin ketar-ketir.
Kali ini masalah yang dihadapinya begitu besar karena mendasar. Masalah yang
membuat manusia bisa berperang satu sama lain memperebutkan kebenaran
keyakinan. Masalah yang begitu esensial.
Anak kedua yang tadinya ia
banggakan karena kecerdasan dan kekritisannya, yang menurutnya sebagian besar
adalah turunan darinya, yang begitu bangga dengan agamanya dan siap melibas
cara berkeyakinan yang lain melalui keterampilannya berdebat, tiba-tiba
berbelok arah menjadi lebih tertarik pada jalan agama lain. Bagaimana bisa?
Tak henti-henti ia berpikir apa
yang akan terjadi jika anak ini benar-benar murtad dan tak bisa dikembalikan ke
jalan yang telah diajarkannya? Apa kata pemilik semesta?
Istrinya malah tenang-tenang
saja, dan justru bersikap sangat santai, “Tenang, Abi,” hiburnya pada suaminya
yang cemas dan makin cemas, “biarkan dia mencari keyakinannya sendiri. Bukan
karena kita Islam maka dia harus Islam. Bebaskanlah dia untuk mencarinya
sendiri,” ujarnya santai tapi mantap.
“Iya, tapi kalau dia benar-benar
murtad bagaimana?” jawab suaminya dengan begitu gusarnya.
“Tenang saja, aku yang
melahirkannya, aku tahu dia itu seperti apa dan akan seperti apa, tenang
sajalah, don’t worry,” jawab istrinya
tanpa kecemasan sedikitpun, malah cenderung geli melihat kecemasan suaminya,
yang ia juluki orang syari’at, yaitu orang yang masih terjerat realitas hasil
konstruksi, sementara ia menyebut dirinya sendiri orang hakikat atau orang yang
sudah melampaui konstruksi sehingga melihat esensi.
Semakin hari si anak yang dicemaskannya
semakin rajin ke Vihara untuk bermeditasi dan semakin menunjukkan kemantapan
akan pilihan agama barunya, yang menurutnya lebih keren karena ia nilai lebih menenangkan, lebih menunjukkan cinta kasih dan kedamaian, dan lebih mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Sang ibu yang tanpa sepengetahuan
si anak memantau semua perubahan perilakunya namun membiarkannya, suatu saat mulai menanyakan, “Kamu kenapa toh, Nak? Tanyanya. Si anak diam, bingung bagaimana harus menjelaskan. Sebelum jawaban keluar sang Ibu tanpa tedeng
aling-aling langsung nyletuk, “Kamu murtad ya?” tebaknya enteng. Si anak pun
jujur mengakuinya. Mendengar pengakuan kemurtadan anaknya sang ibu bukannya
kuatir, ia terlihat biasa saja, tidak seperti ayahnya. Dengan penuh perhatian ia
menjadi teman sharing anaknya tentang
pengalaman-pengalaman menjelajahi dunia astral selama tenggelam dalam
ketenangan meditasi. Sang ibu mengangguk-angguk dan tersenyum ketika anaknya bercerita
pengalaman spiritual melalui agama barunya dan dengan bangga menceritakan guru
meditasi yang begitu dihormati dan dicintainya. “Oh, begitu ya, Nak,” begitu
selalu komentarnya. Anaknya pun semakin bersemangat bercerita karena merasa
didengarkan, bukan dicemaskan dan disalahkan. Berdua di bawah pohon mereka sering
saling bertukar cerita, ibu dan anak berbincang pengalaman batin.
Hingga suatu hari setelah anaknya
selesai bercerita sang Ibu memegang tangan anaknya dan memintanya terpejam. Bersama
mereka mejelajah dunia lain, melintasi berbagai realitas hasil konstruksi
pikiran manusia. “Waktu kamu meditasi kamu mengalami ini kan, … mengalami itu
kan?” tebak sang ibu dengan entengnya. Sang anak terkaget-kaget karena baru
sadar kalau ibunya ternyata dahsyat juga. Ibunya menunjukkan semua yang dilihat
dan dialaminya dalam meditasi-meditasinya. Si anak berderai air mata. “Oke, kalau
begitu sekarang kamu bersyahadat lagi saja, lalu berwudhu dan sholat magrib ya,”
pinta sang ibu dengan penuh kasih sayang. Sang anak pun menuruti dan terpana
karena mengalami pengalaman yang lebih dahsyat ketika sholat magrib kembali,
setelah hampir satu tahun semua sholatnya ia tinggalkan. Sholatnya tidak lagi
sama dengan sholat-sholat sebelumnya, yang sekedar jengkang-jengking tanpa isi.
Dibawah bimbingan sang Ibu anak
ini kembali ke agama yang telah diajarkan kedua orang tuanya. Walau agama yang
dijalaninya sama dengan agama yang dipeluk kedua orang tuanya, namun agama yang
dianutnya adalah hasil dari temuannya sendiri, yang telah melalui proses
pencarian, dan pengujian melalui pengalaman, sehingga bukan lagi warisan. Doktrin-doktrin
agama yang diajarkan oleh ayah dan guru-guru agamanya telah diseleksi dan diuji
melalui penjelajahannya, melalui passing
overnya kepada agama lain walau tanpa diniatinya sejak awal. Walau ia
kembali ke agama orang tuanya namun Ia tidak kehilangan rasa hormat dan cinta
terhadap guru meditasinya dan agama gurunya. Menurutnya gurunya ini juga
berperan dalam menemukan agama yang diyakininya sendiri, bukan yang dituntut
oleh orang lain -termasuk orang tuanya- untuk diyakini. Ia kini lebih hormat
pada agama apapun yang dipeluk oleh siapapun asal tidak menjelek-jelekkan agama
apapun, karena menurutnya masalah keyakinan adalah masalah pribadi yang
berkaitan dengan proses pribadi seseorang sehingga tidak bisa dipaksakan oleh
siapapun. Ia mengutip kata-kata guru meditasinya, “Yakinilah apa yang hatimu
yakini benar, bukan yang katanya benar.”
Cerita dari sang ibu dan anak secara terpisah disebuah
pesantren.
Surga Kecil, Yogyakarta, 22 November 2012/8 Muharam
1434 H. 23.29 WIB. njm#1