Semazen

Thursday, December 13, 2012

#11. Kutub Cinta, Jalaluddin Rumi

The pole of love, Kutub Cinta
Ia tak bicara pada pikiran orang-orang itu yang dipenuhi
 oleh konsep Tuhan menurut agamanya masing-masing. 
Ia berbicara pada hati semua orang yang hanya 
merindukan satu kata, CINTA. 

                Hari ketiga bayram atau Idul Adha akhirnya aku berangkat ke Konya. Bahagianya tidak ketulungan karena momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga. Mas Media, mahasiswa S3 dari Jakarta adalah malaikat ke delapan. Dialah yang menjadi partner perjalanan ke Konya, mengunjungi Maulana Rumi. Mas Nasir, pagi-pagi sekali sudah menelpon mengatakan ia tidak bisa ikut karena badannya sakit. Walaupun kemarin ia bilang mau ikut tapi aku merasa masih ada keragua-raguan. “Ia pasti belum begitu kenal Maulana,” batinku. Ketika pagi itu ia memberi tahu tidak jadi ikut aku sudah bisa menduganya. Maka kami hanya bertiga, Mas Media, Yan, dan aku.
                Kami janjian untuk bertemu di Asti –terminal terakhir metro- jam 9 pagi. Aku keluar dari kamar setengah sembilan dan menunggu digerbang kampus. Tidak sampai satu menit Yan sudah nongol sehingga aku tidak perlu menunggu lama dan kedinginan, karena sejak Bayram udara menjadi lebih dingin, dibawah 5 derajat celcius. Lalu kami berdua menuju stasiun Kurtulus, naik metro menuju Asti. Di stasiun Besevler kami melihat Mas Media masuk metro lalu kita duduk bersama. Kami bertiga sudah berkumpul sebelum tiba di Asti sehingga tidak perlu cari-carian lagi. Dari Asti kami naik tangga menuju terminal bis Ankara yang terletak di atas Asti. Kami mencari bis jurusan Konya. Jam 9.30 bis berangkat menuju Konya. Maulana, we are coming….
                Ketika bis mulai melaju, aku siapkan the eyes of my flesh untuk melihat Turki selain Ankara dan the eyes of my flash kamera digitalku untuk mengabadikannya.  Untungnya aku dan Mas Media duduk di balakang meja tempat kondektur menyiapkan segala kebutuhan makan dan minum penumpang, sehingga walaupun ditengah-tengah badan bis namun pandanganku lebih luas sehingga bisa memotret dengan lebih leluasa karena tidak terhalang kursi depan.
                Setengah jam setelah melaju pemandangan berubah drastis dari tanah-tanah yang padat bangunan bertingkat ke tanah-tanah perbukitan gundul yang luas. Permukaan tanah dan ujung-ujung pohon mulai ditutupi salju tipis. Lebih jauh meninggalkan Ankara salju semakin tebal dan pohon-pohon makin ranum oleh salju. Semakin jauh semakin jarang pohon terlihat. Pohon-pohon di pinggir jalan yang tak punya banyak teman ditengah hamparan salju menghadirkan perasaan sunyi yang dingin.
“Gila! Coba bayangkan dulu bagaimana Rumi dan keluarganya mengembara dari Afganistan sampai ke Konya hanya untuk mencari ilmu. Kita disuruh belajar saja males,” kata Mas Media. Komentarnya membuatku berpikir lalu nyeletuk, “Makanya, ilmunya lebih dahsyat dan pengaruhnya lebih hebat dibanding ilmuwan modern karena prosesnya lebih berat.” Ia setuju.

                Maulana lahir di kota Balkh pada tahun 1207, tepatnya 30 September. Kota ini dulunya adalah bagian dari Iran tapi sekarang menjadi bagian dari Afganistan. Maka tidak heran jika orang Iran merasa lebih memiliki Maulana disamping karena karya-karya Mualana hampir semuanya dalam bahasa Persia. Karena situasi politik yang kurang aman ditambah invasi tentara Mongol, maka ayah Maulana, Sultan Bahauddin Walad, beserta seluruh keluarga dan sahabat dekatnya meninggalkan kota ini.
                Kota pertama yang disinggahi adalah Nishabur, kota yang ketika bicara tentang para Sufi sering disebut-sebut. Karena banyak Sufi klasik berasal dari sana. Disinilah ayah Maulana bertemu dengan Sufi terkenal, Fariduddin Attar, seorang Sufi juga yang bukunya, “Musyawarah burung-burung” sangat terkenal dalam literatur Sufi. Ia tampaknya sudah sangat terkesan dengan kecemerlangan spiritual Maulana muda. Dari Nishabur mereka kemudian berpindah ke Baghdat dan kemudian mengembara ke Mekkah untuk naik Haji. Mereka kemudian hijrah lagi ke Damascus, tempat Sufi besar, Ibn Arabi, yang juga begitu terkenal dengan konsep kesatuan wujudnya. Dari dialah sebab-sebab segala perbedaan di dunia ini, termasuk perbedaan agama dan keyakinan bisa dinalar. Di kota inilah Maulana sempat bertemu dengan sang Guru Besar Ibn Arabi, dan juga Sadruddin al Qunowi yang kelak menjadi sahabat kentalnya di Konya. Ketika Mualana mangkat, al Qunowi ditunjuk untuk menjadi imam yang mensholati jenazah Mualana. Namun duka yang dalam karena kehilangan sahabat yang sangat dicintainya, membuat al Qunowi pingsan dan tak jadi menjadi imam sholat jenazah Maulana.
                Dari Damascus mereka lalu hijrah ke Karaman setelah melalui berbagai kota-kota kecil. Dikota inilah mereka tinggal selama tujuh tahun disebuah madrasah yang dibangun oleh Subasi Emir Musa. Dikota ini pulalah Maulana menikah dan berketurunan.  Pada masa itu daerah Anatolia berada dibawah kekuasaan kerajaan Seljuk dengan Konya sebagai ibukotanya. Alauddin Keykubad yang menjadi penguasa Seljuk kemudian meminta ayah Maulana untuk tinggal di Konya. Ayah Maulana adalah ulama terkenal dan karismatis jadi wajar jika seorang penguasa seperti Aluddin Keykubad sangat terkesan.
                Singkat cerita Ayah maulana menerima permintaan itu dan sejak saat itu, tahun 1228, Maulana Rumi dan keluarganya menjadi bagian dari keluarga kelas atas kota Konya.   Setelah ayahnya wafat Maulana menjadi penggantinya. Ia pun menjadi ulama besar yang sangat dihormati dan dicintai oleh penduduk kota Konya. Sampai suatu hari Ia bertemu dengan  orang aneh bernama Syams Tabriz,  yang mengubah segalanya, dari seorang guru besar di Konya menjadi murid kecil di hadapan Syams Tabriz.
                Pertemuan dua orang yang kemudian tak terpisahkan ini bermula ketika Maulana melewati sebuah jalan menuju suatu pertemuan. Tiba-tiba seseorang tak dikenal mencegatnya dan bertanya, “Wahai ulama besar Islam, katakan padaku siapa yang lebih hebat, Nabi Muhammad atau Bayazid Albustami?”[1]
“Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja Nabi Muhammad,” jawab Maulana heran.
Syams melanjutkan lagi, “Muhammad mengatakan, “Oh Tuhan, aku gagal memahamimu sebagaimana Engkau memahami-Mu, sedangkan Bayazid mengatakan, “Oh, betapa hebatnya Aku. Akulah raja diraja. Aku bebas dari segala kecacatan. Tak ada yang tertinggal di jubahku kecuali Tuhan”. Bagaimana menurutmu?”
Maulana menjawab, “Dahaganya Bayazid terobati oleh satu tetes air, dan kendinya penuh oleh satu tetes itu; dan cahaya yang Ia terima adalah sesuai dengan capasitas jendela cahaya Tuhan  yang dimilikinya, sedangkan dahaganya Nabi Muhammad begitu besarnya sehingga disetiap tahap Ia selalu menginginkan cinta dan pengetahuan Tuhan  lebih dan lebih lagi, sebagaimana kata Qur’an “Bukankah kami telah melapangkan dadamu?” (QS 94:1) dan “Tidakkah bumi Allah itu cukup luas untuk hijrah?” (QS 4:97)
Mendengar jawaban ini Syams berteriak yang membuat Maulana hampir jatuh dari kuda tunggangannya. Sejak saat itu mereka berdua tak terpisahkan hingga membuat cemburu banyak orang yang mencintai Mualana.  Syams-lah yang mengubah Maulana dari level spiritual (maqam) pecinta Tuhan ke level “yang dicintai Tuhan”.

***
               
             Bis terus melaju melewati belahan bukit dengan pohon-pohon yang semakin berat diganduli salju. Mula-mula aku dan Mas Media senang saja melihat pemandangan salju ini karena inilah pengalaman pertama kami melihat salju, tapi lama-lama bosan juga, karena dikanan-kiri yang ada hanya warna putih. Aku dan Mas Media mulai membandingkannya dengan Indonesia yang menurut kami lebih menarik karena menawarkan pemandangan yang lebih variatif. “Kalau jalan ke Sumatera, dikanan-kiri banyak orang jual duren, Pak,” kataku. “Atau kalau lagi musim rambutan, dikanan kiri penuh buah rambutan bergelantungan sampai dahannya mau patah.”
“Iya, kalau jalan ke Puncak dikanan-kiri kebun teh dan tukang jagung bakar,” kata Mas Media.
                Pemandangan diluar yang monoton membuat kami beralih pembicaraan pada Sufisme atau tasawuf. Kami mendiskusikan pandangan Ibn Arabi, Rumi dan al Jilli tentang kesatuan agama-agama. Menurutnya diantara ketiga sufi itu hanya Ibn Arabi-lah yang berbicara panjang lebar tentang kesatuan agama-agama dibanding Rumi dan Al Jilli.
                Para Sufi adalah orang-orang yang mampu menembus sekat-sekat yang dibuat oleh agama. Mereka tidak disibukkan oleh agama karena mereka lebih sibuk mencari sumber agama. Mereka adalah para penjelajah ruhani yang tak disibukkan oleh konsep-konsep tentang Tuhan karena mereka sibuk mengenali Tuhan.  Lewat karya-karya hasil penemuan mereka kita diberi lebih banyak alasan untuk saling mencintai daripada saling membenci. Karena menurut mereka semua agama berasal dari sumber yang sama maka tidak ada alasan untuk saling menyalahkan. Semua agama didudukkan sejajar sehingga mereka mampu melihat hikmah keberadaanya masing-masing. Inilah yang aku pelajari dari Maulana Rumi dan Ibn Arabi.
                Keduanya merupakan tokoh Sufi besar namun berbeda kutub. Pendekatan mereka terhadap kebenaran berbeda namun hasilnya sama. Rumi disebut sebagai kutub cinta sedangkan Ibn Arabi disebut kutub pengetahuan. Rumi disebut kutub cinta karena cinta adalah jalan yang ditempuhnya untuk menuju Tuhan. Sedangkan Ibn Arabi disebut kutub pengetahuan karena kemampuannya menuntun akal untuk memahami realitas-realitas ketuhanan yang sulit dinalar akal. Aku suka keduanya.
                Sepanjang perjalanan tak ada penumpang lain yang mengobrol kecuali aku dan Mas Media dan kadang Yan yang ikut menyambung. Orang Turki semuanya diam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sementara kami bertiga sering tertawa  yang membuat kondektur menoleh. Kami menertawai hal-hal lucu yang kami temui selama di Turki.
“Gila, kondektur bis di Turki sibuk amat ya. Dari tadi hilir mudik melulu kerjanya,” kata Mas Media mengomentari kondektur bis yang seperti tidak pernah diam melayani penumpang. Mulai dari memberi makanan ringan, beberapa kali menawarkan minuman, dan terakhir menuangkan cologne ke tangan penumpang ketika sudah hampir tiba di terminal.

Rumi dan Ibn Arabi

Kutub Cinta, Jalaluddin Rumi
                 Ketika tak sedang ngobrol pikiranku sibuk berdiskusi sendiri tentang Maulana Rumi dan Ibn Arabi. Aku suka pada kedua tokoh ini karena keduanya seperti Pahlawan bagi kegelisahan merenungi perbedaan-perbedaan keyakinan yang ada di dunia, dan permusuhan panjang yang seringkali disebabkannya. Aku mencari dasar yang paling dalam untuk mencintai siapapun, apapun agamanya. Berbicara atau membaca karya tokoh-tokoh yang hanya ahli tentang hukum-hukum Tuhan, lebih banyak membuat frustasi, karena ketakutan dan kepatuhan yang ditonjolkannya. Hubungan dengan Tuhan pun hanya sebatas pahala dan dosa. Berbicara dengan para Sufi lebih banyak menenangkan hati. Karena mereka tak lagi bicara tentang hukum-hukum Tuhan tetapi bicara tentang Tuhan itu sendiri, yang terasa begitu dekat dan penuh kasih, bukan Tuhan yang pemarah dan mudah melaknat.
Maulana Rumi berkata, “hukum cinta yang suci ini adalah sebuah tempat penyiraman, sebuah sumber kehidupan. Ini seperti pengadilan seorang raja dimana banyak orang mempelajari hukum-hukum raja, perintah-perintah, larangan-larangannya, dan pemerintahannya. Keadilan yang sama kepada bangsawan dan kaum awam, dan sebagainya. Maklumat-maklumat raja tidak pernah berakhir, dan pada maklumat itu kestabilan negeri berada. Tetapi status para Darvish dan Sufi adalah salah satu bentuk cinta kepada sang raja, untuk mengenal pikiran dan hatinya. Apa artinya pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhan, dibanding pengetahuan tentang raja (Tuhan) itu sendiri, pikiran dan hatinya? Ada perbedaan yang besar.” –Fihi Ma Fihi-.

Kutup pengetahuan, Ibn Arabi
Karya-karya Maulana umumnya berbentuk puisi. Masnawi adalah karya  master piece-nya yang terdiri dari enam jilid. Aku hanya membaca potongan-potongannya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Puisi-puisi Maulana begitu menyentuh dan memberi pencerahan. Sebaliknya karya-karya Ibn Arabi umumnya berbentuk prosa atau penjelasan-penjelasan, namun  pada akhirnya Ia juga berpuisi, ketika yang ingin disampaikannya sudah terlalu berat untuk logika. Karyanya yang dianggap master piece berjudul Fusul al Hikam dan Futuhat al Makkiyah. Fusus al Hikam atau versi bahasa Inggrisnya “The Bezels of wisdom,” menjelaskan tentang hikmah-hikmah yang dibawa oleh para Nabi mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Dari karya-karya ini terlihat perbedaan keduanya. Ibn Arabi berbicara pada akal sedangkan Maulana Rumi berbicara pada hati. Puisi adalah bahasa hati yang tak butuh banyak kata untuk membuatnya mengerti. Sedangkan Ibn Arabi berbicara pada akal sehingga butuh jutaan kata agar bisa memahamkan akal. Sehingga  wajar jika karyanya begitu melimpah. Maka memahami Rumi tidak bisa hanya dengan akal, Ia harus dipahami dengan hati lebih dulu, baru akal akan mengerti. Peran Ibn Arabi sebaliknya, Ia berusaha menuntun akal pada pemahaman yang lebih dalam yang kemudian hanya bisa dipahami melalui hati. Maka Ibn Arabi akan lebih mudah dipahami oleh orang-orang rasional yang lebih dominan mengolah pikir.  Sedangkan Rumi akan mudah dipahami oleh orang-orang yang mengolah rasa yang hatinya telah menyala. Inilah beda keduanya. Kutub pengetahuan dan kutub cinta. Kutub akal dan kutub hati. Olah pikir dan olah rasa.

Mbah Maridjan

Mbah Maridjan dan sahabatnya, Merapi. 
     Tiba-tiba gambar Mbah Maridjan menginterupsi pikiranku. Olah rasa membuatku ingat pada iklannya Mbah Maridjan. Pertama kali melihat iklan itu aku penasaran, apa maksudnya dengan kata “roso[2]” yang ia ucapkan itu? Eureka! Sekarang mungkin aku mengerti.  Tradisi Jawa sangat kental dengan olah rasa. Seseorang dikatakan belum Njawani atau menjadi orang Jawa jika rasanya belum terolah dengan baik. Karena menurut orang Jawa rasa atau rosolah yang menentukan “kemanusiaan” manusia. Dalam tradisi Jawa kata rasa tidak hanya berarti rasa sebagaimana yang kita pahami dalam bahasa Indonesia. Kata “rasa” bisa merujuk pada pengertian batin yaitu intuisi. Bagi orang Jawa intuisi adalah alat utama untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu sehingga mereka melakukan banyak tapa agar “rasa”-nya semakin tajam. Namun pengertian ilmu pengetahuan (knowledge) bagi orang Jawa berbeda dengan pengertian modern. Dalam tradisi Jawa yang disebut ilmu atau pengetahuan adalah ilmu tentang misteri ketuhanan yang dalam perolehannya tidak hanya melalui intelek atau akal tetapi juga intuisi atau rasa. Sedangkan dalam pengertian modern pengetahuan mengacu pada kualitas pemikiran serta seberapa banyak informasi yang kita kuasai. Maka jika Mbah Maridjan mengatakan “roso” dalam iklan minuman berenergi, menurutku karena kekuatan dan keberanian Mbah Maridjan diperoleh dari olah rosonya sehingga Ia cuek saja dengan semburan Merapi yang saat itu sedang batuk. Melalui “rasa” Mbah Maridjan mampu bersahabat mesra dengan Merapi sehingga Ia tahu kapan Merapi berbahaya atau tidak. Ini membuatku ingat bagaimana Ia sangat keberatan dengan kata “wedhus gembel”, “meletus” atau “mbledhos” yang baginya sangat bernuansa negatif dan tidak hormat. “Lihat sajalah, tidak usah berkomentar apapun,” katanya. Menurutku Ia hanya ingin mengajak kita melihat sesuatu apa adanya, tanpa label baik dan buruk. Dalam hal ini Maulana telah membatuku untuk memahami tradisi-tradisi yang dibangun oleh rasa. Tradisi-tradisi pengetahuan yang dibangun di Nusantara.
                “Roso”nya Mbah Maridjan mengingatkanku pada ucapan seorang Sufi di buku panduaku, “The last barrier”. Ia berbicara tentang keseimbangan tiga dunia yaitu dunia pikiran, dunia rasa dan dunia fisik. Kita diberi tiga fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan yaitu akal, hati, dan tubuh atau indra. Semuanya harus di olah agar kita mampu berkembang menjadi manusia seutuhnya. Namun sayang umumnya kita terjebak untuk mengasah salah satunya dan mengabaikan yang lainnya. Dari TK sampai perguruan tinggi kita hanya diajarkan untuk mengolah akal. Jarang sekali diajarkan bagaimana mengolah rasa sehingga kita lebih menghargai kecerdasan intelektual dibanding kecerdasan batin atau rasa. Maka jika kemudian kecerdasan emosional atau kecerdasan rasa dikatakan lebih menentukan kesuksesan seseorang dibanding kecerdasan intelektual itu bisa dimaklumi karena kecerdasan rasa-lah yang membuat kita mudah berhubungan dengan orang lain dan makhluk lain. Kecerdasan rasalah yang membuat kita mampu menghargai manusia dan alam.

Konya


Bis terus melaju bersama pikiranku yang melayang kemana-mana dengan hati yang riang gembira karena banyak hal menjadi mudah dimengerti. Pemandangan sepanjang jalan berupa bukit, bangunan, pohon, batu dan salju, seolah menyapa selamat datang. Maka tidak berlebihan jika Anne Marie Schimmel, perempuan ahli Sufi dan pengagum Rumi dari jerman menulis, "setiap batu dan pohon tampak menafsirkan pesan-pesan Rumi ke dalam bahasanya sendiri bagi orang-orang yang mempunyai telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat". Annemarie Schimmel tidak mengada-ada karena itulah yang terasa. 
                
Tanda dengan angka-angka yang menunjukkan berapa kilometer lagi jarak ke Konya mulai sering terlihat. Semakin kecil angka-angka itu semakin banyak gambar whirling dervish muncul. Semakin dekat ke Konya hatiku pun semakin berdebar-debar seperti sedang menuju rumah sang pacar. Tapi anehnya setiap kali ingat Maulana selalu saja muncul perasaan pedih yang sering memancing air mata untuk tumpah. Ini terjadi sejak dari Indonesia, sejak membulatkan tekad bahwa Maulanalah tujuan utamaku ke Turki. Inilah salah satu yang ingin kuungkap dari kunjunganku ke Konya. Mengapa Maulana bedampingan dengan kepedihan? Apa yang membuatmu pedih Mualana?
                Bis yang kami tumpangi tiba di Otogar  Konya sekitar jam satu. Ankara-Konya ditempuh dalam waktu tiga setengah jam oleh bis ini. Salju yang beterbangan membuat aku merasa perlu memakai jaket yang kubuntel dalam tas, sarung tangan, dan kupluk wol yang kubeli di Kızılay. Selama dalam bis aku merasa kepanasan karena duduk dekat pemanas. Turun dari bis kami bingung harus kearah mana lagi. Sebelum akhirnya lari ke ruang tunggu kaca untuk menghangatkan badan. Mas Media masih sempat-sempatnya mengajak berfoto dan membuat rekaman ala news reporter dengan handicam mungilnya.
“Ya, akhirnya kita tiba di Konya, tempat makam Maulana Jalaluddin Rumi berada. Saat ini sedang hujan salju …. seperti yang anda lihat….. Ayo, Naj, saljunya di shooting,” kata Mas Media. Aku berjalan untuk mengabil gambar salju yang beterbangan dan gambar Masjid depan terminal yang masih belum rampung. Setelah itu aku berlari menyusul Mas Media dan Yan keruang tunggu kaca untuk menghangatkan badan yang ujung jarinya mulai beku. Ahhh, akhirnya sampai juga di Konya, kotanya Maulana.
                Delapan abad yang lalu, dikota inilah keluarga Maulana memutuskan untuk tinggal seterusnya setelah meninggalkan tanah kelahiran mereka di Balkh. Sejarah panjang Konya yang menarik telah memberi nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan pengetahuan dan spiritualitas Maulana.  Kala itu Konya merupakan salah satu pusat perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat di Anatolia yang membuatnya bersinggungan dengan berbagai tradisi dan agama. Sehingga menjadi wajar jika ajaran-ajarannya melampaui sekat-sekat agama. Perbedaan-perbedaan cara pandang itulah yang membuatnya melampui perbedaan. Maka tidak heran jika Maulana kemudian menjadi guru semua pemeluk agama bahkan yang tak beragama sekalipun. Ia tak bicara pada pikiran orang-orang itu yang dipenuhi oleh konsep  Tuhan menurut agamanya masing-masing. Ia berbicara pada hati semua orang yang hanya merindukan satu kata, CINTA.
                Cinta bagi Maulana adalah esensi hidup yang menjadi sebab sekaligus akibat. Ia tak terjangkau oleh kata-kata maupun pendengaran. Tak ditemukan dalam buku-buku maupun tulisan-tulisan. Tak ditemukan dalam pendidikan maupun ilmu pengetahuan manapun. Apapun yang dikatakan orang tentang cinta bukanlah cinta. Karena Ia adalah lautan yang tak terukur kedalamannya.
                Cinta mengubah pahit menjadi manis, debu menjadi emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita beralih nikmat dan kemarahan menjadi rahmat. Kata Maulana, cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurleburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya, serta membuat budak menjadi pemimpin. 
 
Inilah Cinta: membubung ke langit,
Setiap saat mengoyak seratus cadar,
Mula-mula mengingkari hidup;
Akhirnya melangkah tanpa kaki,
Menganggap dunia ini tak tampak,
Menganggap sepi semua yang ada di benak.
“O jiwa,” kataku, “semoga kau berbahagia
memasuki negeri orang-orang bercinta,
memandang daerah yang tak tercapai mata,
menyusup ke dalam lekuk-liku dada!
Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa,
Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?
Burung, bicaralah dengan bahasa burung:
kutahu artinya yang terselubung.”
Jiwaku pun menyahut: “Aku berada dalam pabrik
yang sedang mengolah air dan tanah liat.
Akupun melepaskan diri dari sana
ketika sedang diciptakan.
waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereka menyeretku
dan menuangku sehigga bagaikan bola bentukku.


Perjalanan yang diberkahi

                Setelah dirasa cukup menghangatkan badan kami kemudian berjalan menuju trem setelah terlebih dulu mampir ke toilet belakang ruang tunggu. Salju turun semakin lebat disertai angin cukup kencang yang membuat tiga manusia tropis yang baru keluar dari toilet dan tak pernah melihat salju itu makin menggigil.
                Akhirnya kami naik ke dalam trem. Karena masih Bayram atau lebaran jadi semua angkutan gratis selama empat hari. Kami bertiga memberi pemandangan yang berbeda pada orang-orang dalam trem. Wajah tropis kami membuat orang-orang dalam trem melihat dengan tanda tanya, tapi tak ada yang tersenyum. Wajah-wajah mereka pun bagi kami juga berbeda dari wajah-wajah yang seringkali kami lihat di Ankara atau Istanbul walaupun dandanan mereka tidak beda, European.

                Kami lalu turun di stasiun Aladdin, stasiun terakhir, didepan sebuah Masjid besar. Hujan salju semakin lebat. Semua orang berlari menyeberang jalan menghindari hujan salju. Seringkali salju-salju itu masuk ke mataku sehingga aku perlu mengeluarkan kaca mata. Tapi ternyata tidak banyak membantu karena kemudian kacanya mengembun kena nafasku sendiri yang kututupi dengan syal untuk mengurangi dingin. Dari pertigaan tempat pemberhentian trem kami masih harus berjalan sekitar tiga ratus meter untuk sampai ke museum Maulana. Kami menyusuri pertokoan sambil mencari bank atau money changer dan restoran yang buka. Kami mulai merasa lapar karena tadi pagi belum sempat sarapan. Tapi sayang kebanyakan bank, toko, dan restoran tutup karena libur Bayram.  Setelah berputar-putar dan bertanya sana-sini akhirnya kami menemukan tempat menukar dolar ke lira di sebuah toko mas yang menjual berbagai desain kaligrafi mas berkaitan dengan dervish. Maulana dan dervish menjadi salah satu aset besar kota Konya. Kami juga menemukan sebuah restoran yang buka, dekat Masjid Sultan Selim tidak jauh dari museum Maulana. Leganya.

Turkish Pizza
                Setelah makan Turkish Pizza dan minum teh panas di restoran itu kami pun berjalan menuju taman Masjid. Kami sempat berfoto-foto di taman Masjid yang tertutup salju. Di depan Masjid, ditengah-tengah lingkaran tanaman hias yang sebagian tertutup salju terdapat bentuk tulip merah terang bertuliskan “Konya simdi daha da guzel.. ” yang artinya “Konya sekarang jauh lebih cantik”. Tulisan itu sendiri di foto terlihat begitu cantik. Kami lalu sholat dan memotret bagian dalam Masjid sambil menghangatkan ujung-ujung jari tangan dan kaki yang mulai kehilangan rasa.
                Hujan salju telah berhenti sejak kami selesai makan. Yan merasa perjalanan ini diberkahi karena kami mengalami banyak hal yang ingin alami serta kemudahan-kemudahan dalam perjalanan. Mulai dari menemukan syal, money changer, restoran buka, dan hujan salju dari tipis hingga tebal. Kami tidak perlu menunggu akhir tahun untuk mengalami salju karena di Konya salju sudah datang duluan dibanding Ankara.

Museum Maulana

                Keluar dari Mesjis Sultan Selim kami berjalan menuju pintu loket museum Maulana, membeli karcis masuk. Kami tidak langsung masuk museum tapi memotret semua bagian luar museum terutama Yesil Turbe atau green dome karena disitulah Maulana Rumi dimakamkan. Green dome ini disebut “the tomb of the lovers” atau makam para pencinta yang kemudian menjadi ikon kota Konya. Maulana sendiri sebenarnya tidak suka jika kuburannya kelak diperindah, karena baginya tiada yang lebih indah dibanding atap langit itu sendiri. 

                Dipintu masuk museum disediakan plastik pembungkus sepatu sehingga karpet lantai museum tidak kotor dan basah. Aku sempat memotret lukisan kubah museum hingga seseorang mengingatkan bahwa tidak boleh memotret dalam museum. Didalamnya terdapat kotak-kotak kaca berisi naskah-naskah kuno dan al-Qur’an jaman Seljuk dan Ottoman serta benda-benda bersejarah lain seperti karpet dan baju Maulana. Dibelakangnya terdapat makan Maulana, anak, ayah, ibu, istri Maulana, serta makam-makam lain. Sekeliling makam dipenuhi kaligrafi yang begitu indah. Makam Maulana sendiri merupakan yang paling besar diantara makam-makam lain dengan kain penutup bertabur kaligrafi dan nisan berupa lilitan turban para dervish berwarna hijau. Di dinding sebelahnya sebuah kaligrafi bertuliskan “yaa hadzroti Maulana” atau “yang mulia Maulana.”
                Hari itu pengujung begitu banyak terutama dari Jepang. Sepintas aku sempat menghubungkannya dengan meningkatnya minat orang Jepang pada spiritualitas dan agama baru. Jadi sangat wajar kalau mereka kenal Maulana Rumi. Tapi aku tidak yakin apakah mereka datang sebagai peziarah atau wisatawan. Melihat gelagatnya mereka lebih sebagai wisatawan.  Peziarah akan lebih lama berada dekat makam, berdoa dan menautkan hati dengan Maulana. Sedangkan wisatawan hanya akan celingak-celinguk mengagumi keindahan interior makam dan mengamati peziarahnya. Ini membuatku mengerti mengapa orang Turki selalu mengira aku orang Jepang. Karena banyak orang Jepang berseliweran di Turki khususnya Konya dan mataku menjadi lebih sipit karena kelopaknya digulung cuaca dingin.
                Karena hari itu banyak peziarah yang berdoa di dekat  makam Maulana, maka aku perlu menunggu beberapa saat untuk mendapat tempat yang dekat dengan Maulana. Dadaku sudah mulai terasa sesak sejak masuk museum. Terasa ada yang ingin tumpah tapi aku menahannya sekuat tenaga. Banyak orang berdoa sambil berdiri namun banyak juga yang duduk. Beberapa perempuan duduk menunduk di lantai dekat dinding sambil menutupi mukanya dengan kerudung. Kurasa aku tahu mengapa mereka menutup mukanya. Suara ney mengalun tak henti-henti membuat suasana makam begitu menghanyutkan.
                Setelah sedikit menunggu akhirnya aku mendapatkan tempat tepat disamping kepala makam Maulana. Tak ada yang menghalangi aku dan pembaringan Maulana kecuali pagar kayu pendek yang mengelilingi makam. Aku berdiri dan tak mampu membendung air mata yang sudah sejak tadi ingin tumpah. Tak ada yang terucap kecuali surat al-Fatihah. Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Yang aku rasakan waktu itu hanya kepedihan yang begitu dalam. Perih di kedalaman sana setiap kali ingat Maulana sehingga selalu saja air mata tertumpah dan susah dihentikan. Aku sudah tidak peduli pada penjaga yang berdiri membelakangi pagar tepat dihadapanku, aku terus saja menangis. Selama ini pantang bagiku memperlihatkan air mata pada siapapun, kecuali air mata kantuk. Tapi kali ini aku menyerah. Aku tidak peduli jika penjaga itu melihat air mataku. Kubiarkan saja air mataku mengalir sambil kedua telapak tanganku menutupinya. Entah berapa lama aku berdiri menangis di dekat makam Maulana, aku tidak tahu hingga samar-samar kudengar suara Yan dan Mas Media diantara jeritan pedih suara ney (seruling buluh) dan suara para pengunjung.
                Setelah agak bisa menenangkan diri akhirnya kukatakan pada Maulana bahwa aku datang untuk merasakan apa yang Maulana rasakan. Terbakar. “Kata-kata sudah tak lagi menarik. Aku tak butuh kata-kata lagi, Maulana, aku butuh pengalaman, ajari aku caranya. Buku-buku sudah banyak yang kubaca.  Cerita-cerita pencarian sudah sering aku dengar. Tapi semua mulai terasa hambar. Aku ingin mengalami, Maulana. Bawalah aku mengembara diluar dunia warna dan rasa.”
                Aku berusaha mengerem air mataku agar tak lagi keluar, karena pasti akan membuat mataku merah dan bengkak sehingga ketahuan kalau aku menangis. Aku berdiri mematung untuk mengembalikan kondisi mata sebelum akhirnya mundur dan memberi giliran pada peziarah lain untuk berdoa.
                Setelah merasa agak normal aku bertanya dimana Syamsi Tabriz dan Shadruddin al Qunowi pada penjaga yang tadi ada di depanku. Penjaga berjaz hitam itu mengatakan Syams di luar, tidak jauh dari Museum sedangkan Qunowi agak jauh. Tak lama kemudian Mas Media dan Yan datang dan berbincang dengan penjaga itu juga. Aku bertanya tentang sema atau tarian darwis dan kapan tepatnya perayaan kematian Maulana. Penjaga itu bilang nanti jam delapan malam akan ada pertunjukan sema di pusat kebudayaan Mualana. Ia lalu berbalik meninggalkan kami setelah memberi isyarat tunggu. Tak lama kemudian Ia kembali membawa booklet tipis berwarna hijau berisi penjelasan tentang  Maulana. Penjaga ini meminta kami menunggu hingga jam delapan agar bisa melihat whirling dervish. Aku tentu saja tidak keberatan karena ini salah satu rangkaian tujuanku ke Turki. Pada awalnya kedua malaikatku juga ingin melihatnya sehingga kita sepakat menunggu. Namun karena cuaca semakin dingin dan tidak ada persiapan untuk menginap akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Ankara. Aku kecewa, karena dua orang yang ingin kutemui belum kudatangi, begitu pula sema, aku belum melihatnya.

                Akhirnya kami melangkah menuju trem untuk kembali ke otogar. Sebelumnya kami mampir di toko-toko suvenir yang bertebaran di sekitar museum. Evil eyes dan boneka dan gambar whirling dervish mendominasi suvenir-suvenir di sini. Aku membelinya beberapa dan sempat memotret seorang bocah anak penjual souvenir yang kuminta berpose dengan memegang evil eyes sebesar kepalanya. Dari situ kami kemudian keluar menuju pemberhentian trem. Hatiku terasa berat meninggalkan Maulana. “Maulana, hatiku tak ingin pulang, tapi badanku tak berdaya”. Maka tanggal 17 Desember saat peringatan hari kematiannya aku bertekad akan kembali lagi. Karena kedua malaikatku sudah merasa cukup dengan kunjungan itu maka aku harus mencari orang lain lagi untuk menjadi teman ke Konya.



[1] Salah seorang Sufi besar Persia kelahiran Bastam, Iran.
[2] Menurut filsuf Jawa yang kutemui, yang diucapkan oleh Mbah Maridjan adalah “Rosa” bukan “Roso”. Rosa mengacu pada kekuatan fisik sedangkan “roso” mengacu pada kekuatan batin. Tapi pada konteks Mbah Maridjan jelas Ia tak punya rosa seperti Chris John, tapi roso. 


Halaman depan Museum Rumi

Halaman dalam museum

Makam keluarga Rumi

Makam Maulana Jalaluddin Rumi

The green dome, the tomb of the lovers. 



1 comment:

Anonymous said...

interesting!