Semazen

Tuesday, December 11, 2012

#6. Nasionalisme Turki


Disebuah Kastil diatas bukit
Dihari keenam aku bertemu malaikat Irak, Mehdi, si mata hijau bening yang juga mendapat beasiswa dari pemerintah Turki. Usianya dua puluh empat tahun, calon ahli biologi. Walaupun baru dua bulan di Turki namun bahasa Turkinya sudah tergolong “canggih” dan dia tahu tempat-tempat berbelanja yang murah di Ankara.
                Mehdi menjadi malaikat ketujuh yang menemani aku dan Mas Nasir mengeksplorasi Ankara. Hari itu Ia membawa kami ke Kurtulus park dan Masjid Kocatepe yang merupakan Masjid terbesar kedua di Turki atau terbesar di Ankara, lalu berkeliling-keliling di mall yang terletak dilantai dasar Masjid, dan terakhir ke Anitkabir, makam dan museum Mustafa Kemal atau Ataturk. Dari makam inilah berbagai pertanyaan yang menubruk pikiranku sejak menginjakkan kakmi di Turki mulai sedikit mendapatkan jawaban. Setidaknya dari makam mewah inilah tingginya nasionalisme dan pemujaan terhadap Ataturk bisa dipahami. Baik pemujaan dalam artian adoration ataupun occultism karena di Turki Ataturk tidak sekedar pahlawan pembaharu tapi juga manusia setengah dewa bagi kaum sekuler Turki, begitu keterangan salah seorang yang aku ajak bicara, yang entah ia lebih condong ke kubu mana. 
Di  dalam angkot

                Pertama kali aku merasakan tingginya nasionalisme orang Turki adalah lewat bendera. Dimana-mana sejak menginjakkan kaki di daratan Turki aku menemukan banyak sekali bendera merah dengan gambar bintang dan bulan sabit putih ditengahnya berkibar dengan gagah, terutama ditempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang menjadi titik pandang. Bendera-bendera itu bertebaran dimana-mana walaupun bukan hari kemerdekaan. Di Indonesia pemandangan seperti itu hanya ditemui dibulan Agustus khususnya menjelang hari kemerdekaan sedangkan di Turki bisa setiap hari.
Di depan mesjid Hagia Sophia
                Indikator tingginya nasionalisme yang kedua adalah bahasa. Sejak pertama mendarat di Turki susah sekali menemukan tulisan-tulisan berbahasa Inggris. Semuanya memakai bahasa Turki. Sejak dari bandara, stasiun Metro, stasiun Bis, sepanjang jalan Istanbul-Ankara, dan di Ankara sendiri sulit sekali menemukan tulisan berbahasa Inggris. Ankara adalah ibukota Turki yang mestinya lebih meng-internasional, tapi nyatanya tidak. Dari sini aku sudah bisa merasakan bahwa ada keengganan untuk menggunakan bahasa lain selain bahasa Turki. Dua orang Turki yang sempat kutanya membenarkan dugaanku, bahwa memang ada penolakan untuk berbahasa lain selain bahasa Turki. Alasannya mereka tidak mau dijajah oleh bahasa Inggris. Itulah mengapa banyak orang Turki yang tidak berbahasa Inggris. Keengganan ini berkaitan erat dengan sejarah Turki yang salah satunya bisa dipahami melalui Anitkabir.

 Anitkabir


                Setelah makan siang kami lalu melanjutkan petualangan ke Anitkabir di daerah Tandoğan dengan menggunakan bis padahal sebenarnya bisa naik metro tapi Mehdi tidak tahu. Sampai di pintu masuk Anitkabir kami harus meninggalkan tas dan semua bawaan. Hanya boleh bawa dompet, kamera dan handphone. Tidak ada tiket masuk ke Anitkabr alias gratis, padahal tempat ini termasuk yang paling indah dan hijau di Ankara. Dari pintu masuk kami masih harus berjalan naik sekitar lima ratus meter. Tapi karena pemandangan dikanan kirinya begitu indah dan terawat aku menikmati saja berjalan kaki walaupun terengah-engah karena jalannya naik dan aku kekenyangan, ditambah langkah Mehdi luar biasa cepat. Ia berjalan terburu-buru karena waktu yang tersisa hanya sedikit sebelum Anitkabir tutup.
                Karena takut keburu tutup kami tak punya banyak waktu untuk berfoto-foto, lagi pula hari mulai agak gelap sehingga tak cukup cahaya untuk menghasilkan gambar bagus. Maka kami terus saja berjalan. Di pintu gerbang kedua ada dua bangunan yang masing-masing punya tiga patung di depannya. Mehdi membawaku masuk ke yang sebelah kiri, dibelakang tiga patung laki-laki berwajah serius dengan dandanan yang berbeda. Satu berdandan modern dengan jas, celana panjang dan tangan kiri mengapit buku. Disebelahnya patung laki-laki berbadan lebih besar dengan jas panjang dan helm tentara. Sedangkan dibelakangnya kedua patung itu berdiri patung laki-laki dengan jubah terbuka. Ketiga patung ini merepresentasikan kesatuan antara intellektual, tentara dan petani Turki. Inilah barangkali yang dianggap elemen penting bagi Republik Turki. Intellektual dan tentara berdiri sejajar sedangkan petani berada dibelakangnya yang menunjukkan perannya masing-masing.            Didalam bangunan itu ada sebuah kotak kaca yang berisi batu dan marmer beserta nama-nama tempat asalnya. Mehdi menerangkan bahwa batu dan marmer yang digunakan untuk membuat monumen Ataturk ini diambil dari semua tempat di Turki yang melambangkan kesatuan dan dukungan seluruh Rakyat Turki pada Ataturk.
                Dari gerbang ke dua kami masih harus berjalan sekitar tigaratus meter lagi untuk menuju persemayaman dan museum Ataturk. Sepanjang jalan menuju makam beberapa patung singa duduk perkasa di kanan dan kiri jalan. Singa duduk ini menyimbolkan kedamaian dan keperkasaan bangsa Anatolia, nenek moyang orang Turki.
               
                Tiba didepan pintu bangunan makam Ataturk kami tidak langsung masuk karena menunggu dua tentara bersenjata berjalan didepan kami. Dengan Senjata laras panjang mereka berjalan dengan kaki menghentak tinggi menuju alas kotak besi tempatnya berdiri mematung menjaga pintu masuk museleum. Setelah petugas lain mempersilakan barulah kami menyeruak masuk. Bangunannya begitu megah, terbuat dari marmer dengan atap berlapis emas. Didepan peraduan marmer Ataturk ada rangkaian bunga merah putih berbentuk lingakaran dengan tulisan “US Delegation”. Mungkin delegasi Amerika baru saja berkunjung ke makam ini. Karena setiap tamu negara wajib datang ke makam Ataturk ini dan memberikan ucapan penghormatan pada Ataturk. Jadi walaupun Ataturk sudah pulang tetapi Ia masih memerintah Turki.
                Di Ankara gambar atau patung Ataturk bisa di temui dimana-mana. Sampai-sampai ada dagelan, “Jika Tuhan ada dimana-mana, maka di Turki khususnya Ankara, Ataturk ada dimana-mana.” Mungkin karena inilah Ia dianggap seperti Tuhan, karena sama-sama omnipresent, alias ada dimana-mana. Jika melihat mata uang Turki, maka gambar semua pecahan uang kertas dan receh Turki adalah gambar Ataturk (kala itu 2008). Tidak ada gambar lain semacam pahlawan Pattimura atau Tjut Nyak Dien kalau di Indonesia.
                Kami lalu keluar museleum menuju museum. Di museum inilah semua hal yang berkaitan dengan Ataturk diperlihatkan mulai dari pedang, pisau, cendera mata dari berbagai kepala negara, pakaian, buku, serta peran-peran kepahlawanan Ataturk diberbagai medan perang.
                Dari museum ini aku mulai bisa memahami sedikit inti kesadaran sebagian orang-orang Turki.  Dan dari museum ini pulalah aku mulai  mengerti tingginya nasionalisme orang Turki dan keenganannya untuk berbahasa Inggris dan bahasa Asing lain. Siapapun yang masuk museum ini setidaknya akan merasakan terserap oleh nasionalisme dan patriotisme Ataturk.  Ia dianggap sebagai penyulut rasa kebangsaan orang-orang Turki sehingga mampu melawan musuh-musuh Eropanya. Akupun mulai tertarik pada Ataturk, untuk menyelami jiwa dan pikirannya. Tapi sayang, kebanyakan buku yang dijual tentang Ataturk berbahasa Turki. Kalaupun ada yang berbahasa Inggris, itupun sangat mahal untuk kubeli saat itu.
                Museum ini pulalah menurutku yang menjadi salah satu yang melanggengkan pemujaan terhadap Ataturk, dan juga memelihara nasionalisme generasi muda Turki. Dalam sejarahnya, bangsa Turki pada masa Kesultanan Usmani atau Ottoman adalah bangsa penakluk yang perkasa. Wilayah taklukannya jauh hingga Eropa, Asia Barat dan sebagian Afrika. Namun kemudian mengalami kemunduran dan wilayahnya semakin menyempit. Ataturk berupaya mengembalikan kejayaan itu dengan cara yang berbeda. Menurutnya musuh-musuh Eropa yang bersenjatakan alat modern itu harus dilawan dengan peralatan perang yang modern pula. Sehingga Ia pun melengkapi pasukan perangnya dengan peralatan modern.              Modernisasi yang dilakukan Ataturk tidak hanya pada perlengkapan militernya tetapi juga disegala bidang.  Mulai dari sistem sistem pemerintahan dan perangkat hukumnya, sistem pendidikan, cara berpakaian, bahasa dan alfabet Turki.
                Sistem pemerintahan tradisional yang berbentuk kesultanan diubah menjadi republik. Perangkat hukum yang tadinya berdasarkan pada syariat Islam diubah ke sistem pemerintahan modern yang mengacu pada sistem hukum di negara-negara Eropa. Begitu pula dengan sistem pendidikan. Sekolah-sekolah traditional yang tadinya berbentuk madrasah diubah menjadi sekolah modern. Ordo-ordo Sufi atau tarekat-tarekat pun juga banyak yang ditutup. Termasuk ordo Sufi Maulawi,  tarekat yang berdasarkan ajaran Maulana Jalaluddin Rumi. Ordo Sufi ini pun pindah ke Aleppo, Syria.
                Cara berpakaian pun dirubah total. Perempuan Turki yang umumnya memakai kerudung diubah menjadi berpakaian ala Eropa. Begitu pula para lelakinya. Kita tidak akan menemukan laki-laki dengan kumis panjang serta kopiah merah dengan jambul di atasnya. Karena mereka telah berubah, dari cara berpakaian ala Abu Nawas ke Jas modern ala James Bond. Maka menjadi agak sulit mencari sesuatu yang khas di Turki kecuali mata setan dan whirling dervish.
                Bahasa termasuk yang juga diubah oleh Ataturk. Tadinya bahasa Turki lebih banyak berasal dari bahasa Arab dan Persia dengan alfabet Arab. Maka tidak heran kalau karya-karya Maulana Rumi berbahasa Arab dan Persia. Karena tidak mau mengidentifikasi pada dua bangsa ini maka Ataturk pun menggali bahasa yang memang berasal dari Turki sendiri, seperti yang digunakan sekarang ini. Alfabet Arab pun diubah menjadi huruf latin penuh pernak-pernik.
                Untuk urusan penggantian alfabet ini, Ataturk hanya menyiapkannya dalam beberapa bulan saja. Ia sendirilah yang turun tangan mengajarkannya pada penduduk Turki. Angka melek huruf pun meningkat tajam. Terlepas dari apapun penilaian orang terhadap Ataturk, aku melihat ia seorang yang jenius.
                Yang menarik juga di Anitkabir adalah tidak perlu bayar untuk masuk. Tempat ini merupakan tempat yang mungkin paling indah di Ankara sehingga orang-orang Turki akan dengan senang hati masuk kesini dan tanpa sadar membawa pulang kekaguman terhadap Ataturk dan kecintaan pada Turki. Karena letaknya diatas bukit maka kita bisa melihat pemandangan kota Ankara disekelilingnya. Lumayan asik untuk mengurangi stres.
                Di bagian ujung rute terdapat data pemimpin-pemimpin Negara yang berkunjung ke makam Ataturk beserta pesan-pesan mereka untuk Ataturk. Semua computerized, tinggal menuliskan Negara mana yang ingin kita lihat, siapa yang datang dan apa pesannya. Aku dan Mas Nasir mengetik Indonesia dalam ejaan Turki. Hasilnya nol. Karena kami mengira salah eja kami mengulangi lagi. Hasilnya tetap nol. Kami mencoba lagi dengan ejaan Indonesia biasa. Hasilnya tetap nol. Kami berkesimpulan tidak ada pemimpin dari Indonesia yang berkunjung ke Anitkabir ini dan meninggalkan pesan untuk Ataturk.[1] Penjaga yang menemani kami agak terlihat kecewa. Kami jadi merasa tidak enak karena tidak ada pemimpin kami yang datang ke sini. Padahal sewaktu mereka tahu kalau kami dari Indonesia, mereka terlihat senang. Lalu gantian Mehdi yang dengan semangat menuliskan “Irak” dan muncullah beberapa nama yang kemudian di klik pesannya dan dibacanya dengan bangga didepan kami dalam bahasa Arab yang super ‘fasyeh’. Ketika membaca pesan pemimpin-pemimpin negara lain tanpa sengaja kami melihat Israel, spontan Mehdi langsung mengklik. “Aku benci sekali Israel, tapi aku ingin tahu apa komentar mereka,” katanya. Kurasa aku bisa memahami kebenciannya. 



[1] Belakangan setelah berkunjung ke Anitkabir untuk ketiga kalinya dan iseng mengetik Endonezya ternyata Pak Duta besar meninggalkan pesan untuk Ataturk. Rupanya kami salah ketik sehingga pesan dari pemimpin Indonesia tidak muncul. Sori, Pak Embassador. 


Menuju Anitkabir

Bangunan makam Ataturk

Tentara penjaga makam Ataturk

Di musim dingin, tentara ini ada
di peti kaca biar hangat

Tentara manis

Ada yang ngintip

Malaikat pertama dan ketujuh, dari Indonesia dan Irak,
Nasir dan Mehdi (kiri).

No comments: