Semazen

Friday, December 7, 2012

#3. Isolated

“Semua akan terjadi bila waktunya sudah tepat”
-The last barrier-

Lambang Universitas Ankara (tanpa murka :))
                Jika pada hari pertama tiba di Turki hati diliputi rasa gembira karena semua serba excited berada dit tempat baru, maka di hari kedua aku merasa kesepian. Pertama, karena tak ada teman berbicara. Malaikat-malaikatku berada di asramanya masing-masing yang tidak aku tahu dimana dan aku tak tahu cara menghubungi mereka. Di asrama tempatku menginap tak ada yang bisa diajak bicara karena aku belum menemukan satu orang pun yang bisa berbahasa Inggris. Penjaga asrama yang ada beberapa orang juga tak bisa bahasa Inggris. Begitu pula penjaga di dua fakultas, jurnalistik dan ilmu politik. Sehingga pencarianku terhadap Profesor yang menjadi penanggung jawab beasiswaku di universitas Ankara dilakukan dengan bahasa Tarsan.  Walaupun akhirnya kantornya kutemukan namun aku belum bisa bertemu dengannya. Dua kali aku datang ke kantornya namun selalu tertutup dan tak ada jawaban ketika kuketuk. Dua kali aku menelpon tapi sang Profesor belum bisa ditemui. Maka aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan di Turki.
                Kedua, aku tidak bisa membuka emailku. Ketika pertama melihat ada warung internet di dekat kampus hatiku langsung melonjak gembira. Aku harus segera menghubungi Selin, orang Turki yang kudapatkan emailnya dari seorang teman di Indonesia. Banyak yang ingin kutanyakan pada Selin tentang Turki. Ia juga berjanji akan memperkenalkan aku dengan salah satu temannya yang tahu banyak tentang Sufi.  Namun sayang semua emailku tak bisa dibuka. Password-ku tidak dikenali oleh internet Turki. Bukan hanya email semua situs jejaring sosialku tidak bisa dibuka. Tambah ruwet karena semua komputer berbahasa Turki, sehingga aku semakin tak berdaya karena tidak tahu apa yang tertulis dalam kotak dialog. Yang kulakukan hanya menebak-nebak sesuai pola. Aku mulai berpikir apakah orang Turki terlalu mencintai bahasanya sehingga tak suka ada bahasa lain. Gugurlah anggapan bahwa banyak orang Turki yang bisa bahasa Inggris, khususnya di Ankara.
Kampus Universitas Ankara
                Ketiga, HP tidak aktif karena diblokir, padahal inilah satu-satunya harapanku. Di Turki HP dari luar Turki harus didaftarkan lebih dahulu baru bisa dipakai.  Maka yang terpikir segera adalah membeli simcard lokal. Awalnya aku berencana membelinya di Istanbul. Namun karena menurut malaikatku terlalu mahal, mereka menyarankan untuk membeli di Ankara saja. Namun sampai di Ankara hari sudah terlalu malam. Semua toko sudah tutup.
                Keesokan harinya ketika aku akhirnya menemukan toko yang menjual simcard lokal yang direkomendasikan oleh malaikat-malaikatku aku senang bukan main. Dengan penuh semangat aku bilang ingin membeli simcard  pada pemilik toko. Aku lupa kalau mereka juga tak bisa bahasa Inggris sehingga proses mendapatkan simcard lokal pun menjadi tidak mudah. Inilah prosesnya:
                Teufik Kaya adalah nama pemilik toko HP yang kudatangi. Ia pria setengah baya dengan rambut hitam putih karena uban. Hidungnya mancung hampir bengkok dengan wajah condong ke Timur Tengah. Ia cukup ramah. Karena Ia tak bisa bahasa Inggris dan aku tak bisa bahasa Turki ataupun Arab  akhirnya Ia menyuruh anak laki-lakinya untuk melayaniku padahal anaknya juga tidak bisa bahasa Inggris. Tapi lumayanlah, anaknya cukup  membuat mata bergembira. Terima kasih Pak Kaya, semoga anda cepat kaya, kataku dalam hati.
                Ketika anak Pak Kaya menyodorkan simcard yang kuminta dengan semangat aku memasangnya di HPku, siap mengkring malaikat-malaikat Indonesiaku. Ketika anak Pak Kaya meminta passportku aku baru ingat kalau di Turki simcard dan HP harus didaftarkan lebih dahulu. Sial, pasportku ketinggalan di kamar. Aku lupa kalau aku menyimpannya di kotak VCD oleh-oleh buat Profesorku. Terpaksa aku harus kembali ke kamar. Aku bilang nanti aku kembali lagi. Anak Pak Kaya itu memberi sinyal mengerti dengan kedipan matanya.
Landscape kota Ankara
Ankara dilihat dari museum Etnografi
         Sekitar satu jam kemudian aku kembali lagi dengan membawa pasportku. Ternyata masih juga ada masalah, tidak hanya Pak Kaya dan anaknya yang tidak berbahasa Inggris, semua formulir registrasi simcard juga tak berbahasa Inggris. Aku tertawa ketika anak Pak Kaya menyodorkan formulir itu ke hadapanku untuk diisi. Bagaimana dia bisa lupa kalau aku tak bisa bahasa Turki. Kusodorkan kembali formulir itu padanya sambil menggeleng. Dengan bahasa Tarsan yang ditebak-tebak kami bekerjasama untuk mengisi formulir simcard hingga akhirnya aku mendapatkan simcard Turki.
                Ternyata masalah belum selesai. Setelah simcard terpasang aku siap menelpon. Anak Pak Kaya tersenyum dan menggeleng. Aku pasang muka tanda tanya. Ia bilang kartuku baru bisa aktif nanti malam. Aku pasang muka kecewa. “Ya Ampun, Turkiye, ribet amat!” teriakku dalam hati. Aku lalu melangkah keluar counter. Baru dua langkah anak Pak Kaya itu memanggil. Oh, ternyata aku belum bayar. Untuk menutup malu aku tertawa dan bilang, “sorry, seven lira, kan?” Ia tersenyum. Aku memberinya sepuluh lira kertas dan Ia memberi kembaliannya tiga lira koin yang mirip seribu koinnya Indonesia.
                Dari counter Pak Kaya Aku lalu berjalan menuju warnet tak jauh dari situ. Ternyata emailku tetap tidak bisa dibuka di warnet manapun. Ketika kuketik password-ku dan kutekan enter selalu saja password-ku menjadi tambah panjang tak terhingga sehingga tidak dikenali oleh internet. Penjaga warnet juga tidak tahu sebabnya. Ketika mereka mencoba email mereka sendiri tidak ada masalah. Hanya emailku yang bermasalah. Mereka semua angkat tangan dan menggeleng. Aku berpikir, pasti ada masalah dengan keyboard Turki. Kemarin di dalam bis menuju Ankara aku masih bisa membuka emailku melalui laptop Mas Nasir, mengapa sekarang tidak bisa? Aku tidak habis pikir. Turki agak aneh.
Asrama Milli Pyanggo. 
                Jam setengah tiga aku kembali ke Asrama. Makan jeruk dan coklat yang kubeli di toko sebelah konter Hp. Semestinya aku menelpon Profesorku, Prof. Onulduran, kembali jam tigaan. Tapi aku terlalu capek untuk keluar lagi apalagi cuaca sangat dingin. Akhirnya aku tertidur dari jam 3 sampai jam tujuh malam. Kuraih HP dan siap menelpon malaikat-malaikatku untuk menceritakan segala keanehan yang kutemui di Turki. Tapi ternyata tetap tidak aktif. Turki masih Aneh. Lalu kulanjutkan tidur lagi siapa tahu nanti malam aktif. Ternyata jam sebelas malam pun tetap tidak aktif. Aku tak lagi bisa tidur karena sudah kebanyakan tidur. Sempurnalah isolalasiku dari duniaku.  Karena tak ada yang bisa kulakukan kubuka satu-satunya buku yang kubawa “The last barrier,” tepat dihalaman yang kubuka pertama tertulis, “semua akan terjadi bila waktunya sudah tepat” lalu teringat kata-kata Pak Muh sebelum berangkat, “Inti Islam adalah sabar dan syukur.” Hmm…Rupanya aku memang harus menunggu saat yang tepat itu tiba dengan sabar dan syukur. Baiklah!

No comments: