Aku
tidak pernah bermimpi untuk ke Turki apalagi ke kota bernama Konya . Negeri Anatolia ini bagiku masih
negeri dibalik kabut yang tak banyak kutahu daya tariknya sehingga tidak masuk
daftar yang harus disambangi. Jerman, Jepang dan Perancis bagiku lebih menarik
karena aku tahu sedikit bahasanya dan tentu juga budayanya. Tapi Turki, apa yang menarik dari Turki?
Itulah pertanyaan konyol yang kuajukan pada banyak orang dan diri sendiri agar
antusias tinggal lima
minggu di Turki. Berbagai jawabanpun diberikan. Banyak bertebaran orang
ganteng, Ayasofia yang cantik tapi penuh konflik, jembatan Bosporus
yang menawan penghubung dua benua. “Kamu bisa makan siang di Asia
dan makan malam di Eropa” begitu kata salah satu teman yang ingin sekali ke
Turki. Ada Istana Topkapi yang menawan, kata teman yang lain. Dan terkahir
RUMI. “Ke Turki kalau tidak ke Konya ,
ke makam Rumi, sama juga bohong,” kata dosenku yang pecinta Rumi tapi belum ke
Turki. Aku tetap tak tergugah. Walaupun nama Rumi sudah disebut namun masih
terasa hambar. Ya, aku penyuka puisi-puisi Rumi, lalu? Aku butuh alasan lebih
agar perjalananku lebih berarti. Itu mauku. Kalau hanya ke Turki, melihat
tempat-tempat menarik dan berkunjung ke Makam Rumi, bagiku belum menarik.
Paling-paling kesannya hanya sesaat. Aku ingin kesan sepanjang hayat. Itulah
yang kumau.
Seminggu
sebelum berangkat akhirnya kutemukan alasan yang lebih menarik itu. Petualangan Ruhani.
Inilah alasan yang menurutku lebih sip. Alasan ini kutemukan setelah seorang
teman meminjamkan buku catatan petualangan ruhani mantan penyayi pop Inggris
yang kemudian menjadi Sufi setelah bertualang di Turki, Reshad Field. Catatan
petualangannyalah yang membuatku ingat kembali pada apa yang selama ini aku
cari, pemahaman tentang cinta.
Walaupun Rumi mengatakan cinta tak akan
pernah bisa dipahami namun siapa yang tidak dibuat penasaran oleh cinta.
Lukisan dinding di museum Rumi, Konya, Turki. |
Aku
termasuk idiot untuk urusan yang satu ini. Maka jika akhirnya aku harus ke Turki
tepatnya ke Konya
kurasa karena aku perlu belajar pada sang Master Cinta, Maulana Jalaluddin
Rumi, agar tak idiot-idiot amat. Maka Maulana menjadi satu-satunya magnet yang
menarik hatiku ke Turki. Sehingga kunamai saja perjalanan ke Turki ini petualangan hati
karena niat utamanya adalah menemui Maulana Jalaluddin Rumi. Itu saja.
Sejak saat itu hari-hariku pun
dipenuhi oleh ingatan pada Maulana Rumi (dalam bahasa Arab Maulana berarti 'guru kami', dan orang Turki cukup menyebut Mevlana). Di lampu merah yang terik aku ingat
Maulana. Di jalan jelek dan becek penuh polisi tidur aku ingat Maulana. Di
pinggir jalan di tukang tambal ban aku ingat Maulana. Bahkan di mall ketika
mencoba sepatu aku ingat Maulana. Pokoknya aku jadi sering ingat Maulana. Tapi
anehnya setiap kali ingat Maulana selalu saja air mata ingin tumpah tanpa
alasan yang bisa dimengerti. Hanya rasa pedih.
Aku sudah lama kenal Jalaluddin Rumi. Sejak
mulai hobi membeli buku-buku serius. Buku pertama yang kubeli berjudul, “Meine Seele ist Eine Frau,” atau versi Indonesianya,
“Jiwaku adalah wanita.” Dari buku inilah aku pertamakali kenal Maulana. Buku
ini di tulis oleh seorang perempuan Jerman pecinta Maulana Rumi, Annemarie Schimmel.
Tulisan penuh cinta inilah yang mempunyai daya tular luar biasa, sehingga aku
ikut pula menjadi pecinta Maulana. Cinta membangkitkan cinta rupanya.
Aku menyukai Maulana karena jiwanya
yang feminin: terbuka, lembut dan tidak diskriminatif. Maka wajar jika cinta
betah bersemayam dihatinya. Artikulasi feminin yang terjalin dalam kata-kata puitisnya
telah membangkitkan jiwa femininku yang lama tertimbun karena perlawanan pada
dunia yang tak ramah. Karena Maulana jiwa femininku merasa mempunyai teman. Ia
menjadi juru bicara yang baik bagi jiwa-jiwa feminin. Jiwa-jiwa yang tak melulu
didikte akal karena telah melampaui akal. Ingat, akal tak akan pernah mampu
memahami cinta, tapi jiwa feminin mampu menjadi ahlinya. Maulana Rumi adalah salah
satunya.
Maulana tidak hanya membangunkan kesadaran
spiritualku, Ia telah menginspirasi dunia melalui rangkaian kata-kata indah
penuh makna dan tarian berputarnya. Melalui jalan cinta Ia mengajak orang untuk
menggapai esensi kehidupan dan tujuan keberadaan. Melalui cinta ia mengajak
pada cinta. Jalan ini ternyata banyak diminati orang karena tak membeda-bedakan status sosial, jenis kelamin, ras, dan agama manusia. Sehingga PBB menganggap Maulana dianggap sebagai promotor toleransi, perdamaian dan cinta. Ia memberikan alasan paling esensial mengapa kita perlu saling mencinta. Ia juga menyediakan argumen paling dalam mengapa manusia punya cinta. Kata Rumi pun berasosiasi dengan Cinta. Maka pada ulang tahunnya yang ke-800
yang jatuh pada tahun 2007, UNESCO, badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan menetapkannya sebagai tahun Rumi.
***
Alasan lain mengapa aku mengutamakan Rumi, karena aku merasa waktu lima
minggu terlalu singkat untuk mendapatkan pengetahuan melalui metode
konvensional apalagi ada kendala bahasa dan uang saku. Maka aku memutuskan
untuk membidik langsung pada jantung pengetahuan itu sendiri melalui Maulana
Jalaluddin Rumi. Selain Maulana ternyata, di Konya juga ada dua guru besar lain
yaitu Syams Tabris, gurunya Maulana Rumi dan Sadruddin al Qunowi, sahabat dekat Maulana dan anak angkat serta penerjemah utama karya-karya Ibn Arabi, seorang guru besar yang telah membantuku menalar
hal-hal pelik berkaitan dengan segala macam perbedaan, termasuk agama, dan misteri dibalik segala yang tampak dan terucapkan.
Dalam tradisi Sufi, kedua orang ini, Jalaluddin Rumi dan
Ibn Arabi dikenal sebagai kutub cinta dan kutub pengetahuan. Dari sini pula aku
berharap suatu saat bisa ke Damascus ,
Syiria, mengunjungi sang guru besar, Ibn Arabi, sehingga dua kutub itu bisa
kudatangi. Inilah eksperimen awalku dengan metode Sufi setelah dibuat lelah
oleh metode konseptual yang kadang terasa begitu lambat dan garing.
***
Jalan ke Turki ternyata tidak
semulus dugaan, mulai dari lamanya invitation
letter dari universitas Ankara, anjloknya nilai tukar rupiah akibat krisis
global yang membuat bekal finansial ke Turki makin ngepres sehingga tak berani berangan
macam-macam, hingga ruwetnya urusan visa. Sehingga rencana berangkat September
baru terealisasi Desember. Namun dari berbagai peristiwa tidak asik ini
akhirnya aku memilih untuk percaya bahwa tidak ada peristiwa yang kebetulan
malainkan sudah menjadi bagian skenario untuk tujuan tertentu. Maka jika
akhirnya aku berangkat Desember, itupun bukan kebetulan.
Sebelumnya tak terpikir jika
peringatan kematian Maulana Rumi jatuh pada bulan Desember. Awal tahun 2008
ketika aku terlibat acara nonton film dan diskusi tentang Jalaluddin Rumi untuk
memperingati 800 tahun keberadaanya, aku dan teman-teman menempatkannya di
bulan Februari tepatnya di hari valentin. Kami menamai acara itu, “Merayakan
cinta bersama Rumi. Maka jika beberapa bulan kemudian aku bisa ke Konya menurutku bukan
kebetulan. Rumi mengundangku untuk merayakan cinta bersamanya, di hari bahagianya.
Untuk petualangan ini aku hanya
berbekal dua hal, pertama, buku Reshad Feild yang berjudul “The
last barrier: A journey into the essence of Sufi Teaching,” yang menjadi guiding bookku untuk melakukan petualangan ruhani di negeri para Darwis ini.
Kedua, pesan tidak langsung dari Pak Muh. Zuhri, seorang Sufi dari Pati, Jawa Tengah, yang juga membatuku menalar makna-makna dibalik semesta struktur. Pesan ini sampai tiga jam
sebelum berangkat melalui seorang sahabat. Pak Muh bilang, “Inti Islam adalah
Sabar dan Syukur.”
3 comments:
beberapa waktu yg lalu baca novel 'kimya; putri rumi'. apakah benar tokoh kimya?
kalimatnya lugas, bertenaga =)
Thanks, komennya. Iya, tokoh Kimya memang ada, dia putri angkatnya Rumi yang dinikahkan dengan Syams Tabris, dan menimbulkan kecemburuan di hati anak kedua Rumi yang juga mencintai Kimya, yang berujung pada pembunuhan terhadap Syams. Begitu :). Salam, -njm-
Salam kenal Mas. Apakah email? Saya tertarik korespondensi. Ini email saya bje_soejibto@yahoo.com. makasih
Post a Comment