Semazen

Saturday, November 24, 2012

Si Anak Murtad dan Ibu Dahsyat: Kisah Passing Over Anak Kyai


Seorang Kyai gundah gulana karena anaknya tertarik pada agama lain. Bagaimana bisa anaknya, yang seorang anak kyai bisa lebih tertarik pada agama orang lain dibanding agama yang telah diajarkannya, bahkan ketika anak ini belum lahir? Apa kata umat nantinya? Apa kata santri-santri dan rekan-rekan, dan kolega-koleganya, jika anak itu benar-benar mendeklarasikan kemurtadannya? Ia yang selama ini berhasil membimbing ruhani banyak orang tetapi gagal membimbing ruhani anaknya sendiri, apa kata masyarakat nantinya? Apa kata Allah, yang diakhirat nanti akan memintai pertanggungjawabannya sebagai ayah yang dituntut untuk mendidik agar mengenal dan menaati Allah? Apa kata semesta?

Makin hari ia makin ketar-ketir. Kali ini masalah yang dihadapinya begitu besar karena mendasar. Masalah yang membuat manusia bisa berperang satu sama lain memperebutkan kebenaran keyakinan. Masalah yang begitu esensial.

Anak kedua yang tadinya ia banggakan karena kecerdasan dan kekritisannya, yang menurutnya sebagian besar adalah turunan darinya, yang begitu bangga dengan agamanya dan siap melibas cara berkeyakinan yang lain melalui keterampilannya berdebat, tiba-tiba berbelok arah menjadi lebih tertarik pada jalan agama lain. Bagaimana bisa?

Tak henti-henti ia berpikir apa yang akan terjadi jika anak ini benar-benar murtad dan tak bisa dikembalikan ke jalan yang telah diajarkannya? Apa kata pemilik semesta?

Istrinya malah tenang-tenang saja, dan justru bersikap sangat santai, “Tenang, Abi,” hiburnya pada suaminya yang cemas dan makin cemas, “biarkan dia mencari keyakinannya sendiri. Bukan karena kita Islam maka dia harus Islam. Bebaskanlah dia untuk mencarinya sendiri,” ujarnya santai tapi mantap.
“Iya, tapi kalau dia benar-benar murtad bagaimana?” jawab suaminya dengan begitu gusarnya.
“Tenang saja, aku yang melahirkannya, aku tahu dia itu seperti apa dan akan seperti apa, tenang sajalah, don’t worry,” jawab istrinya tanpa kecemasan sedikitpun, malah cenderung geli melihat kecemasan suaminya, yang ia juluki orang syari’at, yaitu orang yang masih terjerat realitas hasil konstruksi, sementara ia menyebut dirinya sendiri orang hakikat atau orang yang sudah melampaui konstruksi sehingga melihat esensi.  

Semakin hari si anak yang dicemaskannya semakin rajin ke Vihara untuk bermeditasi dan semakin menunjukkan kemantapan akan pilihan agama barunya, yang menurutnya lebih keren karena  ia nilai lebih menenangkan, lebih menunjukkan cinta kasih dan kedamaian, dan lebih mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Sang ibu yang tanpa sepengetahuan si anak memantau semua perubahan perilakunya namun membiarkannya, suatu saat mulai menanyakan, “Kamu kenapa toh, Nak? Tanyanya. Si anak diam, bingung bagaimana harus menjelaskan. Sebelum jawaban keluar sang Ibu tanpa tedeng aling-aling langsung nyletuk, “Kamu murtad ya?” tebaknya enteng. Si anak pun jujur mengakuinya. Mendengar pengakuan kemurtadan anaknya sang ibu bukannya kuatir, ia terlihat biasa saja, tidak seperti ayahnya. Dengan penuh perhatian ia menjadi teman sharing anaknya tentang pengalaman-pengalaman menjelajahi dunia astral selama tenggelam dalam ketenangan meditasi. Sang ibu mengangguk-angguk dan tersenyum ketika anaknya bercerita pengalaman spiritual melalui agama barunya dan dengan bangga menceritakan guru meditasi yang begitu dihormati dan dicintainya. “Oh, begitu ya, Nak,” begitu selalu komentarnya. Anaknya pun semakin bersemangat bercerita karena merasa didengarkan, bukan dicemaskan dan disalahkan. Berdua di bawah pohon mereka sering saling bertukar cerita, ibu dan anak berbincang pengalaman batin.

Hingga suatu hari setelah anaknya selesai bercerita sang Ibu memegang tangan anaknya dan memintanya terpejam. Bersama mereka mejelajah dunia lain, melintasi berbagai realitas hasil konstruksi pikiran manusia. “Waktu kamu meditasi kamu mengalami ini kan, … mengalami itu kan?” tebak sang ibu dengan entengnya. Sang anak terkaget-kaget karena baru sadar kalau ibunya ternyata dahsyat juga. Ibunya menunjukkan semua yang dilihat dan dialaminya dalam meditasi-meditasinya. Si anak berderai air mata. “Oke, kalau begitu sekarang kamu bersyahadat lagi saja, lalu berwudhu dan sholat magrib ya,” pinta sang ibu dengan penuh kasih sayang. Sang anak pun menuruti dan terpana karena mengalami pengalaman yang lebih dahsyat ketika sholat magrib kembali, setelah hampir satu tahun semua sholatnya ia tinggalkan. Sholatnya tidak lagi sama dengan sholat-sholat sebelumnya, yang sekedar jengkang-jengking tanpa isi.

Dibawah bimbingan sang Ibu anak ini kembali ke agama yang telah diajarkan kedua orang tuanya. Walau agama yang dijalaninya sama dengan agama yang dipeluk kedua orang tuanya, namun agama yang dianutnya adalah hasil dari temuannya sendiri, yang telah melalui proses pencarian, dan pengujian melalui pengalaman, sehingga bukan lagi warisan. Doktrin-doktrin agama yang diajarkan oleh ayah dan guru-guru agamanya telah diseleksi dan diuji melalui penjelajahannya, melalui passing overnya kepada agama lain walau tanpa diniatinya sejak awal. Walau ia kembali ke agama orang tuanya namun Ia tidak kehilangan rasa hormat dan cinta terhadap guru meditasinya dan agama gurunya. Menurutnya gurunya ini juga berperan dalam menemukan agama yang diyakininya sendiri, bukan yang dituntut oleh orang lain -termasuk orang tuanya- untuk diyakini. Ia kini lebih hormat pada agama apapun yang dipeluk oleh siapapun asal tidak menjelek-jelekkan agama apapun, karena menurutnya masalah keyakinan adalah masalah pribadi yang berkaitan dengan proses pribadi seseorang sehingga tidak bisa dipaksakan oleh siapapun. Ia mengutip kata-kata guru meditasinya, “Yakinilah apa yang hatimu yakini benar, bukan yang katanya benar.”


Cerita dari sang ibu dan anak secara terpisah disebuah pesantren.
Surga Kecil, Yogyakarta, 22 November 2012/8 Muharam 1434 H. 23.29  WIB. njm#1




No comments: