"Hanya orang yang tidak punya keinginan untuk menjadi guru spiritual-lah
yang layak dijadikan guru spiritual."
-Idries Shah-
Ayla
seorang Ibu empat anak berusia 47 tahun yang dua tahun lalu memilih bercerai
dari suaminya karena sang suami dinilainya tidak bisa menerima jalan hidup yang
Ia tempuh. Ia tidak terlihat seperti wanita usia 47 tahun atau ibu beranak
empat karena Ia terlihat begitu bugar, energik dan muda. Menurutnya itu karena
Yoga. Ia dibesarkan di Libya dari orang tua yang berasal dari Malta. Tapi
kemudian Ia pindah ke Jerman dan menikah dengan laki-laki Jerman. Ia dinikahkan
oleh Imam Mesjid Turki di Jerman.
Ayla
selalu kebingungan setiap kali orang Turki yang kami jumpai menanyakan asalnya.
“Jika aku jawab Jerman orang-orang itu tidak akan percaya, jika aku jawab Malta
atau Libya mereka juga tidak tahu dimana itu dan aku juga tidak begitu kenal
kota itu karena hidupku lebih banyak di Jerman,” katanya. Ayla berkulit gelap
sehingga orang Turki mungkin meragukan ke-Jermanannya.
Di
Jerman Ia mempunyai seorang guru spiritual, yaitu pembimbing yoganya. Seorang
laki-laki yang menurutnya sangat tampan sehingga banyak murid-murid Yoga yang
kebanyakan perempuan menyukainya. Tapi sang guru sadar posisinya sehingga Ia
tidak tergoda. Ayla yakin Ia benar-benar tulus dan mampu mengendalikan dirinya.
Namun suatu saat Ayla merasa bahwa sang guru spiritual mulai menikmati perannya
sebagai guru. Ia menikmati kebutuhan dan kekaguman murid-muridnya terhadap
dirinya. Sehingga Ia pun memilih meninggalkannya.
“Aku jadi Ingat Idries Shah,” kataku.
“Ya, aku juga membaca buku-bukunya,”
jawab Ayla. Idrish Shah adalah seorang penulis Sufi cukup terkenal di Barat
yang pernah bercerita mengenai guru-guru spiritual jenis ini. Menurutnya banyak
guru spiritual yang sebenarnya membutuhkan pengikutnya bukan sebaliknya. Guru
spiritual jenis ini masih menginginkan pemujaan dan pelayanan dari para
pengikutnya. Menurut Idries Shah hanya orang yang tidak punya keinginan untuk
menjadi guru spirituallah yang layak dijadikan guru spiritual.
Ayla
mulai mempelajari Sufism karena merasa tidak cukup di Yoga. Selain itu karena
Ia ingin mempelajari jalan spiritual yang berakar dari tradisi agamanya sendiri
yaitu Islam. Ia lalu membaca buku-buku Sufi dan merasa cocok sehingga tidak
perlu berkoflik batin lagi karena Sufisme berakar Islam. Pengalamanku hampir
mirip. Sebelum belajar tentang Sufism aku mampir dulu di Zen Buddhism, yang menurutku
memudahkan aku untuk memahami Sufism.
Ayla
membaca semua buku Reshad Feild, yang
salah satunya menjadi guiding book-ku
ke Turki, dan buku-buku Idries Shah disamping buku-buku Sufi yang lain. Ayla
datang ke Turki karena ingin bertemu langsung dengan Sufi yang selama ini hanya
ia pelajari lewat buku. Ketika browsing tentang tarekat Alawi di Internet tanpa
sengaja Ia menemukan website tarekat Rifa’i. Dari situlah Ia berkenalan dengan
Yildiz.
***
Istanbul
pagi itu hujan. Sambil menikmati teh buatan Ayla, aku bilang, “lihat, di luar
hujan, apakah kita akan di rumah saja?”
“No, aku datang ke Istanbul tidak
untuk diam di rumah saja. Aku ingin ke luar melihat Istanbul.”
“Kalau begitu ayo kita keluar, karena
aku juga tidak mau begitu.”
“Let’s
go,” katanya. Kami segera mengambil jaket, syal, tas, memasang sepatu, dan
keluar pintu. Kami berdua berjalan menyusuri jalan yang ditunjuki Yildiz tadi
malam. Udara terasa sangat dingin. Hujan bercampur salju disertai angin kencang
sehingga aku kadang bertahan agar tak terbawa angin. Tiba di jalan raya
istiklal dekat gereja besar yang ramai orang berlalu lalang kami berhenti untuk
membeli payung dan sarung tangan. Di jalan itu pula kami menemukan tulisan
Mevlana Kultur Merkezi atau pusat kebudayaan Maulana.
“Aku harus ke sana,” kata Ayla.
“Karena saat ini aku tidak bisa ke Konya untuk mengunjungi Maulana, setidaknya
aku bisa melihat museumnya yang di sini,” lanjutnya.
Tidak
jauh dari situ kami menemukan toko buku. Kami pun masuk dan menemukan banyak
buku berbahasa Inggris yang menarik di lantai tiga. Dari toko buku kami
melanjutkan pencarian Mevlana Museum dengan menanyai banyak orang. Kami
berjalan cukup jauh tapi tidak menemukannya hingga seorang laki-laki menunjuki jalannya.
Kami kebablasan lumayan jauh. Sampai dipintu gerbang museum kami membaca
tulisan, “Museum Mevlana sedang dalam perbaikan, tutup hingga beberapa bulan.”
Aku spontan tertawa membawa tulisan
itu, “it closes for few months, Ayla, not
days. Artinya tak bisa ditunggu besok atau lusa, hahaha...". Ayla tampak sangat
kecewa. Kami berdiri lama dipintu gerbang sambil mengamati bangunan di
dalamnya. Tampak sebuah green dome
ukuran besar yang benar-benar menyerupai green
dome yang di Konya. Lingkungannya terlihat tak terawat. Banyak duan-daun
berserakan. Ayla mencoba mendorong pintu gerbang namun terkunci rapat. Dari dalam pagar seekor kucing besar memelototi kami. Dengan kecewa kami melanjutkan perjalanan.
“Aku harus membeli souvenir Maulana,” gumam Ayla.
Kami
bertanya bagaimana caranya ke Ayasofya pada seorang laki-laki yang kami temui
ketika sedang berjalan menuruni jalan pertokoan. Seorang Turis dari Iran.
Karena baru tiga hari di Istanbul ia tidak tahu banyak tentang informasi yang
kami butuhkan. Sebagai gantinya Ia mengajak kami ke hotelnya agar kami bisa
bertanya pada bagian informasi hotel. Dari petugas informasi itu kami tahu
bagaimana caranya ke Hagia Sophia dan Blue Mosque atau Istana Topkapi. Ada trem
yang bisa membawa kami kesana tapi kami memilih untuk jalan kaki. Lumayan jauh tapi kami jadi kenal Istanbul
lebih dalam. Curiosity memberi energi cukup tinggi yang membuat kami
berjalan tanpa merasa lelah.
Setelah
melewati jembatan Galata dan orang-orang yang memancing di pinggir jembatan
kami tiba disebuah Mesjid yang di depannya banyak burung merpati. Kami sempat
memotret dan berfoto dengan burung-burung itu. Sebagian merpati berderet di
dinding mesjid yang menonjol. “Lihat, mereka juga kedinginan,” kata Ayla
menertawai merpati-merpati itu. Kami mengira mesjid itu adalah Blue Mosque.
Kami lalu masuk dan mengamati bagian dalamnya. Dinding dalam Mesjid berhiaskan
ornament yang didominasi warna biru. Ayla membuka guide book Istanbul berbahasa
Jermannya untuk mencari keterangan tentang mesjid itu. Motif-motif sulur dan
geometri menghiasi atap tiap kubah dan dinding. Begitu pula kaligrafi. Kata
Allah dan Muhammad berada di kubah utama diatas tempat Imam shalat, sedangkan
nama-nama empat sahabat Nabi berada di empat penjuru ruangan mesjid. Tidak
banyak orang dalam mesjid. Beberapa orang berfoto-foto di dalamnya. Aku sempat
berpikir, mesjid ini tidak terlalu istimewa untuk menjadi sangat terkenal. Kami
pun tidak menemukan tulisan Blue Mosque atau Sultan Ahmet Mosque. Ketika keluar
aku menemukan tulisan, “Eminönü Yeni
Camii 1597-1663, New Mosque.” Artinya Mesjid itu bernama Mesjid Eminonu
Baru. Bukan Blue Mosque, Tapi Ayla masih percaya bahwa itulah Blue Mosque.
Tidak
jauh dari Mesjid ada bangunan lain mirip mesjid yang ternyata adalah makam
Sultan Ahmet dan beberapa makam lain. Kami mengambil kerudung yang disediakan
dipintu lalu masuk dan berdo’a di dalamnya sambil mengamati interior makam yang
juga tak kalah indah dengan interior mesjid.
Dari
mesjid itu kami berniat ke Ayasofya atau Hagia Sophia, sebuah gereja yang kemudian jadi mesjid lalu sekarang jadi museum, yang menurut buku tidak jauh dari Blue
Mosque dan menurut yang kubaca berhadapan dengan Blue Mosque tapi disitu aku
tidak menemukan tanda-tandanya. Kami lalu bertanya pada orang-orang yang
kemudian menunjukkan arahnya. Kami terus saja berjalan mengikuti petunjuk yang
diberikan. Orang-orang di Istanbul tidak seramah di Ankara. Mereka bersikap
lebih cuek tapi lebih banyak yang berbahasa Inggris. Ya maklumlah, Istanbul
kota tujuan wisata sehingga banyak kontak dengan orang-orang asing.
Makanan
di Istanbul tentu saja lebih mahal, dua kali lipat dibanding Ankara, tapi
rasanya lebih mudah diterima lidah sehingga di Istanbul aku suka makan. Apa
saja yang aku beli semuanya terasa enak.
Sepanjang jalan menuju Ayasofya kami sering ditegur laki-laki yang
dengan ramah menawarkan bantuan tapi ujung-ujungnya ingin kami melihat karpet
di tokonya. “Anda tidak harus beli,” kata para lelaki itu. Kami menolak halus
dan terus saja berjalan. Ayla sudah sangat berpengalaman menjadi turis sehingga
tidak mempan trik seperti itu.
“Dengan keramahan mereka itu kadang
kita dibuat tidak berkutik dan akhirnya membeli sesuatu yang sebenarnya tidak
kita inginkan,” jelas Ayla. “Mereka akan terus memaksa dengan cara yang sangat
sopan dan halus,” tambahnya. “Bahkan kadang menceritakan hal-hal yang
menyedihkan tentang keluarganya, yang ibunya sakitlah, anaknya butuh makanlah,
bla bla…bla…karena mereka ramah itulah kadang kita merasa tidak enak,”
jelasnya. Aku tertawa, “dimana-mana sama saja.”
Kami
akhirnya tiba di Ayasofya. Kami keliru jalan sehingga memutari Ayasofya yang
begitu besar untuk sampai ke pintu masuk. Karena kami merasa sudah terlalu sore
kami tidak jadi beli tiket. Rasanya rugi membayar 20 YTL kalau hanya punya
waktu satu jam untuk melihat-lihat Ayasofya sebelum tutup. Kami lalu berjalan
ke mesjid di depannya. Aku yakin itulah Blue Mosque tapi Ayla masih tidak
percaya karena menganggap mesjid yang pertama kami temui itulah Blue Mosque.
Kami kemudian masuk untuk meyakinkan diri. Benar saja, setelah kami tanya pada
orang disekitar situ, itu memang Blue Mosque. “Lalu mesjid yang kita kunjungi
tadi apa?” tanya Ayla. “Little Blue
Mosque,” kataku tertawa menang. “Ok,
let’s name it baby Blue Mosque,” usul Ayla.
Kami
lalu masuk, tanpa perlu membayar. Di pintu masuk sudah disediakan kantung
plastic untuk membungkus sepatu yang harus ditenteng. Mesjid ini berhadap-hadapan
langsung dengan Ayasofya dengan taman sebagai pemisahnya. Menurut keterangan
mesjid ini memang dibangun oleh Sultan Ahmet untuk menyaingi Ayasofya. Semangat
kompetisinya memang terasa. Walaupun begitu Ayasofya tetap terlihat lebih
besar.
Mesjid
ini dibangun pada tahun1609-1616, dan satu-satunya mesjid yang sejak awal
dibangun dengan enam menara. Pada umumnya mesjid di Turki mempunyai empat, dua
atau satu menara. Mesjid ini pun menjadi contoh arsitekstur Turki klasik. Begitu keterangan singkat di minicards yang kuambil di Hotel orang
Iran itu.
Didalam
mesjid terdapat banyak pengunjung. Aku dan Ayla sering mencuri dengar
keterangan para guide Turki yang menjelaskan tentang mesjid ini dan tentang
Islam di Turki. Ada guide yang membawa Turis dari Indonesia, keluarga Tionghoa yang sempat melihatku tapi ragu untuk menyapa..
Blue
Mosque sangat besar dan di dalam sangat luas, sehingga mafhum kalau menjadi
sangat terkenal disamping karena interiornya memang Indah. Sebenarnya tidak
begitu beda dengan mesjid-mesjid yang lain, karena mesjid di Turki arsitektur
dan interiornya nyaris sama semua. Yang membuatnya beda adalah ukuran dan story-nya. Disebut Blue Mosque karena
memang warna motif interiornya kebanyakan biru tetapi sebenarnya tidak terlalu
dominan karena yang dominant adalah krem coklat, tapi biru terlihat lebih
menyolok.
Dari
Blue Mosque kami berjalan untuk mencari stasiun trem. Kami sempat keliru jalan
lagi sehingga sampai disebuah pasar kecil yang menjual aneka buah-buahan dan
sayuran. Sore ini Yildiz berniat mengajak kami makan ikan di restoran dekat
jembatan Bosporus, sehingga aku dan Ayla harus pulang lebih awal agar masih
punya kesempatan menyegarkan badan dan merapikan penampilan.
No comments:
Post a Comment