Semazen

Sunday, January 6, 2013

#19. Seribu Wajah Turkish



            Aku tak tahan merasakan duka kematian nenekku sehingga aku memilih mencari hiburan. Walaupun akalku sudah menerima kematian sebagai kewajaran tapi rasa duka itu tetap saja ada. Begitu tidak nyaman dihati sehingga aku memilih untuk mencari pengalih.
            Aku keluar asrama menuju Kızılay, ke lokanta tempat biasa aku makan siang, berniat mencari hiburan. Siapa tahu ada hal-hal lucu lain di Turki yang bisa kutertawai sehingga aku lupa pada dukaku. Mas Nasir sudah menungguku disana.
            Sejak pagi ada suara gemuruh di luar kampus. Tapi dukaku membuatku tak peduli pada suara itu. Akhirnya aku keluar kamar dengan jaket merah andalan, syal dan kupluk penghalau dingin dikepala. Seperti biasa aku hanya bisa menyapa, “günaydın” selamat pagi, pada penjaga asrama Milli Pyanggo, padahal sudah tak pantas lagi disebut pagi. Mereka membalas dengan senyuman. Didepan pintu kupasang kedua sarung tanganku lalu melangkah sambil memainkan embun dari nafasku. Dingin sekali hari itu.
            Hampir semua permukaan taman tertutup oleh salju. Begitu pula pohon-pohon cemara. Daunnya berubah menjadi putih diganduli salju. Tinggal diberi lampu hias maka cemara itu akan menjadi pohon natal yang cantik, pikirku. Aku berjalan menuruni kampus dengan kaki mencengkram tanah agar tak jatuh oleh jalan licin karena salju.
            Dipintu gerbang kampus, puluhan tentara berseragam hitam berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Setiap hari selalu ada tentara disitu tapi kali ini lebih banyak. Wajah lain dan penampilan mencolok membuat mereka menolehku. “Yes, I am Indonesian” jawabku dalam hati, menjawab pertanyaan tak terlontar yang diwakili tatapan mereka sambil berjalan dengan cueknya.
            Tiba dijalan raya depan kampus Universitas Ankara, ratusan bahkan ribuan orang berjalan dengan tertib sambil meneriakkan sesuatu. Aku diam sejenak dan celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Mencoba memahami apa yang terjadi. Hampir di semua sisi jalan puluhan tentara berbaris dengan waspada. Ada demonstrasi besar-besaran rupanya.
            Dibawah gerimis rapat ribuan orang Turki tumpah ruah dari berbagai arah jalan menuju pertemuan jalan-jalan besar. Dengan sepatu boot, rompi putih bertuliskan sesuatu yang tak kumengerti, jas hujan transparan aneka warna sesuai asal mereka, dan sebuah papan demo, mereka bergerak ke satu titik di ujung jalan sambil meneriakkan sesuatu yang juga tak kumengerti. Aku menjadi manusia buta huruf kala itu. Aku berniat menuju stasiun metro agar bisa secepatnya sampai lokanta. Mas Nasir pasti sudah menungguku disana. Namun sisi jalan dijaga oleh tentara sehingga mau tak mau aku harus berjalan ditengah jalan bersama para demonstran. Dengan jaket merah ala Santa Clause, tanpa jas hujan berwarna, tanpa atribut demo, dan tubuh mungil berwajah Asia, aku menjadi agak mencolok. Dengan mudah mereka bisa mengindentifikasi bahwa aku bukan bagian dari mereka. Sesekali para demonstran yang berjalan disebelahku menatapku dengan tanda tanya yang dengan cepat kuberi isyarat bahwa aku bukan makhluk berbahaya. Hanya pelancong bergembira yang sedang menikmati demonstrasi ala Turki. Aku berjalan bersama mereka sambil berpikir proses pengorganisasian demo ini sehingga bisa berjalan dengan tertib dan rapi. Feelingku mengatakan bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan sehingga dengan santai aku berjalan bersama mereka sambil sibuk memotret. Kalaupun terjadi sesuatu padaku pasti akan jadi berita besar di Indonesia, pikirku. Headline news mungkin akan berbunyi, “Seorang demonstran Indonesia cidera di Turki.” Aku tak berani membayangkan hal lain selain cidera ringan saja.
            Stasium metro ternyata ditutup dan dijaga tentara. Sehingga aku harus kembali ke jalan dan bergabung kembali dengan para demonstran. Sambil jalan kumanfaatkan hari itu untuk memotret aneka wajah orang-orang Turki. Setidaknya aku tidak perlu mendatangi seluruh daratan Turki untuk melihat karakter wajah-wajah mereka. Hari ini mereka tumpah ruah dihadapanku. Siap kupotret.
            Letaknya yang dipersimpangan antara benua Asia dan Eropa membuat wajah-wajah di Turki sangat variatif. Banyak pencampuran gen disitu sehingga menghasilkan fenotip yang beragam.  Maka menjadi agak sulit untuk menentukan karakter yang menonjol dari wajah orang Turki. Sebagian ada yang cenderung ke timur tengah sebagian lain cenderung ke Eropa dan sebagian lain diantara keduanya dengan warna mata dan rambut yang berwarna warni. Aku menemukan banyak wajah telenovela diantara para demonstran.
            Dua orang laki-laki demonstran berwajah mirip dengan sangat antusias menerima permintaanku untuk kupotret. Mereka pun lalu sibuk mengatur gaya. Dengan salah satu tangan memegang papan demo dan satu tangan yang lain mengacungkan dua jarinya ke kamera, serta topi sedikit miring, mereka pun siap beraksi. Jadinya gaya rapper tanggung yang ceria.
            Dipertemuan lima jalan sebuah monitor sangat besar sudah menanti. Beberapa  jalinan ratusan balon berwarna merah, biru dan putih mebentang didepannya dengan sebuah balon sangat besar ditengahnya. Beberapa sound system ukuran besar sudah teronggok disitu. Monitor besar itu memperlihatkan para demonstran. Aku mencari gambarku dimonitor siapa tahu ikut disuting. Tapi sia-sia. Suara musik yang mengalun keras membuat para demonstran bergoyang sambil meneriakkan protesnya yang tidak aku mengerti. Demo ini lebih mirip hajatan. Aku pun ikut larut bersama mereka dengan tujuan yang berbeda, melupakan duka kehilangan.
            Tiba-tiba tepuk tangan sangat meriah diantara dentuman musik yang membahana. Rupanya beberapa orang telah berhasil menaiki sebuah gedung tinggi dan membentangkan spanduk protes diatas balkon. Semua mata tertuju keatas balkon sambil bersorak-sorai penuh kemenangan. Aku sibuk mengabadikan momen-momen itu dalam kameraku sambil ikut bersorak-sorai.
            Para demonstran itu adalah para apoteker, mahasiswa farmasi, teknisi farmasi, pasien, dan orang biasa yang turun ke jalan untuk memerotes kebijakan pemerintah Turki tentang farmasi yang dinilai merugikan para apoteker dan pasien. Begitu keterangan beberapa demonstran yang berhasil kuwawancarai. 

1 comment:

Anonymous said...

Orang Turki itu emang ada darah Spanyolnya, karena setelah jatuhnya Granada, negeri Islam terakhir di Iberia, banyak Muslim dan Yahudi Spanyol yang melarikan diri ke Turki Usmani, menyusul penindasan terhadap mereka di sana.