Semazen

Friday, February 1, 2013

#25. Sufi Galak


 “Musik lebih jujur dibanding kata-kata”
  
            Tanpa disadari ternyata hari sudah sore. Istana Topkapi begitu luas sehingga menyita banyak waktu untuk menjelajahi semuanya. Nanti malam adalah malam Juma’t, kami berniat ikut acara dzikir rutin tarekat Rifai, itu artinya kami harus tiba di apartment Yildiz lebih awal agar punya  waktu untuk menyegarkan badan setelah seharian berkeliling Hagia Sophia dan Topkapi. Karena memang sudah tidak memungkinkan Ayla dan aku membatalkan kunjungan ke Grand Bazaar. Aku masih punya waktu untuk ke Istanbul lagi sebelum akhirnya pulang ke Indonesia sehingga masih ada kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat yang belum dikunjungi hari ini, sementara Ayla besok siang sudah harus kembali ke Jerman.
            Kami tiba di apartment lebih awal dibanding Yildiz sehingga ketika Yildiz datang kami sudah dalam keadaan ready to go alias siap berangkat. Kami bertiga berangkat menuju rumah kelahiran sang Master dengan mobil sedan mungil Yildiz. Rumah yang berbeda dari yang kukunjungi pada hari pertama datang.  Dengan landscape yang berbukit-bukit dan jalan naik turun yang curam maka butuh keterampilan lebih untuk menyetir mobil di Turki. Yildiz termasuk yang sudah sangat mahir untuk medan seperti ini. Ia dengan lincah menyetir dijalan-jalan sempit di sela-sela bangunan bertingkat yang memenuhi Istanbul. Setelah berkendara sekitar dua puluh menit Ia akhirnya berhenti di depan sebuah toko roti, memarkir mobil dan masuk ke toko roti itu. Aku dan Ayla keluar. Setelah itu kami bertiga berjalan naik. Di perjalanan tak jauh dari rumah yang kami tuju kami berpapasan dengan laki-laki tinggi besar yang ternyata adalah kakak Yildiz. Ia mengucapkan salam pada kami dengan tangan kanan ke dada kiri dan sedikit menunduk yang dibalas dengan gerakan serupa oleh Yildiz. Aku suka dengan gaya salam mereka, terasa lebih hangat dan dekat.

Lukisan Sufi

            Kami memasuki rumah kayu bertingkat yang tak begitu besar. Setelah meletakkan sepatu dan menggantung jaket kami lalu naik ke lantai dua. Aku sempat berpapasan dengan Thomas –the Autralian poet-  yang baru keluar dari kamar kecil. Rupanya ia telah lebih dulu tiba. Kami kemudian memasuki ruangan yang juga tidak begitu besar namun muat banyak orang karena di tata sedemikian efektif sehingga walaupun tidak luas tetapi tidak terkesan sempit. Berbagai gambar bunga dan pemandangan dalam bingkai kecil-kecil menghiasi keempat dinding bersama dengan kaligrafi keramik, beberapa foto, dan tentu saja lukisan whirling dervish yang sudah menjadi ikon spiritualitas Turki. Aku tidak tahu banyak tentang lukisan atau teknik menggambar tapi malam itu aku bisa menilai kalau semua lukisan kembang dan pemandangan yang ada di ruangan itu dibuat dengan sangat detil, cermat dan penuh dedikasi. Sederhana tapi hidup sehingga begitu sedap dipandang. Kalau aku punya satu rasanya aku akan senang setengah mati. Setidaknya untuk contoh  tentang lukisan yang bernyawa. 
            Ketika kami masuk sudah ada beberapa orang perempuan di dalam ruangan itu yang salah satunya adalah Ibu sang Master. Aku memberi salam dan mencium pipi kanan dan kiri mereka sebanyak tiga kali, kiri-kanan-kiri, lalu duduk diantara mereka. Yildiz menjelaskan aku dan Ayla pada orang-orang yang baru pertama melihat kami malam itu. Mereka umumnya berbaju atau berkerudung hitam sehingga semakin menonjolkan wajah putih mereka. Hanya aku dan Ayla yang berbeda. Aku berbaju lengan panjang hijau tua dan berkerudung batik sementara Ayla berkaos panjang berbalut rompi. Setelah suasana mulai mencair aku meminta ijin untuk memotret semua yang kuanggap menarik di ruangan itu, termasuk berfoto bersama mereka terutama Ibu Sufi yang adalah Ibu sang Master.
            Tidak berapa lama kemudian dua orang perempuan datang yang salah satunya adalah pelukis kembang dan pemandangan yang tertempel di dinding itu. Menanggapi pujian dan pertanyaanku atas lukisan-lukisannya, Ia lalu bercerita kalau sebenarnya Ia sudah mulai menggambar sejak usia tiga tahun namun mulai melukis setelah mempelajari tasawuf atau Sufisme. Aku tertawa karena sudah menemukan relasi antara keindahan lukisan itu dengan tasawuf. “Pantas,” kataku. Ia tersenyum mengerti.
            Tujuan utama Sufisme adalah untuk mengenali diri sendiri. Karena doktrin utama ajarannya adalah, siapa yang mengenali dirinya maka ia akan mengenali Tuhannya. Para Sufi meyakini bahwa ketika kita mengenal jati diri kita yang sesungguhnya kita pun akan mengenal Tuhan, karena manusia dibuat menurut citra Tuhan. Metodenya, selain sholat, puasa dan kehati-hatian dalam mengkonsumsi makanan, adalah dengan dzikir atau mengingat Tuhan terus menerus  sehigga tak ada yang lain di hati selain Tuhan. Lewat dzikir inilah rasa  terdalam akan diolah agar semakin peka sehingga akhirnya mampu merasakan kebersamaan dengan Tuhan setiap saat. Melalui dzikir terus-terusan ini berbagai konstruksi yang melapisi kesadaran kita perlahan-lahan coba dikuak agar mampu melihat segala sesuatu dengan jernih dan bebas dari segala prasangka sehingga dapat melihat segala sesuatu apa adanya. Sehingga pada saatnya akan mampu merasakan bahwa dimanapun bumi dipijak disitu kita temukan kasih sayang-Nya dan kemanapun wajah dipalingkan disitu kita temukan kelembutan-Nya. Ketika seseorang sudah mencapai tingkat ini maka karya yang lahir darinya adalah karya yang bersifat Ilahiyah atau karya yang merefleksikan keindahan Tuhan. Artinya sebuah karya yang lahir dari kedalaman rasa, dari sebuah integritas pribadi yang sangat tinggi. Karya ini dilahirkan bukan untuk mengesankan orang agar  mendapat pujian atau kekaguman. Atau dibuat tergesa-gesa karena mengejar setoran. Tapi semata-mata adalah ungkapkan keindahan Sang Maha Indah yang mencintai keindahan.  

Jamuan Sufi

    Meja bundar berkaki pendek yang tadinya dibiarkan bersandar di depan lemari kecil kemudian dibentangkan di tengah-tengah kami setelah bagian bawahnya di beri alas taplak besar. Potongan roti kemudian disusun melingkar di tengah meja, begitu pula piring gelas dan sendok. Di dalam lingkaran roti ada bubuk sambal cabe merah dan garam dalam wadah kecil. Aku memperhatikan semuanya dengan seksama. Satu per satu makanan pun datang. Ada asinan sayuran dan sejenis martabak diatas meja. Semua lalu turun dari kursi dan duduk lesehan melingkari meja bundar, mengambil sedikit garam dan menelannya. Menurut salah seorang Sufi yang kuwawancarai, makan sedikit garam sebelum makan merupakan kebiasaan Nabi Muhammad yang berfungsi untuk menyiapkan lambung sebelum di isi makanan. Maka akupun berpikir mereka melakukannya untuk alasan yang sama.  Secara bergiliran piring-piring di isi dengan corba atau sup yang kemudian dimakan bersama roti. Aku sempat kuatir tidak bisa memakannya mengingat banyak makanan Turki yang sempat kucoba tidak aku suka. Ternyata tidak. Aku suka sekali, termasuk asinan sayur yang super asem itu, karena aku memang sangat lapar.
            Mereka makan tanpa tersisa alias piring bersih sampai licin sekali. Beginilah penghargaan mereka terhadap makanan, pikirku. Aku pun melakukan hal yang sama. Padahal sebelumnya sering meninggalkan sisa makanan yang banyak. Tapi itu bukan salahku. Salah porsi makan orang Turki yang terlalu besar dibanding kapasitas perutku. Ketika mereka meminta piringku untuk di isi makanan berikutnya yaitu sup kacang-kacangan aku hanya minta sedikit. Satu sendok saja karena takut kekenyangan. Aku takut mengantuk karena sehabis ini akan ada dzikir. Tapi rupanya para lelaki yang berada di ruangan lain telah memulai ritualnya. Ketika kami sedang makan kami mendengar mereka mengumandangkan doa yang membuat kami menghentikan makan dan mengangkat tangan, ikut berdoa. Setelah itu kami melanjutkan makan hingga selesai dan dilanjutkan dengan minum teh sambil ngobrol. Suasana malam itu begitu hangat dan akrab. Aku tidak merasa sebagai orang asing diantara mereka walaupun aku tidak mengerti bahasa Turki. Akhirnya keinginanku tercapai juga untuk berada di tengah-tengah keluarga Turki.

Master galak

            Yildiz kemudian mengajak aku dan Ayla keruangan lain menemui sang Master. Kami masuk dan duduk di dekat jendela di sisi kiri Master. Yildiz duduk didepannya menjadi penerjemah kami. Dinding dibelakang Master dipenuhi bingkai kaca berisi foto Syekh-Syekh tarekat Rifai, termasuk Master sendiri dan sebuah kaligrafi besar ditengahnya. Setelah mengamati kami berdua, Master kemudian bertanya apakah kami punya pertanyaan. Aku diam karena merasa tidak ada yang perlu aku tanyakan. Aku datang untuk mengamati dan merasakan, pikirku. Aku masih berpegang pada buku Reshad yang jadi guiding book-ku, untuk berhati-hati agar tidak menanyakan pertayaan yang berasal dari pikiran. Aku merasa semua pertanyaan yang ditanyakan oleh pikiranku telah selesai di jawab oleh guru-guruku di Indonesia dan buku-buku Sufi. Sehingga kalau aku masih menanyakannya, apakah aku tidak akan dianggap mengetes? Aku ingin bertanya dengan jujur. Yaitu bertanya hal-hal yang belum aku tahu. Tapi celakanya untuk saat ini aku tidak tahu apa yang belum aku tahu, tapi aku sadar bahwa masih ada yang belum aku tahu sehingga aku berharap ia akan memberi tahu. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara memformulasikan pertanyaannya sehingga yang tidak aku tahu itu bisa kuketahui. 
            Karena aku diam saja Ayla kemudian mengajukan pertanyaan tentang shalat istikharah (sholat yang dilakukan untuk meminta petunjuk Tuhan dikala dalam keragu-raguan dalam mengambil keputusan). Ayla bercerita bahwa setiap kali ia punya pertanyaan Ia selalu shalat Istikharah, setelahnya ia akan dapat jawaban dari dalam. Master menjawab dengan cara yang cukup mengejutkan. Ia terkesan galak, tidak seperti yang kukenal di hari pertama, yang ramah dan suka tersenyum sehingga aku tidak kikuk. Baginya shalat istikharah saja tidak cukup. “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa jawaban itu benar-benar dari Allah bukan dari nafs kita sendiri? Kita jangan hanya mengandalkan shalat istikharah tapi betanyalah pada ahlinya yang sudah menguasai nafs[1],” jawab Master.  Kami diam. Master lalu beralih ke aku.
“Apakah kamu punya pertanyaan?”
“Tidak,” kataku, “Saya meninggalkan pikiran saya di Indonesia sehingga saya tak punya pertanyaan. Saya datang ke Turki untuk mengalami.”
Lagi-lagi jawaban Master mengejutkanku. “Pikiran itu penting. Bagaimana kamu akan menilai mana yang benar dan mana yang salah jika kamu tidak membawa pikiranmu?”
Aku menganggap Ia salah mengerti. Yang aku anggap pikiran adalah semua konsep-konsep dipikiran, karena aku benar-benar ingin mengandalkan hati, tapi aku tidak tahu bagaimana itu harus dijelaskan. Aku diam tak berniat menjelaskannya.
“Ya, anda benar,” kataku. Ia lalu beralih lagi pada Ayla.
“Apakah masih ada yang ingin ditanyakan?”
Ayla lalu bertanya lagi tentang jalan kepasrahan. Ia bertanya apakah surrender atau pasrah bisa menjadi jalan kepada Tuhan. Cara Master menjawab mengejutkanku lagi. Menurut Master, tidak bisa. Seseorang tetap membutuhkan pembimbing agar bisa sampai kepada Tuhan. Ia menjelaskan dengan panjang lebar namun sayang aku tak lagi bisa mendengarkan karena aku mulai sibuk dengan pikiran dan badanku. Pikiranku mulai terganggu, bagaimana Master bisa menjawab tidak bisa. Bukankah banyak jalan menuju Tuhan, dan pasrah adalah salah satunya. Bukankah itu makna Islam yang sesungguhnya? Sedangkan badanku sibuk menahan diri agar tidak menggigil dan gigiku gemerutuk karena malam itu terasa sangat dingin hingga ke dalam tulang. Kulitku begitu tipis karena tak punya cukup lapisan lemak dibawahnya. Sehingga suhu dingin dengan mudahnya menjangkau tulang belulangku. “Oh, God, jangan biarkan aku menggigil,” doaku dalam hati, karena aku akan malu kalau kelihatan menggigil.
“Kenapa kamu diam?” tanya Master melihat tajam kearahku. Aku merasa mendapat serangan mendadak tapi aku berusaha agar tak terpengaruh. Aku tersenyum, “Saya sedang memanggil pikiran saya dari Indonesia,” jawabku sambil sekuat tenaga menahan dingin. Kurasa batok kepalaku ikut beku sehingga otakku susah diajak mikir untuk memberikan jawaban yang lebih elegan.
Suasana kemudian menjadi hening karena semua diam. Aku menyadari bahwa banyak hal yang belum aku tahu tentang hidup sehingga aku berharap pertemuanku dengan Master Sufi akan memberiku cara pandang baru terhadap hidup. Namun aku tidak tahu bagaimana menanyakannya. Akhirnya dari pada diam aku memilih untuk menanyakan tentang makna mimpiku. Ini jelas bukan pertanyaan pikiran, pikirku. Benar, dari pertanyaan inilah diskusi menjadi panjang yang mengungkap beberapa hal penting tentang keadaan spiritualku.
Aku bilang bahwa sebelum berangkat ke Turki aku bermimpi tentang Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq. Ia tampak bingung. Aku maklum karena aku tidak menjelaskan detail dan konteksnya.
“Kamu tahu jabal itu apa?” tanyanya.
“Yang saya tahu jabal artinya gunung, tapi di mimpi yang saya lihat sumur bukan gunung.” Lalu kujelaskan sedikit bahwa didalam mimpi aku bersama seseorang melihat sebuah sumur bernama Ibrahim, tapi sebuah suara menyebutkan Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq.
“Kamu tahu Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq?”
“Jabal Ibrahim saya tidak tahu, tapi Jabal Tariq yang saya tahu adalah Gibraltar.”
“Selama ini aku tidak tahu kalau Gibraltar itu Jabal Tariq,” bisik Ayla. Sebenarnya tadinya aku juga tidak tahu, tapi setelah tanya google baru tahu. 
Master melihatku lekat-lekat. Aku juga menatapnya sambil cengengesan menunggu jawaban selanjutnya.
“Jabal Ibrahim artinya spiritual, sementara Jabal Tariq artinya material,” jawabnya.
“Iya, lalu apa artinya itu buat saya,” tanyaku enteng.
MANA SAYA TAHU!” katanya sambil melotot,  “kamu harus cari tahu itu,” lanjutnya. Aku hampir saja tertawa karena merasa lucu dengan wajah sewotnya yang seolah mau menyergapku. Lagi pula aku tidak begitu peduli pada mimpiku karena aku yakin suatu saat aku akan mengerti sendiri makna mimpi itu.
Kami diam sejenak. Lalu Master bertanya tentang siapa Masterku.
“Banyak,” jawabku. Responnya lagi-lagi mengejutkan, kali ini lebih menyeramkan. Waduh, jawabanku salah lagi, pikirku.
“Bagaimana kamu bisa punya Master banyak, Master itu hanya satu?” katanya galak.
Aku kaget. Bagaimana mungkin Master ini tidak paham itu?
“Saya belajar pada siapapun dan apapun,” jawabku, “Semua orang yang memberi ilmu saya anggap guru.”
Ia masih melihatku dengan wajah galaknya. Sepertinya Ia terganggu dengan kata guru yang kugunakan sehingga akupun mengatakan agar jangan terjebak pada kata guru yang berasal dari Hindu itu. Selanjutnya aku menggantinya dengan kata Syekh atau Master.
“Dari tarekat[2] apa guru-gurumu itu?” tanyanya lagi.
“Mereka tidak termasuk dalam tarekat apapun.”
Jawabanku membuatnya tambah meledak. “BAGAIMANA BISA !?”
Akupun tambah kaget, tak menyangka responnya akan seperti itu.
“Well, di Indonesia kita mengenal dua macam Sufi, Sufi tarekat dan Sufi independent atau non-tarekat,” jawabku enteng mencoba tidak terpengaruh oleh wajah makin galaknya. “Orang yang kuanggap Master tidak berasal dari tarekat manapun.”
Ia lalu mengambil secarik kertas dan menggambar titik besar lalu beberapa anak panah mengarah ke titik itu. “Ini seumpama Nabi Muhammad,” katanya menunjuk ke titik. “Anak-anak panah ini adalah tarekat-tarekat. Ada Rifai, Maulawi, Naqsabandi, Qadiriyah, Tijaniyyah dan sebagainya. Semuanya bersambung ke Nabi Muhammad. Kalau kamu bilang gurumu itu tidak termasuk dalam tarekat manapun bagaimana kamu memastikan bahwa jalan mereka terhubung ke Rasulullah?”
“Pada awalnya mungkin mereka berguru pada guru tarekat, tapi mereka tidak membentuk tarekat baru atau meneruskan tarekat gurunya,” jawabku memberi berbagai kemungkinan.
“Kalau di tarekat sudah jelas hubungannya ke Rasulullah, karena bisa dilacak silsilahnya. Syekhku siapa, Syekhnya Syekhku siapa, dan seterusnya, jelas,” katanya sambil menunjuk foto-foto yang terpampang di dinding belakangnya. “Ada ijazah untuk itu.”

Tentu saja aku sudah membaca tradisi-tradisi yang dibangun dalam tarekat beserta kritik-kritiknya.  Pikiran dan pengetahuanku yang baru saja datang dari Indonesia mulai protes. Di satu sisi tarekat bertujuan untuk membantu membebaskan manusia dari konstruksi-konstruksi sosial, pengalaman, pikiran, dll. yang menjadi penghalang untuk menemukan kebenaran. Tapi disisi lain ia justru membuat konstruksi baru yang akhirnya juga menjadi penghalang, pikirku tidak terima. Ketika jalan spiritual disistematisasikan begitu rigid bukankah itu membuat tabir atau penghalang baru, karena terjebak pada sistem padahal ia hanya alat menapak. Tidak terikat pada tarekat tertentu secara formal tidak berarti tidak bisa menemui Tuhan, kan? Pikirku, semakin bawel, tapi tidak berhasrat mewakilkannya pada lidah.
“Bagaimana kamu bisa memastikan bahwa mereka terhubung ke Nabi Muhammad?” tanyanya lagi.
“Bisa aja,” jawabku dalam hati. Aku diam karena memang tidak tahu bagaimana harus kujelaskan semua argumentasiku dalam bahasa Inggris. Mengapa Tuhan terasa menjadi jauh dan ribet untuk ditemui, pikirku.
“Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Tariq,” katanya. Sepertinya Ia sekarang sudah menemukan makna mimpiku. “Spiritual dan material. Kamu diantara kedua-duanya. Satu kakimu di Jabal Ibrahim tapi kaki yang lainnya di Jabal Tariq. Itu karena kamu TIDAK PUNYA SYEKH!” Tegasnya. 
            Aku seperti menjadi pesakitan malam itu. Tapi untung tak berlangsung lama. I was saved by the bell, aku diselamatkan oleh bel. Acara dzikir bersama sudah dimulai. Master menyuruh kami keluar untuk bergabung. Ia mengatakan setelah dzikir giliran Ia yang akan bertanya pada kami.

Dzikr

            Aku dan Ayla masuk ke dalam ruangan kecil di atas loteng yang hanya muat lima orang. Ruangan ini khusus untuk kaum perempuan. Sementara para laki-laki berada di bawahnya sehingga aku bisa memperhatikan mereka dari atas. Sebelumnya Yildiz telah membawa kami melihat ruangan dzikir ini. Sebelum masuk Ia menciumi kusen pintu dan alas duduk yang terbuat dari bulu domba. Aku sempat memotret semua bagian ruangan tanpa minta ijin lebih dulu sehingga aku merasa bersalah karenanya. Tapi belakangan Yildiz malah menyuruhku untuk memotret semuanya sehingga rasa bersalahku sedikit berkurang.
            Ketika aku dan Ayla masuk, acara itu sudah agak lama dimulai sehingga aku tak tahu awalnnya. Mereka, para lelaki sudah berdiri melingkar dan berpegangan tangan. Mereka terlihat khusuk melantunkan puji-pijian sambil menggoyangkan tubuhnya kedepan mengikuti tabuhan rebana. Aku lihat Thomas juga khusuk begitu pula orang Jerman yang disebelahnya. Perempuan pelukis handal yang susah sekali kuingat namanya duduk disebelahku. Ia terlihat sangat tenggelam dalam dzikirnya sehingga sampai melompat tinggi dari tempat duduknya ketika beat pujian-pujian itu makin cepat dan meninggi. Aku setengah mati disebelahnya berusaha khusuk dalam dzikir itu tapi sia-sia. Walaupun aku datang tidak sebagai observer tapi benar-benar ingin terlibat sehingga aku paham apa yang dirasakan mereka tapi nyatanya aku tak bisa melakukan dua-duanya. Karena pikiranku terganggu oleh diskusi dengan Master barusan.
            Setelah sekitar satu jam dzikir itupun selesai. Para lelaki itu keluar ruangan dan masuk ke dalam ruangan Master tempat kami diskusi sebelumnya. Kami para perempuan berada di luar ruangan itu. Duduk diatas kursi  plastik tanpa sandaran sambil menikmati sepiring kecil kue, teh panas Turki, dan obrolan hangat. Bukan pemisahan yang disengaja, tapi karena ruangannya memang tidak cukup. 
            Beberapa menit kemudian terdengar suara Ney mengalun dari ruangan Master diikuti nyayian dan suara rebana. Aku memasang kupingku untuk mendengarkan. Melihat itu Yildiz lalu menjelaskan bahwa lagu yang sedang mereka nyayikan di komposisi oleh Master sendiri. Lagu-lagu itu sangat enak di dengar sehingga tanpa kusadari kepalaku ikut beryoyang-goyang. Begitu pula ibu-ibu yang duduk didekatku, bedanya mereka ikut bernyanyi karena mereka hafal syairnya.
            Setelah beberapa lagu selesai dinyanyikan, berikutnya giliran ney yang bernyanyi sendirian menyuarakan kepedihannya pada sang buluh induknya. Tak ada suara manusia. Hanya Ney dan rebana. Aku begitu menikmatinya sehingga lupa pada pikiranku yang terganggu oleh diskusi dengan Master. Pikiranku tertidur. Pikiran yang semula begitu rewel tiba-tiba berhenti oleh musik. Seperti bayi yang berlari kesana-kemari tapi kemudian diam ketika dikorek kupingnya. Matanya merem-melek menikmati buaian cotton bud. Begitu pula aku yang terbuai oleh lantunan suara ney dan rebana. Akupun mampu memasuki alam rasaku sendiri yang tadi tak bisa dilakukan selama dzikir.  Lagu-lagu itu begitu menyentuh hingga aku hampir menangis haru.
            Disela-sela nyanyian itu Ayla bertanya apakah aku puas dengan jawaban Master tadi. Aku mengatakan bahwa mungkin master tidak memahami situasiku di Indonesia. Ayla membenarkan. “Mungkin butuh waktu untuk bisa memahami kata-katanya”. Aku mengiyakan tapi pikiranku masih sulit menerimanya. Lalu kami mendiskusikan lagi jalan-jalan spiritual yang sudah kami diskusikan di café Sebil tadi siang. Rupanya tidak hanya aku yang tidak bisa connect dengan dzikir barusan, Ayla juga. Rupanya aku dan Ayla mengalami hal yang sama malam itu, tidak bisa connect dengan dzikir tapi dengan musik yang mereka mainkan malah bisa bahkan lebih cepat.
“Aku merasa Master masih sangat maskulin,” kataku. Ayla sekali lagi mengiyakan karena Ia pun merasakan hal yang sama.
“Mungkin Master, menganggap kita pemula,” jawab Ayla. Ia lalu menceritakan apa yang dipikirkannya. “Aku berpikir mungkin karena aku punya masalah dengan maskulinitasku. Ketika kita tadi bersama dengan Master tubuhku bereaksi dan aku tidak mudah connect dengannya. Kupikir karena itu mengingatkanku pada budaya Arab dimana aku dibesarkan. Kamu tahu sendiri kan betapa maskulinnya budaya Arab? Mungkin karena itulah aku menjadi tidak mudah mempercayai laki-laki. Tapi kupikir itu masalahku saja. Mungkin kita perlu belajar memahami maskulinitas kita,” jelas Ayla.
            Aku masih sibuk dengan pikiranku, yang belum bisa menerima pernyataan-peryataan Master tentang guru yang harus berasal dari Tarekat tertentu. Pikiranku melayang pada Maulana dan Syams. Apakah mereka berasal dari tarekat tertentu? Tapi memang pada awal-awal proses berada dalam tarekat jauh lebih aman.
Acara bermusik malam itu ditutup dengan sholawat pada Nabi dan diakhiri oleh kata, “Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu..”.

Mari Berfoto

            Yildiz yang tadi sempat masuk ke dalam ruangan Master lalu keluar dan bertanya pada aku dan Ayla apakah masih ada yang ingin ditanyakan. Ayla mengatakan sudah cukup. Aku mengatakan aku masih punya pertanyaan. Musik dan lagu yang mereka mainkan telah membantuku untuk mendapatkan kekuatanku kembali setelah sempat agak goyah gara-gara diskusi tadi, sehingga aku punya keberanian untuk bermain-main dengan Master lagi.
            Aku dan Ayla duduk dihadapannya. Didalamnya ada beberapa orang laki-laki termasuk Thomas. Master bertanya, “Apa pertanyaanmu?”
Dengan kekuatan penuh aku bertanya, “Tadi sebelum dzikir Master bilang akan bertanya pada kami. Pertanyaan saya, apa pertanyaan Master untuk kami?” Master tertawa dan berkata sesuatu dalam bahasa Turki pada para lelaki yang berada dalam ruangan itu yang membuat mereka senyam-senyum melihatku. Lalu Master menatapku. “Kamu pasti sudah mempunyai dugaan pertanyaan apa yang akan aku tanyakan padamu. Apa menurutmu yang akan aku tanyakan padamu?”
Aku tertawa. Master ini pintar, ia mengembalikan pertanyaan itu ke aku.
“Saya menduga bahwa anda akan bertanya apa yang saya rasakan ketika ikut dzikir?” kataku.
“Ya sudah, apa yang kamu rasakan?” tanyanya.
“Saya tidak merasakan apa-apa. Saya kesulitan untuk bisa connect dengan dzikirnya tapi dengan musik yang barusan dimainkan saya bisa dengan cepat connect. Ini membawa saya pada pertanyaan berikutnya, saya kemudian berpikir bahwa musik lebih jujur dibanding kata-kata, bagaimana menurut Master?” Ia tersenyum dan berkata sesuatu lagi pada orang-orang didalam ruangan itu sebelum akhirnya menjawab, “Itu tergantung. Ada musik yang diharamkan karena ia bisa membuat orang lupa pada Tuhan. Tetapi ada musik yang juga bisa membawa pada Tuhan.”
“Kalau begitu, membawa kepada Tuhan atau tidak tergantung siapa yang memainkannya?”
“Ya,” jawabnya sambil menjelaskan sesuatu dalam bahasa Turki pada orang-orang di dalam ruangan.
Master lalu bertanya apakah aku sudah memotret Istanbul. Aku mengiyakan.
“Untuk apa kamu lakukan semua itu?” tanyanya dengan pandangan galaknya.
“Untuk mengingatkan saya pada Turki,” jawabku cepat. Aku berpikir, apapun jawabanku akan selalu di kritisi olehnya. Ternyata kali ini tidak, padahal aku sudah menunggunya dan siap menangkisnya.
“Kalau begitu mari kita berfoto,” katanya. Aku ingin tertawa tapi kutahan. Ia lalu membuka lemari di sebelahnya, mengambil peci dan memasangnya di kepala lalu duduk di bangku. Aku duduk disebelahnya sambil menahan tawa. Ayla ada sebelahku. Sementara Yildiz dan Thomas duduk lesehan didepan kami.
“Kamu sudah punya VCD Rifai?”
“Belum,” kataku. Sementara Ayla bilang sudah, diberi oleh Yildiz.
Master lalu membuka lemarinya lagi dan mengeluarkan dua buah CD.
“Ini untukmu. Datanglah lagi ke sini membawa orang-orang Indonesia yang lain.”
Aku tertawa, “ya, tentu”.
            Dalam perjalanan pulang, Ayla sempat bertanya apakah aku merasa Master akan menjadi guru spiritualku. “Aku tidak tahu, tapi jujur aku suka berdiskusi dengannya.”
“Ia juga menyukaimu,” komentar Ayla. “Ah, tidak mungkin, aku merasa telah berlaku tidak sopan padanya,” kataku. “Tapi aku melihatnya, dia menyukaimu,” jawab Ayla lagi. Aku tertawa, “Oh ya, mungkin karena baru kali ini ia menemukan orang yang berani konyol, haha....”. Ayla ikut tertawa.    
Malam itu aku bahagia, karena setidaknya aku merasa punya keluarga di Turki. Aku tahu siapa yang akan aku kunjungi jika aku kembali lagi ke Turki. Thanks God!




[1] Nafs dalam psikologi Sufi sering diterjemahkan sebagai “jiwa,” “diri”  atau “ego.” Makna lain dari nafs adalah “intisari” dan “nafas.” Dalam literatur-literatur Sufi nafs sering mengacu pada sifat-sifat dan kecenderungan buruk manusia.
[2] Tariqat atau tarekat berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan. Dalam perkembangannya pengertian tarekat menyempit pada sebuah institusi Sufi yang mengajarkan metode-metode tertentu untuk mencapai Tuhan. Misalnya tarekat Maulawi adalah tarekat yang berdasarkan ajaran-ajaran jalaluddin Rumi. Sema atau whirling dervish menjadi ritual penting kelompok tarekat ini. Untuk menjaga agar tak terjadi penyimpangan dari ajaran Islam maka dibuatlah kesepakatan bahwa Syekh-Syekh pemimpin tarekat haruslah mempunyai garis keturunan ataupun garis keilmuan yang bermuara ke Nabi Muhammad.

No comments: