Semazen

Saturday, February 16, 2013

# 26. Haci Bayram, Mayat Kedinginan dan Trio Asker


Haci Bayram  

Makam Haci Bayram
Aku berada di Istanbul hanya tiga hari. Ayla sudah terbang ke Jerman kemarin siang tanpa sempat singgah di Grand Bazaar seperti rencana semula karena waktunya tak cukup. Aku pulang ke Ankara keesokan harinya.
            Tiba di Ankara aku tak keluar asrama seharian karena sibuk menulis semua yang kualami di Istanbul. Tapi aku bukan tipe yang betah duduk lama didepan laptop sehingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar mejelajah Ankara lagi. Satu-satunya orang yang akan selalu available adalah Mas Nasir. Maka kuhubungi orang ini untuk kuajak menjelajahi bagian kumuh Ankara dan ke makam Haci Bayram. Aku tidak tahu apa atau siapa Haci Bayram. Tapi malaikat-malaikat Turkiku selalu menyebut nama itu dan menganggap penting untuk dikunjungi. Itulah alasan utama penjelajahan mencari Haci Bayram. Untuk apa? Entah!
            Hari minggu Salju turun lumayan tebal. Ketika aku bertemu Mas Nasir kami lalu bersama-sama mencari tahu bagaimana caranya agar sampai ke Haci Bayram.  Kami menanyai beberapa orang di stasiun Metro Kızılay tapi semuanya tidak tahu bahkan sepertinya mendengar namanyapun tidak.  Aneh, kupikir Haci Bayram sangat populer, ternyata tidak.
            Namun kemudian muncul dugaan. Aku menduga Haci Bayram adalah seorang tokoh spiritual. Jika betul begitu maka tentu hanya orang-orang yang dekat dengan kehidupan relijius atau spiritual yang kemungkinan mengetahui Haci Bayram, apalagi di negeri yang tensi antara kubu sekuler dan kubu islamis masih tinggi seperti Turki ini. Maka jalan lebih mudah untuk menemukan informasi ke Haci Bayram adalah bertanya pada orang yang berpenampilan relijius, siapa lagi kalau bukan perempuan berjilbab, yang jumlahnya tidak banyak di stasiun itu.  Metodeku ternyata benar. Ketika kami berdua mendatangi seorang gadis berjilbab yang sedang menunggu di pintu masuk stasiun Ia tahu Haci Bayram dan menunjuki tempat dimana kami bisa mendatanginya, Ulus. Kami pun bergegas ke stasiun metro yang akan membawa kami ke Ulus. Keluar dari stasiun Ulus pun kami masih harus menanyai beberapa orang sebelum akhirnya sampai ke makam yang kami tuju.
            Setelah melewati jalan-jalan yang becek karena salju, kami tiba disebuah bangunan tua yang tak lagi utuh, dilokasi yang agak tinggi, seperti bukit. Bangunan itu hanya berupa dinding dan pilar-pilar. Di dinding pagar yang mengurungnya tertulis, “The Augustus temple of Ankara,” beserta keterangan tentang temple itu dan kaitannya dengan Haci Bayram. Menurut inskripsi itu, temple ini didirikan sekitar tahun 25-20 sebelum masehi untuk menghormati Augustus. Setelah pasukan Seljuk menaklukkan Ankara pada abad ke sebelas, maka dibangunlah mesjid didekatnya yang kemudian yang kemudian disebut mesjid Haci Bayram yang dibelakangnya terdapat makam Haci Bayram.

Kubah makam Haci Bayram. Salah satu  alasan mengapa makam
menarik dikunjungi adalah, ada karya seni disitu selain spiritualitasnya. 
Haci Bayram sendiri adalah seorang tokoh spiritual dari Ankara yang hidup antara 1352 dan 1430. Nama aslinya adalah Numan, namun Ia mengubahnya menjadi Bayram setelah pertemuannya dengan guru spiritual yang bernama Somuncu Baba yang terjadi pada saat lebaran kurban atau Kurban Bayrami. Haci Bayram-lah yang pernah meramalkan penaklukan kota Constantinople oleh Sultan Mehmed II yang kemudian mengubah namanya menjadi Istanbul dan juga mengubah gereja Hagia Sophia menjadi Mesjid serta membangun Blue Mosque di depannya.
            Setelah mengamati bangunan temple dan memotret inskripsinya, aku memperhatikan seorang laki-laki yang berdiri rapat menghadap dinding bangunan disebelah temple. Tadinya kupikir mereka sedang kencing karena begitu mepet dengan dinding, ternyata bedoa. Dibagian dinding yang lain beberapa orang melakukan hal yang sama. Aku mengernyit penasaran. Setelah tahu apa yang ada di balik dinding itu barulah aku mengerti.  Dibalik dinding itulah makam Haci Bayram berada. Karena bangunan makam tidak cukub besar dan untuk masuk harus melepas sepatu maka orang-orang itu memilih berdoa di luar bangunan makam. 
       Aku masuk dan menjadi turis, lalu menjadi peziarah dan menjadi turis lagi. Pertama celingak-celinguk memperhatikan keindahan interior makam dan potret sana-potret sini.  Ada lima makam di dalam bangunan makam itu. Makam Haci Bayram berukuran paling besar dengan kain penutup berwarna merah dan nisan berbentuk turban. Seperti makam Sultan Ahmet di Istanbul dan Makam Maulana di Konya, makam Haci Bayram pun berinterior indah, terutama lukisan kubahnya. Sebuah lampu hias yang juga indah tergantung di tengahnya dan sebuah pemanas berdiri di sudut ruangan. Makam-makam itu terkurung didalam pagar kayu dan orang-orang berdoa di dipinggirnya sambil berdiri diatas karpet merah yang menutupi lantainya.
            Setelah puas memotret aku menjadi peziarah. Ada perasaan berbeda di makam ini, feeling excitement inside yang membuatku merasa perlu membaca buku yasin yang sudah disiapkan dimeja kecil dekat makam. “Saya tidak kenal anda, tapi saya yakin anda orang bijaksana sehingga orang-orang ini menziarahi anda,” kataku dalam hati, pada Haci Bayram. Selesai berdo’a aku kembali menjadi turis, memperhatikan orang-orang yang datang.
            Sebuah keluarga dengan anak perempuan kecil dan bayi digendongan masuk dan berdoa. Anak kecil berwajah malaikat dan berjaket bulu pink itu tak henti-henti melihatku. Wajah asingku mungkin menarik perhatiannya. Kukeluarkan kamera dan kupotret malaikat cilik itu. Seorang laki-laki muda mengambil buku yasin yang telah disediakan dan membacanya tanpa suara. Tak lama kemudian ia keluar dan kembali dengan sekantung plastic permen aneka rasa yang lalu ia sodorkan pada semua pengujung, termasuk aku. Aku mengambil dua, satunya kumakan saat itu satunya lagi kusimpan dalam saku jacket. “Tesekkurler,” kataku. Ia tersenyum.

Mayat Kedinginan

            Sebuah ambulans berhenti disamping mesjid Haci Bayram. Kemudian sebuah peti mati di keluarkan dan diletakkan diatas meja beton disamping Mesjid. Beberapa orang bermata sembab menerima ucapan dan pelukan bela sungkawa dari orang-orang. Mereka pasti keluarga orang yang di dalam peti mati itu, pikirku.  Peti matinya tipis seukuran tubuh manusia dewasa dan sederhana. Peti mati berwarna hijau dengan selempang merah muda dibagian kepala  diletakkan begitu lama diatas meja batu di luar mesjid tanpa penutup  atau payung sehingga kejatuhan salju. Aku berpikir, tidak asik mati di musim dingin. Aku menduga selempang pink itu sebagai penanda kalau sang mayat berjenis kelamin perempuan. Ia diletakkan di meja beton bertuliskan “bayan cenaze” yang berarti jenasah perempuan. Sedangkan meja disebelahnya tertulis “bay cenaze” atau jenazah laki-laki. Di Indonesia pemandangan seperti ini tidak akan ditemui. Mayat masih sangat memungkinkan untuk di sholatkan di rumah sehingga tidak perlu di bawa ke mesjid. Kalau pun di bawa ke mesjid biasanya disholatkan di dalam masjid. Selain karena perbedaan mashab fiqih (Turki Hanafi, Indonesia Syafii), aku berpikir mungkin kultur bersandal orang Indonesia memudahkan orang untuk mencopot alas kaki untuk masuk mesjid sehingga gampang saja jenazah disholatkan dimesjid. Tapi di Turki apalagi dalam kondisi musim dingin, mencopot alas kaki sangat tidak menyenangkan. 
            Mayat itu menunggu cukup lama untuk di sholatkan. Aku sempat berputar-putar mengitari mesjid menunggu Mas Nasir selesai sholat dhuhur.      “Gila, yang sholat banyak banget. Hampir penuh lho di dalam, padahal ini bukan hari Jum’at,” kata Mas Nasir setelah keluar dari mesjid menunaikan sholat dhuhurnya. “Mungkin sebagian karena para pelayat itu,” kataku. Tidak lama kemudian orang-orang lalu berkumpul disekitar mayat. Ketika sang Imam keluar barulah sholat jenazah itu di mulai. Aku berada di belakangnya. Mencari jarak memotret yang tak mengganggu sholat mereka.

Trio Asker

            Setelah kerumunan bubar kami berdua menuju kedai kecil sarat pengunjung disalah satu sudut bangunan temple. Kami masuk dan mencari tempat duduk yang masih kosong untuk mengisi perut dan menghangatkan badan. Tapi ternyata mereka tidak menjual makanan, hanya minuman, teh dan kopi. Pengunjung umumnya laki-laki berumur yang hampir semuanya merokok sehingga kedai itu penuh dengan asap. Hanya ada dua orang wanita yang juga ikut merokok bersama para lelaki itu, selebihnya aku. Kami memesan dua gelas teh. Sambil menunggu teh datang aku memperhatikan seisi ruangan kedai itu. Tidak berapa lama kemudian tiga orang laki-laki muda datang dan duduk bersama kami. Mereka mengaku sebagai asker atau tentara, tepatnya mereka adalah penduduk sipil yang sedang menjalani wajib militer. Mereka bernama Ramazan, Adem, dan Selim. Diantara ketiga orang ini hanya Adem yang sudah menikah. Dialah yang terlihat paling ceria dan lucu sementara dua lainnya masih agak jaim. Adem pulalah yang bahasa Inggrisnya lebih baik. 

Trio Asker: Ramazan, Adam, Selim, dan malaikat Indonesia
            Kami pun cepat akrab. Ketika membahas tentang huruf dalam nama-nama kami sampailah kami pada huruf yang tak dimiliki Turki yaitu w, x dan q. “Kalian tidak punya huruf q kan?” kataku sambil ketawa. Ramazan yang paling tidak bisa bahasa Inggris tampak bingung. Ketika aku bilang qaf ( ) barulah ia mengerti. Selim keliru menuliskan huruf  qaf, ia menulis ghinﻍ)   ) sehingga Adem tertawa. “Selim Muslim yang buruk,” komentarnya mengejek. Sementara Ramazan Ia sebut Imam yang buruk karena sering mangkir dari pendidikan Imam. Di Turki imam mesjid ditunjuk dan digaji oleh pemerintah, tidak seperti di Indonesia yang ditunjuk oleh masyarakat dan digaji oleh, entahlah! Di Turki imam adalah profesi, tidak sekedar pengabdian. Ramazan adalah salah seorang yang menempuh pendidikan untuk menjadi Imam mesjid. Adem sering mengejeknya dengan menyebutnya masyaallah dengan nada Arab yang difasih-fasihkan. Sementara Ia menyebut dirinya sendiri Muslim yang baik tanpa menyebut alasannya walaupun untuk lelucon. 
            Tiga orang sahabat karib ini rupanya sering berkunjung ke makam Haci Bayram untuk berdoa. Tiap akhir pekan mereka selalu datang dan bertemu di kedai teh ini. Untuk menghilangkan jenuh di camp tentara, kata mereka. Aku tertawa, “wah, laki-laki Indonesia lebih beruntung dong, karena tidak harus menjalani wajib militer,” kataku. Mereka mengiyakan dan bercerita betapa tidak enaknya hidup di barak tentara. 
            Tiba-tiba orang-orang dalam kedai bertepuk tangan riuh dan suasana menjadi agak gaduh. “Ada apa?” tanyaku pada Adem. “Erdoğan sedang pidato,” jawabnya. Erdogan adalah perdana menteri Turki dari partai Islam yang dua kali terpilih. Orang Turki yang sudah agak muak dengan pemerintahan sekuler Turki berharap banyak dari perdana menteri ini. Rupanya orang-orang dalam kedai itu sedang menyimak pernyataan sikap Turki yang disampaikan oleh sang Perdana menteri terhadap serangan Israel ke Palestina yang banyak menewaskan anak-anak. Mereka memberi applaus meriah pada ketegasan sikap Turki terhadap Israel. 

...

No comments: