Semazen

Saturday, November 24, 2012

Si Anak Murtad dan Ibu Dahsyat: Kisah Passing Over Anak Kyai


Seorang Kyai gundah gulana karena anaknya tertarik pada agama lain. Bagaimana bisa anaknya, yang seorang anak kyai bisa lebih tertarik pada agama orang lain dibanding agama yang telah diajarkannya, bahkan ketika anak ini belum lahir? Apa kata umat nantinya? Apa kata santri-santri dan rekan-rekan, dan kolega-koleganya, jika anak itu benar-benar mendeklarasikan kemurtadannya? Ia yang selama ini berhasil membimbing ruhani banyak orang tetapi gagal membimbing ruhani anaknya sendiri, apa kata masyarakat nantinya? Apa kata Allah, yang diakhirat nanti akan memintai pertanggungjawabannya sebagai ayah yang dituntut untuk mendidik agar mengenal dan menaati Allah? Apa kata semesta?

Makin hari ia makin ketar-ketir. Kali ini masalah yang dihadapinya begitu besar karena mendasar. Masalah yang membuat manusia bisa berperang satu sama lain memperebutkan kebenaran keyakinan. Masalah yang begitu esensial.

Anak kedua yang tadinya ia banggakan karena kecerdasan dan kekritisannya, yang menurutnya sebagian besar adalah turunan darinya, yang begitu bangga dengan agamanya dan siap melibas cara berkeyakinan yang lain melalui keterampilannya berdebat, tiba-tiba berbelok arah menjadi lebih tertarik pada jalan agama lain. Bagaimana bisa?

Tak henti-henti ia berpikir apa yang akan terjadi jika anak ini benar-benar murtad dan tak bisa dikembalikan ke jalan yang telah diajarkannya? Apa kata pemilik semesta?

Istrinya malah tenang-tenang saja, dan justru bersikap sangat santai, “Tenang, Abi,” hiburnya pada suaminya yang cemas dan makin cemas, “biarkan dia mencari keyakinannya sendiri. Bukan karena kita Islam maka dia harus Islam. Bebaskanlah dia untuk mencarinya sendiri,” ujarnya santai tapi mantap.
“Iya, tapi kalau dia benar-benar murtad bagaimana?” jawab suaminya dengan begitu gusarnya.
“Tenang saja, aku yang melahirkannya, aku tahu dia itu seperti apa dan akan seperti apa, tenang sajalah, don’t worry,” jawab istrinya tanpa kecemasan sedikitpun, malah cenderung geli melihat kecemasan suaminya, yang ia juluki orang syari’at, yaitu orang yang masih terjerat realitas hasil konstruksi, sementara ia menyebut dirinya sendiri orang hakikat atau orang yang sudah melampaui konstruksi sehingga melihat esensi.  

Semakin hari si anak yang dicemaskannya semakin rajin ke Vihara untuk bermeditasi dan semakin menunjukkan kemantapan akan pilihan agama barunya, yang menurutnya lebih keren karena  ia nilai lebih menenangkan, lebih menunjukkan cinta kasih dan kedamaian, dan lebih mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Sang ibu yang tanpa sepengetahuan si anak memantau semua perubahan perilakunya namun membiarkannya, suatu saat mulai menanyakan, “Kamu kenapa toh, Nak? Tanyanya. Si anak diam, bingung bagaimana harus menjelaskan. Sebelum jawaban keluar sang Ibu tanpa tedeng aling-aling langsung nyletuk, “Kamu murtad ya?” tebaknya enteng. Si anak pun jujur mengakuinya. Mendengar pengakuan kemurtadan anaknya sang ibu bukannya kuatir, ia terlihat biasa saja, tidak seperti ayahnya. Dengan penuh perhatian ia menjadi teman sharing anaknya tentang pengalaman-pengalaman menjelajahi dunia astral selama tenggelam dalam ketenangan meditasi. Sang ibu mengangguk-angguk dan tersenyum ketika anaknya bercerita pengalaman spiritual melalui agama barunya dan dengan bangga menceritakan guru meditasi yang begitu dihormati dan dicintainya. “Oh, begitu ya, Nak,” begitu selalu komentarnya. Anaknya pun semakin bersemangat bercerita karena merasa didengarkan, bukan dicemaskan dan disalahkan. Berdua di bawah pohon mereka sering saling bertukar cerita, ibu dan anak berbincang pengalaman batin.

Hingga suatu hari setelah anaknya selesai bercerita sang Ibu memegang tangan anaknya dan memintanya terpejam. Bersama mereka mejelajah dunia lain, melintasi berbagai realitas hasil konstruksi pikiran manusia. “Waktu kamu meditasi kamu mengalami ini kan, … mengalami itu kan?” tebak sang ibu dengan entengnya. Sang anak terkaget-kaget karena baru sadar kalau ibunya ternyata dahsyat juga. Ibunya menunjukkan semua yang dilihat dan dialaminya dalam meditasi-meditasinya. Si anak berderai air mata. “Oke, kalau begitu sekarang kamu bersyahadat lagi saja, lalu berwudhu dan sholat magrib ya,” pinta sang ibu dengan penuh kasih sayang. Sang anak pun menuruti dan terpana karena mengalami pengalaman yang lebih dahsyat ketika sholat magrib kembali, setelah hampir satu tahun semua sholatnya ia tinggalkan. Sholatnya tidak lagi sama dengan sholat-sholat sebelumnya, yang sekedar jengkang-jengking tanpa isi.

Dibawah bimbingan sang Ibu anak ini kembali ke agama yang telah diajarkan kedua orang tuanya. Walau agama yang dijalaninya sama dengan agama yang dipeluk kedua orang tuanya, namun agama yang dianutnya adalah hasil dari temuannya sendiri, yang telah melalui proses pencarian, dan pengujian melalui pengalaman, sehingga bukan lagi warisan. Doktrin-doktrin agama yang diajarkan oleh ayah dan guru-guru agamanya telah diseleksi dan diuji melalui penjelajahannya, melalui passing overnya kepada agama lain walau tanpa diniatinya sejak awal. Walau ia kembali ke agama orang tuanya namun Ia tidak kehilangan rasa hormat dan cinta terhadap guru meditasinya dan agama gurunya. Menurutnya gurunya ini juga berperan dalam menemukan agama yang diyakininya sendiri, bukan yang dituntut oleh orang lain -termasuk orang tuanya- untuk diyakini. Ia kini lebih hormat pada agama apapun yang dipeluk oleh siapapun asal tidak menjelek-jelekkan agama apapun, karena menurutnya masalah keyakinan adalah masalah pribadi yang berkaitan dengan proses pribadi seseorang sehingga tidak bisa dipaksakan oleh siapapun. Ia mengutip kata-kata guru meditasinya, “Yakinilah apa yang hatimu yakini benar, bukan yang katanya benar.”


Cerita dari sang ibu dan anak secara terpisah disebuah pesantren.
Surga Kecil, Yogyakarta, 22 November 2012/8 Muharam 1434 H. 23.29  WIB. njm#1




Friday, November 23, 2012

Melahirkan Yesus


Sehari menjelang ulang tahunku, seorang teman sekantor yang Kristen Protestan –yang gara-gara fesbuk jadi tahu hari ulangtahunku beberapa hari sebelumnya- dengan bercanda memintaku untuk memistifikasi hari kelahiranku. Memistifikasi yang dia maksud adalah memberi makna mistik. Atau agar terdengar lebih ilmiah dan tidak terlalu Kejawen (buat yang apriori terhadap Kejawen), adalah mengungkapkan misteri atau rahasia yang ada padanya, dengan kata lain mengungkap makna spiritual dibaliknya. Kubilang bisa saja, karena siapa pun punya hak untuk memberi makna terhadap apapun, bukan? Apalagi hari kelahiran. Mau memaknai ala Arab, Jawa, Masehi, Sufi atau ala asal-asalan? Bisa semua, tinggal diutak atik. Masalah gathuk (pas) atau tidak tergantung keterampilan menggunakan paradigma dan merakit fakta agar menjadi argumen yang meyakinkan, bukan begitu J?

Lalu kubilang, dari dulu aku suka sekali dengan kisah Maryam alias the Virgin Mary, ibundanya Yesus. Ternyata baru beberapa hari ini kusadari kalau angka 19 di Al-Qur'an adalah nomor untuk surat Maryam, alias Mary. Dialah satu-satu perempuan yang namanya terukir indah dalam Al-Qur’an dan satu-satunya perempuan yang kisahnya dikisahkan dengan jelas di Al-Qur’an yang kisah-kisah didalamnya didominasi oleh kisah-kisah para lelaki. Surat ini kuanggap istimewa karena disamping menantang nalar alias banyak kisah-kisah yang tidak sejalan dengan logika linier juga karena didalam surat ini pula doa favoritku berada, yaitu doa yang sama diucapkan oleh Tuhan dan Yesus atau Nabi Isa. Dengan redaksi doa yang sama Tuhan berdoa untuk Yahya dan Yesus berdoa untuk dirinya sendiri. Karena isinya sama namun berbeda subjek maka lagi-lagi ini pun menantang nalar. Doa ini yang biasanya kuucapkan menjelang tidur dan kalau mendengar ada orang baru saja meninggal. Isinya, “Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, dihari kelahiranku, dihari wafatku dan di hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali”, ini doa Yesus untuk dirinya sendiri (Quran, 19: 33). Sedangkan Tuhan bedo’a untuk Yahya, “Kesejahteraan bagi dirinya dihari kelahirannya, dihari wafatnya, dan dihari ketika ia dibangkitkan hidup kembali (Quran, 19: 15).”
Temanku ini pun dengan antusias berkomentar pendek, “Oh, ya?!”.  Tulisan ini untuk menyambung diskusiku dengannya yang terputus karena dia harus mencari tiket pulang kampung untuk menjemput istrinya J

Lukisan Siti Maryam (the Virgin Mary) berdasarkan vision Frithjof Schuon

Sebelumnya aku sudah pernah menulis sekilas tentang Maria dan Bayi Yesus di buku Finding Rumi, namun terlupakan dan baru teringat kemblai ketika berbincang tentang Maria dengan teman Protestan itu. Secara kebetulan dihari ulang tahunku, salah satu koran yang jadi langganan kantor memuat foto esay tentang situs-situs Maria di dunia.  Disitu disebut bahwa bagi umat Katolik bulan Mei dan Oktober adalah bulannya Maria (the month of Mary) yaitu bulan yang khusus didedikasikan untuk Maria. Wow! Jadi angka 19 dan bulan Oktober sama-sama terkait Maria. Amazing fact untuk diutak atik gathuk, bukan?!. (Barangkali ini efek tinggal di Jawa, jadi ketularan kreatif untuk memberi makna).

Mengapa Oktober jadi bulan Bunda Maria? Sejarahnya terkait dengan penyerangan pasukan Ottoman atau Turki Usmani ke negara-negara Eropa yang mayoritas adalah Kristen pada tahun 1571. Melihat pasukan Muslim Turki lebih banyak dibanding pasukan Kristen maka muncul kekuatiran agama Kristen akan punah di negeri Eropa sehingga komandan Armada Katolik dari Austria (John/Don Juan) berdoa Rosario memohon bantuan Bunda Maria. Jemaat Katolik diseluruh Eropa pun serentak berdoa Rosario agar mendapat pertolongan disituasi yang sangat genting ini. Pada 7 Oktober seluruh umat Katolik di Roma tidak berhenti berdoa Rosario dari pagi hingga petang  hingga akhirnya pasukan Katolik memperoleh kemenangan. Maka sejak saat itu 7 Oktober ditetapkan sebagai hari Raya Rosario Suci bagi umat Katolik, dan bulan Oktober dikhususkan sebagai bulan devosi bagi Bunda Maria yang telah menjaga Gereja hingga akhir jaman. Begitu menurut pemeluk Katolik.

Bayangkan, tidak hanya pertempuran fisik yang terjadi kala itu, tetapi juga pertempuran spiritual, pertempuran doa. Pasukan Turki pun pasti juga berdoa tidak kalah kencang memohon kemenangan dipertempuran ini, apalagi demi misi menegakkan kebenaran Islam di Eropa. Jika kita yakin bahwa penguasa alam semesta adalah tunggal maka doa mana yang akan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Tunggal? Apa kriteria yang Dia pakai untuk mengabulkan doa dari kedua kubu ini, yang sama-sama merasa memegang kebenaran Tuhan?  

Beberapa waktu lalu aku menghadiahi seorang teman dekat yang beragama Katolik, yang hari lahirnya bertepatan dengan Maria berduka cita, yang diperingati setiap 15 September. Dari dialah aku tahu bahwa di Tradisi Katolik ada hari Maria berduka cita untuk mengenang tujuh duka yang dialami Maria sepanjang hidupnya. Hadiahku itu berupa foto berisi kutipan puisi seorang Sufi besar yang dikubur di kota cinta, Konya, Turki, yaitu Jalaluddin Rumi. Kutipan puisi dalam hadiah itu terkait dengan pembicaraan kami sebelumnya  mengenai penderitaan. Ia bicara dari perspektif Buddha yang mengajarkan bahwa, penderitaan disebabkan oleh sifat keakuan manusia. Jika keakuan ini telah dilampaui maka kita akan terbebas dari duka atau penderitaan. Aku bicara dari perspektif Rumi yang kata-katanya kulekatkan difoto itu. Kutipan yang kuambil dari kitab Fihi Ma Fihi-nya Jalaluddin Rumi itu berkata:
"Tubuh adalah Maria, masing-masing kita mempunyai Yesus didalamnya. Jika kepedihan/penderitaan datang maka Yesus akan lahir. Tetapi jika tidak maka ia akan pulang membawa rahasianya sebagai mana rahasia kedatangannya. Oleh karenaya kita akan kehilangan hikmah-hikmahnya".


Puisi ini adalah kiasan Rumi yang menjelaskan bahwasanya semua penderitaan hidup adalah jalan menuju kesejatian, atau jalan menuju Cinta. Artinya orang yang kaya penderitaan hidup akan lebih memahami sejatinya hidup. Tentu saja jika ia pandai memaknai penderitaannya. Rumi menyebut penderitaan sebagai jalan bagi lahirnya Yesus, yang memang  identik dengan cinta/kasih. Baginya Yesus tidak akan lahir kalau Maria tidak menderita. Sebagaimana Qur’an tidak akan lahir kalau Muhammad tidak mengalami penderitaan hebat dalam hidupnya. Jadi dua-duanya, Yesus dan Qur’an adalah buah dari penderitaan. (Kalau tidak percaya bacalah kisah hidup keduanya dan bandingkan dengan deritamu, mana yang lebih dahsyat.)

Qur’an dan Yesus adalah sama-sama firman Tuhan yang lahir dari tubuh yang berbeda, Maria dan Muhammad. Lihatlah, betapa amazing-nya skenario Tuhan. Ketika firman itu melalui perempuan, ia berupa manusia yaitu Yesus atau Isa. Namun ketika melalui laki-laki, firman itu berupa Al-Qur’an. Maria dan Muhammad adalah wadah yang sempurna bagi manifestasi firman Tuhan ke dunia.

Jadi, menurut sang Guru Rumi, pada hakikatnya penderitaan-penderitaan hidup yang dialami oleh manusia berfungsi sebagai jalan untuk lahirnya Yesus (cinta/kasih). Yesus disini adalah esensi sejati yang ada di dalam setiap manusia.  Dalam perspektif Sufi esensi ini sebenarnya adalah esensi Tuhan sendiri yang Ia tiupkan pada Adam. Jadi, penderitaan berfungsi untuk menyadarkan kita tentang hakikat sejati manusia. Karena ketika mengalami kepedihanlah mansuia beralih kepada dirinya sendiri, yang sebenarnya pada dirinya yang paling dalam tersimpan misteri Tuhan, yang oleh para Sufi disebut mutiara terpendam atau harta karun.

Maka tugas kita semua adalah untuk melahirkan Yesus kita ke dunia. Dalam kapasitas kita Ia bisa berupa kata-kata, warna, suara, bentuk, tarian, organisasi, gerakan, dll. Jika yang kita lahirkan benar-benar Yesus maka pastilah tidak mengandung kebencian dan prasangka buruk, karena apapun yang lahir dari kemurnian hanya mengandung CINTA, yang turunannya adalah sifat kreatif dan mampu membangkitkan jiwa-jiwa yang gersang. So, dalam rupa apakah Yesusku dan Yesusmu akan lahir?

-Surga Kecil, Yogyakarta, 19 Oktober 2012/. 12.00 WIB. 

Monday, November 5, 2012

Mekah: Catatan Luka di Taman Surga


Kala itu di depan Ka'bah. Setiap habis Ashar dihabiskan dengan duduk-duduk di tangga-tangga Masjidil Haram agar dapat mengamati dari dekat dan memeditasi tingkah laku manusia yang sedang melakukan ritual suci memenuhi panggilan Ilahi.  Aku berharap Yang Maha Baik akan membukakan rahasia bangunan kubus yang sedang diputari oleh ribuan manusia ini. Apa pentingnya kita mengitari benda hitam yang mengandung batu hitam dan terkait kisah budak perempuan hitam bernama Siti Hajar ini?  

Banyak yang menangis sambil mengusap-usapkan tangannya ke kain hitam penutup Ka'bah. Ada pula yang mengusap-usapkan bayinya ke dinding Ka'bah. Ada yang membaca tuntunan doa tawaf dengan keras-keras. Ada yang membaca tanpa suara sambil berputar mengelilingi Ka’bah, matanya fokus pada buku doa kecil yang dibaca. Desak-desakan manusia terjadi disetiap tempat yang dikatakan mustajab, karena semua menginginkan berdoa ditempat itu, bahkan memaksakan diri solat dan bedoa lama-lama diantara desak-desakan manusia yang juga menginginkan hal yang sama. Ada yang sibuk motret atau membuat video dengan kamera pocket dan HP. Dipintu masuk perempuan akan selalu ada penjaga yang menggeledah tas untuk mencari kamera. Kalau ada kamera yang ditemukan maka akan disita atau tidak boleh masuk. Sedangkan dipintu masuk masuk untuk laki-laki katanya tak ada penggegledahan sehingga kamera pocket bebas masuk.

Di dekat Hajar Aswad atau batu hitam yang disunahkan untuk dicium, akan selalu terjadi kemacetan putaran karena ribuan manusia ini berebut ingin mencium batu hitam itu. Ditengah-tengah himpitan kemacetan padat manusia itu akan selalu terdengar suara laki-laki dan kadang perempuan yang menawarkan jasa untuk membantu mencium Hajar Aswad, "Pak/Ibu, mari saya bantu untuk mencium hajar aswad," kata mereka. Ketika ada tanda iya, maka pemilik suara itu dan 3-5 orang temannya yang juga ada dalam himpitan kepadatan tubuh manusia itu akan membuat lingkaran penghalau manusia lain agar si penerima jasa dapat mencium Hajar Aswad. Setelah itu perhitungan ekonomi pun dilakukan. Adikku sempat tertegun menyaksikan seorang Bapak tua sedang menangis dan digeledah oleh sekelompok orang sesama Indonesia yang tidak percaya kalau Bapak itu tidak mempunyai uang untuk membayar jasa penciuman Hajar Aswad. Bapak itu pasti mengira bahwa jasa itu gratis. Mungkin ia mengira orang-orang ini benar-benar tulus berlomba-lomba berbuat baik dihadapan rumah Tuhan. Ternyata tidak. Adikku pun mendapat pelajaran penting, anggapan bahwa ditempat suci semua orang akan berlaku suci pun gugur. Ditambah kelakuan para pedagang Arab disekitar Masjid Haram, Mekah, terhadap jemaah perempuan Indonesia yang seringkali terasa melecehkan. Sambil memuji-muji perempuan Indonesia cantik-cantik dengan pandangan nakal, tidak sedikit pedagang-pedagang itu yang juga berusaha menyentuh tubuh, atau semakin merapatkan tubuh mereka. Terhadap perempuan Turki dan Iran mereka tidak berlaku sama, ini mungkin karena mereka langsung disikapi dengan galak, dan mungkin juga karena persepsi mereka terhadap perempuan Indonesia berbeda dengan terhadap perempuan timur tengah karena kita dianggap negeri pengirim budak.

Selain itu perlakuan  laskar perempuan penjaga mesjid Nabawi yang bersikap galak dan diskriminatif terhadap perempuan berwajah Indonesia atau Melayu, menambah daftar kesan tidak asik di negeri yang terasa keras dan patriarkis ini. Di Raudah, sebuah tempat dekat makam Nabi yang dinarasikan sebagai taman surga, orang-orang berdesak-desakan untuk bisa lebih dekat agar bisa sholat dan berdoa, karena diyakini sebagai tempat yang mustajab bagi terkabulnya doa. Raudah tidak selalu dibuka untuk perempuan. Ada waktu-waktu khusus untuk perempuan sehingga selalu terjadi antrian dan desak-desakan untuk masuk ke area ini. Wajah-wajah Asia atau Melayu khususnya Indonesia akan sering menjadi yang terakhir untuk dapat kesempatan ke Raudah. Kata-kata, "Malayu, duduk!!" yang diucapkan dengan teriakan keras adalah sambutan yang tidak cukup menyenangkan dikuping. Dengan tubuh dan muka tertutup gamis dan cadar hitam, laskar-laskar perempuan ini akan mencegat perempuan berwajah Asia atau Melayu dan memerintahkan untuk duduk. Sementara perempuan berwajah non Asia/Melayu dibiarkan melenggang memasuki area Raudah. Ini yang membuat wajah-wajah melayu iri dan ngeyel. Jika perempuan berwajah Melayu ini menyembulkan diri diantara yang duduk dan berniat protes maka kata-kata sakti itu akan meluncur lebih keras, MELAYU, DUDUK!!!! Aku dan beberapa teman serombongan sempat berniat kembali lagi ke area itu dengan gamis dan cadar hitam agar tidak kelihatan Indonesianya.

Ketika berada di area dekat dengan makam Nabi, pembimbing umroh mengajak untuk bersholawat pada Nabi. Seorang laskar yang melihat kami mengangkat tangan langsung menghampiri dan menghardik, "Syirik!" dan memerintahkan untuk menurunkan tangan. Aku tak targanggu karena sudah sering mendengar cerita ini sehingga mental lebih siap, lagi pula aku punya cara sendiri untuk bercakap-cakap dengan Nabi secara pribadi setiap habis sholat subuh. Kepedihan muncul karena ketidakterimaan atas perlakuan orang-orang Wahabi ini terhadap Manusia Agung dan tamu-tamunya. Di Konya, seorang wali bernama Jalaluddin Rumi  yang mengaku hanya setitik debu di telapak kaki sang Nabi mendapat penghormatan begitu besar  dan perlakuan baik terhadap tamu-tamunya. Namun di negeri ini, kutub cinta dan kutub pengetahuan sekaligus ini diperlakukan bak rongsokan. Sungguh negeri yang aneh dengan idiologi aneh!
Akhirnya demi menghibur diri inilah kata-kata untuk Nabi, "Barangkali mawar wangi memang perlu dilindungi duri," Nabi adalah Mawar wanginya, negeri aneh ini durinya.  Ah ! Kalau bukan karena kemuliaan Mawar Gurun ini, enggan rasanya menginjakkan kaki kembali ke negeri aneh ini.


Masih ada lagi sumber kekesalan lain. Diantara bangunan-bangunan megah pusat perbelanjaan, hotel-hotel mewah disekitarnya, dan Istana raja di bukit yang hampir mepet dengan salah satu sudut Masjid Haram, Ka'bah kelihatan kecil dan tak berwibawa. Benda hitam dan kepala-kepala manusia yang bergerak mengelilinginya hanya jadi hiburan mata bagi yang tinggal digedung-gedung mewah ini. Di Bali, ada aturan religious bahwa bangunan tidak boleh lebih tinggi dari Pure. Ini karena agama tak semata-mata rasional  tapi ada sisi emosional etisnya. Ada rasa etis yang selalu ingin meninggikan dan mengistimewakan tempat-tempat ibadah dibanding yang lain. Walaupun di beberapa tempat di Bali, aturan ini mulai kalah oleh kekuatan kapitalis, namun di beberapa tempat aturan ini masih di jaga ketat oleh adat. Di Mekah, rasa untuk meninggikan dan mengistimewakan rumah Tuhan sudah digerus oleh idiologi Wahabi dan kepentingan pasar yang mengambil keuntungan darinya. Ada rasa tidak rela jika dua tempat suci (Mekah dan Madinah) dikelola oleh negeri aneh ini.
Ah, barangkali kalau aku tidak terlalu kritis mungkin akan merasakan perasaan excited yang sama yang sering diceritakan oleh orang-orang kampung tentang keajaiban-keajaiban di tanah suci. 

-Catatan Umroh 2012 #1


Ka'bah di kala hujan. Banyak yang menafsir sebagai
hujan berkah.  

Saturday, November 3, 2012

Pagi di Surga Kecil

Tidak menanam tapi bisa memanen, di Surga Kecil itu bisa terjadi. Tidak perlu punya tanah, mencangkul, atau menanam apapun untuk bisa memanen dan menikmati semua buah tanah yang tumbuh di Surga Kecil. Cukup senyum manis dan sapaan tulus, maka cabe merah, terong, dan jagung manis bisa dipetik dan dibawa pulang. Ini berlaku untuk buah-buah tanah yang lain, asal aturannya diikuti, yang itu tidak sulit. Cukup TULUS! Itu saja password untuk menikmati apapun di Surga Kecil. Yang menerima gembira dan yang memberi juga gembira. Itulah Surga Kecil.

Pagi itu Surga Kecil cerah sekali. Hujan tadi malam mengendapkan semua debu-debu yang biasanya melayang-layang terkena roda motor dan sepeda. Semua yang dipermukaan pun terlihat basah dan segar. Rumput liar, genjer, putri malu, cabe, talas, padi, jagung, semua memegang embun di daunnya. Ketika dipotret embun-embun itu akan membentuk bulatan-bulatan cantik out of focus.

Aku tak berniat memotret apapun pagi itu. Hanya ingin olah raga dan memenuhi paru-paru dengan udara segar. Semalam kurang tidur karena menyelesaikan pekerjaan editing. Agar tidak gampang sakit setidaknya sirkulasi darah perlu dilancarkan dan paru-paru diasupi oksigen lebih banyak. Maka turunlah aku ke Surga Kecil. Seorang Bapak melintas ketika aku sedang menggerak-gerakkan badan dengan tidak terlalu serius. Senyum dan sapanya ramah ketika lewat di depanku. Itulah Pak Man yang memberiku jagung manis dari Surga Kecil.

Tadinya aku tidak bermaksud memotret, tapi karena matahari di Surga Kecil sangat cerah dan daun talas tegak dengan gagahnya, yang membuatku berpikir jangan-jangan bentuk daun pada pembukaan wayang kulit idenya dari daun talas ini. Maka aku kembali ke kamar untuk mengambil kamera. Pak Man yang sedang menyabit pohon jagung tanpa sengaja ikut terpotret. Keberadaannya dan warna bajunya semakin membuat Surga Kecil terlihat indah. Dan dari sinilah perkenalan dengan Pak Man dimulai dan jangung manis bisa kupetik dan kubawa pulang. Begitulah Surga Kecil.