Semazen

Thursday, December 6, 2012

#2. Euphoria


Voila! Je suis en Turquie

Bendera Turki
Pesawat yang membawaku dari Qatar ke Istanbul  mendarat di bandara Ataturk jam sebelas siang lewat sedikit waktu setempat. Leganya, akhirnya sampai juga di daratan Turki setelah lebih dari dua puluh jam perjalanan penuh transit, Jogja-Jakarta-Singapura-Doha-Istanbul. Sekarang sudah ada yang langsung dari Jakarta ke Istanbul. Suasananya benar-benar berbeda dari tanah air yang terasa gembur dan subur. Tanah Turki terasa lebih padat dan keras, sehingga pohon-pohon tak tumbuh sebanyak di Nusantara.  
Suhu udara di Istanbul tidak sedingin yang  kukira sebelumnya sehingga aku tidak perlu mengambil jaket yang lebih tebal, cukup sweater yang aku pakai dari Jogja. Profesorku mewanti-wanti agar aku mempersiapkan baju dan sepatu dingin karena Turki sudah memasuki musim dingin dan salju sebentar lagi akan turun. Udara memang terasa sangat dingin bagi kulitku yang baru datang dari negeri panas. Tapi aku terlalu bahagia untuk peduli pada udara dingin ini. Maulana…, aku sudah dekat, teriakku dalam hati karena sudah dekat dengan tujuan.         
            Aku segera memberi sinyal untuk bareng pada Mas Nasir, malaikat Indonesia pertama yang kutemui di ruang tunggu Qatar Airways, Doha. Ia kusebut malaikat  pertama karena dialah orang pertama yang membuat perjalalanku lebih mudah dan menyenangkan. Walaupun sama-sama baru pertamakali ke Turki namun Ia berbekal informasi lebih banyak dibanding aku yang hanya bermodal pasrah dan keyakinan bahwa ada tangan tak terlihat yang akan selalu membimbingku menuju tujuanku. Rupanya Mas Nasir inilah malaikat pertama yang dikirim untuk mewujudkan keyakinan itu. Profesorku di Universitas Ankara hanya membekali  informasi bahwa dari bandara aku bisa naik taksi ke asrama mahasiswa tempat aku akan tinggal, yaitu di Milli Pyango Kiz Yurdu, Cebeci, belakang fakultas Ilmu politik dan fakultas Komunikasi dan Jurnalistik. Profesor itu mungkin mengira aku akan naik pesawat dari Istanbul ke Ankara. Padahal karena alasan ingin memanjakan mata dan berhemat maka sejak dari Indonesia aku sudah meniatkan untuk naik bis ke Ankara. Istanbul-Ankara cuma sekitar 6 jam naik bis, begitu informasi yang kubaca di Internet.

Salah satu sudut kota Istanbul di musim dingin
         Di Bandara Istanbul sudah ada dua orang malaikat penjemput. Mereka adalah utusan PPI (Perkumpulan Pelajar Indonesia) di Istanbul yang siap menjemput dan mengantarkan kami ke Otogar atau terminal bis menuju Ankara. Namanya Arifan dan Nawawi mahasiwa Indonesia yang mendapat beasiswa S2 dari pemerintah Turki. Mereka menjadi malaikat kedua dan ketigaku. Rupanya Mas Nasir inilah yang mengontak PPI sejak dari Indonesia sehingga mereka sudah mempersiapkan orang-orangnya untuk menjemput kami baik di Istanbul maupun di Ankara. Mereka sudah lebih dulu merasakan betapa sulitnya menjadi pendatang baru di Turki apalagi tidak bisa bahasa Turki, sehingga mereka menyediakan jasa penjemputan dengan suka rela dan bersedia menemani mengurus semua tetek bengek urusan birokrasi pemerintah Turki yang juga tak kalah berbelit-belit. Tapi aku tak mengalaminya, karena aku tak didanai oleh Turki. Salut untuk PPI.
            Perjalanan ke Otogar ditempuh dengan Metro atau kereta bawah tanah sekitar lima belas menit. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa perjalanan ini kalau tidak ada penjemput dari PPI itu karena petugas-petugas yang kutemui di bandara maupun di stasiun tidak ada yang berbahasa Inggris, bahkan petunjuk-petunjuknya pun tidak banyak yang berbahasa Inggris sehingga pendatang baru yang baru pertama ke Turki akan mengalami kesulitan. Tapi karena sekarang aku sudah punya tiga malaikat disampingku maka everything is araroke, kata orang Sunda. 
            Sampai di Otogar kami langsung mencari bis menuju Ankara. Seorang laki-laki setengah baya yang kurus kering dan berkumis mendekati kami dan menawarkan bis ke Ankara. Kami berempat sepakat untuk mengikutinya dan tibalah kita di loket bis bernama Konset. Tawar menawar hargapun terjadi. Pertama dipasang harga 40 Lira. Informasi yang kupunya dari kedutaan dan internet menyebut 30 Lira dari Istanbul ke Ankara. Aku protes, “too expensive” sembari mencari ungkapan dalam bahasa Turkinya di buku saku yang kupunya, sementara dua orang teman dari PPI sibuk tawar menawar. Lalu kami pun sepakat pada angka 30 Lira perorang.

Selat Bosphors, Istanbul
            Koper kami lalu dibawa ke dalam ruangan sempit sebelah loket oleh salah seorang petugas loket. Aku mengikutinya dan bertanya dimana kami harus menunggu bisnya. Brondong Turki berwajah agak-agak Antonio Banderas itu rupanya tidak bisa berbahasa Inggris sehingga tidak mengerti apa yang kumaksud dan hanya menjawab, “yes” sambil tertawa. Aku mengulangi lagi pertanyaanku, “dimana aku harus menunggu bisnya?” Ia masih menjawab “yes.” “Not yes,” kataku lalu mengulangi lagi pertanyaanku, kali ini dengan bahasa Tarsan. “Wait” kataku sambil menunjuk diriku sendiri lalu menunjuk tempat bis dibelakangnya. Mungkin bahasa Tarzanku pun kurang sip sehingga bukannya mengubah kata Ia malah mengatakan “YES!” lebih mantap dengan anggukan kepala pula. Aku ngakak melihat raut muka pedenya. “Ya sutralah” kataku. Ia sepertinya mengerti kalau kita sama-sama Jaka Sembung alias enggak nyambung. Lalu kami berdua sama-sama tertawa. Untuk menebus Jaka Sembungnya Ia mengajariku satu kata, Allahaısmarladık, yang artinya selamat tinggal.  “Oh ya, Allahaısmarladık,” kataku sambil melambaikan tangan dan ngeloyor pergi menyusul malaikat-malaikatku ke lantai dua.      
            Ternyata tidak hanya orang-orangnya yang banyak bermuka indah, landscape di Istanbul juga indah-indah. Sepanjang jalan dari Istanbul menuju Ankara menyajikan pemandangan yang membahagiakan mata. Mulai dari taman, bangunan dan jalan-jalan, semuanya tertata rapi dan hijau. Ini mungkin karena cuaca hari itu benar-benar mendukung. Langitnya bersih, biru tanpa awan sedikitpun sehingga aku merasa rugi kalau memejamkan mata untuk tidur. Maka kugunakan kesempatan itu untuk memotret lukisan di kanvas alam Turki. Walaupun sudah banyak yang bilang Turkey is beautiful tapi tidak cukup membuatku antusias sebelum melihatnya sendiri. Dan, yes, Turkey is beautiful. Apalagi ketika sampai jembatan Bosphorus, pemisah antara daratan Eropa dan Asia yang selama ini hanya kulihat dari atas lewat google earth. O la la, c’est trés beau, rancak bana, kata orang Perancis dan padang.

Selat Bosphorus dan jembatan penghubung benua Asia-Eropa
            Tak berapa lama berselang sejak bis mulai berangkat kelucuan-kelucuan mulai bermunculan yang membuat aku dan Mas Nasir tidak tahan untuk tidak cekikikan. Banyak istilah-istilah Turki yang terasa lucu bagi kami orang Indonesia. Misalnya ketika masuk ke pasar untuk membeli simcard lokal dekat Otogar, ada warung internet bertuliskan “Berat Internet Café”. “Pemiliknya pasti anggota gerombolan si Berat, Pak,” komentarku pada Mas Nasir. Atau di sepanjang jalan menuju Ankara kami sering menjumpai tulisan “Yemek” yang setelah kami cari dikamus ternyata artinya makanan, atau ekmek (roti) dan masih banyak –mek-mek yang lain. Bahasa Turki rada seronok juga ternyata. Atau ketika ada kemacetan tiba-tiba ada sebuah bis menyelonong dari sisi kanan yang dibelakangnya tertulis “can batman baris.” Aku tak sanggup menahan tawaku tanpa suara sehingga segera kebenamkan  mulutku di syal agar orang-orang Turki dalam bis tidak tersinggung. Batman tidak perlu bisa berbaris karena dia bisa terbang ha ha ha.
            Satu persatu lalu kami cari artinya di kamus Turki-Indonesia. Can bisa berarti: ruh nyawa, orang, hati, tenaga; sedangkan batman tidak ditemukan dalam kamus. Belakangan setelah tinggal beberapa lama di Turki baru ketahuan kalau Batman adalah nama salah satu propinsi di Turki. Tidak hanya itu, ketika berada di Ankara aku dan Mas Nasir menemukan warung makan bernama “can balık”. “Kalau di Sunda ‘Can Balik’ artinya belum pulang, Naj” jelas Mas Nasir. “Oh, mungkin agar orang yang makan disitu betah sehingga malas pulang,” tebakku. Ternyata “balık” artinya ikan.
            Masih banyak kelucuan-kelucuan lain yang kutemukan dalam bahasa Turki. Salah satunya adalah korek api. Teman-temanku selalu bilang, “kutu kupret,” kalau sedang jengkel atau memaki orang. Orang Turki punya kata “kutu kibrit,” artinya korek api, ini jelas bukan kata makian. Jadi kalau mau membeli satu kotak korek api tinggal bilang saja, “Bir kutu kibrit” maka segera korek api akan ada di tangan tanpa bantuan jin ifrit.    
            Küfret dalam bahasa Turki memang berarti “memaki maki” sedangkan kutu berarti kotak. Jadi kata “kutu kupret” kemungkinan besar memang berasal dari bahasa Turki yang didengar dan diucapkan pertama kali oleh orang Sunda.

            Kelucuan lain yang kutemukan berkaitang dengan nama belakang orang-orang Turki. Umumnya nama-mana mereka adalah gabungan nama Arab dan Turki. Misalnya, orang yang mengurus akomoadasiku di Turki bernama Akin Kocak. Pemilik toko HP tempat aku membeli simcard bernama Teufik Kaya. Penyiar tv yang kutonton tiap hari bernama Abdul Sandal. Penjual koran langgananku bernama Nur Culuk. Tetangga sebelah kamarku bernama Ayca Aydin (bukan Aica Aibon).  Dan masih ada satu nama lagi yang sangat populer di Turki dan berbau Sunda, yaitu Adi Soyadi. Dua kata ini akan selalu ada di formulir apapun yang perlu diisi. Jika ada dua kata ini artinya kita diminta untuk menuliskan nama dan nama keluarga. So, Adi Soyadi bukan orang Sunda. 
 
            Sampai di Ankara hari sudah malam. Dua orang malaikat penjemput berikutnya sudah menunggu kami di terminal bis, siap mengatar kami ke Asrama. Mereka adalah anggota PPI di Ankara namanya Furqon dan Yan. Mereka juga mendapat beasiswa dari pemerintah Turki untuk melanjutkan S2 setelah bahasa Turki mereka sangat mumpuni. Mereka pun menjadi malaikat keempat dan kelimaku. Malaikat-malaikat Indonesia di Turki.

Salah satu cafe di Istanbul
            Berbeda dengan Istanbul, udara di Ankara terasa lebih dingin, sekitar lima derajat celcius. Profesorku sudah mewanti-wanti agar aku membawa bekal baju dingin yang cukup karena menjelang akhir tahun Ankara akan dituruni salju. “Ingat, kamu berasal dari negeri yang panas,” katanya di email. Ternyata Turki punya salju. Ini berarti akan menjadi salju pertama buatku. Aku pun perlu membuka koper dan melapisi sweaterku dengan jaket tebal dan kupluk yang sering kupakai naik gunung agar tak menggigil. Kami naik metro lagi ke tempat tujuan. Dua malaikat Ankara menjadi pemandu yang banyak bercerita tentang Turki dan menerjemahkan tulisan-tulisan di sepanjang perjalanan. Yan yang sudah sebulan berada di Turki lebih banyak bercerita aspek negatifnya. Tampaknya Ia tak cukup bahagia berada di Turki.  Setelah bertemu teman-teman Indonesia yang lain aku jadi mengerti mengapa Ia tak bahagia di Turki. Selain karena uang beasiswanya kecil birokrasi Turki juga tak kalah ribet.
            Yan heran karena aku yang perempuan, tidak bisa bahasa Turki sama sekali berani ke Turki sendirian tanpa bekal informasi yang memadai. “Di sini, orang yang tidak bisa bahasa Turki, apalagi perempuan, bisa hilang” katanya. “Hilang gimana maksudnya?” tanyaku heran. “Ya hilang, hilang beneran, tidak balik…… dan itu bisa selama-lamanya”. “Wah! serem amat,” komentarku enteng. Mas Nasir yang berdiri disebelahnya sambil memegangi tiang metro menimpali, “Iya lho, tadi orang Turki yang aku ajak ngobrol di pesawat juga bilang kalau orang Turki itu banyak jeleknya”. Aku tertawa saja mendengar ocehan malaikat-malaikat ini. Rupanya mereka tidak sadar kalau sedang memainkan skenario tangan tak terlihat untuk menjagaku agar tidak hilang di bawa orang Turki, ha ha ha .... Thanks God!  


Kapal penghubung dua benua, hanya 10 menit
dari Eropa ke Asia

Ciri khas Mesjid Turki, menara lancip

Tipikal wajah anak-anak Turki


No comments: