Semazen

Tuesday, March 12, 2013

# 28. Turis Monokotil


            Hari kedua tahun baru aku keluar apartemen Yildiz agak sore, sekitar jam tigaan karena harus mengopi beberapa file untuk Yildiz. Hari itu aku berencana ke Basilica Cistern dan Grand Bazaar yang seminggu lalu urung dilakukan bersama Ayla. Aku janjian bertemu di dekat mesjid Sultan Ahmed dengan dua orang malaikat Indonesiaku di Istanbul Mereka berdua akan menemaniku berbelanja di Grand Bazaar.

Blue Mosque di musim dingin
            Turun dari trem aku segera menuju ke taman diantara Hagia Sophia dan Blue Mosque. Hari itu cuaca sangat mendung disertai hujan rintik-rintik dan angin yang sangat kencang. Aku harus memegangi payungku kuat-kuat dan menapakkan kaki ke tanah dengan kuat pula agar tak terbawa angin. Ketika melewati taman yang agak tinggi aku memilih untuk menaikinya dan berdiri di atasnya. Dari situ view kearah Blue Mosque cukup bagus.  Aku belum memiliki foto Blue Mosque dari sudut yang bagus. Walaupun cuaca hari itu kurang mendukung tetapi setidaknya aku punya gambar Blue Mosque dari arah yang lebih tinggi yang tak terhalang mobil ataupun tiang listrik dan lampu taman.
            Memotret sambil memegangi payung agar tak terbang cukup merepotkan. Berkali-kali aku gagal melakukannya karena ketika kamera siap memotret angin tiba-tiba kencang sehingga aku harus memegangi semua barang-barangku. Ini rupanya menarik perhatian seseorang. Seorang laki-laki yang sulit kutebak umurnya mendekatiku sambil membawa beberapa buku dagangan, “butuh bantuan?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.”
Ia lalu menyodorkan buku dan peta Istanbul, “Sudah punya buku Istanbul?”
“Aku sudah membelinya kemarin,” kataku bohong.
“Petanya?”
“Ya, itu juga sudah punya” kali ini aku jujur.
“Sudah masuk ke Ayasofya?”
“Sudah minggu lalu. Ke Blue Mosque juga,” jelasku. “Tapi aku belum punya gambar Blue Mosque dari arah sini,” cerocosku sambil terus memotret.
“Ayolah beli bukuku,” katanya mulai agak merayu.
“No, aku sudah punya semuanya,” kataku sambil berjalan ke tengah-tengah taman menuju Hippodrome. Aku butuh seseorang untuk diajak ngobrol agar lupa pada cuaca dingin yang mulai membuat gigiku gemerutuk sehingga kulayani saja pria pedagang buku ini. Lumayan untuk olah raga mulut. Ia berjalan di sampingku mengikutiku ke tengah taman.
“Aku Jengis. Kamu dari mana?” Tanyanya. Kalau di Turki nama itu akan tertulis Cengiz.
“Naj, Indonesia. Kamu tahu dimana itu kan?” Ia mengangguk. “Dekat Philiphina.”
“Kamu orang Turki?
“No, aku orang Kurdi. Kamu tahu Kurdi?”
Aku tertawa, “Tentu saja, kalian itu sering masuk berita tv dan koran, kok.” Jengis tersenyum. Turki dan Kurdi punya hubungan yang kurang baik. Beberapa waktu lalu pemerintah Turki menghukum aktivis perempuan Kurdi sepuluh tahun penjara gara-gara pidatonya di depan publik. Suku Kurdi sedang menuntut kemerdekaan dari Turki yang membuat pemerintah Turki berang.
“Kamu sudah punya pacar?” tanyanya.
Aku tertawa sambil berpikir jawaban apa yang tepat untuk diberikan karena aku tahu akan kemana arah pembicaraannya dan aku tak ingin mengakhiri pembicaraan terlalu awal.
“Kadang ya kadang tidak,” jawabku.
Mendegar jawaban anehku si Jengis tertawa penasaran, “Apa maksudmu kadang ya kadang tidak?”
“Ya, aku punya seorang teman laki-laki tapi kami tidak berkomitmen untuk pacaran.”
Aku ingin bermain-main sedikit dengan pria ini dan tampaknya berhasil.
“Ayo kita mampir ke café dan kita bisa ngobrol disana,” ajaknya setelah jeda beberapa saat.
“No, terima kasih,” tolakku. “Aku sudah punya janji dengan temanku sore ini dan aku juga harus ke Basilika Cistern,” kataku sambil terus berjalan. 
Ketika sampai di depan Hippodrome Ia menawari untuk memotretku.
“No, thank you. Aku sudah punya foto-fotoku dengan benda-benda di sini,” jawabku agak panjang agar dia tak bicara lagi soal ini. 
“Aku dulu pernah punya pacar dari Philiphina. Dan kami hidup bersama selama tiga tahun,” katanya tanpa kutanya setelah jeda beberapa saat.  
“Oh, ya?” kataku pura-pura acuh sambil terus memotret Hippodrome.
“Dia mirip kamu,” lanjutnya.
"Hah! Rayuan cap badak," batinku. Aku tertawa sambil terus saja pura-pura sibuk memotret padahal menunggu jurus apa lagi yang akan Ia keluarkan untuk membujukku.
“Sekarang dia kemana?”
“Dia kembali ke negaranya. Ayolah, kita ke café, kita bisa minum-minum di sana sambil ngobrol santai.” Aku tersenyum dan memperhatikan wajahnya. Sebenarnya Jengis punya tampang lumayan tapi sayang aku tak bisa mempercayainya. Sensor dikepalaku memeprlihatkan wajah Cengiz yang bertanduk, bersiung dan licin seperti lele. Ia punya banyak trik untuk membuat perempuan masuk perangkapnya. Hehe, tapi yang kamu hadapi sekarang bukan perempuan bodoh, Jengis, kataku dalam hati.
“Kamu cantik. Aku suka padamu,” katanya kemudian.
Gubrak! Spontan aku ngakak. “Hwahaha! Dasar laki-laki!” kataku. Tidak butuh waktu lama untuk membuktikan prasangkaku. Dugaanku benar, Ia mengeluarkan jurus rayuan mautnya, rayuan cap kuda ngiler.
“Benar, kamu cantik,” katanya mencoba meyakinkan.
“Banyak laki-laki yang bilang begitu padaku, Jengis,” kataku super PD padahal bapakku pasti tidak setuju. “Jadi kamu bukan yang pertama,” lanjutku sambil mengibaskan tangan dan buru-buru berjalan menuju Ayasofya sebelum Ia mengeluarkan jurus lain yang mungkin membuat situasiku makin sulit. Tapi ia mengejarku.
“Ayolah, kita ke café, aku menyukaimu. Jadilah pacarku,” katanya agak keras sampai-sampai seorang bapak-bapak pejalan kaki menoleh. Aku terus saja berjalan menjauh untuk melepaskan diri dari Jengis. Ternyata dimana-mana sama saja. Laki-laki sejenis Jengis ini bertebaran dibelahan bumi manapun. 
Adegan itu bagiku begitu lucu. Di tengah-tengah taman penuh pepohonan kering dua orang anak manusia berjaket tebal sedang kejar-kejaran di bawah guyuran gerimis lebat dan angin kencang. Seorang perempuan sambil memegang payung erat-erat berjalan cepat menghindari seorang laki-laki yang mengejar dibelakangnya sambil berteriak memohon agar mau menjadi pacarnya. Ah, Serasa di drama Korea, Winter Sonata.
Setelah agak jauh aku tertawa penuh kemenangan, “Maaf, Jengis. Temanku sudah menunggu. Bye bye!” kataku sambil mempercepat langkahku tanpa menoleh lagi padanya. “Huh, dasar geblek!” Tapi lumayan hari ini jadi lebih berwarna. Thanks God atas hiburannya. Makhluk-Mu memang lucu-lucu.

Trio Kwak Kwek Kwok

Bagian dalam Basilica Cistern
            Setelah kesana-kemari mencari petunjuk, akhirnya aku temukan juga Basilica Cistern. Bangunan pintu masuknya tak begitu besar dan tidak mencolok sehingga agak sulit ditemukan. Setelah membayar sepuluh Lira aku kemudian masuk ke sebuah pintu kecil di sebelah loket. Basilica Cistern adalah bangunan taman air yang berada di bawah tanah. Ia hanya berupa puluhan pilar yang berdiri diatas air. Atap yang disangganya berbentuk kubah-kubah kecil. Pengunjung dapat berjalan di jembatan yang dibuat diantara pilar-pilar itu. Cahaya lampu dari bawah tiap pilar memberi efek warna merah yang indah. Basilica Cistern kalau dibuat setting film horror kayaknya seru, pikirku. Aku memotret bagian-bagian yang kuanggap serem, siapa tahu ada yang agak aneh. Seperti biasa yang tampak hanya orbs atau bulat-bulat berbentuk sel.  
            Berwisata sendirian benar-benar tidak menarik. Aku jadi seperti orang bisu yang sibuk sendirian. Aku cukup kerepotan untuk memotret dengan membawa payung basah yang tidak bisa dimasukkan ke tas kecilku. Tiap kali akan memotret aku harus meletakkan payung itu di pinggir jembatan dan menjaganya agar tak jatuh ke air. Iiih, repotnya. Wisata monokotil kali ini agak tidak asik. Aku celingak-celinguk mencari barangkali ada turis monokotil lain yang bisa diajak barengan. Umumnya mereka berdikotil alias berpasangan atau berombongan. Sebenarnya aku bisa saja tadi mengajak si Jengis, tapi laki-laki itu terlalu beresiko. Ya sudahlah, nikmati saja berwisata monokotil tanpa banyak ngomong. Tiba-tiba trio kwak kwek kwok menyodorkan mukanya di depanku.
“Hi, bisa tolong foto kami bertiga?” pintanya sambil menyodorkan camera digital.  
Sure,” kataku antusias.
Tiga orang laki-laki bermuka indah dan body padat kemudian bergaya dedepanku bersandar  pada pagar jembatan siap kupotret. Akal bulusku segera bekerja agar pemandangan indah itu tak cepat pindah dari hadapanku.
“Kalian tidak terlihat. Terlalu gelap,” kataku karena aku tidak menemukan bayangan mereka di screen kamera. “Tapi kucoba dulu ya.” kemudian “klik” flash menyala dan terlihatlah tiga wajah Italia mereka dengan senyum mengembang. Sepertinya mereka bersahabat.
“Oke, kucoba sekali lagi ya. Kalian agak merapat lagi biar hasilnya lebih bagus,” kataku bak pengarah gaya profesional. Mereka dengan senang hati menuruti perintahku. Senangnya bisa mengatur-ngatur tiga orang ganteng yang tinggi-tinggi ini, pikirku.
Oke, ready, one..two.. klik,” aku jarang memotret sampai hitungan ke tiga agar hasilnya lebih natural. Lalu hasilnya kutunjukkan ke mereka.
“Bagus, lihat,” kataku.
“Iya, bagus. Thank you,” kata tiga trio cute itu sambil tersenyum.
“No problem,” kataku.  Aku terlalu grogi untuk mengajak mereka bergabung. Tepatnya menawarkan diri untuk bergabung dengan mereka. Berada diantara mereka pastilah aku seperti jari klingking. Ogah!
But, Thanks God, atas rejeki indah hari ini.

Medusa

            Kuteruskan wisata monokotilku dengan memotret keterangan-keterangan yang ada. Umumnya tentang Medusa, sebuah landasan pilar yang berbentuk kepala perempuan cantik berambut ular yang terletak disalah satu sudut Basilica Cistern ini. Disitu ada dua kepala Medusa, yang satu nyungsep alias kebalik sedangkan satunya lagi posisi tidur dengan separuh pipinya. Ada dua penjelasan tentang Medusa ini: saintifik dan mitologis Seperti biasa yang mitologislah yang lebih menarik dan lebih kuingat.

Medusa, si cantik berkepala ular dan penangkal hal-hal buruk
            Konon, Medusa adalah satu dari tiga raksasa Gorgona bawah tanah. Dibanding dua saudaranya yang lain hanya Medusa yang mortal alias tidak abadi  dan satu-satunya yang punya kekuatan untuk mengubah orang yang melihatnya menjadi batu. Orang-orang jaman dulu katanya memasang patung dan gambar Medusa ini ditempat-tempat penting dan sangat pribadi untuk melindunginya dari hal-hal buruk.
Versi lain mengatakan bahwa Medusa adalah gadis yang teramat bangga pada mata hitam, rambut panjang, dan tubuh aduhainya. Sudah sejak lama Ia jatuh cinta pada Perseus, putra raja Zeus. Celakanya Dewi Athena juga jatuh cinta pada pangeran Perseus ini sehingga karena terbakar api cemburu Ia mengubah rambut indah Medua menjadi ular yang menakutkan. Siapapun yang melihat Medusa akan berubah jadi batu walaupun sekilas. Mengetahui hal ini Perseus lalu menebas kepala Medusa dan menjadikannya Najat perang. Ia pun sering memenangkan peperangan karena menunjukkan kepala Medusa ini pada musuh-musuhnya. Sejak saat itu gagang pedang di Bizantium dibuat dengan bentuk Kepala Medusa.
            Diujung rute terdapat café yang orang bisa menikmati makanan dan minuman hangat dan berfoto dengan latar belakang pilar-pilar gelap Basilica Cistern. Kalau saja aku berdikotil mungkin aku akan memilih duduk-duduk disitu dan berfoto. Berhubung monokotil jadi kuteruskan saja keluar dan mampir di toko souvenir pintu keluar membeli satu seri kartu post bertema “old Istanbul”.

No comments: