Semazen

Tuesday, January 1, 2013

#18. Thanatologi: Ilmu Tentang Mati

Manusia Mati Menurut Cara Hidupnya
-Maulana Rumi-

Makam Rumi di Konya
            Dahsyat sekali, Maulana Jalaluddin Rumi berhasil mengubah cara pandangku tentang kematian. Ia dengan indah menyebut saat kematian sebagai malam pengantin.  Sebuah penyatuan yang membahagiakan, bukan berpisahan yang menyedihkan. Akal modernku sulit memahami ini.  Tapi aku berusaha untuk memahaminya.
            Kemarin sore aku pulang ke Asrama lebih awal dari biasanya. Ada yang aneh sore itu. Biasanya setiap pulang menjelajah Ankara aku punya energi besar untuk menulis. Tapi kali ini tidak. Ada perasaan tidak nyaman di hati yang entah dari mana asalnya. Ada rasa sedih tanpa sebab di kedalaman sana yang membuatku tidak bisa menikmati apapun yang kulihat, kudengar dan kulakukan. Aku berpikir mungkin karena hajat utamaku ke Turki sudah terpenuhi dan sebagian besar Ankara sudah dijelajahi sehingga kebosanan mulai menerpa. Kalau begitu mungkin ini saatnya aku harus ke Istanbul untuk mengalami hal-hal baru dan memenuhi hajat kedua, menemui Sufi, begitu pikirku.
            Belum ada kabar apapun dari orang-orang yang sudah kuhubungi di Istanbul. Thomas, penyair Australia yang kutemui di makam Maulana belum juga menghubungi aku atau membalas emailku. Begitu pula Esin Celebi Bairu, wakil presiden International Mevlana Center, dan Cemalnur, Sufi perempuan yang direkomendasikan Can Guldere, malaikat dalam bis yang kutemui sepulang dari Konya. Walaupun belum ada kabar apapun dari mereka aku bertekad akan ke Istanbul segera.  Apa yang bisa kuperbuat di Istanbul bisa kupikirkan nanti setelah tiba di Istanbul, begitu pikirku.
            Untuk melupakan perasaan gelisah aku memilih tidur. Biarlah hari ini aku tak menulis karena memang tak ada kejadian menarik untuk ditulis. Tidur adalah salah satu terapiku yang cukup manjur untuk melupakan perasaan-perasaan tidak menyenangkan. Setelah bangun biasanya persepsiku terhadap sesuatu yang membuat tidak nyaman di hati akan berubah sehingga perasaanku ikut berubah. Malam pun berlalu menelan kesedihan anehku.
            Esok pagi ketika mataku terbuka perasaan itu masih ada sehingga aku agak meragukan kemanjuran terapi tidurku. Diatas toilet aku berusaha mencari disela-sela pikiranku, pikiran yang mana yang menimbulkan rasa aneh ini. Tapi percuma aku tak menemukannya. Aku tidak tahu apakah rasa sedih itu berasal dari dalam diriku atau dari luar. Rasa itu benar-benar tidak menyenangkan sehingga aku perlu mencari pengalih. Kuyalakan TV mencari channel yang menghibur walaupun tak mengerti bahasanya. Percuma, perasaan itu masih ada.
            Setelah menyantap roti dan segelas susu aku iseng menelpon kerumah di Indonesia. Seperti biasa tidak pernah tersambung. Lalu kukirim SMS mananyakan kabar semua keluarga. Aku tak berharap terkirim karena biasanya tidak pernah terkirim. Tapi kali ini terkirim. Lima menit kemudian ada jawaban yang menjawab kegelisahanku tadi malam. Nenekku, yang merawatku hingga SD meninggal tadi malam jam sembilan atau jam lima sore waktu Turki. Tidak lama kemudian adikku menelpon dan marah-marah karena sejak tadi malam aku tidak bisa dihubungi. Katanya semua orang berpikir tentang aku yang harus segera diberitahu tentang kepergian nenek. Karena  tak pernah bisa terhubung mereka mulai berpikir yang aneh-aneh. Jangan-jangan terjadi sesuatu padaku. Barangkali inilah yang disebut firasat. 

           Ini kematian kedua dalam lingkaran orang-orang yang dekat denganku sehingga aku sudah sedikit terlatih untuk menghadapi hantaman dukanya. Kematian sepupu sekaligus adik angkatku sudah memberiku pengalaman kehilangan. Walaupun aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian sebagai kewajaran tapi tetap saja aku merasa berduka. Setidaknya butuh waktu seminggu untuk benar-benar bisa menerima kepergiannya.  Dan untuk sadar bahwa kematian itu ada dan dekat. Sepanjang kematian tak terjadi pada orang-orang terdekat kita mungkin kita akan selalu menganggap kematian sesuatu yang jauh yang terjadi pada orang lain. 
            Sejak kecil aku terlalu sadar pada kematian sehingga sepanjang hidup selalu dihantui oleh rasa takut pada kematian. Aku selalu menghindar jika ada iring-iringan mayat. Aku bersembunyi agar jangan sampai melihat kerandanya karena itu akan menghantuiku semalaman dan tidak bisa tidur. Karena takut melihat mayat akupun tak pernah mau diajak melayat. Takut dihantui. Ketika seorang sahabatku meninggal akupun tak berani datang. Aku takut melihat wajahnya.  Karena bagiku wajah tanpa kehidupan benar-benar menakutkan.
            Pokonya kematian benar-benar menakutkan. Sehingga kemanapun aku pergi terutama ketika berada di atas kendaraan bayang-bayang kematian selalu mengikuti. Takut kecelakaan. Pemandangan pekuburan disepanjang jalan membuatku selalu ketakutan. Aku tak siap berada diantara orang-orang yang ditanam itu. Senja pun menjadi musuhku. Karena ia mengingatkanku pada ketakutan pada kematian. Ketakutan pada keterpisahan. Aku berusaha menghadapinya, tapi tak selalu bisa.
            Akhirnya daripada aku terus menerus dihantui oleh kematian aku memberanikan diri mempelajarinya. Syukurlah, karena tidak sulit, mestakung, semesta mendukung. Setelah mempelajari teori-teorinya aku bertemu dengan pelaku dan petualang kematian. Seorang pelancong akhirat yang tak keberatan menceritakan persiapan dan proses kematiannya sendiri. Maka ketika seorang pelancong akhirat yang lain mengatakan  bahwa kematian bukan misteri, aku dengan segera menyetujuinya. Kematian bukan misteri, manusialah yang misteri.

Pelajaran Pertama

            Pelajaran pertama tentang kematian kudapat dari Morrie Schwartz, seorang professor Yahudi  yang menjalani proses kematiannya dengan sadar dan penuh suka cita. Ia begitu menginspirasi dan mengurangi ketakutanku pada kematian. Keingintahuanku pada kematian seolah mendapat pembenaran. Ia bilang, “begitu kita ingin tahu tentang mati sama artinya kita ingin tahu tentang hidup.” Kupikir Ia sangat benar karena kematian dan kehidupan ibarat dua sisi mata uang atau siang dan malam. Aku merasa pencarianku mendapat dukungan. Ketertarikanku pada kematianpun makin bertambah. Namun aku tak tertarik pada penjelasan para penghafal kitab suci. Aku lebih suka mendengarkankan orang-orang yang mengalami kitab suci.

Pelajaran kedua: Respon orang ketika akan mati

            Rupanya aku tak sendirian. Banyak juga orang yang tertarik pada kematian  sehingga tidak sulit mendapatkan literatur tentang kematian. Bahkan ada studi khusus yang mempelajari tentang kematian. Studi ini  disebut thanatologi. Salah seorang pakar kematian atau thanatologist yang diakui secara akademik bernama Elisabeth Kubler Ross yang melihat kematian dari perspektif psikososial. Si Ibu Ross ini meneliti tentang respon orang-orang yang menjelang kematian. Dari situ kemudian Ia menyimpulkan bahwa ada lima tahap reaksi orang terutama pasien ketika diberi tahu kalau hidupnya tidak lama lagi. Pertama, mereka akan melakukan penyangkalan dengan tidak mempercayai diagnosa dokter. Pasti dokternya salah diagnosa. Namun lama-kelamaan setelah tak ada lagi alasan untuk tidak percaya pada diagnosa dokter mereka kemudian mulai mengasingkan diri dan enggan bertemu dengan orang-orang. Mereka butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit ini.
            Respon kedua, marah, gusar, cemburu dan benci. Marah karena kenapa mereka yang harus mengalami penyakit yang akan merenggut nyawa mereka bukan orang lain saja. Sehingga mereka pun mulai cemburu pada orang-orang yang sehat. Ketiga, melakukan penawaran pada yang kuasa. Setelah tak mungkin dapat mengelak dari kenyataan bahwa penyakit itu benar-benar terjadi dan menggerogoti waktu hidup yang mereka miliki, mereka kemudian melakukan penawaran pada Tuhan atau apapun yang dianggap Maha Kuasa. Mereka menawarkan seandainya diberi penundaan kematian mereka akan melakukan kebaikan atau sesuatu yang berguna. Keempat, rasa kehilangan. Setelah kematian terasa cukup dekat dan tubuh kian lemah, sikap marah, tabah, atau apatis akan segera tergantikan oleh rasa kehilangan dalam berbagai bentuk seperti keterkejutan, kecemasan, dan depresi mendalam. Kelima, menerima. Ketika si sakit mempunyai cukup waktu dan dibantu untuk melewati tahap-tahap sebelumnya maka Ia akan sampai pada tahap dimana Ia tak lagi depresi, takut atau marah pada nasibnya. Si pasien akan merasa lebih siap untuk menghadapi kematiannya sendiri. Inilah kelima tahap yang umumnya dihadapi oleh orang yang divonis mati oleh dokter. Thanatologi membantu mempersiapkan orang yang akan mati dan juga keluarganya untuk menghadapi kematian dengan wajar. Hasil penelitian ini kemudian mengilhami kegiatan pendampingan kematian.

Pelajaran ketiga: Tahap-tahap kematian

            Seorang mistikus Hindu, Sri Eknath Easwaran, membuka penjelasannya tentang kematian dengan sebuah teka-teki menarik yang diajukan pada lima bersaudara Kurawa. Teka-teki itu berbunyi, “Apakah yang paling mengherankan dalam hidup ini?” Keempat saudara Kurawa mati tanpa tahu jawabannya. Hanya pangeran tertua yang mampu menjawabnya. Ia bilang, “meskipun setiap hari melihat orang lain mati, ada banyak orang yang tak pernah berpikir bahwa dirinya sendiri akan mati.” Ini benar sekali, tapi aku merasa tak termasuk di dalamnya.
            Selanjutnya Easwaran menjelaskan, pada saat kematian jiwa tidak meninggalkan tubuh dengan mendadak akan tetapi berangsur-angsur melewati selubung-selubung yang melapisi diri sejati manusia. Setahap demi setahap kesadaran akan menarik diri dari panca indra dan masuk ke dalam pikiran. Dari pikiran lalu masuk ke dalam diri sejati. Baru setelah itu diri sejati melepaskan diri. Detailnya begini, mula-mula pintu-pintu panca indra akan tertutup sehingga kesadaran eksternal terhadap tubuh sudah tidak ada lagi. Namun walaupun kesadaran tentang dunia luar sudah tidak ada tapi kesadaran dalam pikiran  masih tertinggal seperti: keinginan-keinginan, penyesalan-penyesalan, konflik, harapan dan ketakutan-ketakutan. Ketika kesadaran tubuh dan pikiran acak ini sudah tak ada lagi maka satu-satunya isi kesadaran orang yang sekarat adalah apa yang paling sering dipikirkannya, paling kuat diperjuangkannya dan apa saja yang paling diinginkannya. Ketika diri sejati mulai meninggalkan tubuh, inti kesadaran itulah yang menemaninya ke kehidupan berikutnya. Inilah alasan mengapa dalam beberapa tradisi dibacakan ayat-ayat suci atau mantra-mantra pada orang yang sekarat. Agar pesan-pesan ayat-ayat suci itu terbawa hingga saat terakhir dan juga agar si sekarat merasa lebih tenang ketika menyongsong ajal.

Pelajaran keempat: Mengapa takut mati?

            Inilah pertanyaan terbesarku. Mengapa aku takut pada kematian? Ibnu Sina, sang ahli kedokteran yang juga filsuf dan mistikus Muslim pernah juga membahas tentang kematian. Menurutnya ada beberapa hal yang membuat manusia takut pada kematian dintaranya: pertama, karena ketidaktahuan tentang kematian. Ini terjadi karena kita tidak banyak membahas tentang kematian sehingga kita punya pandangan-pandangan yang keliru tentang kematian. Aku sepakat sekali. Kedua, karena ketidakpastian setelah kematian. Ini pun karena minimnya info tentang alam dibalik kematian. Ketiga, karena asumsi bahwa hidup berakhir setelah kematian. Ini umumnya diidap oleh orang-orang rasional yang tak percaya alam akhirat. Keempat karena ketakutan pada hukuman di neraka. O la la, tampaknya disinilah ketakutanku berada. Gambaran neraka yang ada dibuku-buku komik yang kubaca ketika kecil dulu begitu dahsyatnya hingga terbawa-bawa sampai sekarang. Beribadahkupun akhirnya lebih banyak dilandasi oleh ketakutan pada neraka itu sendiri dibanding semata-mata untuk mengenal yang diibadahi. Tapi kemudian aku memutuskan untuk tak berada pada level ini. Tidak asik.

Pelajaran kelima: Kematian bukan misteri

            Dari teori kemudian aku melanjutkan ke lapangan. Seorang Sufi perempuan yang sekaligus seorang healer mengajakku menjenguk salah seorang pasiennya yang sedang dirawat di rumah sakit. Menurutnya hidup pasiennya tinggal hitungan jam. “Kalau kamu beruntung kamu akan melihat bagaimana proses ketika nyawa meninggalkan tubuh,” katanya. Tentu saja aku berharap beruntung hari itu walaupun terbersit ketidaknyamanan karena berharap pasiennya benar-benar mati agar bisa kuamati. Aku merasa agak kejam, tapi apa boleh buat aku butuh pengetahuan itu. Ia lalu berbagi ilmunya, “Siapa bilang kematian adalah misteri, manusialah sebenarnya yang misteri.” Dengan cepat aku setuju dengannya. Manusialah yang misteri, bukan kematian, yup!
            Di ruang VIP rumah sakit seorang laki-laki usia enampuluhan tahun terbaring dengan alat bantu nafas di mulutnya. Setiap kali benafas Ia mengeluarkan bunyi dengkuran yang sangat keras. Tampak sekali Ia sangat kesulitan bernafas. Sesekali air mata keluar dari kedua matanya yang kemudian segera diseka oleh salah seorang anaknya. Aku berdiri terpaku didekatnya. Mencoba merasakan apa yang dirasakannya. Aku merasakan nafasnya tinggal sejengkal dan penyesalan yang dalam yang tak bisa Ia ungkapkan. “Kamu merasakannya?” tanya Ibu Sufi. “Iya, nafasnya sudah dileher. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk melepaskan nafas,” jawabku. “Jiwanya menjerit-jerit minta tolong,” katanya, “Ia menunggu maaf dari ibunya.”  Aku hanya bergumam, “Ooooh,” dan pikiranku melayang pada orang tuaku. Dosaku setinggi gunung pada mereka sehingga kalau aku mati sebelum mendapat pengampunan maka aku tahu bagaimana akhir hidupku.
            Rupanya hari itu aku belum beruntung. Laki-laki itu meninggal tengah malam beberapa jam setelah aku pulang.  Gagal sudah memperhatikan momen penting yang menjadi batas antara dua dunia, empiris dan non-empiris, yang nyata dan yang ghaib. Tuhan belum mengijinkan aku untuk menyaksikan.

Pelajaran keenam: Rasakan sendiri

.           Satu bulan kemudian aku diberi pengalaman yang lebih dekat. Pengalaman rasa. Laki-laki di rumah sakit itu bukan siapa-siapaku sehingga aku tak terpengaruh oleh kematiannya. Tapi bagaimana jika Ia adalah orang yang dekat denganku? Tuhan rupanya mengajariku perlahan-lahan. Ini pasti karena Dia tahu kalau aku sangat rapuh sehingga kalau diberi pengalaman yang dahsyat pasti kongslet dan tak mampu mengambil hikmahnya. Dia menjadikan adik angkatku sebagai si sekarat. Anehnya, seperti yang dikatakan Ibu Kubler-Ross, walaupun dokter bilang sudah tak ada harapan untuk sembuh karena tumor paru-paru sudah sedemikian menggerogotinya, aku memilih tak mempercayai dokter. Ini juga karena aku tak sepenuhnya percaya pada ilmu pengetahuan modern. Aku bersikukuh bahwa adikku bisa sembuh asal dimotivasi untuk hidup. Ternyata ketika akhirnya Ia benar-benar meninggal aku shock bukan main. Pengetahuanku tentang kematian seolah tak berguna karena aku tetap berduka dan menangis berhari-hari.
            Kematian nenekku ini adalah kematian kedua dalam lingkaran keluargaku. Karena sudah punya pengalaman duka sebelumnya maka aku tak begitu berduka. Aku menganggap nenekku pindah alam, itu saja. Atau mungkin juga karena aku berada jauh dari rumah sehingga tak terekspos oleh suasana duka. Namun ketika sendirian rasa kehilangan itu terasa kembali. 
            Enam bulan setelah dari Turki aku diberi pengalaman yang lebih dekat lagi, kematian sahabat berbagi misteri kehidupan, seperti Rumi dan Syams. Dia kupanggil Umi, seorang Sufi Perempuan yang dikirim kehidupan sebagai jawaban atas doaku ketika meminta ingin bertemu Sufi Perempuan yang tidak selibat,   seperti Rabi'ah Al-Adawiyah. Aku butuh Sufi yang berkecimpung di kehidupan bukan yang memisahkan diri dari hiruk pikuk dunia. Dan Umi-lah jawabannya. Dialah Syams Tabris-ku, guru yang telah membeberkan rahasia Sang Maha Hidup.  Walaupun Ia sering bercerita tentang umurnya yang tidak panjang dan sering menghitung-hitung jarak hari kepergiannya, tetapi aku selalu menyangkalnya dan menanggapinya dengan tidak serius. Umi pernah bilang bahwa permintaanya untuk mati pernah ditolak oleh Tuhan karena menurut Tuhan, hidupnya lebih berarti dibanding kematiannya. “Kalau kamu mati, hanya kamu yang senang, sedangkan kalau kamu hidup, lebih banyak orang yang senang,” kata Tuhan. Kata-kata inilah yang selalu aku pegang. Sehingga setiap kali Ia sakit, separah apapun, aku yakin Ia pasti sembuh. Karena sakit adalah bagian dari prosesnya untuk mendapat pengetahuan tentang misteri Tuhan. Aku akan dengan senang hati mendengarkan apa yang telah dipelajarinya tanpa merasakan penderitaan prosesnya. Benar-benar curang. Maka ketika Ia benar-benar pergi aku tak siap menerimanya. Aku masih ditimpa duka kehilangan walaupun akalku berkata bahwa itulah yang  terbaik untuknya. Ia lebih bahagia disana bersama kekasih sejatinya.  
            Kematian Umi membuatku sedikit mengerti apa yang dirasakan Maulana ketika kehilangan Syams. Pedih karena didera duka perpisahan dengan orang yang menyimpan rahasia Sang Kekasih. Hari-hari menjadi hampa karena tak ada lagi yang memberi kabar tentang Dia Sang Misteri. 

No comments: