Semazen

Saturday, January 12, 2013

# 22. Ayla, Guru Spiritual, dan Blue Mosque

"Hanya orang yang tidak punya keinginan untuk menjadi guru spiritual-lah 
yang layak dijadikan guru spiritual."
-Idries Shah-

            Rabu, tanggal 24 Desember, pagi-pagi sekali Yildiz sudah berangkat kerja di apotik milik orang tuanya sehingga aku dan Ayla tidak sempat bertemu dengannya. Apartement Yildiz berada di lantai 4 di daerah Taksim Square, tidak jauh dari jembatan Galata. Karena hanya berdua di rumah aku dan Ayla mempunyai kesempatan ngobrol lebih banyak. Ternyata aku dan Ayla mempunyai banyak kesamaan pengalaman dan pandangan terutama tentang spiritualitas sehingga kami menjadi sangat dekat. Ia kemudian menjadi teman yang asik menjelajahi Istanbul, maka Ia pun menjadi malaikatku yang ke sembilan belas, karena tanpa Ayla aku tidak punya teman yang asik menyusuri kota Istanbul maupun berdiskusi tentang Sufi.
            Ayla seorang Ibu empat anak berusia 47 tahun yang dua tahun lalu memilih bercerai dari suaminya karena sang suami dinilainya tidak bisa menerima jalan hidup yang Ia tempuh. Ia tidak terlihat seperti wanita usia 47 tahun atau ibu beranak empat karena Ia terlihat begitu bugar, energik dan muda. Menurutnya itu karena Yoga. Ia dibesarkan di Libya dari orang tua yang berasal dari Malta. Tapi kemudian Ia pindah ke Jerman dan menikah dengan laki-laki Jerman. Ia dinikahkan oleh Imam Mesjid Turki di Jerman.
            Ayla selalu kebingungan setiap kali orang Turki yang kami jumpai menanyakan asalnya. “Jika aku jawab Jerman orang-orang itu tidak akan percaya, jika aku jawab Malta atau Libya mereka juga tidak tahu dimana itu dan aku juga tidak begitu kenal kota itu karena hidupku lebih banyak di Jerman,” katanya. Ayla berkulit gelap sehingga orang Turki mungkin meragukan ke-Jermanannya.
            Di Jerman Ia mempunyai seorang guru spiritual, yaitu pembimbing yoganya. Seorang laki-laki yang menurutnya sangat tampan sehingga banyak murid-murid Yoga yang kebanyakan perempuan menyukainya. Tapi sang guru sadar posisinya sehingga Ia tidak tergoda. Ayla yakin Ia benar-benar tulus dan mampu mengendalikan dirinya. Namun suatu saat Ayla merasa bahwa sang guru spiritual mulai menikmati perannya sebagai guru. Ia menikmati kebutuhan dan kekaguman murid-muridnya terhadap dirinya. Sehingga Ia pun memilih meninggalkannya.
“Aku jadi Ingat Idries Shah,” kataku.
“Ya, aku juga membaca buku-bukunya,” jawab Ayla. Idrish Shah adalah seorang penulis Sufi cukup terkenal di Barat yang pernah bercerita mengenai guru-guru spiritual jenis ini. Menurutnya banyak guru spiritual yang sebenarnya membutuhkan pengikutnya bukan sebaliknya. Guru spiritual jenis ini masih menginginkan pemujaan dan pelayanan dari para pengikutnya. Menurut Idries Shah hanya orang yang tidak punya keinginan untuk menjadi guru spirituallah yang layak dijadikan guru spiritual.
            Ayla mulai mempelajari Sufism karena merasa tidak cukup di Yoga. Selain itu karena Ia ingin mempelajari jalan spiritual yang berakar dari tradisi agamanya sendiri yaitu Islam. Ia lalu membaca buku-buku Sufi dan merasa cocok sehingga tidak perlu berkoflik batin lagi karena Sufisme berakar Islam. Pengalamanku hampir mirip. Sebelum belajar tentang Sufism aku mampir dulu di Zen Buddhism, yang menurutku memudahkan aku untuk memahami Sufism.
            Ayla membaca semua buku Reshad Feild, yang salah satunya menjadi guiding book-ku ke Turki, dan buku-buku Idries Shah disamping buku-buku Sufi yang lain. Ayla datang ke Turki karena ingin bertemu langsung dengan Sufi yang selama ini hanya ia pelajari lewat buku. Ketika browsing tentang tarekat Alawi di Internet tanpa sengaja Ia menemukan website tarekat Rifa’i. Dari situlah Ia berkenalan dengan Yildiz.

***
            Istanbul pagi itu hujan. Sambil menikmati teh buatan Ayla, aku bilang, “lihat, di luar hujan, apakah kita akan di rumah saja?”
“No, aku datang ke Istanbul tidak untuk diam di rumah saja. Aku ingin ke luar melihat Istanbul.”
“Kalau begitu ayo kita keluar, karena aku juga tidak mau begitu.”
Let’s go,” katanya. Kami segera mengambil jaket, syal, tas, memasang sepatu, dan keluar pintu. Kami berdua berjalan menyusuri jalan yang ditunjuki Yildiz tadi malam. Udara terasa sangat dingin. Hujan bercampur salju disertai angin kencang sehingga aku kadang bertahan agar tak terbawa angin. Tiba di jalan raya istiklal dekat gereja besar yang ramai orang berlalu lalang kami berhenti untuk membeli payung dan sarung tangan. Di jalan itu pula kami menemukan tulisan Mevlana Kultur Merkezi atau pusat kebudayaan Maulana.
“Aku harus ke sana,” kata Ayla. “Karena saat ini aku tidak bisa ke Konya untuk mengunjungi Maulana, setidaknya aku bisa melihat museumnya yang di sini,” lanjutnya.
            Tidak jauh dari situ kami menemukan toko buku. Kami pun masuk dan menemukan banyak buku berbahasa Inggris yang menarik di lantai tiga. Dari toko buku kami melanjutkan pencarian Mevlana Museum dengan menanyai banyak orang. Kami berjalan cukup jauh tapi tidak menemukannya hingga seorang laki-laki menunjuki jalannya. Kami kebablasan lumayan jauh. Sampai dipintu gerbang museum kami membaca tulisan, “Museum Mevlana sedang dalam perbaikan, tutup hingga beberapa bulan.”
Aku spontan tertawa membawa tulisan itu, “it closes for few months, Ayla, not days. Artinya tak bisa ditunggu besok atau lusa, hahaha...". Ayla tampak sangat kecewa. Kami berdiri lama dipintu gerbang sambil mengamati bangunan di dalamnya. Tampak sebuah green dome ukuran besar yang benar-benar menyerupai green dome yang di Konya. Lingkungannya terlihat tak terawat. Banyak duan-daun berserakan. Ayla mencoba mendorong pintu gerbang namun terkunci rapat. Dari dalam pagar seekor kucing besar memelototi kami. Dengan kecewa kami melanjutkan perjalanan. “Aku harus membeli souvenir Maulana,” gumam Ayla.
            Kami bertanya bagaimana caranya ke Ayasofya pada seorang laki-laki yang kami temui ketika sedang berjalan menuruni jalan pertokoan. Seorang Turis dari Iran. Karena baru tiga hari di Istanbul ia tidak tahu banyak tentang informasi yang kami butuhkan. Sebagai gantinya Ia mengajak kami ke hotelnya agar kami bisa bertanya pada bagian informasi hotel. Dari petugas informasi itu kami tahu bagaimana caranya ke Hagia Sophia dan Blue Mosque atau Istana Topkapi. Ada trem yang bisa membawa kami kesana tapi kami memilih untuk jalan kaki.  Lumayan jauh tapi kami jadi kenal Istanbul lebih dalam. Curiosity memberi energi cukup tinggi yang membuat kami berjalan tanpa merasa lelah. 
 
            Setelah melewati jembatan Galata dan orang-orang yang memancing di pinggir jembatan kami tiba disebuah Mesjid yang di depannya banyak burung merpati. Kami sempat memotret dan berfoto dengan burung-burung itu. Sebagian merpati berderet di dinding mesjid yang menonjol. “Lihat, mereka juga kedinginan,” kata Ayla menertawai merpati-merpati itu. Kami mengira mesjid itu adalah Blue Mosque. Kami lalu masuk dan mengamati bagian dalamnya. Dinding dalam Mesjid berhiaskan ornament yang didominasi warna biru. Ayla membuka guide book Istanbul berbahasa Jermannya untuk mencari keterangan tentang mesjid itu. Motif-motif sulur dan geometri menghiasi atap tiap kubah dan dinding. Begitu pula kaligrafi. Kata Allah dan Muhammad berada di kubah utama diatas tempat Imam shalat, sedangkan nama-nama empat sahabat Nabi berada di empat penjuru ruangan mesjid. Tidak banyak orang dalam mesjid. Beberapa orang berfoto-foto di dalamnya. Aku sempat berpikir, mesjid ini tidak terlalu istimewa untuk menjadi sangat terkenal. Kami pun tidak menemukan tulisan Blue Mosque atau Sultan Ahmet Mosque. Ketika keluar aku menemukan tulisan, “Eminönü Yeni Camii 1597-1663, New Mosque.” Artinya Mesjid itu bernama Mesjid Eminonu Baru. Bukan Blue Mosque, Tapi Ayla masih percaya bahwa itulah Blue Mosque.
            Tidak jauh dari Mesjid ada bangunan lain mirip mesjid yang ternyata adalah makam Sultan Ahmet dan beberapa makam lain. Kami mengambil kerudung yang disediakan dipintu lalu masuk dan berdo’a di dalamnya sambil mengamati interior makam yang juga tak kalah indah dengan interior mesjid.
            Dari mesjid itu kami berniat ke Ayasofya atau Hagia Sophia, sebuah gereja yang kemudian jadi mesjid lalu sekarang jadi museum, yang menurut buku tidak jauh dari Blue Mosque dan menurut yang kubaca berhadapan dengan Blue Mosque tapi disitu aku tidak menemukan tanda-tandanya. Kami lalu bertanya pada orang-orang yang kemudian menunjukkan arahnya. Kami terus saja berjalan mengikuti petunjuk yang diberikan. Orang-orang di Istanbul tidak seramah di Ankara. Mereka bersikap lebih cuek tapi lebih banyak yang berbahasa Inggris. Ya maklumlah, Istanbul kota tujuan wisata sehingga banyak kontak dengan orang-orang asing.
            Makanan di Istanbul tentu saja lebih mahal, dua kali lipat dibanding Ankara, tapi rasanya lebih mudah diterima lidah sehingga di Istanbul aku suka makan. Apa saja yang aku beli semuanya terasa enak.  Sepanjang jalan menuju Ayasofya kami sering ditegur laki-laki yang dengan ramah menawarkan bantuan tapi ujung-ujungnya ingin kami melihat karpet di tokonya. “Anda tidak harus beli,” kata para lelaki itu. Kami menolak halus dan terus saja berjalan. Ayla sudah sangat berpengalaman menjadi turis sehingga tidak mempan trik seperti itu.
“Dengan keramahan mereka itu kadang kita dibuat tidak berkutik dan akhirnya membeli sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan,” jelas Ayla. “Mereka akan terus memaksa dengan cara yang sangat sopan dan halus,” tambahnya. “Bahkan kadang menceritakan hal-hal yang menyedihkan tentang keluarganya, yang ibunya sakitlah, anaknya butuh makanlah, bla bla…bla…karena mereka ramah itulah kadang kita merasa tidak enak,” jelasnya. Aku tertawa, “dimana-mana sama saja.”
            Kami akhirnya tiba di Ayasofya. Kami keliru jalan sehingga memutari Ayasofya yang begitu besar untuk sampai ke pintu masuk. Karena kami merasa sudah terlalu sore kami tidak jadi beli tiket. Rasanya rugi membayar 20 YTL kalau hanya punya waktu satu jam untuk melihat-lihat Ayasofya sebelum tutup. Kami lalu berjalan ke mesjid di depannya. Aku yakin itulah Blue Mosque tapi Ayla masih tidak percaya karena menganggap mesjid yang pertama kami temui itulah Blue Mosque. Kami kemudian masuk untuk meyakinkan diri. Benar saja, setelah kami tanya pada orang disekitar situ, itu memang Blue Mosque. “Lalu mesjid yang kita kunjungi tadi apa?” tanya Ayla. “Little Blue Mosque,” kataku tertawa menang. “Ok, let’s name it baby Blue Mosque,” usul Ayla. 
            Kami lalu masuk, tanpa perlu membayar. Di pintu masuk sudah disediakan kantung plastic untuk membungkus sepatu yang harus ditenteng. Mesjid ini berhadap-hadapan langsung dengan Ayasofya dengan taman sebagai pemisahnya. Menurut keterangan mesjid ini memang dibangun oleh Sultan Ahmet untuk menyaingi Ayasofya. Semangat kompetisinya memang terasa. Walaupun begitu Ayasofya tetap terlihat lebih besar.
            Mesjid ini dibangun pada tahun1609-1616, dan satu-satunya mesjid yang sejak awal dibangun dengan enam menara. Pada umumnya mesjid di Turki mempunyai empat, dua atau satu menara. Mesjid ini pun menjadi contoh arsitekstur Turki klasik.  Begitu keterangan singkat di minicards yang kuambil di Hotel orang Iran itu.
            Didalam mesjid terdapat banyak pengunjung. Aku dan Ayla sering mencuri dengar keterangan para guide Turki yang menjelaskan tentang mesjid ini dan tentang Islam di Turki. Ada guide yang membawa Turis dari Indonesia, keluarga Tionghoa yang sempat melihatku tapi ragu untuk menyapa..
            Blue Mosque sangat besar dan di dalam sangat luas, sehingga mafhum kalau menjadi sangat terkenal disamping karena interiornya memang Indah. Sebenarnya tidak begitu beda dengan mesjid-mesjid yang lain, karena mesjid di Turki arsitektur dan interiornya nyaris sama semua. Yang membuatnya beda adalah ukuran dan story-nya. Disebut Blue Mosque karena memang warna motif interiornya kebanyakan biru tetapi sebenarnya tidak terlalu dominan karena yang dominant adalah krem coklat, tapi biru terlihat lebih menyolok.
            Dari Blue Mosque kami berjalan untuk mencari stasiun trem. Kami sempat keliru jalan lagi sehingga sampai disebuah pasar kecil yang menjual aneka buah-buahan dan sayuran. Sore ini Yildiz berniat mengajak kami makan ikan di restoran dekat jembatan Bosporus, sehingga aku dan Ayla harus pulang lebih awal agar masih punya kesempatan menyegarkan badan dan merapikan penampilan. 










 


No comments: