Semazen

Monday, November 5, 2012

Mekah: Catatan Luka di Taman Surga


Kala itu di depan Ka'bah. Setiap habis Ashar dihabiskan dengan duduk-duduk di tangga-tangga Masjidil Haram agar dapat mengamati dari dekat dan memeditasi tingkah laku manusia yang sedang melakukan ritual suci memenuhi panggilan Ilahi.  Aku berharap Yang Maha Baik akan membukakan rahasia bangunan kubus yang sedang diputari oleh ribuan manusia ini. Apa pentingnya kita mengitari benda hitam yang mengandung batu hitam dan terkait kisah budak perempuan hitam bernama Siti Hajar ini?  

Banyak yang menangis sambil mengusap-usapkan tangannya ke kain hitam penutup Ka'bah. Ada pula yang mengusap-usapkan bayinya ke dinding Ka'bah. Ada yang membaca tuntunan doa tawaf dengan keras-keras. Ada yang membaca tanpa suara sambil berputar mengelilingi Ka’bah, matanya fokus pada buku doa kecil yang dibaca. Desak-desakan manusia terjadi disetiap tempat yang dikatakan mustajab, karena semua menginginkan berdoa ditempat itu, bahkan memaksakan diri solat dan bedoa lama-lama diantara desak-desakan manusia yang juga menginginkan hal yang sama. Ada yang sibuk motret atau membuat video dengan kamera pocket dan HP. Dipintu masuk perempuan akan selalu ada penjaga yang menggeledah tas untuk mencari kamera. Kalau ada kamera yang ditemukan maka akan disita atau tidak boleh masuk. Sedangkan dipintu masuk masuk untuk laki-laki katanya tak ada penggegledahan sehingga kamera pocket bebas masuk.

Di dekat Hajar Aswad atau batu hitam yang disunahkan untuk dicium, akan selalu terjadi kemacetan putaran karena ribuan manusia ini berebut ingin mencium batu hitam itu. Ditengah-tengah himpitan kemacetan padat manusia itu akan selalu terdengar suara laki-laki dan kadang perempuan yang menawarkan jasa untuk membantu mencium Hajar Aswad, "Pak/Ibu, mari saya bantu untuk mencium hajar aswad," kata mereka. Ketika ada tanda iya, maka pemilik suara itu dan 3-5 orang temannya yang juga ada dalam himpitan kepadatan tubuh manusia itu akan membuat lingkaran penghalau manusia lain agar si penerima jasa dapat mencium Hajar Aswad. Setelah itu perhitungan ekonomi pun dilakukan. Adikku sempat tertegun menyaksikan seorang Bapak tua sedang menangis dan digeledah oleh sekelompok orang sesama Indonesia yang tidak percaya kalau Bapak itu tidak mempunyai uang untuk membayar jasa penciuman Hajar Aswad. Bapak itu pasti mengira bahwa jasa itu gratis. Mungkin ia mengira orang-orang ini benar-benar tulus berlomba-lomba berbuat baik dihadapan rumah Tuhan. Ternyata tidak. Adikku pun mendapat pelajaran penting, anggapan bahwa ditempat suci semua orang akan berlaku suci pun gugur. Ditambah kelakuan para pedagang Arab disekitar Masjid Haram, Mekah, terhadap jemaah perempuan Indonesia yang seringkali terasa melecehkan. Sambil memuji-muji perempuan Indonesia cantik-cantik dengan pandangan nakal, tidak sedikit pedagang-pedagang itu yang juga berusaha menyentuh tubuh, atau semakin merapatkan tubuh mereka. Terhadap perempuan Turki dan Iran mereka tidak berlaku sama, ini mungkin karena mereka langsung disikapi dengan galak, dan mungkin juga karena persepsi mereka terhadap perempuan Indonesia berbeda dengan terhadap perempuan timur tengah karena kita dianggap negeri pengirim budak.

Selain itu perlakuan  laskar perempuan penjaga mesjid Nabawi yang bersikap galak dan diskriminatif terhadap perempuan berwajah Indonesia atau Melayu, menambah daftar kesan tidak asik di negeri yang terasa keras dan patriarkis ini. Di Raudah, sebuah tempat dekat makam Nabi yang dinarasikan sebagai taman surga, orang-orang berdesak-desakan untuk bisa lebih dekat agar bisa sholat dan berdoa, karena diyakini sebagai tempat yang mustajab bagi terkabulnya doa. Raudah tidak selalu dibuka untuk perempuan. Ada waktu-waktu khusus untuk perempuan sehingga selalu terjadi antrian dan desak-desakan untuk masuk ke area ini. Wajah-wajah Asia atau Melayu khususnya Indonesia akan sering menjadi yang terakhir untuk dapat kesempatan ke Raudah. Kata-kata, "Malayu, duduk!!" yang diucapkan dengan teriakan keras adalah sambutan yang tidak cukup menyenangkan dikuping. Dengan tubuh dan muka tertutup gamis dan cadar hitam, laskar-laskar perempuan ini akan mencegat perempuan berwajah Asia atau Melayu dan memerintahkan untuk duduk. Sementara perempuan berwajah non Asia/Melayu dibiarkan melenggang memasuki area Raudah. Ini yang membuat wajah-wajah melayu iri dan ngeyel. Jika perempuan berwajah Melayu ini menyembulkan diri diantara yang duduk dan berniat protes maka kata-kata sakti itu akan meluncur lebih keras, MELAYU, DUDUK!!!! Aku dan beberapa teman serombongan sempat berniat kembali lagi ke area itu dengan gamis dan cadar hitam agar tidak kelihatan Indonesianya.

Ketika berada di area dekat dengan makam Nabi, pembimbing umroh mengajak untuk bersholawat pada Nabi. Seorang laskar yang melihat kami mengangkat tangan langsung menghampiri dan menghardik, "Syirik!" dan memerintahkan untuk menurunkan tangan. Aku tak targanggu karena sudah sering mendengar cerita ini sehingga mental lebih siap, lagi pula aku punya cara sendiri untuk bercakap-cakap dengan Nabi secara pribadi setiap habis sholat subuh. Kepedihan muncul karena ketidakterimaan atas perlakuan orang-orang Wahabi ini terhadap Manusia Agung dan tamu-tamunya. Di Konya, seorang wali bernama Jalaluddin Rumi  yang mengaku hanya setitik debu di telapak kaki sang Nabi mendapat penghormatan begitu besar  dan perlakuan baik terhadap tamu-tamunya. Namun di negeri ini, kutub cinta dan kutub pengetahuan sekaligus ini diperlakukan bak rongsokan. Sungguh negeri yang aneh dengan idiologi aneh!
Akhirnya demi menghibur diri inilah kata-kata untuk Nabi, "Barangkali mawar wangi memang perlu dilindungi duri," Nabi adalah Mawar wanginya, negeri aneh ini durinya.  Ah ! Kalau bukan karena kemuliaan Mawar Gurun ini, enggan rasanya menginjakkan kaki kembali ke negeri aneh ini.


Masih ada lagi sumber kekesalan lain. Diantara bangunan-bangunan megah pusat perbelanjaan, hotel-hotel mewah disekitarnya, dan Istana raja di bukit yang hampir mepet dengan salah satu sudut Masjid Haram, Ka'bah kelihatan kecil dan tak berwibawa. Benda hitam dan kepala-kepala manusia yang bergerak mengelilinginya hanya jadi hiburan mata bagi yang tinggal digedung-gedung mewah ini. Di Bali, ada aturan religious bahwa bangunan tidak boleh lebih tinggi dari Pure. Ini karena agama tak semata-mata rasional  tapi ada sisi emosional etisnya. Ada rasa etis yang selalu ingin meninggikan dan mengistimewakan tempat-tempat ibadah dibanding yang lain. Walaupun di beberapa tempat di Bali, aturan ini mulai kalah oleh kekuatan kapitalis, namun di beberapa tempat aturan ini masih di jaga ketat oleh adat. Di Mekah, rasa untuk meninggikan dan mengistimewakan rumah Tuhan sudah digerus oleh idiologi Wahabi dan kepentingan pasar yang mengambil keuntungan darinya. Ada rasa tidak rela jika dua tempat suci (Mekah dan Madinah) dikelola oleh negeri aneh ini.
Ah, barangkali kalau aku tidak terlalu kritis mungkin akan merasakan perasaan excited yang sama yang sering diceritakan oleh orang-orang kampung tentang keajaiban-keajaiban di tanah suci. 

-Catatan Umroh 2012 #1


Ka'bah di kala hujan. Banyak yang menafsir sebagai
hujan berkah.  

1 comment:

Anonymous said...

Inilah akibatnya kalau kita kurang ilmu agama, tercuci otaknya dengan media yang bias. Saya yakin Anda salah satu di antara sekian orang yang latah mengulang kata-kata WAHABI. Tapi sayang mereka tidak tahu apa arti kata WAHABI. Mereka kurang ilmu sejarah, malas untuk mencari ilmu sehingga jadilah pengekor orang lain tanpa tahu apa yang tujuannya. Saudari, silahkan perkaya ilmumu, carilah ilmu yang lurus dan benar. Gunakan otak dan hatimu yang diberikan tuhan untuk mencari kebenaran, bukan jadi seorang pengekor, latah. Sebelum menghujat WAHABI, WAHABI cari tahulah dulu apa itu WAHABI!!! Ingat segala perbuatan dan ucapan kita akan kita pertanggung jawabkan di hadapan ALLAH. Salam