Semazen

Sunday, March 31, 2013

29. Tak Ada Lagi Agama!!


“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu!?” 
-Sufi Master-

           
     
Beyond duality there is only LOVE
Malam itu Selasa malam atau malam Rabu. Seperti di Jawa, di Turki pun mengistimewakan malam rabu  dan malam Jum’at, sehingga tarekat Rifa'i pun menempatkan pertemuan rutin mereka di kedua hari itu. Seperti malam rabu minggu lalu aku berharap akan ada permainan musik setelah acara dzikir tapi ternyata tidak karena malam ini awal bulan Muharram yang di Jawa disebut Suro. Tanggal satu sampai sepuluh Muharram adalah hari berkabung bagi umat Islam Syi'ah. Karena pada hari itu tepatnya di hari kesepuluh Muharram terjadi peristiwa memilukan yang menyayat hati umat Islam khususnya yang bermashab Syi'ah, yaitu pembantaian dengan kejam cucu Nabi Muhammad, Husain oleh Mu’awiyah. Di kebanyakan tradisi Sunni peristiwa ini tidak diperingati secara khusus sehingga banyak yang tidak tahu dan tidak menganggap penting. Tapi di tradisi Syi’ah khususnya di Iran peristiwa ini merupakan salah satu yang terpenting yang diperingati dengan tangis dan rasa sakit, bahkan sampai ada yang mencambuk diri sendiri hingga berdarah-darah demi merasakan penderitaan Imam Husain ketika dibantai oleh Mu’awiyah.
            Di Indonesia khususnya di Bengkulu, masyarakat setempat mengenal tradisi tabot untuk memperingati peristiwa pilu ini. Tapi karena penghayatnya berbeda, bukan Syi'ah, maka ritual ini menjadi ajang untuk bersuka cita dibanding berduka cita. Keluargaku termasuk salah satu yang berbahagia ketika perayaan tabot tiba karena rumah makan kami menjadi laris manis dan cepat tutup.
            Untuk menghormati peristiwa itu, maka malam ini mereka tidak bermain musik, melainkan membaca sejarah Nabi dan melantunkan lagu puji-pujian untuk keluarga nabi. Semuanya dalam bahasa Turki sehingga aku tidak mengerti sedikitpun, kecuali kata Peygamber yang merujuk Nabi Muhammad. Sepanjang pembacaan kisah Nabi Muhammad, aku hanya diam berusaha betul-betul menyimak setiap kata yang diucapkan oleh Master. Akalku boleh saja tidak mengerti tapi ruhku pasti mengerti, pikirku. Ternyata efeknya cukup dahsyat. Selain tidak ngantuk aku merasa berenergi setelah pembacaan itu selesai.  Sama berenerginya ketika mendapat pengetahuan baru yang mencerahkan.
            Setelah nyanyian puji-pujian selesai Master lagi-lagi menanyakan tentang aku ke Yildiz sehingga akupun berpindah tempat duduk agar terlihat olehnya. Seperti dugaanku, setelah menanyakan kabarku Ia    pun bertanya lagi apakah aku masih punya pertanyaan. Aku bingung karena aku tidak tahu harus bertanya apalagi. Namun daripada tak ada yang bisa diperbincangkan akhirnya aku bertanya. Pertanyaan konyol yang membuatku terlihat bodoh tapi aku tak menyesal menanyakannya. Aku bertanya tentang tingkatan jiwa manusia atau nafs yang terakhir.
“Minggu lalu Master bercerita tentang tujuh tingkatan jiwa manusia atau tingkatan nafs yang harus dipahami oleh  setiap pengikut tarekat Rifa’i. Nah saya ingin tahu tentang nafs yang ketujuh itu,” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku Master spontan menertawaiku lalu menjelaskan sesuatu kepada yang hadir malam itu dalam bahasa Turki. Yildiz menerjemahkannya untukku sambil bertanya, “Masa kamu tidak tahu itu?”
Aku baru menyadari kalau pertanyaanku kurang tepat, karena bukan itu sebenarnya yang ingin kutanyakan. Sebenarnya aku ingin bertanya, apa godaan orang-orang yang tingkat spiritualnya sudah tinggi, katakanlah sudah mencapai puncak, termasuk master sendiri? Namun karena aku merasa tidak sopan bertanya seperti itu akhirnya keluarlah pertanyaan tentang tingkatan nafs itu.
“Aku tidak hafal,” bisikku pada Yildiz. 
“Begitulah orang-orang intelektual,” jawab Master dengan pandangan mengejek. “Seperti anak kecil, belum melalui yang awal sudah menanyakan yang terakhir. Lampaui dulu yang awal baru akan sampai pada yang terakhir,” jelasnya.
Master kemudian bertanya balik, “menurutmu apa nafs yang tertinggi?”
Aku tahu masih ada tingkatan nafs yang lain lagi setelah mutmainnah, tapi aku benar-benar tidak mampu mengingat namanya. Untuk mengurangi grogi dan perasaan tolol aku sedikit bercanda, “Master, anda menguji saya?”
“Ya, karena di sini saya Master sedangkan kamu bukan, saya berhak menguji kamu sedangkan kamu tidak,” katanya dengan sorot mata galaknya. Tapi aku tak terpengaruh, aku tetap menganggap Ia bercanda.
Daripada tidak menjawab, kujawab saja apa yang mampu kuingat, "nafs mutmainnah (jiwa yang tenang)" [1], kataku. 
Ia menertawaiku lagi dan menjelaskan sesuatu pada hadirin. “Kenapa kamu menganggap jiwa mutmainnah sebagai tingkatan jiwa yang tertinggi?”
Bagaimanapun aku harus memberikan argumentasiku, “Ya, karena itulah yang populer” kataku tanpa merasa bersalah. Dibuku-buku Sufi sering dibahas tentang tingkatan-tingkatan jiwa ini dan guruku sendiri pernah menjelaskannya. Tapi ketika aku memutuskan untuk fokus ke praktek daripada aspek teoritisnya, aku tidak lagi perduli pada nama-nama dan ciri-cirinya. Mendengar jawabanku lagi-lagi Master menemukan alasan untuk menertawaiku. Sebenarnya aku merasa konyol malam itu tapi aku tetap memasang muka cengengesan. Aku ikut tertawa. Menertawai diriku sendiri yang malam itu jadi bahan tertawaan mereka.
“Nafs kok ada yang populer, aneh-aneh saja kamu ini. Mengapa kamu bilang itu populer?” tanya Master lagi.
“Karena itulah yang disebut-sebut dalam Qur’an. Bukankah di Qur’an, Tuhan berkata, ‘Ya Nafs Mutmainnah, masuklah dalam surgaku…,’ jawabku mencoba membela diri.
“Ah, Aku jadi tahu Indonesia itu seperti apa. Dari kamu saja aku sudah bisa melihat, seperti apa negerimu itu.”
Ketika negeriku disebut sontak aku tidak terima. “Wah, anda tidak bisa menilai negeri saya hanya lewat saya, dong. Di Indonesia banyak orang-orang pintar. Yang ada dihadapan anda sekarang hanyalah orang Indonesia yang bodoh dan nakal,” belaku. “Cobalah datang sendiri ke Indonesia, dan rasakanlah sendiri Indonesia,” jawabku bangga.
“Ah! Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Toriq,” katanya mengingatkan pada mimpi yang kuceritakan padanya minggu lalu, “karena kamu tidak punya Syekh,” tegasnya.  Setelah diam beberapa saat, membiarkan aku dengan pikiran agak kacau, Ia kemudian menjelaskan, “Orang tidak pernah tahu level spiritualnya (nafs) sendiri, karena karena kalau Ia tahu Ia akan merasa sombong dan merendahkan orang lain, dan itu berbahaya karena bisa menurunkan levelnya. Hanya Syekh pembimbing yang bisa mengetahui tingkat nafs murid-muridnya dan membantunya agar mampu mencapai level berikutnya,” jelas Master.  
“Kalau kamu bilang gurumu banyak, bagaimana bisa? Karena setiap guru akan berbicara tentang kebenaran sesuai dengan level nafs-nya masing-masing. Apa kamu tidak akan bingung? Dan jika kamu berguru pada orang yang levelnya lebih rendah dari kamu, haram hukumnya.  Kamu mengerti itu?” tegasnya lagi dengan sorot mata tajamnya. Aku diam, menunggu apa lagi yang akan Ia katakan.
“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu?” Aku tak menjawab. Melihat tak ada respon Ia menekankan lagi pernyataannya, “TAK ADA LAGI AGAMA!!” katanya sambil menatapku tajam.
Spontan aku tertawa melihat wajahnya. “Iya, kalau tak ada lagi agama, lalu apa masalahnya?” jawabku enteng tak terpengaruh oleh kegalakannya.
Master terlihat agak kaget sebelum akhirnya berkomentar, “Hah! kamu tertawa karena kamu melihatku apa adanya,” katanya dengan wajah yang sudah tak terlalu menyeramkan. 
Sebenarnya aku tertawa karena pernyataan itu tak lagi mengusikku. Sehingga aku tak kaget dan bingung mendengarnya. Aku berpikir bahwa ketika dualitas dan lapisan-lapisan atau konstruksi-konstruksi yang menabiri pikiran manusia telah terlampaui maka semua sekat menjadi luntur termasuk sekat agama, sehingga yang terlihat kemudian hanyalah keesaan Tuhan yang termanifestasi dalam berbagai wajah. Inilah yang kupahami dari puisi Maulana Rumi:

Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim.
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut;
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar.
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api;
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan wujud dan bukan hal.
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan ari Bulgaria, bukan dari Saqsin;
Aku bukan dari kerajaan Irak, bukan dari Negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia ini, atau dari akhirat, bukan dari sorga atau neraka;
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus, bukan dari Rizwan.
Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejakku adalah tak berjejak;
Ini  bukan raga dan bukan jiwa, sebab aku milik jiwa kekasih.
Telah kubuang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa;
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang kupanggil.
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang batin;
Tak ada yang kuketahui kecuali “Ya Hu” dan “Ya man Hu.”
Aku mabuk oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu;
Aku tak berbuat apapun kecuali mabuk gila-gilaan.
kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
saat itu aku pasti menyesali hidupku.
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak denganmu,
Aku akan menyembah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi tabriz, aku begitu mabuk di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabuk dan gila-gilaan.

            Master lalu berbicara dengan murid-muridnya dan tak berapa lama beralih lagi ke aku. “Semua orang di sini ingin tahu, apa tujuanmu ke Turki?”
Aku tersenyum, “Saya datang ke Turki, pertama untuk mengunjungi Maulana, kedua untuk melihat manifestasi Tuhan di negeri Turki,” jawabku. Tujuan keduaku tampaknya tidak cukup jelas sehingga mereka masih melihatku dengan tanda tanya besar diwajahnya. “Maksudmu, bagaimana Tuhan di mata orang-orang Turki?” tanya seorang perempuan muda dari Belanda yang sudah cukup lama bergabung dengan tarekat Rifa’i.
“Orang bilang Turki negara sekuler, saya ingin tahu bagaimana Islam di negeri yang sekuler ini,” kataku. Perempuan Belanda itu mengartikan kata sekuler dengan not-religious atau tak taat beragama sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang. Aku berusaha menjelaskan bahwa sekuler yang kumaksud tidak berarti tidak relijius. Tapi tampaknya aku tidak berhasil sehingga Master merespon dengan defensif. Baginya justru Indonesialah yang tidak relijius. Dalam pemahamannya mungkin tidak relijius sama artinya dengan tak paham inti ajaran Islam yang mengutamakan perdamaian dan kasih sayang, sehingga Ia mengaitkannya dengan tindakan kekerasan. 
"Ini terbukti dari Islam di Indonesia yang cenderung keras," katanya. Aku tidak terima Islam di Indonesia dibilang keras. Aku jelaskan bahwa Islam di Indonesia justru lebih moderat dan toleran terhadap perbedaan dibanding negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain karena muslim Indonesia sudah terbiasa hidup dalam beragam keyakinan. Lalu kuceritakan tentang kesan Imam-imam Inggris yang datang ke Indonesia beberapa waktu lalu, yang kemudian berkomentar bahwa filosofi fungsi rahmatan lilalamin-nya Islam dalam bentuk tindakan di temukan di Indonesia.
“Ah, imam-imam Inggris itu jangan dipercaya,” katanya.
Aku masih ngotot, “Anda buktikan sendiri saja, bagaimana kehidupan kami di Indonesia.”
“Islam di Indonesia sangat keras. Kami melihatnya di TV,” katanya ikutan ngotot. Waduh, ini pasti gara-gara bom-bom itu, pikirku.
“TV jangan dipercaya. Anda datang sendiri saja dan rasakanlah sendiri Indonesia,” kataku dengan kepercayaan diri yang memuncak. Aku siap menjelaskan panjang lebar tentang ketinggian budaya Indonesia sehingga komentar imam-imam Inggris itu tak berlebihan, tapi waktunya sudah tak memungkinkan. Walaupun tak punya data empiris yang memadai selain candi-candi, gamelan dan tembang-tembang agung namun aku begitu yakinnya bahwa leluhur Indonesia telah sampai pada tingkat pemahaman ketuhanan yang sangat tinggi. Fakta-fakta ini siap kubeberkan kepada Master dan semua hadirin yang hadir. Tetapi ternyata aku malah malu telak ketika Ia bertanya berapa lama Indonesia dijajah Belanda. Bibirku berat mengakuinya. “Tiga ratus lima puluh tahun,” kataku ciut. 
“Kamu tahu siapa yang mengusir penjajah itu dari negerimu?” tanyanya dengan wajah yang menyimpan jawaban yang segera akan dilontarkan dengan bangga dihadapanku. 
“Kami berjuang sendiri,” kataku. Dikepalaku terbayang kegigihan Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pattimura dan Bung Tomo.
“Tidak, kamilah yang mengusir penjajah itu dari negerimu, kamu tahu itu?” Aku diam dan tak kuasa untuk tak mengakuinya karena aku pernah membaca kesultanan Aceh meminta bantuan pasukan perang dari Sultan Istanbul untuk mengusir Portugis dan Belanda dari Aceh. Aku pilu. Bagaimanapun Indonesia dan Turki mempunyai perbedaan sejarah yang menyolok, seperti bumi dan langit. Indonesia pernah dijajah Eropa ratusan tahun, sebaliknya kesultanan Turki Usmani atau Ottoman pernah menjajah Eropa ratusan tahun pula. Fakta bahwa bangsaku yang katanya besar dijajah ratusan tahun sungguh memilukan. Hatiku pilu sepilu-pilunya.


Tanah Karbala

           
Tanah Karbala
Malam sudah semakin larut dan tambah dingin. Sebelum mengakhiri acara malam itu Ia mengatakan bahwa Ia senang bertemu denganku. Tentu saja hatiku berbunga-bunga mendengarnya. “Ya, saya juga senang bertemu dengan Master,” kataku. “Aku mengatakan ini benar-benar dari dalam hatiku,” katanya sambil meletakkan tangan kanannya di dadanya. Aku tersenyum, “Saya juga mengatakan ini dari dalam hati saya”. Ia tersenyum.
            Acara malam itupun akhirnya selesai. Master beranjak dari tempat duduknya sementara aku tetap duduk di kursiku. Ia melewati meja di depanku dan menjangkau sesuatu, “kamu tahu apa ini?” aku mencoba memegang benda yang ia pegang dan berusaha mengidentifikasinya dengan penciumanku, “Ini tak ada baunya,” katanya.
“Ini tanah,” kataku. “Kamu tahu tanah apa ini?” aku menggeleng. “Ini tanah Karbala[2]. Biasanya orang menaruhnya ditempat sujud sehingga ketika sujud dahinya akan menyentuhnya. Kalau kamu dekatkan ke dadamu maka kamu akan merasakan sesuatu,” Ia mencontohkan dengan memasukkan ke saku kemejanya. “Kamu bisa merasakannya?”
“Mungkin bisa.”
“Bagaimana rasanya?”
“Saya tidak tahu, lagi pula bagaimana rasa bisa digambarkan.
”Kalau ada orang sakit dan tidak sembuh-sembuh, orang akan mengambil sedikit tanah ini, dimasukkan dalam gelas lalu diminum, maka Ia akan sembuh,” jelasnya. Aku mendengarkan penjelasannya sambil menatapi benda coklat berbentuk lingkaran yang ada ditangannya itu. Rasanya aku belum pernah melihatnya.
“Ini hadiah buat kamu” katanya, “jagalah baik-baik.”
“Terima kasih.”
“Kamu tahu apa ini?” tanyanya lagi.
“Ya, ini hadiah.”
Master dan beberapa muridnya tersenyum. Aku berpikir pastilah aku terlihat konyol lagi.

            Didalam mobil dalam perjalanan pulang Yildiz bertanya, “how to say lucky in Indonesia?” Aku bilang, “Untung. Lucky dalam bahasa Indonesia artinya beruntung?”
Kalau begitu kamu malam ini ‘untung girl’.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Master tidak gampang memberikan sesuatu. Jika Ia memberikannya itu karena Ia memang benar-benar berniat memberikannya.”
Aku tertawa, “Really? Kalau begitu aku memang ‘untung girl’. aku akan jaga baik-baik hadiah itu,” kataku.
“Sudah seharusnya,” komentar Yildiz. 
Aku tersenyum menatap keluar jendela mobil Yildiz sambil memperhatikan selat pemisah Asia dan Eropa. Setidaknya ada penyeimbang perasaan konyol, bodoh, dan piluku malam ini, untung girl!



[1] Di dalam psikologi Sufi, tingkatan jiwa manusia atau nafs dibagi menjadi tujuh. Yang pertama disebut jiwa tirani (nafs ammarah), yaitu jiwa yang condong pada kejahatan. Orang pada tingkat ini hidupnya dikendalikan oleh nafsu duniawi. Nafs kedua disebut jiwa yang penuh sesal (lawwamah). Karena pada tahap ini jiwa sudah mengenal iman namun masih sering tergoda pada keburukan sehingga ia merasa menyesal. Nafs ketiga disebut jiwa yang terilhami (malhamah) yaitu jiwa yang mulai merasakan kesenangan sejati didalam berdoa, meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Kita mulai bisa mengalami sendiri kebenaran spiritual yang selama ini hanya kita dengar atau baca. Tingkatan nafs ini dianggap paling kritis karena masih beresiko jatuh oleh godaan pujian. Nafs keempat disebut jiwa yang tentram (mutmainnah), yaitu tahapan jiwa yang dicirikan oleh kerendahan hati, kelembutan, dan ketundukan. Nafs kelima disebut jiwa yang rida yaitu yang telah ikhlas menerima segala sesuatu dalam dirinya, termasuk takdir dan segala kepahitan hidupnya sehingga jiwa ini merasakan kebebsan yang sesungguhnya. Miracle sangat mungkin bagi jiwa ini karena Tuhan menjawab doa yang tulus dari orang-orang pada tingkat ini. Nafs keenam disebut nafs yang diridai Tuhan. Pada tahap ini Tuhan pun meridainya. Disini telah terjadi penyatuan antara kehendak diri dan kehendak Tuhan. Nafs ketujuh disebut jiwa yang suci yaitu jiwa yang telah melampaui dirinya secara utuh. Tak ada diri karena yang ada hanya Tuhan. Kondisi ini umum disebut  “mati sebelum mati.”
[2] Tanah Karbala oleh tradisi Shi’ah dianggap tanah suci karena disitulah peristiwa pembantaian cucu Nabi, Imam Husein, yang merupakan imam ketiga kaum Shi’ah, berlangsung. Sebagai bentuk penghormatan mereka menjadikannya tempat sujud ketika sholat.  

Tuesday, March 12, 2013

# 28. Turis Monokotil


            Hari kedua tahun baru aku keluar apartemen Yildiz agak sore, sekitar jam tigaan karena harus mengopi beberapa file untuk Yildiz. Hari itu aku berencana ke Basilica Cistern dan Grand Bazaar yang seminggu lalu urung dilakukan bersama Ayla. Aku janjian bertemu di dekat mesjid Sultan Ahmed dengan dua orang malaikat Indonesiaku di Istanbul Mereka berdua akan menemaniku berbelanja di Grand Bazaar.

Blue Mosque di musim dingin
            Turun dari trem aku segera menuju ke taman diantara Hagia Sophia dan Blue Mosque. Hari itu cuaca sangat mendung disertai hujan rintik-rintik dan angin yang sangat kencang. Aku harus memegangi payungku kuat-kuat dan menapakkan kaki ke tanah dengan kuat pula agar tak terbawa angin. Ketika melewati taman yang agak tinggi aku memilih untuk menaikinya dan berdiri di atasnya. Dari situ view kearah Blue Mosque cukup bagus.  Aku belum memiliki foto Blue Mosque dari sudut yang bagus. Walaupun cuaca hari itu kurang mendukung tetapi setidaknya aku punya gambar Blue Mosque dari arah yang lebih tinggi yang tak terhalang mobil ataupun tiang listrik dan lampu taman.
            Memotret sambil memegangi payung agar tak terbang cukup merepotkan. Berkali-kali aku gagal melakukannya karena ketika kamera siap memotret angin tiba-tiba kencang sehingga aku harus memegangi semua barang-barangku. Ini rupanya menarik perhatian seseorang. Seorang laki-laki yang sulit kutebak umurnya mendekatiku sambil membawa beberapa buku dagangan, “butuh bantuan?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.”
Ia lalu menyodorkan buku dan peta Istanbul, “Sudah punya buku Istanbul?”
“Aku sudah membelinya kemarin,” kataku bohong.
“Petanya?”
“Ya, itu juga sudah punya” kali ini aku jujur.
“Sudah masuk ke Ayasofya?”
“Sudah minggu lalu. Ke Blue Mosque juga,” jelasku. “Tapi aku belum punya gambar Blue Mosque dari arah sini,” cerocosku sambil terus memotret.
“Ayolah beli bukuku,” katanya mulai agak merayu.
“No, aku sudah punya semuanya,” kataku sambil berjalan ke tengah-tengah taman menuju Hippodrome. Aku butuh seseorang untuk diajak ngobrol agar lupa pada cuaca dingin yang mulai membuat gigiku gemerutuk sehingga kulayani saja pria pedagang buku ini. Lumayan untuk olah raga mulut. Ia berjalan di sampingku mengikutiku ke tengah taman.
“Aku Jengis. Kamu dari mana?” Tanyanya. Kalau di Turki nama itu akan tertulis Cengiz.
“Naj, Indonesia. Kamu tahu dimana itu kan?” Ia mengangguk. “Dekat Philiphina.”
“Kamu orang Turki?
“No, aku orang Kurdi. Kamu tahu Kurdi?”
Aku tertawa, “Tentu saja, kalian itu sering masuk berita tv dan koran, kok.” Jengis tersenyum. Turki dan Kurdi punya hubungan yang kurang baik. Beberapa waktu lalu pemerintah Turki menghukum aktivis perempuan Kurdi sepuluh tahun penjara gara-gara pidatonya di depan publik. Suku Kurdi sedang menuntut kemerdekaan dari Turki yang membuat pemerintah Turki berang.
“Kamu sudah punya pacar?” tanyanya.
Aku tertawa sambil berpikir jawaban apa yang tepat untuk diberikan karena aku tahu akan kemana arah pembicaraannya dan aku tak ingin mengakhiri pembicaraan terlalu awal.
“Kadang ya kadang tidak,” jawabku.
Mendegar jawaban anehku si Jengis tertawa penasaran, “Apa maksudmu kadang ya kadang tidak?”
“Ya, aku punya seorang teman laki-laki tapi kami tidak berkomitmen untuk pacaran.”
Aku ingin bermain-main sedikit dengan pria ini dan tampaknya berhasil.
“Ayo kita mampir ke café dan kita bisa ngobrol disana,” ajaknya setelah jeda beberapa saat.
“No, terima kasih,” tolakku. “Aku sudah punya janji dengan temanku sore ini dan aku juga harus ke Basilika Cistern,” kataku sambil terus berjalan. 
Ketika sampai di depan Hippodrome Ia menawari untuk memotretku.
“No, thank you. Aku sudah punya foto-fotoku dengan benda-benda di sini,” jawabku agak panjang agar dia tak bicara lagi soal ini. 
“Aku dulu pernah punya pacar dari Philiphina. Dan kami hidup bersama selama tiga tahun,” katanya tanpa kutanya setelah jeda beberapa saat.  
“Oh, ya?” kataku pura-pura acuh sambil terus memotret Hippodrome.
“Dia mirip kamu,” lanjutnya.
"Hah! Rayuan cap badak," batinku. Aku tertawa sambil terus saja pura-pura sibuk memotret padahal menunggu jurus apa lagi yang akan Ia keluarkan untuk membujukku.
“Sekarang dia kemana?”
“Dia kembali ke negaranya. Ayolah, kita ke café, kita bisa minum-minum di sana sambil ngobrol santai.” Aku tersenyum dan memperhatikan wajahnya. Sebenarnya Jengis punya tampang lumayan tapi sayang aku tak bisa mempercayainya. Sensor dikepalaku memeprlihatkan wajah Cengiz yang bertanduk, bersiung dan licin seperti lele. Ia punya banyak trik untuk membuat perempuan masuk perangkapnya. Hehe, tapi yang kamu hadapi sekarang bukan perempuan bodoh, Jengis, kataku dalam hati.
“Kamu cantik. Aku suka padamu,” katanya kemudian.
Gubrak! Spontan aku ngakak. “Hwahaha! Dasar laki-laki!” kataku. Tidak butuh waktu lama untuk membuktikan prasangkaku. Dugaanku benar, Ia mengeluarkan jurus rayuan mautnya, rayuan cap kuda ngiler.
“Benar, kamu cantik,” katanya mencoba meyakinkan.
“Banyak laki-laki yang bilang begitu padaku, Jengis,” kataku super PD padahal bapakku pasti tidak setuju. “Jadi kamu bukan yang pertama,” lanjutku sambil mengibaskan tangan dan buru-buru berjalan menuju Ayasofya sebelum Ia mengeluarkan jurus lain yang mungkin membuat situasiku makin sulit. Tapi ia mengejarku.
“Ayolah, kita ke café, aku menyukaimu. Jadilah pacarku,” katanya agak keras sampai-sampai seorang bapak-bapak pejalan kaki menoleh. Aku terus saja berjalan menjauh untuk melepaskan diri dari Jengis. Ternyata dimana-mana sama saja. Laki-laki sejenis Jengis ini bertebaran dibelahan bumi manapun. 
Adegan itu bagiku begitu lucu. Di tengah-tengah taman penuh pepohonan kering dua orang anak manusia berjaket tebal sedang kejar-kejaran di bawah guyuran gerimis lebat dan angin kencang. Seorang perempuan sambil memegang payung erat-erat berjalan cepat menghindari seorang laki-laki yang mengejar dibelakangnya sambil berteriak memohon agar mau menjadi pacarnya. Ah, Serasa di drama Korea, Winter Sonata.
Setelah agak jauh aku tertawa penuh kemenangan, “Maaf, Jengis. Temanku sudah menunggu. Bye bye!” kataku sambil mempercepat langkahku tanpa menoleh lagi padanya. “Huh, dasar geblek!” Tapi lumayan hari ini jadi lebih berwarna. Thanks God atas hiburannya. Makhluk-Mu memang lucu-lucu.

Trio Kwak Kwek Kwok

Bagian dalam Basilica Cistern
            Setelah kesana-kemari mencari petunjuk, akhirnya aku temukan juga Basilica Cistern. Bangunan pintu masuknya tak begitu besar dan tidak mencolok sehingga agak sulit ditemukan. Setelah membayar sepuluh Lira aku kemudian masuk ke sebuah pintu kecil di sebelah loket. Basilica Cistern adalah bangunan taman air yang berada di bawah tanah. Ia hanya berupa puluhan pilar yang berdiri diatas air. Atap yang disangganya berbentuk kubah-kubah kecil. Pengunjung dapat berjalan di jembatan yang dibuat diantara pilar-pilar itu. Cahaya lampu dari bawah tiap pilar memberi efek warna merah yang indah. Basilica Cistern kalau dibuat setting film horror kayaknya seru, pikirku. Aku memotret bagian-bagian yang kuanggap serem, siapa tahu ada yang agak aneh. Seperti biasa yang tampak hanya orbs atau bulat-bulat berbentuk sel.  
            Berwisata sendirian benar-benar tidak menarik. Aku jadi seperti orang bisu yang sibuk sendirian. Aku cukup kerepotan untuk memotret dengan membawa payung basah yang tidak bisa dimasukkan ke tas kecilku. Tiap kali akan memotret aku harus meletakkan payung itu di pinggir jembatan dan menjaganya agar tak jatuh ke air. Iiih, repotnya. Wisata monokotil kali ini agak tidak asik. Aku celingak-celinguk mencari barangkali ada turis monokotil lain yang bisa diajak barengan. Umumnya mereka berdikotil alias berpasangan atau berombongan. Sebenarnya aku bisa saja tadi mengajak si Jengis, tapi laki-laki itu terlalu beresiko. Ya sudahlah, nikmati saja berwisata monokotil tanpa banyak ngomong. Tiba-tiba trio kwak kwek kwok menyodorkan mukanya di depanku.
“Hi, bisa tolong foto kami bertiga?” pintanya sambil menyodorkan camera digital.  
Sure,” kataku antusias.
Tiga orang laki-laki bermuka indah dan body padat kemudian bergaya dedepanku bersandar  pada pagar jembatan siap kupotret. Akal bulusku segera bekerja agar pemandangan indah itu tak cepat pindah dari hadapanku.
“Kalian tidak terlihat. Terlalu gelap,” kataku karena aku tidak menemukan bayangan mereka di screen kamera. “Tapi kucoba dulu ya.” kemudian “klik” flash menyala dan terlihatlah tiga wajah Italia mereka dengan senyum mengembang. Sepertinya mereka bersahabat.
“Oke, kucoba sekali lagi ya. Kalian agak merapat lagi biar hasilnya lebih bagus,” kataku bak pengarah gaya profesional. Mereka dengan senang hati menuruti perintahku. Senangnya bisa mengatur-ngatur tiga orang ganteng yang tinggi-tinggi ini, pikirku.
Oke, ready, one..two.. klik,” aku jarang memotret sampai hitungan ke tiga agar hasilnya lebih natural. Lalu hasilnya kutunjukkan ke mereka.
“Bagus, lihat,” kataku.
“Iya, bagus. Thank you,” kata tiga trio cute itu sambil tersenyum.
“No problem,” kataku.  Aku terlalu grogi untuk mengajak mereka bergabung. Tepatnya menawarkan diri untuk bergabung dengan mereka. Berada diantara mereka pastilah aku seperti jari klingking. Ogah!
But, Thanks God, atas rejeki indah hari ini.

Medusa

            Kuteruskan wisata monokotilku dengan memotret keterangan-keterangan yang ada. Umumnya tentang Medusa, sebuah landasan pilar yang berbentuk kepala perempuan cantik berambut ular yang terletak disalah satu sudut Basilica Cistern ini. Disitu ada dua kepala Medusa, yang satu nyungsep alias kebalik sedangkan satunya lagi posisi tidur dengan separuh pipinya. Ada dua penjelasan tentang Medusa ini: saintifik dan mitologis Seperti biasa yang mitologislah yang lebih menarik dan lebih kuingat.

Medusa, si cantik berkepala ular dan penangkal hal-hal buruk
            Konon, Medusa adalah satu dari tiga raksasa Gorgona bawah tanah. Dibanding dua saudaranya yang lain hanya Medusa yang mortal alias tidak abadi  dan satu-satunya yang punya kekuatan untuk mengubah orang yang melihatnya menjadi batu. Orang-orang jaman dulu katanya memasang patung dan gambar Medusa ini ditempat-tempat penting dan sangat pribadi untuk melindunginya dari hal-hal buruk.
Versi lain mengatakan bahwa Medusa adalah gadis yang teramat bangga pada mata hitam, rambut panjang, dan tubuh aduhainya. Sudah sejak lama Ia jatuh cinta pada Perseus, putra raja Zeus. Celakanya Dewi Athena juga jatuh cinta pada pangeran Perseus ini sehingga karena terbakar api cemburu Ia mengubah rambut indah Medua menjadi ular yang menakutkan. Siapapun yang melihat Medusa akan berubah jadi batu walaupun sekilas. Mengetahui hal ini Perseus lalu menebas kepala Medusa dan menjadikannya Najat perang. Ia pun sering memenangkan peperangan karena menunjukkan kepala Medusa ini pada musuh-musuhnya. Sejak saat itu gagang pedang di Bizantium dibuat dengan bentuk Kepala Medusa.
            Diujung rute terdapat café yang orang bisa menikmati makanan dan minuman hangat dan berfoto dengan latar belakang pilar-pilar gelap Basilica Cistern. Kalau saja aku berdikotil mungkin aku akan memilih duduk-duduk disitu dan berfoto. Berhubung monokotil jadi kuteruskan saja keluar dan mampir di toko souvenir pintu keluar membeli satu seri kartu post bertema “old Istanbul”.

Monday, February 25, 2013

27. Malaikat Pengangkat Koper




Apartment Yildis
            Hari pertama tahun baru aku berangkat ke Istanbul untuk yang kedua kalinya. Kali ini tak akan pulang lagi ke Ankara karena tiga hari lagi harus terbang pulang ke Indonesia. Dua malaikat Indonesiaku –Mas Nasir dan Yan- mengantar hingga ke terminal bis. Sama seperti aku, kedua malaikatku ini juga kurang tidur karena semalaman dihabiskan untuk menongkrongi pergantian tahun di rumah salah satu staff KBRI di Ankara bersama staff KBRI yang lain. Pak Hidayat, second secretary kedutaan-lah yang mengajak kami bertiga dan beberapa orang mahasiwa S3 untuk bergabung merayakan tahun baru. Malam itu kerinduanku pada tomyam  ikan Indonesia yang panas dan pedas akhirnya terpenuhi. Bahagianya tidak ketulungan. Aroma daun salam, sere, lengkuas, dan cabe segar benar-benar mengobati rinduku pada kuliner Indonesia.
            Ada rasa berat meninggalkan Ankara karena aku sudah terlanjur mengenal banyak orang dan banyak tempat asik di Ankara. Aku menikmati menjadi orang asing di Ankara karena dengan modal wajah asing Asiaku banyak orang Turki yang penasaran, terutama bapak-bapak, yang setelah kujawab dari Indonsia selalu bertanya, tepatnya memastikan bahwa aku seorang Muslim. Bahkan ada yang begitu yakinnya kalau aku pasti Muslim sehingga langsung mengucap salam. Pernah suatu kali aku ingin iseng menjawab Buddha, Nasrani atau Hindu hanya untuk mengetahui respon mereka tapi tak pernah sampai hati kulakukan.
            Sampai di Otogar aku langusng menuju salah satu loket Bis. Ketika salah seorang petugas loket menanyakan namaku aku menyebutkannya dalam pronunciation Turki, “Naciye”. Seorang petugas loket lain yang duduk disebelahnya langsung cekikikan. Aku ikut tertawa karena aku tahu kenapa ia tertawa. Melihat wajah non-Turkiku Ia pasti tak berharap mendengar nama itu, yang Turki banget dan mungkin ndeso. Sama alasannya ketika aku menertawai Abdullah, brondong Turki yang kami temui di lokanta tempat biasa aku makan siang. Ketika itu semua meja penuh pengunjung sehingga aku dan Mas Nasir bingung harus duduk dimana. Seorang pemuda Turki berwajah ganteng menawari kursi sebelahnya. Walaupun Ia tidak bisa bahasa Inggris sama sekali tetapi Ia terlihat ingin sekali berbicara dengan kami, tapi sayang kami pun tak bisa bahasa Turki. Kami pun tetap bisa berbincang akrab dengan bahasa Tarzan. Ketika kutanya namanya Ia bilang Abdullah. Melihat wajahnya yang cenderung bule aku tidak berharap Ia bernama Abdullah karena gambaran yang muncul di kepalaku adalah si tukang siomay keliling langgananku yang pecicilan, sehingga aku cekikikan setelah Ia pergi. “Ganteng-ganteng gitu kok namanya Abdullah sih, Pak, bukannya Thomas atau Richard, atau siapalah,” kataku pada Mas Nasir.  Ia setuju. “Tuh, kamu rugi kan, Naj, enggak bisa bahasa Turki. Ada cowok ganteng gitu, lewat deh,” kata Mas Nasir. Kami berdua cekikikan. Iya ya, keindahan Tuhan yang nemplok diwajahnya jadi tidak bisa dinikmati lebih lama. Tapi sebenarnya nama itu cocok untuknya karena dengan wajah indah yang terpasang di mukanya ia masih sangat baik hati dan tidak sombong. Mungkin dia tidak sadar kalau dirinya ganteng, dan itulah sebenarnya yang membuatnya lebih ganteng :). 

Taksim Square di waktu malam
            Aku tiba di Istanbul hampir jam tujuh malam. Kali ini tak banyak kemudahan yang kudapat seperti pertamakali ke Istanbul sehingga hampir semuanya kulakukan sendirian. Aku tak terlalu berharap akan ada lagi malaikat penolong karena aku sudah tahu bagaimana menjelajahi Istanbul. Pengetahuanku membuatku tak lagi berdoa memohon pertolongan. Minggu lalu aku tak punya bayangan apapun tentang Istanbul sehingga benar-benar memasrahkan nasib pada kuasa tangan tak terlihat. Pertolongan itupun datang dan menjadi momen ajaib yang membuatku tertawa, bersyukur dan bertambah yakin pada kuasa tangan tak terlihat. Kali ini pengetahuanku membuatku merasa mampu mengendalikan nasibku sendiri. Aku tahu akan turun dimana dan situasinya seperti apa, lalu harus kemana. Aku malu untuk meminta pertolongan lagi pada tangan tak terlihat.
            Bis yang kutumpangi ternyata tak menyediakan shuttle bus dari terminal ke tempat tujuan sehingga aku harus menyeret koperku yang cukup berat dan menggendong ranselku yang juga berat menuju halte bis kota yang akan menuju ke Taksim Suare. Lumayan membuatku ngos-ngosan karena separuh isinya adalah buku. Begitu pula ketika naik ataupun turun dari bis, aku harus melakukannya sendiri, tak ada yang menolong. Dari taksim square aku harus kembali menyeret koper sambil menggendong ransel menuju apartement Yildiz. Untuk sampai ke sana aku harus menuruni anak tangga kecil-kecil dan tak rata yang cukup banyak. Roda koporku sampai patah karena terbanting sehingga aku semakin kesulitan menyeretnya. Seorang laki-laki yang melintasi jalan diujung undakan rupanya tahu kesulitanku. Ia naik dan mengambil alih koperku, “sini aku bantu.” katanya. 
“Terima kasih. Salah satu rodanya tadi patah sehingga sulit digeret,” kataku. Aku tertawa dalam hati, rupanya Tuhan tak tega juga melihatku sehingga perlu mengirim malaikat pengangkat koper, hehe...
Setelah sampai di jalan aspal yang gelap lalu kami berdua pun mengobrol.
“Kamu dari mana?”
“Indonesia.”
“Aku pernah ke Indonesia, terutama ke Sumatera,” katanya. Tentu saja aku senang mendengarnya, setidaknya Ia pernah melihat kecantikan negeriku. Kukatakan padanya kalau keluargaku tinggal di Sumatera, di Bengkulu. Tapi sayang Ia tak kenal kota itu.
“Aku suka Indonesia,” katanya, “walaupun penduduknya miskin-miskin tapi mereka baik-baik.” Kalimat ini agak tidak menyenangkan dikupingku, tapi karena Ia telah menjadi malaikat pengangkat koper aku tertawa saja mendengarnya. Ia kemudian memberiku informasi tentang sinagog, komunitas Yahudi dan Nasrani di Istanbul ketika kuberi tahu kalau aku mempelajari agama dan budaya. Obrolan itu terhenti ketika Yildiz menelponku untuk kesekian kalinya karena tak juga menemukan bayanganku disekitar apartemennya. “Naj, kamu harus berhati-hati dengan orang asing,” katanya ketika kuberi tahu aku sedang ngobrol dengan seseorang. Ah, bagaimana bisa aku tidak mempercayai malaikat pengangkat koperku, Yildis.


Area Sultan Ahmet 
...