Semazen

Monday, February 25, 2013

27. Malaikat Pengangkat Koper




Apartment Yildis
            Hari pertama tahun baru aku berangkat ke Istanbul untuk yang kedua kalinya. Kali ini tak akan pulang lagi ke Ankara karena tiga hari lagi harus terbang pulang ke Indonesia. Dua malaikat Indonesiaku –Mas Nasir dan Yan- mengantar hingga ke terminal bis. Sama seperti aku, kedua malaikatku ini juga kurang tidur karena semalaman dihabiskan untuk menongkrongi pergantian tahun di rumah salah satu staff KBRI di Ankara bersama staff KBRI yang lain. Pak Hidayat, second secretary kedutaan-lah yang mengajak kami bertiga dan beberapa orang mahasiwa S3 untuk bergabung merayakan tahun baru. Malam itu kerinduanku pada tomyam  ikan Indonesia yang panas dan pedas akhirnya terpenuhi. Bahagianya tidak ketulungan. Aroma daun salam, sere, lengkuas, dan cabe segar benar-benar mengobati rinduku pada kuliner Indonesia.
            Ada rasa berat meninggalkan Ankara karena aku sudah terlanjur mengenal banyak orang dan banyak tempat asik di Ankara. Aku menikmati menjadi orang asing di Ankara karena dengan modal wajah asing Asiaku banyak orang Turki yang penasaran, terutama bapak-bapak, yang setelah kujawab dari Indonsia selalu bertanya, tepatnya memastikan bahwa aku seorang Muslim. Bahkan ada yang begitu yakinnya kalau aku pasti Muslim sehingga langsung mengucap salam. Pernah suatu kali aku ingin iseng menjawab Buddha, Nasrani atau Hindu hanya untuk mengetahui respon mereka tapi tak pernah sampai hati kulakukan.
            Sampai di Otogar aku langusng menuju salah satu loket Bis. Ketika salah seorang petugas loket menanyakan namaku aku menyebutkannya dalam pronunciation Turki, “Naciye”. Seorang petugas loket lain yang duduk disebelahnya langsung cekikikan. Aku ikut tertawa karena aku tahu kenapa ia tertawa. Melihat wajah non-Turkiku Ia pasti tak berharap mendengar nama itu, yang Turki banget dan mungkin ndeso. Sama alasannya ketika aku menertawai Abdullah, brondong Turki yang kami temui di lokanta tempat biasa aku makan siang. Ketika itu semua meja penuh pengunjung sehingga aku dan Mas Nasir bingung harus duduk dimana. Seorang pemuda Turki berwajah ganteng menawari kursi sebelahnya. Walaupun Ia tidak bisa bahasa Inggris sama sekali tetapi Ia terlihat ingin sekali berbicara dengan kami, tapi sayang kami pun tak bisa bahasa Turki. Kami pun tetap bisa berbincang akrab dengan bahasa Tarzan. Ketika kutanya namanya Ia bilang Abdullah. Melihat wajahnya yang cenderung bule aku tidak berharap Ia bernama Abdullah karena gambaran yang muncul di kepalaku adalah si tukang siomay keliling langgananku yang pecicilan, sehingga aku cekikikan setelah Ia pergi. “Ganteng-ganteng gitu kok namanya Abdullah sih, Pak, bukannya Thomas atau Richard, atau siapalah,” kataku pada Mas Nasir.  Ia setuju. “Tuh, kamu rugi kan, Naj, enggak bisa bahasa Turki. Ada cowok ganteng gitu, lewat deh,” kata Mas Nasir. Kami berdua cekikikan. Iya ya, keindahan Tuhan yang nemplok diwajahnya jadi tidak bisa dinikmati lebih lama. Tapi sebenarnya nama itu cocok untuknya karena dengan wajah indah yang terpasang di mukanya ia masih sangat baik hati dan tidak sombong. Mungkin dia tidak sadar kalau dirinya ganteng, dan itulah sebenarnya yang membuatnya lebih ganteng :). 

Taksim Square di waktu malam
            Aku tiba di Istanbul hampir jam tujuh malam. Kali ini tak banyak kemudahan yang kudapat seperti pertamakali ke Istanbul sehingga hampir semuanya kulakukan sendirian. Aku tak terlalu berharap akan ada lagi malaikat penolong karena aku sudah tahu bagaimana menjelajahi Istanbul. Pengetahuanku membuatku tak lagi berdoa memohon pertolongan. Minggu lalu aku tak punya bayangan apapun tentang Istanbul sehingga benar-benar memasrahkan nasib pada kuasa tangan tak terlihat. Pertolongan itupun datang dan menjadi momen ajaib yang membuatku tertawa, bersyukur dan bertambah yakin pada kuasa tangan tak terlihat. Kali ini pengetahuanku membuatku merasa mampu mengendalikan nasibku sendiri. Aku tahu akan turun dimana dan situasinya seperti apa, lalu harus kemana. Aku malu untuk meminta pertolongan lagi pada tangan tak terlihat.
            Bis yang kutumpangi ternyata tak menyediakan shuttle bus dari terminal ke tempat tujuan sehingga aku harus menyeret koperku yang cukup berat dan menggendong ranselku yang juga berat menuju halte bis kota yang akan menuju ke Taksim Suare. Lumayan membuatku ngos-ngosan karena separuh isinya adalah buku. Begitu pula ketika naik ataupun turun dari bis, aku harus melakukannya sendiri, tak ada yang menolong. Dari taksim square aku harus kembali menyeret koper sambil menggendong ransel menuju apartement Yildiz. Untuk sampai ke sana aku harus menuruni anak tangga kecil-kecil dan tak rata yang cukup banyak. Roda koporku sampai patah karena terbanting sehingga aku semakin kesulitan menyeretnya. Seorang laki-laki yang melintasi jalan diujung undakan rupanya tahu kesulitanku. Ia naik dan mengambil alih koperku, “sini aku bantu.” katanya. 
“Terima kasih. Salah satu rodanya tadi patah sehingga sulit digeret,” kataku. Aku tertawa dalam hati, rupanya Tuhan tak tega juga melihatku sehingga perlu mengirim malaikat pengangkat koper, hehe...
Setelah sampai di jalan aspal yang gelap lalu kami berdua pun mengobrol.
“Kamu dari mana?”
“Indonesia.”
“Aku pernah ke Indonesia, terutama ke Sumatera,” katanya. Tentu saja aku senang mendengarnya, setidaknya Ia pernah melihat kecantikan negeriku. Kukatakan padanya kalau keluargaku tinggal di Sumatera, di Bengkulu. Tapi sayang Ia tak kenal kota itu.
“Aku suka Indonesia,” katanya, “walaupun penduduknya miskin-miskin tapi mereka baik-baik.” Kalimat ini agak tidak menyenangkan dikupingku, tapi karena Ia telah menjadi malaikat pengangkat koper aku tertawa saja mendengarnya. Ia kemudian memberiku informasi tentang sinagog, komunitas Yahudi dan Nasrani di Istanbul ketika kuberi tahu kalau aku mempelajari agama dan budaya. Obrolan itu terhenti ketika Yildiz menelponku untuk kesekian kalinya karena tak juga menemukan bayanganku disekitar apartemennya. “Naj, kamu harus berhati-hati dengan orang asing,” katanya ketika kuberi tahu aku sedang ngobrol dengan seseorang. Ah, bagaimana bisa aku tidak mempercayai malaikat pengangkat koperku, Yildis.


Area Sultan Ahmet 
...

No comments: