Semazen

Friday, December 14, 2012

#13. Mata Setan, Ayu Utami dan Rumi


 “Hu konon adalah kata yang terlontar pertama kali di jagad raya” 
-The Last Barrier-


            Setelah membaca majalah wanita yang menurunkan laporan wisata di Turkey, aku baru tahu kalau gambar sampul novel Ayu Utami yang berjudul “Bilangan Fu” namanya evil eyes atau mata setan. Sebuah mata dengan kornea biru dengan iris hitam. Tentu kejadiannya ketika masih di Indonesia, karena di Turkey tak ada apapun yang berbahasa Indonsia kecuali warning dari pembuat virus brontox yang kami temui di semua monitar komputer di salah satu toko komputer di daerah Kızılay. Mas Nasir yang tahu pertama kali tentang tulisan ini senangnya bukan kepalang, seperti mendapat rejeki nomplok. “Lihat...lihat, ada bahasa Indonesia,” katanya bahagia, walaupun bahasa Indonesia yang terpampang disitu sangat tidak indah.
            Di salah satu novelnya yang berjudul, ‘Bilangan Fu’, Ayu Utami menampilkan gambar gantungan asesoris evil eyes di cover bukunya. Sebelum mememukan majalah wanita itu aku tidak tahu kalau evil eyes menjadi salah satu ciri suvenir Turki. Begitu pula sebelum ke Konya dan menonton DVD whirling dervish-nya Rumi yang kubeli, aku tidak tahu hubungan antara evil eyes dan bilangan fu. Tapi sekarang agak nyambung. Setidaknya mungkin aku tahu mengapa Ayu Utami memasang evil eyes di sampul novelnya. Ternyata ada kaitan antara bilangan fu dan Rumi.

            Di Turki evil eyes ada dimana-mana. Ketika berada di toko-toko souvenir dekat museum Maulana Rumi di Konya banyak sekali evil eyes dalam berbagai bentuk: gantungan kunci, liontin, kalung, gelang, manik-manik, gantungan dinding, dan bentuk-bentuk lainnya. Sejak awal aku penasaran apa kisah dibalik evil eyes ini, mengapa begitu banyak evil eyes? Akhirnya melalui Yan, yang bersamaku ke Konya aku tanya pada salah satu penjual souvenir, seorang laki-laki usia empatpuluhan. Menurutnya evil eyes adalah warna mata bangsanya. Kulihat laki-laki ini memang bermata evil eyes. Tapi keterangan itu tidak cukup. Iya, evil eyes adalah warna mata, so what? Mengapa itu kemudian menjadi penting, sampai-sampai menjadi salah satu ikon Turki? Ini pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh bapak itu. Aku membeli gantungan kunci evil eyes dan kristal bergambar dervish dari toko bapak ini. Kemudian ia membungkusnya. Dan, tebak! Kertas pembungkusnya bermotif evil eyes. Ketika ia memasukkan dalam kantong plastik, motifnya evil eyes lagi. Wualah.
            Aku kemudian beralih ke toko lain untuk membeli kartu pos. Dua laki-laki muda penjual kartu pos sedang bermain catur sambil makan kacang-kacangan. Ketika aku datang dan memilih-milih kartu pos aku disodori kacang yang ia makan. Aku mengambil dan mengunyahnya. tawar, dingin, dan tidak enak, tapi harus kutelan, dan tak lupa bilang “tesekkur ederim,” thank you. Melalui Yan aku bertanya lagi tentang evil eyes. Menurut mereka, evil eyes adalah ciri mata keturunan bangsa Seljuk, dan mereka bangga sekali dengan warna mata yang warna-warni itu. Oke, keterangannya lebih banyak, tapi aku masih belum puas. Ketika berjalan-jalan di Kurtulus Park dan minum teh dengan Adam, brondong Syria yang rajin SMS dan menelponku, lagi-lagi kutemukan evil eyes di nampan gelas. Hwalah, evil eyes is everywhere in Turkey..

o0o

            Di Ankara, setelah pulang dari belanja buku, Aku dan Mas Nasir sama-sama ke toilet di stasiun metro. Hari itu begitu dingin. Beberapa hari ini semua air yang ada dipermukaan tanah membeku termasuk comberan-comberan depan kampus, semua membentuk kristal saking dinginnya. Keluar dari toilet ada suara teguran dari belakang, “Hi, where are you from?” Aku menoleh, “Indonesia,” Kataku, sambil berbalik dan mendekati tiga orang young-men yang salah satunya menegurku. Ia kemudian berkomentar, “Beautiful country.”
“oh ya, tentu, kamu kok tahu? Tanyaku balik. Dibilang Indonesia is a beutiful country jelas telingaku tegak  “Well, some people here know about that," jawabnya. Setelah itu kami saling berkenalan. Tiga young-men itu bernama Emrah, Nuh dan Yos. Dari ketiga orang ini hanya Emrah yang bahasa Inggrisnya lumayan bagus. Dialah rupanya yang menegurku tadi. Emrah mahasiswa Teknik di universitas Yozgat, kota lain tidak jauh dari Ankara, Nuh kuliah di Istanbul, sedangkan Yos bekerja di Van, daerah lain di Turki yang berbatasan langsung dengan Iran. “Wah, kamu bisa bahasa Persia dong,” komentarku. Si Yos nyengir, “enggak, tuh”. Ketiga orang ini matanya warna-warni. Yos bermata kehijauan. Emrah bermata kecoklatan sedangkan Nuh kebiru-biruan.
            Setelah kupastikan mereka benar-benar Turkish kukatakan pada mereka kalau aku butuh ngobrol banyak dengan Turkish. “Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang Turki pada orang Turki langsung.”
“Oke, aku akan menjawabnya walaupun mungkin tidak semuanya bisa aku jawab,” kata Emrah. Mas Nasir kemudian meminta email dan nomer HP mereka terutama Emrah, dan mencatat dibuku agenda yang kemarin Ia beli. Untung Mas Nasir membeli buku agenda yang ada peta Turkinya sehingga ketika tiga orang kenalan baru ini menyebut nama asalnya kita bisa langsung cek di peta, dibagian Turki mana mereka berada.
“Oke, Emrah” kataku kemudian, “Satu hal yang sekarang ini membuatku penasaran adalah evil eyes. Apa cerita dibalik evil eyes ini?” Emrah yang gondrong, berambut agak keemasan tampak bingung. Aku berusaha menjelaskan tentang benda satu ini yang bertebaran dimana-mana di Turki terutama menjadi ciri souvenir Turki. Kemudian Ia berdiskusi dengan dua orang temannya dan memastikan bahwa yang kumaksud adalah nazar bunjuğu. “Apa? Kalian menyebutnya apa di Turki?”
Nazar bunjuğu” katanya. Ia lalu berusaha menunjukkan pada kami benda yang dia maksud dengan memasuki salah satu toko yang dikira menjualnya, tapi ternyata tidak. “Oke, nazar bunjuğu”. Ia kuminta menuliskannya. Nazar bunjuğu, dengan g bercaping terbalik, yang di Turki dibaca g tak berbunyi seperti kata ghaib dalam bahasa Arab. Tapi rupanya Emrah dan dua orang temannya tak tahu kisah tentang nazar bunjuğu ini. Evil eyes adalah nazar bunjuğu dalam bahasa Turki.
            Setelah mengatakan goodbye dengan ketiga pemuda Turki ramah itu lalu kami berjalan keluar stasiun dan duduk di salah satu kursi taman pertokoan di Kızılay mencari wireless untuk men-google si mata setan alias nazar bunjuğu. Keterangan yang kudapat mejelaskan bahwa mata setan atau nazar bunjuğu dipercaya mempunyai kekuatan yang dapat melindungi si pemakainya dari kekuatan jahat evil eyes, atau orang yang berniat jahat.
            Ketika berkunjung ke keduataan Indonesia di Turki, salah seorang staff kedutaan yang bersuamikan orang Turki menjelaskan bahwa orang-orang Turki masih percaya kalau Nazar bunjuğu mampu menangkal niat jahat orang-orang bermata setan. Di Turki baheula alias Turki jadul percaya bahwa orang bermata biru dengan iris hitam kalau mempunyai niat jahat akan langsung terlaksana, karena mata seperti itu mempunyai kekuatan yang dahsyat sehingga disebut evil eyes. Mungkin mirip-mirip folklore si Pahit Lidah dari Sumatera Selatan yang ucapannya mampu mengubah orang menjadi batu. Di Turki, untuk menangkal kekuatan evil eyes ini mereka memasang evil eyes juga. Jadi kekuatan mata setan dilawan dengan mata setan juga, sebagai pemantul.
             Lalu apa kaitan antara mata setan dengan Ayu Utami dan Rumi? Pertama, tafsirkanlah sendiri sampul novel “Bilangan Fu” Ayu Utami. Di Novel itu Ayu bercerita sedikit tentang bunda semesta yang dilambangkan dengan garba atau yoni atau vagina. Jadi kalau dilihat ulang sampul novel itu bergambar vagina yang dilindungi mata setan. Ya, garba atau vagina memang perlu diberi mata setan atau evil eyes agar terlindung  dari maksud-maksud usil manusia pemilik tongkat ajaib berisi ubur-ubur renik, hahaha....! 
         Kedua, dalam novel ‘bilangan fu’ Ayu utamanya berkisah tentang misteri angka ke tiga belas yang ia sebut bilangan fu.  Fu adalah bilangan  yang menurutnya sudah melampaui sifat-sifat material alias spiritual. Fu di Jawa disebut “Hu” begitu ia bertutur dalam novel itu.

            Awalnya aku tak peduli dengan “Hu” tapi setelah ke Konya, melihat evil eyes dan menonton DVD tentang Rumi dan whirling dervish-nya aku kembali ingat pada “Hu” ini. Di akhir tarian darwisnya para darwis itu serentak membunyikan “Huuuuu” sambil menunduk ala Jepang ketika sang Syekh mengucapkan salam. Dibuku yang kubawa kutemukan sedikit penjelasan tentang “Hu”. Konon Hu adalah kata yang pertama kali terlontar dijagad raya. Dalam bahasa Arab “Hu” atau Huwa berarti “Dia” mengacu pada Allah yang biasanya diucapkan Allah Hu yang berarti Allah semata, tak ada yang lain sebagaimana ditegaskan dalam syahadat bahwa "Tak ada Tuhan kecuali Tuhan itu sendiri. Aku merasakan Hu sebagai Dia yang berada dibalik segala sesuatu.  Hu yang datang bersama angin. Hu yang berhembus disela-sela daun jendela. Hu yang menggoyang daun-daun pepohonan. Hu yang membawa layar menyeberang samudra. Hu yang menghempas ombak dan kelapa tumbuh di pantai. Hu adalah nafas semesta yang membuat Adam bernyawa. 
Maka jika Hu ini aku temukan di Jawa dan Turki itu bisa dimengerti. Karena Islam di keduanya sama-sama berakar kuat pada Sufisme atau tasawuf.

No comments: