Semazen

Monday, January 7, 2013

# 20. Road to Istanbul Mencari Sufi


“Lain kali kalau bis mau berangkat, ke internet lagi saja, biar ketinggalan lagi.”
-Laki-laki terminal-

            Tanggal 23 Desember aku memutuskan untuk ke Istanbul sendirian dan tidak tahu akan menginap dimana, pokoknya berangkat dulu, urusan menginap dipikirkan belakangan. Nekad.
Sehari sebelumnya aku sudah browsing motel murah di Istanbul yang tidak jauh dari Hagia Sophia dan Blue Mosque. Tapi semurah-murahnya motel di Istanbul tetap saja mahal untuk ukuranku, sehingga aku perlu berdo’a semoga ada keajaiban yang membuatku tak perlu membayar mahal. Aku telah mengontak Arifan, malaikat kedua yang kutemui di Bandara Istanbul untuk menjemputku di terminal bis dan kemudian kami akan bersama-sama mencari penginapan murah. Namun semuanya berubah karena campur tangan Malaikat  Sufi Istanbul.

Kualat

            Hari itu aku merasa kualat pada dua bis yang akan kutumpangi. Sesampainya di terminal aku langsung menuju loket bis Konzet untuk membeli tiket ke Istanbul tanpa memberi kesempatan pada calo-calo terminal yang coba mendekati. Sayang bis berjudul Konzet yang sering kutumpangi baru akan berangkat jam 12.30 padahal saat itu baru jam 10.30. Aku bertanya apakah ada bis lain yang berangkat lebih awal. Mereka bilang tidak ada. Aku tidak percaya lalu pergi ke loket informasi. Lumayan petugasnya sedikit berbahasa Inggris, tapi tetap saja Ia tidak mengerti kalo aku mencari bis yang berangkat lebih awal sehingga urusanku mencari rumit dengan orang-orang di terminal bis dan menjadi pusat perhatian. Seorang laki-laki mendekatiku. Dengan bahasa isyarat Ia memintaku mengikutinya. Aku pikir Ia mengerti apa yang kumaksud. ternyata tidak. Ia membawaku ke loket bis lain tidak jauh dari Konzet. Bis Lider. Di loket bis kedua ini ada petugasnya yang fasih berbahasa Inggris, wajahnya mirip Christoper Reeve, salah satu pemeran superman tahun 80-an. Ia menawariku tempat duduk paling depan. Tapi setelah kutanya kapan bisnya berangkat ia bilang 12.30. What?! Sama aja. Dengan alasan tidak ada wireless akhirnya aku memilih kembali ke Konzet, padahal sebenarnya aku tidak butuh wireless. Entah karena mereka sudah jengah liat aku yang bawel mereka bilang sudah tidak ada lagi tempat duduk. Huh! Karena sudah malas berbicara dengan orang-orang terminal akhirnya dengan sedikit malu aku kembali ke Lider. Tempat duduk nomor satu yang tadi ditawarkan sudah tidak ada lagi. Mereka memberiku tiket ke Istanbul dan menyuruhku menunggu di peron 26.
            Karena masih ada waktu sekitar satu jam aku memilih untuk ke warnet di terminal yang cuma beberapa meter dari peron untuk mengecek email dan membalas pesan di facebook. Sepuluh menit sebelum jam keberangkatan aku keluar warnet dan langsung menuju bis Lider yang saat itu sudah parkir didepan peron 26. Aku bertanya pada orang-orang dipintu bis apakah bis ini yang akan ke Istanbul. Ia bilang bis ini ke Adana, yang ke Istanbul sudah berangkat sepuluh menit yang lalu.

WHAAAAAT!!!!!!!!!!. Untuk beberapa saat mukaku pastilah tidak karuan. Bapak itu menunjukkan jam di Hp-nya 12.35. Aku juga menunjukkan jam di HPku 12.25. Melihat wajahku yang tidak jelas bentuknya karena ketinggalan bis seorang bapak-bapak tua bertanya dengan bahasa Turki dan bahasa Isyarat, “kamu kemana saja sehingga bisa ketinggalan bis?” Aku bilang, “Internet.” Ia tertawa lalu berkata yang menurutku ia bilang, “Lain kali kalau bis mau berangkat, ke internet lagi saja biar ketinggalan lagi,” katanya sambil tertawa sehingga aku ikut tertawa. “Hahaha…ya ya, saya tahu.” Ia lalu membawaku ke loket Lider dan menjelaskan semuanya. Singkat cerita akhirnya aku naik bis Lider berikutnya yang berangkat jam 15.30. Maka aku menunggu tiga jam lagi tanpa berbuat apa-apa dan kedinginan walau sudah berjaket tebal. Aku sudah malas berurusan dengan orang terminal dan mencari orang Turki yang berbahasa Inggris. Hasrat hati ingin berangkat dengan bis paling awal malah dapat paling akhir.

Penumpang Istimewa

            Tapi kesialan itu kemudian tergantikan dengan hal lain yang cukup menghibur. Didalam bis aku merasa seperti penumpang istimewa karena menjadi satu-satunya penumpang asing. Kondektur bis tampaknya penasaran oleh tampang non-Turkiku. Ia terlalu sering bolak-balik ke kursiku untuk memberi snack, menawari minuman, mengecek minumanku, sudah habis atau belum, atau barangkali mau tambah, dan menawari koran untuk dibaca. Aku sering menolak ketika ia datang menyodorkan minuman. Namun karena merasa tak enak akhirnya aku meminta  su alias air putih ketika Ia datang lagi. Tidak berapa lama kemudian Ia datang lagi membawa segelas plastic coke padahal aku tidak minta dan langsung kuminum sedikit untuk menghargainya. Selang lima belas menit ia datang lagi menyodorkan koran yang setelah kuamati ternyata berbahasa Turki. “Turkce” kataku. Ia mengangguk. Aku tertawa dan memberi isyarat kalau aku tidak bisa Turkce alias bahasa Turki jadi tidak mungkin bisa membacanya, tapi terima kasih atas kebaikannya. Ia tersenyum dan bertanya sesuatu dalam bahasa Turki, tapi aku tidak mengerti. Komunikasi pun tidak lancar sehingga Ia pun pergi. Setelah coke yang ia berikan habis tidak lama kemudian aku mulai merasa ingin pipis padahal bis baru akan berhenti di restoran sekitar tiga jam lagi. Ketika ia lewat kusodorkan gelas kosong itu padanya. Tidak berapa lama kemudian Ia datang dengan segelas coke lagi. Dengan wajah terperangah aku menerima gelas plastik berisi minuman bersoda itu lalu tertawa. “Lu nyuruh gue kembung ya,” kataku dalam hati. Ia ikut tertawa. Sejam sebelum tiba ia sempat bertanya aku sudah menikah atau belum dengan menunjukkan cincin logam di jari manisnya. Aku tertawa dan menggeleng. Entah apa yang Ia pikirkan kemudian aku tak  peduli yang penting dia sudah menetralkan perasaan agak sial hari ini. Thanks, God!

No comments: