Semazen

Sunday, March 31, 2013

29. Tak Ada Lagi Agama!!


“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu!?” 
-Sufi Master-

           
     
Beyond duality there is only LOVE
Malam itu Selasa malam atau malam Rabu. Seperti di Jawa, di Turki pun mengistimewakan malam rabu  dan malam Jum’at, sehingga tarekat Rifa'i pun menempatkan pertemuan rutin mereka di kedua hari itu. Seperti malam rabu minggu lalu aku berharap akan ada permainan musik setelah acara dzikir tapi ternyata tidak karena malam ini awal bulan Muharram yang di Jawa disebut Suro. Tanggal satu sampai sepuluh Muharram adalah hari berkabung bagi umat Islam Syi'ah. Karena pada hari itu tepatnya di hari kesepuluh Muharram terjadi peristiwa memilukan yang menyayat hati umat Islam khususnya yang bermashab Syi'ah, yaitu pembantaian dengan kejam cucu Nabi Muhammad, Husain oleh Mu’awiyah. Di kebanyakan tradisi Sunni peristiwa ini tidak diperingati secara khusus sehingga banyak yang tidak tahu dan tidak menganggap penting. Tapi di tradisi Syi’ah khususnya di Iran peristiwa ini merupakan salah satu yang terpenting yang diperingati dengan tangis dan rasa sakit, bahkan sampai ada yang mencambuk diri sendiri hingga berdarah-darah demi merasakan penderitaan Imam Husain ketika dibantai oleh Mu’awiyah.
            Di Indonesia khususnya di Bengkulu, masyarakat setempat mengenal tradisi tabot untuk memperingati peristiwa pilu ini. Tapi karena penghayatnya berbeda, bukan Syi'ah, maka ritual ini menjadi ajang untuk bersuka cita dibanding berduka cita. Keluargaku termasuk salah satu yang berbahagia ketika perayaan tabot tiba karena rumah makan kami menjadi laris manis dan cepat tutup.
            Untuk menghormati peristiwa itu, maka malam ini mereka tidak bermain musik, melainkan membaca sejarah Nabi dan melantunkan lagu puji-pujian untuk keluarga nabi. Semuanya dalam bahasa Turki sehingga aku tidak mengerti sedikitpun, kecuali kata Peygamber yang merujuk Nabi Muhammad. Sepanjang pembacaan kisah Nabi Muhammad, aku hanya diam berusaha betul-betul menyimak setiap kata yang diucapkan oleh Master. Akalku boleh saja tidak mengerti tapi ruhku pasti mengerti, pikirku. Ternyata efeknya cukup dahsyat. Selain tidak ngantuk aku merasa berenergi setelah pembacaan itu selesai.  Sama berenerginya ketika mendapat pengetahuan baru yang mencerahkan.
            Setelah nyanyian puji-pujian selesai Master lagi-lagi menanyakan tentang aku ke Yildiz sehingga akupun berpindah tempat duduk agar terlihat olehnya. Seperti dugaanku, setelah menanyakan kabarku Ia    pun bertanya lagi apakah aku masih punya pertanyaan. Aku bingung karena aku tidak tahu harus bertanya apalagi. Namun daripada tak ada yang bisa diperbincangkan akhirnya aku bertanya. Pertanyaan konyol yang membuatku terlihat bodoh tapi aku tak menyesal menanyakannya. Aku bertanya tentang tingkatan jiwa manusia atau nafs yang terakhir.
“Minggu lalu Master bercerita tentang tujuh tingkatan jiwa manusia atau tingkatan nafs yang harus dipahami oleh  setiap pengikut tarekat Rifa’i. Nah saya ingin tahu tentang nafs yang ketujuh itu,” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku Master spontan menertawaiku lalu menjelaskan sesuatu kepada yang hadir malam itu dalam bahasa Turki. Yildiz menerjemahkannya untukku sambil bertanya, “Masa kamu tidak tahu itu?”
Aku baru menyadari kalau pertanyaanku kurang tepat, karena bukan itu sebenarnya yang ingin kutanyakan. Sebenarnya aku ingin bertanya, apa godaan orang-orang yang tingkat spiritualnya sudah tinggi, katakanlah sudah mencapai puncak, termasuk master sendiri? Namun karena aku merasa tidak sopan bertanya seperti itu akhirnya keluarlah pertanyaan tentang tingkatan nafs itu.
“Aku tidak hafal,” bisikku pada Yildiz. 
“Begitulah orang-orang intelektual,” jawab Master dengan pandangan mengejek. “Seperti anak kecil, belum melalui yang awal sudah menanyakan yang terakhir. Lampaui dulu yang awal baru akan sampai pada yang terakhir,” jelasnya.
Master kemudian bertanya balik, “menurutmu apa nafs yang tertinggi?”
Aku tahu masih ada tingkatan nafs yang lain lagi setelah mutmainnah, tapi aku benar-benar tidak mampu mengingat namanya. Untuk mengurangi grogi dan perasaan tolol aku sedikit bercanda, “Master, anda menguji saya?”
“Ya, karena di sini saya Master sedangkan kamu bukan, saya berhak menguji kamu sedangkan kamu tidak,” katanya dengan sorot mata galaknya. Tapi aku tak terpengaruh, aku tetap menganggap Ia bercanda.
Daripada tidak menjawab, kujawab saja apa yang mampu kuingat, "nafs mutmainnah (jiwa yang tenang)" [1], kataku. 
Ia menertawaiku lagi dan menjelaskan sesuatu pada hadirin. “Kenapa kamu menganggap jiwa mutmainnah sebagai tingkatan jiwa yang tertinggi?”
Bagaimanapun aku harus memberikan argumentasiku, “Ya, karena itulah yang populer” kataku tanpa merasa bersalah. Dibuku-buku Sufi sering dibahas tentang tingkatan-tingkatan jiwa ini dan guruku sendiri pernah menjelaskannya. Tapi ketika aku memutuskan untuk fokus ke praktek daripada aspek teoritisnya, aku tidak lagi perduli pada nama-nama dan ciri-cirinya. Mendengar jawabanku lagi-lagi Master menemukan alasan untuk menertawaiku. Sebenarnya aku merasa konyol malam itu tapi aku tetap memasang muka cengengesan. Aku ikut tertawa. Menertawai diriku sendiri yang malam itu jadi bahan tertawaan mereka.
“Nafs kok ada yang populer, aneh-aneh saja kamu ini. Mengapa kamu bilang itu populer?” tanya Master lagi.
“Karena itulah yang disebut-sebut dalam Qur’an. Bukankah di Qur’an, Tuhan berkata, ‘Ya Nafs Mutmainnah, masuklah dalam surgaku…,’ jawabku mencoba membela diri.
“Ah, Aku jadi tahu Indonesia itu seperti apa. Dari kamu saja aku sudah bisa melihat, seperti apa negerimu itu.”
Ketika negeriku disebut sontak aku tidak terima. “Wah, anda tidak bisa menilai negeri saya hanya lewat saya, dong. Di Indonesia banyak orang-orang pintar. Yang ada dihadapan anda sekarang hanyalah orang Indonesia yang bodoh dan nakal,” belaku. “Cobalah datang sendiri ke Indonesia, dan rasakanlah sendiri Indonesia,” jawabku bangga.
“Ah! Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Toriq,” katanya mengingatkan pada mimpi yang kuceritakan padanya minggu lalu, “karena kamu tidak punya Syekh,” tegasnya.  Setelah diam beberapa saat, membiarkan aku dengan pikiran agak kacau, Ia kemudian menjelaskan, “Orang tidak pernah tahu level spiritualnya (nafs) sendiri, karena karena kalau Ia tahu Ia akan merasa sombong dan merendahkan orang lain, dan itu berbahaya karena bisa menurunkan levelnya. Hanya Syekh pembimbing yang bisa mengetahui tingkat nafs murid-muridnya dan membantunya agar mampu mencapai level berikutnya,” jelas Master.  
“Kalau kamu bilang gurumu banyak, bagaimana bisa? Karena setiap guru akan berbicara tentang kebenaran sesuai dengan level nafs-nya masing-masing. Apa kamu tidak akan bingung? Dan jika kamu berguru pada orang yang levelnya lebih rendah dari kamu, haram hukumnya.  Kamu mengerti itu?” tegasnya lagi dengan sorot mata tajamnya. Aku diam, menunggu apa lagi yang akan Ia katakan.
“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu?” Aku tak menjawab. Melihat tak ada respon Ia menekankan lagi pernyataannya, “TAK ADA LAGI AGAMA!!” katanya sambil menatapku tajam.
Spontan aku tertawa melihat wajahnya. “Iya, kalau tak ada lagi agama, lalu apa masalahnya?” jawabku enteng tak terpengaruh oleh kegalakannya.
Master terlihat agak kaget sebelum akhirnya berkomentar, “Hah! kamu tertawa karena kamu melihatku apa adanya,” katanya dengan wajah yang sudah tak terlalu menyeramkan. 
Sebenarnya aku tertawa karena pernyataan itu tak lagi mengusikku. Sehingga aku tak kaget dan bingung mendengarnya. Aku berpikir bahwa ketika dualitas dan lapisan-lapisan atau konstruksi-konstruksi yang menabiri pikiran manusia telah terlampaui maka semua sekat menjadi luntur termasuk sekat agama, sehingga yang terlihat kemudian hanyalah keesaan Tuhan yang termanifestasi dalam berbagai wajah. Inilah yang kupahami dari puisi Maulana Rumi:

Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim.
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut;
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar.
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api;
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan wujud dan bukan hal.
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan ari Bulgaria, bukan dari Saqsin;
Aku bukan dari kerajaan Irak, bukan dari Negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia ini, atau dari akhirat, bukan dari sorga atau neraka;
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus, bukan dari Rizwan.
Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejakku adalah tak berjejak;
Ini  bukan raga dan bukan jiwa, sebab aku milik jiwa kekasih.
Telah kubuang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa;
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang kupanggil.
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang batin;
Tak ada yang kuketahui kecuali “Ya Hu” dan “Ya man Hu.”
Aku mabuk oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu;
Aku tak berbuat apapun kecuali mabuk gila-gilaan.
kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
saat itu aku pasti menyesali hidupku.
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak denganmu,
Aku akan menyembah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi tabriz, aku begitu mabuk di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabuk dan gila-gilaan.

            Master lalu berbicara dengan murid-muridnya dan tak berapa lama beralih lagi ke aku. “Semua orang di sini ingin tahu, apa tujuanmu ke Turki?”
Aku tersenyum, “Saya datang ke Turki, pertama untuk mengunjungi Maulana, kedua untuk melihat manifestasi Tuhan di negeri Turki,” jawabku. Tujuan keduaku tampaknya tidak cukup jelas sehingga mereka masih melihatku dengan tanda tanya besar diwajahnya. “Maksudmu, bagaimana Tuhan di mata orang-orang Turki?” tanya seorang perempuan muda dari Belanda yang sudah cukup lama bergabung dengan tarekat Rifa’i.
“Orang bilang Turki negara sekuler, saya ingin tahu bagaimana Islam di negeri yang sekuler ini,” kataku. Perempuan Belanda itu mengartikan kata sekuler dengan not-religious atau tak taat beragama sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang. Aku berusaha menjelaskan bahwa sekuler yang kumaksud tidak berarti tidak relijius. Tapi tampaknya aku tidak berhasil sehingga Master merespon dengan defensif. Baginya justru Indonesialah yang tidak relijius. Dalam pemahamannya mungkin tidak relijius sama artinya dengan tak paham inti ajaran Islam yang mengutamakan perdamaian dan kasih sayang, sehingga Ia mengaitkannya dengan tindakan kekerasan. 
"Ini terbukti dari Islam di Indonesia yang cenderung keras," katanya. Aku tidak terima Islam di Indonesia dibilang keras. Aku jelaskan bahwa Islam di Indonesia justru lebih moderat dan toleran terhadap perbedaan dibanding negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain karena muslim Indonesia sudah terbiasa hidup dalam beragam keyakinan. Lalu kuceritakan tentang kesan Imam-imam Inggris yang datang ke Indonesia beberapa waktu lalu, yang kemudian berkomentar bahwa filosofi fungsi rahmatan lilalamin-nya Islam dalam bentuk tindakan di temukan di Indonesia.
“Ah, imam-imam Inggris itu jangan dipercaya,” katanya.
Aku masih ngotot, “Anda buktikan sendiri saja, bagaimana kehidupan kami di Indonesia.”
“Islam di Indonesia sangat keras. Kami melihatnya di TV,” katanya ikutan ngotot. Waduh, ini pasti gara-gara bom-bom itu, pikirku.
“TV jangan dipercaya. Anda datang sendiri saja dan rasakanlah sendiri Indonesia,” kataku dengan kepercayaan diri yang memuncak. Aku siap menjelaskan panjang lebar tentang ketinggian budaya Indonesia sehingga komentar imam-imam Inggris itu tak berlebihan, tapi waktunya sudah tak memungkinkan. Walaupun tak punya data empiris yang memadai selain candi-candi, gamelan dan tembang-tembang agung namun aku begitu yakinnya bahwa leluhur Indonesia telah sampai pada tingkat pemahaman ketuhanan yang sangat tinggi. Fakta-fakta ini siap kubeberkan kepada Master dan semua hadirin yang hadir. Tetapi ternyata aku malah malu telak ketika Ia bertanya berapa lama Indonesia dijajah Belanda. Bibirku berat mengakuinya. “Tiga ratus lima puluh tahun,” kataku ciut. 
“Kamu tahu siapa yang mengusir penjajah itu dari negerimu?” tanyanya dengan wajah yang menyimpan jawaban yang segera akan dilontarkan dengan bangga dihadapanku. 
“Kami berjuang sendiri,” kataku. Dikepalaku terbayang kegigihan Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pattimura dan Bung Tomo.
“Tidak, kamilah yang mengusir penjajah itu dari negerimu, kamu tahu itu?” Aku diam dan tak kuasa untuk tak mengakuinya karena aku pernah membaca kesultanan Aceh meminta bantuan pasukan perang dari Sultan Istanbul untuk mengusir Portugis dan Belanda dari Aceh. Aku pilu. Bagaimanapun Indonesia dan Turki mempunyai perbedaan sejarah yang menyolok, seperti bumi dan langit. Indonesia pernah dijajah Eropa ratusan tahun, sebaliknya kesultanan Turki Usmani atau Ottoman pernah menjajah Eropa ratusan tahun pula. Fakta bahwa bangsaku yang katanya besar dijajah ratusan tahun sungguh memilukan. Hatiku pilu sepilu-pilunya.


Tanah Karbala

           
Tanah Karbala
Malam sudah semakin larut dan tambah dingin. Sebelum mengakhiri acara malam itu Ia mengatakan bahwa Ia senang bertemu denganku. Tentu saja hatiku berbunga-bunga mendengarnya. “Ya, saya juga senang bertemu dengan Master,” kataku. “Aku mengatakan ini benar-benar dari dalam hatiku,” katanya sambil meletakkan tangan kanannya di dadanya. Aku tersenyum, “Saya juga mengatakan ini dari dalam hati saya”. Ia tersenyum.
            Acara malam itupun akhirnya selesai. Master beranjak dari tempat duduknya sementara aku tetap duduk di kursiku. Ia melewati meja di depanku dan menjangkau sesuatu, “kamu tahu apa ini?” aku mencoba memegang benda yang ia pegang dan berusaha mengidentifikasinya dengan penciumanku, “Ini tak ada baunya,” katanya.
“Ini tanah,” kataku. “Kamu tahu tanah apa ini?” aku menggeleng. “Ini tanah Karbala[2]. Biasanya orang menaruhnya ditempat sujud sehingga ketika sujud dahinya akan menyentuhnya. Kalau kamu dekatkan ke dadamu maka kamu akan merasakan sesuatu,” Ia mencontohkan dengan memasukkan ke saku kemejanya. “Kamu bisa merasakannya?”
“Mungkin bisa.”
“Bagaimana rasanya?”
“Saya tidak tahu, lagi pula bagaimana rasa bisa digambarkan.
”Kalau ada orang sakit dan tidak sembuh-sembuh, orang akan mengambil sedikit tanah ini, dimasukkan dalam gelas lalu diminum, maka Ia akan sembuh,” jelasnya. Aku mendengarkan penjelasannya sambil menatapi benda coklat berbentuk lingkaran yang ada ditangannya itu. Rasanya aku belum pernah melihatnya.
“Ini hadiah buat kamu” katanya, “jagalah baik-baik.”
“Terima kasih.”
“Kamu tahu apa ini?” tanyanya lagi.
“Ya, ini hadiah.”
Master dan beberapa muridnya tersenyum. Aku berpikir pastilah aku terlihat konyol lagi.

            Didalam mobil dalam perjalanan pulang Yildiz bertanya, “how to say lucky in Indonesia?” Aku bilang, “Untung. Lucky dalam bahasa Indonesia artinya beruntung?”
Kalau begitu kamu malam ini ‘untung girl’.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Master tidak gampang memberikan sesuatu. Jika Ia memberikannya itu karena Ia memang benar-benar berniat memberikannya.”
Aku tertawa, “Really? Kalau begitu aku memang ‘untung girl’. aku akan jaga baik-baik hadiah itu,” kataku.
“Sudah seharusnya,” komentar Yildiz. 
Aku tersenyum menatap keluar jendela mobil Yildiz sambil memperhatikan selat pemisah Asia dan Eropa. Setidaknya ada penyeimbang perasaan konyol, bodoh, dan piluku malam ini, untung girl!



[1] Di dalam psikologi Sufi, tingkatan jiwa manusia atau nafs dibagi menjadi tujuh. Yang pertama disebut jiwa tirani (nafs ammarah), yaitu jiwa yang condong pada kejahatan. Orang pada tingkat ini hidupnya dikendalikan oleh nafsu duniawi. Nafs kedua disebut jiwa yang penuh sesal (lawwamah). Karena pada tahap ini jiwa sudah mengenal iman namun masih sering tergoda pada keburukan sehingga ia merasa menyesal. Nafs ketiga disebut jiwa yang terilhami (malhamah) yaitu jiwa yang mulai merasakan kesenangan sejati didalam berdoa, meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Kita mulai bisa mengalami sendiri kebenaran spiritual yang selama ini hanya kita dengar atau baca. Tingkatan nafs ini dianggap paling kritis karena masih beresiko jatuh oleh godaan pujian. Nafs keempat disebut jiwa yang tentram (mutmainnah), yaitu tahapan jiwa yang dicirikan oleh kerendahan hati, kelembutan, dan ketundukan. Nafs kelima disebut jiwa yang rida yaitu yang telah ikhlas menerima segala sesuatu dalam dirinya, termasuk takdir dan segala kepahitan hidupnya sehingga jiwa ini merasakan kebebsan yang sesungguhnya. Miracle sangat mungkin bagi jiwa ini karena Tuhan menjawab doa yang tulus dari orang-orang pada tingkat ini. Nafs keenam disebut nafs yang diridai Tuhan. Pada tahap ini Tuhan pun meridainya. Disini telah terjadi penyatuan antara kehendak diri dan kehendak Tuhan. Nafs ketujuh disebut jiwa yang suci yaitu jiwa yang telah melampaui dirinya secara utuh. Tak ada diri karena yang ada hanya Tuhan. Kondisi ini umum disebut  “mati sebelum mati.”
[2] Tanah Karbala oleh tradisi Shi’ah dianggap tanah suci karena disitulah peristiwa pembantaian cucu Nabi, Imam Husein, yang merupakan imam ketiga kaum Shi’ah, berlangsung. Sebagai bentuk penghormatan mereka menjadikannya tempat sujud ketika sholat.  

No comments: