“Siapapun
yang mengalami perpisahan menuggu penyatuan kembali”
-Maulana Rumi-
Di
Konya aku membeli beberapa CD dan VCD
tentang Maulana dan musik Sufi. Setelah dari Konya hasrat jalan-jalanku sedikit mereda
sehingga hari itu aku memilih tinggal di kamar dan mendengarkan musik Sufi yang
sudah kubeli. Musik sufi artinya suara ney. Di Turki ney-lah yang membuat musik
menjadi musik sufi. Kalau sudah mendengarkan suara ney mengalun aku tidak bisa
lagi melanjutkan menulis karena terserap oleh suara kepedihan ney sehingga aku
memilih diam dan menyesapinya.
Ney
adalah alat musik yang terbuat dari buluh. Suaranya menusuk jauh sampai ke
kedalaman hati hingga terasa pedih. Jadi bisa dimengerti kalau Maulana Rumi
menggunakannya untuk mengiringi tarian spiritualnya. Ia menyuarakan kepedihan
rindu para pencinta pada objek cintanya, yang tak lain adalah asal-usul
dirinya. Ney mampu menyuarakan kerinduan Maulana pada kekasih sejatinya yang
tak lain adalah Allah sendiri.
Di
Indonesia ney kita sebut seruling dan lebih banyak dipakai untuk mengiringi
musik dangdut. Karena dibunyikan untuk kepentingan yang berbeda kita tidak
merasakan nuansa spiritualnya. Tapi seruling Sunda setidaknya mampu mambuat
kita merasakan keagungan pencipta semesta lewat gambaran alam pedesaan yang
ditimbulkannya. Maka jika di Turki suara ney berasosiasi dengan kepedihan rindu
para pencinta, di Sunda suara seruling berasosiasi dengan keindahan alam
pedesaan yang damai dan tentram.
Ney
menjadi simbol spiritual karena ia mampu menampung filososfi perjalanan hidup
manusia menuju kesempurnaan dan mewakili kerinduan manusia kepada Tuhan. Dalam
pandangan para Sufi esensi manusia berasal dari Ruh Tuhan. Ketika Tuhan
memutuskan untuk menciptakan Adam Ia meniupkan Ruh-Nya sendiri kedalam diri
Adam. Sehingga kerinduan yang dirasakan
oleh manusia pada Tuhan pada dasarnya adalah kerinduan untuk kembali menyatu
pada asal-usulnya yaitu Tuhan.
Seperti
halnya ney yang harus dipotong dari buluh induknya lalu dijemur, dibakar dan
kemudian dilubangi, manusia pun juga mengalami kepedihan yang sama dalam
hidupnya. Manusia terpisah dari Tuhan lalu mengalami berbagai terpaan hidup
sebelum akhirnya menjadi pribadi yang matang.
Bagi
Maulana, Ney menyimbolkan manusia sempurna yang telah mencapai kematangan
spiritual melalui berbagai tahapan proses dalam kehidupannya. Seperti halnya
ney yang hanya bisa berbunyi jika kita tiupkan nafas kita padanya, begitu pula
manusia yang hanya bisa hidup jika nafas Tuhan ditiupkan dalam dirinya. Karena
ney mampu mewakili kepedihan rindunya, maka Maulana diawal-awal kitab
Mathnawi-nya, secara khusus bercerita tentang ney ini.
Dengarlah! Bagaimana Ney ini bisa mengeluhkan dan
mengisahkan keterpisahan?
Perempuan maupun laki-laki menangis dan
merintih karena mereka telah memotongku dari batang.
Aku hanya menginginkan hati yang tercabik
karenai duka perpisahan, sehingga aku bisa menuturkan penderitaanku.
Siapapun yang mengalami perpisahan menuggu
penyatuan kembali
Aku sudah berteriak dan mengerang pada
orang-orang,
aku telah menjadi sahabat karib orang baik
maupun jahat.
Semua orang sudah menjadi sahabatku.
Tapi tak satupun yang mencari tahu rahasiaku.
Rahasiaku tak lain adalah tangisanku,
tapi tak semua mata dan telinga mempunyai
cahaya Tuhan.
Tubuh dan Ruh tidak saling bersembunyi,
tapi Ruh tak terlihat pada setiap orang.
Suara ney ini adalah api, bukan udara.
Dimana tak ada api, biarlah ia lenyap.
Api dari cintalah yang memasuki ney;
antusiasme cintalah yang membuat minuman jadi
berbusa.
Ney adalah teman dan pendamping orang yang
terpisah dari kekasihnya.
Nada ney telah merobek semua nada.
Siapa selain ney yang melihat racun dan
penawarnya sekaligus?
Ney bercerita tentang jalan yang dipenuhi darah
dan kisah cinta Majnun.
Ia adalah akal, ia adalah rahasia kearifan;
lidah tak punya lagi klien kecuali telinga.
Hari-hari menjadi lebih panjang dan semakin
panjang karena duka kita.
Hari-hari berpasangan dengan pembakaran.
Biarkan hari berlalu; apalah artinya duka dan
derita!
Oh, cinta tanpa kawan, hanya kau yang tinggal
disini.
Kecuali bagi ikan, segalanya puas dengan air;
bahkan hari-hari orang yang tak punya makanan
semakin panjang.
Bagaimana orang yang masih mentah memahami
tingkat kematangan ini.
Sekian dulu
untuk saat ini.
Disini aku harus berhenti, di titik ini.
Begitulah Maulana mengapresiasi
Ney yang mampu mewakili kepedihan rindunya pada sang Kekasih. Ney pun menjadi musik spiritual di Turki,
musik para Sufi. Bagaimana dengan Indonesia ?
Di
Indonesia khususnya di Jawa kita juga punya musik spiritual yang sering
dilupakan orang. Musik spiritual itu bernama gamelan. Inilah musik yang dulu
kuanggap sangat tidak menarik dan membosankan tetapi kemudian terdengar begitu
indah dan mencerahkan. Aku tidak tahu sejak kapan mulai menyukai gamelan tapi
beberapa tahun belakangan ini aku selalu terpukau pada suara gamelan, siapapun
yang memainkan. Suara gamelan tidak hanya menghibur telinga tetapi juga mampu
membawa pada kesadaran yang lebih tinggi.
Berbeda
dengan ney yang suaranya memusat di dada, suara gamelan menyebar keseluruh
tubuh bahkan keluar tubuh. Ketika gong dibunyikan ia seolah-olah membangunkan
alam semesta termasuk kita di dalamnya. Gamelan pun memuat filosofi yang sangat
luas dan dalam. Jika ney merepresentasikan kerinduan pada Tuhan maka Gamelan
menyimbolkan kedamaian dan keharmonisan alam semesta. Jika Ney bisa dimainkan
sendirian tidak halnya dengan gamelan, Ia harus dimainkan berombongan karena menyimbolkan
haromoni dalam keragaman. Maka gamelan pun merepresentasikan dengan baik
falsafah negara kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda tetapi
tetap satu yaitu Indonesia .
Falsafah ini kalau ditarik lebih dalam menggambarkan keberagaman isi alam
semesta yang sesungguhnya merupakan manifestasi dari yang Maha Tunggal. Jika
ney merepresentasikan kerinduan dan pencarian maka gamelan merepresentasikan
pengejawantahan.
Jika
para sunan menggunakan gamelan dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa,
menurutku karena mereka paham betul apa yang direpresentasikan oleh gamelan
ini. Gamelan bukan sekedar alat musik yang dibuat untuk memroduksi bunyi tapi
juga punya pengaruh dahsyat pada jiwa dan raga manusia. Gamelan pastilah tidak
dibuat sembarangan. Ia dibuat dengan kesadaran dan pengetahuan yang dalam tentang
alam semesta, manusia, dan Tuhan.
Menurut
Pak Kuntowijoyo, melodi dalam musik gamelan disesuaikan dengan konsep waktu
siklus dalam sistem pengetahuan Jawa yang disebut asta-wara, yaitu suatu lingkaran bilangan yang selalu kembali pada
hitungan ke delapan. Artinya gamelan tidak sekedar alat musik tetapi representasi
dari sebuah pengetahuan yang dalam
tentang waktu, yang pada intinya adalah pengetahuan tentang Sang Hyang Tunggal, Pemilik Jagad Semesta, entah dengan nama apapun Dia disebut, atau dengan cara apapun Dia disembah.
Menurut
Pak Kunto lagi, hingga saat ini mungkin hanya gamelan sekaten yang masih mampu
melestarikan fungsi spiritual gamelan. Manurutnya, melodi, ritme, harmoni dan,
dinamik gamelan sekaten adalah representasi perjalanan suci menuju Tuhan,
sehingga Ia pun berkesimpulan bahwa gamelan sekaten adalah sintesa yang berhasil
antara agama dan seni.
Aku
melihat ney sebagai representasi spiritualitas maskulin sedangkan gamelan
mewakili spiritualitas feminin, tanpa bermaksud mendikotomi. Ini bisa dilihat
dari bentuk dan bagaimana Ia dimainkan. Ney berbentuk tongkat sehingga bisa
disamakan dengan lingga sedangkan gamelan? Gamelan terutama gong berbentuk
yoni terbalik, sehingga lebih mirip buah dada perempuan, -yang menurut
salah seorang sufi perempuan yang kutemui merupakan lorong waktu. Untuk saat
ini aku tak paham apa maksudnya.
Ney
bisa dimainkan sendirian sebagaimana para salik atau pencari yang menyendiri
mencari Tuhan. Sedangkan gamelan merupakan sebuah orkestra yang terdiri
berbagai alat musik, seperti kenong, kempul, gong, bonang barung, saron dan
lain-lainnya, karena ia membawa pesan harmoni dalam keragaman.
Di
degung Sunda gamelan dan ney dipertemukan sehingga mampu merepresentasikan
kedua fungsi ini, pencarian dan pengejawantahan. Representasi spiritual ney dan
gamelan membuatku ingat pada peristiwa mi’raj Nabi Muhammad. Ketika masih dalam
proses pencarian Nabi Muhammad banyak menyendiri dan berkontemplasi. Namun
setelah peristiwa mi’raj dan mencapai Tuhan
Ia memilih untuk kembali ke Bumi dan menjadi bagian dari masyarakat. Ia kembali
untuk mengabarkan kabar gembira dari hasil perjalanannya. Karena kasih sayang
pada umatnya Ia memilih kembali daripada bersanding bersama Tuhan. Itulah
mengapa ia layak menyandang gelar Rahmatan lilalamin, rahmat bagi
seluruh alam. Ia kembali untuk mengejawantahkan kesempurnaan sifat-sifat Tuhan
dan menyempurnakan perjalanan pulang menuju Tuhan. Inilah barangkali mengapa
Sunan Kalijaga membunyikan gamelan di acara sekaten untuk memperingati
kelahiran Nabi Muhammad. Seolah
Ia ingin membangunkan jagad raya
untuk menyambut kedatangan rahmat bagi semesta alam ini. Melalui gamelan Ia
seolah berpesan, "Marilah kembali kepada Tuhan bersama-sama, walaupun kita
tampak berbeda rupa dan suara tapi sesungguhnya kita satu, sesama makhluk Tuhan." Bhinneka Tunggal Ika, bukan kebetulan menjadi semboyan bangsa kita.
1 comment:
Ingat degung sunda jadinya.
Post a Comment