Semazen

Sunday, January 27, 2013

# 24. Istana Topkapı dan Rambut Nabi


“Apa yang disampaikan hati akan diterima oleh hati,”

  
Istana Topkapi
            Keluar dari Hagia Sophia, Ayla dan aku tidak langsung ke Istana Topkapı  melainkan singgah dulu ke sebuah café untuk mengisi perut yang sejak pagi belum terisi. Kami berjalan melewati café-café yang berderet di sepanjang jalan dekat Hagia Sophia dan berkali-kali membalas tawaran mampir dari para pelayan café dengan sebuah senyuman dan jawaban singkat, “no, thank you”.
They know we are tourist. So, they will cheat us,” kata Ayla.
Yes, of course,” kataku. Kami terus berjalan mencari café atau resto yang banyak orang lokal karena pasti lebih murah, tapi tidak menemukannya sehingga aku mengusulkan untuk mempercayai para cheaters itu. 
“Aku tahu mereka pasti mencurangi kita, tapi bagaimana kalau kita percayai saja mereka. Kalau tidak kita akan terus kelaparan.”
“Ya, kamu benar. Mari kita percayai saja mereka,” kata Ayla setuju.
            Lalu kami berhenti di sebuah café tepat di depan Hagia Sophia. Pelayannya sangat ramah, terlalu ramah bahkan. Sikap mereka sangat akrab seperti kenalan lama. Namun untuk dua omelet jamur, segelas  coklat dan kopi panas kami harus membayar tiga puluh Lira. Terasa mahal, tapi kami sudah memutuskan untuk mempercayai para cheater sehingga tidak perlu merasa dicurangi.
            Di café ini kami duduk lama sekali sambil ngobrol dan berjemur untuk menghangatkan badan. Ditempat ini kami ngobrol banyak hal: tentang hidup, tentang Master, Maulana, Ibn Arabi dan para Sufi, sambil terkadang memberi makan kucing besar dan cantik tapi sombong dan galak.  Ia melukai jari kelingkingku ketika mencoba mengelusnya.
“Kupikir Ia jarang menerima kasih sayang,” komentar Ayla.
“Kupikir juga begitu, makanya galak. Manusia juga begitu, kan?” tanyaku. Ayla mengiyakan.
“Naj, kenapa kamu belum menikah?” tanya Ayla tiba-tiba, melenceng dari yang sebelumnya kita obrolkan.
Aku perlu berpikir sejenak sebelum memberi jawaban dari pertanyaan yang tak pernah kupikirkan akan ditanyakan oleh orang asing. Pertanyaan seperti ini di tanah air teramat biasa dan sampai jenuh mendengarnya. Tapi Ayla pun menanyakannya yang sebenarnya mungkin dia bisa menebak jawabannya.
            Pengalamanku selama di Turki telah membuka banyak hal yang membuatku mengerti apa yang telah kualami hingga saat ini. Ketakutan-ketakutan telah menemukan kata-katanya sehingga bisa diartikulasikan. Kunjunganku ke Konya telah membuka banyak tabir pengalaman pahit hingga bisa diungkapkan.
“Pada awalnya karena aku takut didominasi, apalagi membawa-bawa agama sebagai pembenaran” jawabku. Ayla tertawa, “Aku bisa memahamimu?” Ia lalu menceritakan kisah hidupnya sendiri, “Kamu tahu? didalam keluargaku suamiku sangat dominan. Pada awalnya aku merasa begitu sulit karena aku harus berjuang melawan dominasi itu, tapi kemudian aku merasa percuma karena Ia tetap tak bisa berubah. Kupikir mungkin itu sudah wataknya, watak laki-laki pada umumnya. Mereka sepertinya tak bisa hidup tanpa kekuasaan. Akhirnya aku mengalah demi keutuhan keluarga. Aku berada dibelakang dia. Walaupun begitu bukan berarti aku tidak berdaya karena keputusan itu kuambil dengan kesadaran penuh dan bukan tanpa pengetahuan. Aku tetap menjadi diriku sendiri.”
“Ya, kupikir karena budaya yang berkembang selama bertahun-tahun memang mengkondisikan laki-laki untuk seperti itu. Jadi bukan sepenuhnya salah mereka. Mereka diajarkan untuk memandang kekuasaan sebagai dominasi terhadap orang lain bukan bagaimana bekerja sama dengan orang lain dan tumbuh bersama-sama. Pada kasusmu, aku tidak melihat kau tidak berdaya, Ayla.”
“Ya, aku juga tidak berasa begitu. Kamu tahu, walaupun suamiku suka mendominasi tapi aku mengakui dia suami yang baik. Dia sangat bertanggung jawab,” puji Ayla. Sejenak kami berhenti berbicara karena menikmati minuman masing-masing. Coklat panas dan kopi panas.
“Naj, lebih baik kamu menikah dengan dervish saja,” usul Ayla tiba-tiba.
Aku spontan ngakak karena tidak berpikir kearah sana, “Kenapa begitu?” tanyaku.
“Setidaknya cara berpikir mereka sudah lebih maju dibanding laki-laki kebanyakan.”
“So, menurutmu mereka lebih bisa menghargai perempuan?”
“Ya, itu yang kupikirkan.”
“Well, walaupun tak semua dervish atau Sufi terbebas  dari kecenderungan untuk memandang rendah perempuan tapi setidaknya mereka terus berjuang untuk menundukkan egonya. So, oke, usulmu, kupertimbangkan,” jawabku. Kami berdua lalu tertawa.  Seorang laki-laki dan  perempuan dimeja sebelah yang tampaknya sejak tadi ikut mendengarkan pembicaraan kami yang begitu serius akhirnya menoleh. Namun kami tetap saja tertawa.
“Kurasa orang disebelah kita mendengarkan apa yang kita bicarakan,” bisikku pada Ayla.
“Ya, aku juga merasakan itu.”
“Apakah mereka mendapat pencerahan dari obrolan kita?” candaku.
“Semoga saja.” Kami berdua lalu tertawa lagi.

Istana Topkapı


            Dari Café kemudian kami melanjutkan penjelajahan ke Istana Topkapı  yang terletak tepat dibelakang Hagia Sophia. Setelah membayar 20 Lira lagi kami langsung menuju ke sisi museum yang berisi kereta kencana, lalu ke museum keramik koleksi Sultan Ottoman. Karena kami menjelajah Topkapı  tanpa guide maka aku memotret semua keterangan-keterangan yang ada agar bisa dibaca lagi nanti dengan lebih cermat. Sekarang lihat saja semua baru nanti dibaca sejarahnya. Begitu pikirku. Bangunan, taman dan view di Topkapı  sangat indah. Istana ini tidak hanya menyajikan keindahan arsitekur Islam tetapi juga sejarah kejayaan dinasti Ustmani atau Ottoman dalam lidah Eropa. Di Istana ini pula tersimpan benda-benda bersejarah berkaitan dengan nabi-nabi terutama Nabi Muhammad yang di Turki di sebut Peygamber. Ada pedang Nabi Muhammad yang bertahta berlian, pedang Ali dan pedang sahabat Nabi. Ada baju Siti Fatimah putri bungsu Nabi dan baju Husein cucu Nabi.  Ada pula turban Nabi Yusuf. Ketika berada di bagian tengah istana Topkapı  dan melihat peninggalan-peninggalan kesultanan Ottoman kami tidak sabar ingin cepat-cepat menyelesaikannya karena ingin segera melihat benda-benda yang berkaitan dengan Nabi, terutama helai rambut Nabi. Bagi kami berdua jantung Istana Topkapi adalah benda-benda ini, yang lain-lain tidak begitu penting. Maka ketika akhirnya tiba, Ayla berkomentar, “Kita terasa lebih dekat pada Nabi sekarang,” katanya penuh kelegaan sambil benar-benar memperhatikan benda-benda bersejarah itu, yang sebenarnya tidak kelihatan karena terlampau kecil. Aku mengiyakan, sayang tak boleh di foto.
            Di semua ruangan tempat menyimpan benda-benda bersejarah ini diperdengarkan suara bacaan Qur’an. Namun ada yang tidak biasa pada bacaan itu. Bacaan itu terasa lebih hidup. Aku sudah sering mendengar qiro’ah atau baca'an Qur’an, di toko-toko Islam, di mesjid atau musholla sebelum waktu solat tiba. Seringkali hambar dan bahkan kadang mengganggu karena terlalu keras sehingga bacaan itu lewat begitu saja dikuping tanpa kesan. Tapi kali ini tidak. Apakah karena hatiku sedang sensitif sehingga mudah tergetar oleh kalam Ilahi?, pikirku ge’er.
“Ayla, kamu merasakan sesuatu dari bacaan itu, tidak?” tanyaku.
“Iya, terasa berenergi.”
“Menurutku terasa lebih hidup.”
Setidaknya aku tidak sendirian merasakannya. Kami lalu melanjutkan keruang berikutnya yang menyimpan berbagai benda bersejarah lainnya.
Ketika melewati sebuah ruangan sebelum ke ruangan penyimpanan baju Siti Fatimah aku menemukan seorang bapak berjubah hitam dan berturban hitam duduk dipodium sedang membaca Qur’an. Walaupun orang berlalu-lalang dihadapannya untuk menuju ke ruang berikutnya namun Ia tak peduli. Ia terus saja asik membaca Qur’an. Aku berdiri dekat pintu seolah-olah sedang menunggu seseorang padahal sengaja memperhatikannya. Kadang matanya terpejam dan kepalanya bergoyang mengikuti irama bacaanya sendiri. Ia terlihat terbuai dan menikmati apa yang dilakukannya. Ho ho, sekarang aku mengerti kenapa bacaan Qur’an yang kudengar disemua ruangan terasa lebih hidup. Karena memang bukan berasal dari rekaman melainkan suara langsung dari bapak itu. Aku jadi ingat kata-kata seorang teman, “Apa yang disampaikan oleh hati akan diterima oleh hati,” begitu katanya. Absolutely agree!




Si Kucing sombong dan galak


No comments: